Saturday, December 22, 2007

Pakta koloni manusia

Membina hubungan atau membentuk sebuah relationship dari ketiadaan sesungguhnya adalah bentuk perjuangan tersendiri. Prinsipnya sederhana, bahwa sikap menjaga dan sama sama menghendaki adalah pemupuk paling mujarab yang tidak terbantahkan. Hubungan antar manusia dengan manusia, sesama jenis kelamin maupun berbeda jenis kelamin, sama saja.

Rasa hormat dan menghargai, terbuka dan berusaha menempatkan partner lebih kedepan, tenggang rasa harus menjadi azas yang tidak boleh dimodifikasi dengan cerita bohong demi pembentukan image bahwa dia adalah orang baik, orang hebat, orang ini itu dan sebagainya. Unsur pemalsuan identitas seperti itu akan sangat mudah terbaca oleh mereka yang peka perasaanya, terkadang hanya dari pandangan matapun bisa ditebak. Orang yang bicara dengan kita tanpa memandang mata kita misalnya, adalah orang yang ingin mengenal kita kerena sesuatu yang bukan dari kepribadian kita.

Makna ‘sukarela’ menjadi sangat jelas dalam sebuah hubungan. Suka menimbulkan rasa senang, menyenangkan dan disenangkan, rela adalah keikhlasan untuk terlibat dan masuk kedalam kehidupan orang lain, mengambil saripati pelajaran hidup dan juga membuka diri demi memberi kesempatan kepada partner kita untuk membaca diri kita dan kemudian memberi kebebasan untuk menyimpulkan sesuai dengan standar kepahamannya.

Soal kesimpulan, selamanya menjadi milik pikiran, milik kebebasan semesta. Orang bisa saja menyimpulkan bahwa yang berpenampilan alim dan halus, bahkan religius itu adalah orang yang menjunjung martabatnya tinggi tinggi, mulai dari cara berbicara sampai dengan cara berinteraksi dengan mahluk lain. Idealnya memang begitu, maka kemudian banyak orang mencitrakan hal demikian. Tetapi bagi yang mengenal secara pribadi, tentu kesimpulannya lain lagi.

Pendidikan yang tinggi semestinya identik dengan ketaatan moral yang tinggi juga. Tetapi sering terjadi, pendidikan tinggi, kedudukan tinggi justru merendahkan martabat sendiri dengan perilaku yang merugi. Merasa tinggi dan tidak menghargai orang orang yang dalam pandanganya lebih rendah, lebih membutuhkan dia membuat si tinggi menjadi hanya obyek cibiran di balik kegelapan semata.

Intinya saudara, jika ingin dihargai orang lain mestinya kita lebih menghargai orang lain. Jika ingin dimanusiakan orang maka kita juga wajib memanusiakan siapapun yang masuk dalam kategori manusia. Jika menjawab sapaan saja berat entah karena sebab apa, maka jangan berharap kita akan mendapat tempat baik dihati orang lain. Bisa bisa tidak akan menerima sapaan samasekali lagi sebab sebagian orang belajar dengan sangat cepat dari pengalaman empirisnya sendiri. Sikap pura pura juga sering mendatangkan malapetaka dalam sebuah hubungan, pura pura tidak mendengar, pura pura tidak melihat, pura pura tidak merasa, bahkan pura pura tidak tahu!

Apabila sebuah hubungan sudah bergeser dan kehilangan makna kesejatiannya, maka tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan dan menganggapnya sebagai sebuah hubungan timbal balik yang masih mengandung nilai luhur dan manfaat silaturahmi. Memutuskan untuk tidak lagi meneruskan hubungan akan lebih bijaksana daripada memelihara nilai nilai negative yang perlahan bisa membusukkan jiwa.

Maka jika sebuah hubungan sudah tiba pada titik pengingkaran, mengakhirinya akan lebih baik dan aman bagi semua orang. Kecuali dalam soal rumah tangga, sebuah hubungan yang rusak bisa bisa terhempas jadi remuk dijajah oleh selembar kertas bernama akta nikah. Sebab maknanya berganti menjadi ikatan hukum dan tanggung jawab, bukan lagi sukarela dan tenggang rasa!


