Tuesday, January 18, 2011

Dua Dunia

Inilah monumen sejarah, yang terbentuk dan terjaga kokohnya oleh tautan hati yang sahaja. Laksana istana Kaibon yang ditinggalkan kejayaan, merana, menganga nantikan peziarah taburkan bunga. Diatas pekuburan rasa yang dulu mengokupasi setiap celah udara. Sebuah monumen tak berwujud, tetapi terasa hingga pangkal jiwa.

Ketika iblis datang, pikiran hanya diam, menunggu luka membusuk dan berharap waktu akan menyembuhkannya; kiranya belatung memakan segalanya. Pikiran hanya diam, menyaksikan angin hampa mengangkuti bongkahan bongkahan penyesalan yang datang bertubi laksana banjir kemarau di gurun pasir. Menghapus setiap jejak peradaban, menenggelamkan setiap kejadian yang dulu pernah tercipta dengan kesengajaan hati. Pasrah pada grafitasi yang akan menyeret tubuh kita menuju pendamparan tanpa nama, tanpa rasa. Dan siapapun begitu tidak berdaya melawan keniscayaan, tidak sanggup menolak kedamaian yang berasa langka di setiap pertemuan . Tak terjabarkan dengan kata kata rasa itu.

Tangis dan tawa menjauh, sentuh dan sapa menguap ke udara, bersama keruh dan bising ibu kota. Sedangkan kisah kisah pejalan telah tersusun dalam lemari kenangan, terekam dalam tumpukan gambar gambar perangkap waktu. Konon segala yang hidup bakal mati, meskipun setiap kematian selalu datang terlalu dini. Pada saat itulah kisah kisah kejadian terhempas ke tembok waktu, beku menjadi goresan masa lalu. Sedangkan polah sang hati, sungguh tak akan mati. Ia hanya rebah menjelempah tak berdaya, dipecundangi oleh kekuatan peradaban manusia yang mengabaikan bahasa sunyi; perasaan yang hakiki.

Definisi telah membelah bumi, menjadi dua ruanga baru yang sama sama sunyi. Ranting kehidupan yang patah oleh badai tiba tiba telah melahirkan kehidupan baru yang asing lagi canggung. Menunggu waktu akan mengobati luka robeknya, menunggu masa akan memunculkan kembali matahari yang akan memberi kekuatan, bahwa hidup harus terus dipertahankan. Cita cita yang pernah tersemai bersama kini menjadi biji tunggal yang tumbuh di ladang ladang gersang dalam ruang baru.

Setumpuk cita cita dan segudang rencana akan berjalan dengan penopang kaki. Semua berhenti di angan angan, berharap akan harapan harapan baru yang tertabur bersama doa doa. Ikuti arah angin yang menjanjikan semua kebaikan. Abaikan saja rindu yang menidih dada, sebab ia hanya rasa biasa yang dari awal kita tahu bahwa waktunya akan tiba.

Sebentar lagi rindu akan jatuh merana, terepisah dua ruang dunia yang tak mungkin tertembus tanpa dosa. Keinginan yang membuncah harus bisa dikendalikan dalam skap pura pura, dan cerita cerita lama yang istimewa akan menjadi penghibur bagi batin setiap kali mengenangnya. Jemari tak akan lagi bersentuhan meskipun hati setia bergandengan. Dan percakapan kita hanya tersisa dalam susunan potong demi potong aksara dan angka angka; kembali menjadi teman di sabana kosmos maya tempat muasal segala kisah bermula.

Dua ruang baru itu ibarat gerbong waktu, dimana kita terpisah dan terus melaju, dalam gelembung dunia masing masing. Sesekali berbagi cerita, dan kebahagiaan yang mengharukan setiap kali yang muncul adalah kisah bahagia dari gerbong sebelah. Kereta akan semakin tua, melaju terlalu cepat hingga mengejutkan betapa telah banyak persinggahan dan kejadian teralami selama perjalanan kita menuju stasiun pemberhentitan terakhir, yang juga adalah ujung dari nafas dunia batin kita yang menyimpan monumen cinta paling indah di dunia. Kisah cinta yang pasti menjadi juara seandainya didunia ini ada kompetisi keindahan cinta manusia.

Di dua dunia yang berbeda itu, terdapat kedamaian yang tak pura pura…


Surabaya 110118