Kuburan Cina – Radar AURI 071222

Wednesday, December 19, 2007

Sampul

Standar fisik sebagai ukuran penampilan bawaan lahir yang ideal bagi seorang manusia baik lelaki maupun perempuan adalah komposisi yang proporsional antara tulang, daging, dan kulit yang membentuk paras menjadi berbeda antara satu dan lainya. Keadaan ideal atau sedap dipandang itu kerap dinamakan cantik bagi perempuan atau tampan bagi lelaki. Sebutan cakep mungkin lebih afdol, karena bersifat lintas gender, tidak peduli wanita maupun lelaki. Jika sudah begini, maka yang menjadi tolok pembeda adalah bentuk, ukuran dan keselarasan pandangan semata.

Wajah yang elok, paras yang membuat rasa selalu ingin memandang terkadang menjadi topeng yang sempurna bagi kebusukan jiwa maupun keganasan siksa yang disembunyikan dibalik tampangnya. Katanya kecantikan seseorang terpancar dari kepribadiannya, yang meskipun tidak tampak tetapi lebih berkuasa. Tetapi toh korban ketertipuan atas penampilan fisik ini juga berjatuhan setiap hari.

Bagi sebagian kita yang pernah secara empiric mengalaminya sendiri betapa si rupawan sebenarnya mengandung racun yang lebih mematikan ketimbang si biasa yang tidak begitu rupawan. Pembedaan penampilan adalah hal vulgar yang kerap memerangkap seseorang dalam pikiran impulsive yang menyesatkan, bahwa penampilan yang tidak menarik tidak menimbulkan daya magnet perhatian. Ho ho ho…jangan salah, sebagai pelengkap cerita dunia, pada sebuah kejadian justru si rupawan menemukan kerupawanan yang lebih dalam dari kepribadian dan jalan pikiran si penampilan kurang tadi.

Kita tidak bisa mengukur apapun dari hanya penampilan saja. Coba kita umpamakan, penampilan air yang setiap melintas dalam pikiran kita terbayang kesejukan, kesegaran dan kehidupan induk dari segala keindahan, dibalik itu ia juga berfungsi ganda sebagai alap alap pencabut nyawa. “Don’t judge the book by its cover” bisa fatal! Tetapi tetap saja air tidak bisa berubah menjadi hal yang patut untuk dipersalahkan, apalagi hanya karena penampilanya sebagai air. Iapun diterima dalam kehidupan sebagai air. Demikianlah pula si non-rupawan, ia akan diterima sebagaimana adanya sebab dibalik penampilannya ia memelihara kehidupan.

Sesungguhnya, semakin usang hidup kita, maka semakin arif kita melihat bahwa kecantikan budi pekerti jauh lebih bermakna daripada kecantikan fisik. Para malang yang pernah menjadi korban si rupawan tentu akan cepat menyetujui teori ini. Meskipun, penampilan fisik tentulah juga masuk dalam salah satu criteria yang tidak diutamakan. Tidak ada hal apapun yang bisa menandingi kesempurnaa hasil karya Tuhan; kehidupan. Bersyukurlah diri yang merasa tidak memiliki cukup karakteristik untuk disebut sebagai si rupawan, paling tidak atas dasar penilaian subyektif yang diproduksi dari pantulan kaca cermin.

… lalu kenapa semakin rupawan seseorang, maka semakin beresiko akan mendatangkan malapetaka kesakitan hati?

Renungan super kilat ini mungkin bisa sedikit mengurai, karena; semakin rupawan seseorang, maka semakin tajam duri duri yang menyelimuti tubuhnya. Susah dipegang! Kita mengakui kerupawananya yang juga berarti mengakui ketidak rupawanan kita sendiri. Sebuah proses monolog yang melibatkan fihak ketiga sebagai biang keladinya. Karena kerupawanannya pula maka kita tahu kalau persaingannya akan menjadi semakin ketat. Keunggulan rupa itu membuat kita sebenarnya tidak rela ditinggalkan, bahkan hanya diacuhkan saja. Tetapi jika ternyata kelakuannyapun lebih bangis dari iblis, maka keelokan rupa itu akan menjadi bias, kecantikan yang menjijikkan dan tidak mengundang semangat untuk memandang. Hina dina dalam pandangan diam.

Beruntunglah sebagian dari kita, yang menemukan pribadi pribadi cantik dan terbungkus oleh penampilan yang rupawan. Lelakinya tampan dan baik hati, dan jika perempuan tentu cantik dan baik hati juga. Kebaikan hati diukur dari kemampuan memberikan penghargaan yang wajar atas kehidupan orang lain, pemikiran orang lain dan taat kepada azas azas tenggang rasa. Menghormati orang dengan memperlakukannya dengan sebaik mungkin dan sebagainya. Siapa tertantang untuk menjadi seperti itu? Mungkin sebagian dari nafsu kita mengatakan “aku orangnya seperti itu”, tetapi juga akan ada counter opini dari nurani yang mengatakan “ oh, ideal sekali, aku belum bisa seperti itu tapi aku ingin seperti itu” . Terkembali kepada cara kita menjalani hidup, taat pada nurani atau manja dibuai nafsu. Tinggal pilih, hidup itu bebas memilih, dan boleh memilih apa saja tanpa takut salah.

Sebab saudara, orang yang berpenampilan menarik tetapi berkelakuan tengik, tidak ubahnya tubuh tanpa ruh yang tinggal menunggu keriput, lalu ketika mati tidak meninggalkan kebanggaan apa apa. Sedangkan orang yang berpenampilan kurang menarik dan berhati tengik, ialah yang selalu menjadi pemenang didunia. Orang yang berpenampilan kurang menarik tetapi berhati baik, biasanya mengenakan jubah pahlawan. Kalau penampilanya cantik serta hatinya baik…Belum ada!


Gempol 071219
* tertulis sebagai saksi betapa kecantikan memiliki racun yang menghancurkan, tidak mematikan.

Tuesday, December 18, 2007

Gerungan di persimpangan

Api berkobar dimatanya sore itu, ketika matahari mengendap endap meninggalkan bumi. Sorot mata yang liar mengandung ribuan beling dan racun bagi pikiran, milik singa yang terluka, memberontak atas penganiayaan sia sia. Kemarahan menjauhkannya dari cinta. Dan murka telah menjelmakan musuh musuh baru disepanjang perjalanan nafas. Jangan tatap matanya atau engkau kan terluka oleh karena tajamnya. Mata yang sanggup merobek dan mengoyak apapun dan siapapun yang tak sanggup melampaui titik didih sebuah dendam. Betapa ia telah terciptakan sebagai visualisasi dari mahluk bengis tak mengenal belas kasihan bahkan terhadap bayi orok sekalipun. Permaafaan dan ampun menjadi retorika yang hanya dikumandangkan sebagai penghibur rasa perih belaka.

Iblis tak cuma menggeliat di setiap sel otak yang berulat. Tingkahnya mempereteli setiap mili keyakinan yang dibangun susah payah; pencitraan diri. Arus kebencian begitu perkasa memporak porandakan keteguhan yang dibangun diatas nisan nisan kenangan. Angin sore Binamarga yang biasanya membawa harum bunga mahonipun berubah berisi uap api neraka, melahirkan gerungan penyebab muka sepucat warna mayat. Seribu penjuru angin menyiksanya, mengusirnya pergi dari dunia ramai tempat tawa dan cinta dipamerkan di setiap etalase jalan raya dan jalan sepi.

Hujan air mata dari mendung simpati tak mampu meredam amuk panas sang murka, bahkan ketika hati yang melepuh bersimpuh memohon agar kekasih lekaslah sembuh. Telinga dan hati disediakan bagi penggerutu dan pemaki kehidupan pilihannya sendiri. Manusia dan manusia, selamanya menciptakan konflik batin berjajar memanjang dari ujung bumi ke ujung satunya. Penjajahan baru atas jiwa yang merdeka telah mengakibatkan kerdilnya nilai luhur sebuah investasi sosial. Menerbangkan si jiwa lemah jauh ke angkasa dimana ia lepas kepemilikan, menjadi butiran debu yang tersesat dan kepayahan.

Sore yang tenang telah berganti jadi desingan dendam dan makian sepanjang jalan, mematikan percintaan. Ia telah begitu tidak bijaksana diperdaya oleh aniaya yang tanpa sadar telah menjadi bagian dari ruh dan daging tubuhnya. Betapa perkasanya ia yang berjuang sendirian melawan penyesalan yang membatu, membandul bagai tumor di mata kaki, menyertai setiap langkah yang tak boleh berhenti. Kematian dibicarakan seperti harapan yang tak bertemu kenyataan, layaknya mimpi yang hanya menyisakan busuk air liur di pembaringan. Ia telah mati sebagian dan bermimpi tentang penguburan yang tenang dimana tak akan dijumpai kehidupan manusia setelah ia terlempar dari satu permainan ke permainan lainya. Kekagumannya pada pesona telah membuahkan luka yang menganga, mengundang apapun untuk dikeluhkan sebagai bentuk pemberontakannya yang diam.

Lalu ia menyusuri malam mengemudikan angin di kegelapan, berharap bertemu titik embun yang dulu setia menyapa wajahnya yang menyembunyikan tangis sangat diam diam. Ia terus melolong tanpa seorangpun patut mendengarkan hingga ia terdampar linglung di persimpangan moral.

Binamarga 071217

Thursday, December 13, 2007

JB* = jalan raya, terminal atau pasar?

Cerita dari Jakarta 8

Menyusuri jalan TB Simatupang dari arah Pondok Indah selepas senja, dengan nyanyian ringan dalam ingatan dan mata jelalatan menjilati sesama pemakai jalan, tua muda, laki perempuan, pejalan kaki dan yang berkendaraan. Manusia manusia Jakarta mewakili individu masing masing dalam kepentingan masing masing, tertutup rapat dalam misteri masing masing, misteri yang amat rapat dirahasiakan, hampir tanpa tebakan. Ke arah terminal Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) Kampung Rambutan, melintasi perlintasan dengan jeda lampu lalulintas di beberapa perempatan yang selalu saja sibuk oleh pemakainya di sepanjang sisi kiri kanan tol lingkar luar Jakarta.

Secara geografis JB menempati posisi yang sangat strategis, pertigaan kecil, jalur putar balik kendaraan komersial dari terminal Kampung Rambutan yang bersiap siap untuk mengantar penumpangnya ke Bogor, Bandung dan kota kota di Jawa lainya melalui tol Bekasi nantinya. JB juga tempat transit banyak penumpang dalam kota sendiri, angkot ke Jakarta bagian timur maupun ke arah Bekasi dan kota kota penyangga Jakarta lainya. Di JB juga sudah dibangun megah sebuah halte busway bernama halte Tanah Merdeka. Busway yang ini melayani rute Kampung Rambutan sampai ke Kota bahkan Ancol di tepi utara Jakarta. Tidak heran jika kemudian JB berkembang dari sekedar tempat persinggahan atau transit, tetapi juga tempat dimana banyak manusia akan memanfaatkan kondisi itu untuk mengais rezeki.

Limapuluh meter dari titik singgung persimpangan dimana bus bus AKAP memutar balik setelah lepas dari labirin terminal Kampung Rambutan, telah tampak betul kesemrawutan dari kejauhan. Jalanan bercabang kecil itu penuh dengan kamuflase khas Jakarta; Pedagang Kaki Lima yang menawarkan bermacam komoditi dari busana, hiburan hingga ke boga, alias barang barang yang punya alamat akhir lubang kakus, atau makanan, dari buah buahan sampai ke minuman ringan. JB telah lama kehilangan trotoarnya, berganti menjadi etalase pasar tradisional dengan musik kencang penjual CD bajakan, kaos kaki sepuluh ribu tiga pasang hingga ke counter pulsa portable! Dalam pajangan jangan ditanyakan soal kedai makanan, mulai dari warteg, warung padang, baso, mie ayam atau apapun yang mungkin orang akan butuhkan. Semua pasti ada, seperti halnya mudah dijumpai di sudut kota yang lain. Pasar buah di JB sebenarnya mengadopsi dari perempatan besar Pasar Rebo, yang berjarak hanya sekitar satu kilometer saja. Disana PKL buah buahan telah memperoleh legitimasinya denga menempati kios permanent selain yang berjubalan di sepanjang trotoar.

Sekali lagi, dari jarak limapuluh meter sebelum memasuki titik pusat ‘kehidupan’ JB, pengguna jalan yang budiman akan disuguhi dengan pemandangan yang menakjubkan; sebuah jalan raya yang seolah tidak ada celah sedikitpun yang bisa ditembus dengan kendaraan roda dua maupun roda berapapun. Penuh sesak oleh berbagai jenis kendaraan, seperti etalase hidup bagi para dealer. Disini mission impossible dimulai dengan mereka reka celah mana yang hendak dilalui untuk menembus kesemrawutan JB sambil menikmati dentuman musik dari CD bajakan, atau menikmati wajah wajah gelisah para penunggu jemputan maupun angkutan umum yang membawa mereka pergi dari situ. Angkutan umum menaikkan dan menurunkan penumpang di tengah jalan, penumpang naik dan turunpun di tengah jalan, tentu saja lengkap dengan teriakan dan suara bising klakson. Kombinasi yang harmonis untuk sebuah kondisi lalulintas!

Lepas dari kesimpulan awal bahwa JB merupakan pasar tradisional, kesimpulan baru tiba tiba terbentuk bahwa JB merupakan terminal bayangan atau tak resmi. Penumpang, kendaraan besar kecil pencari sewa, para calo yang memaksakan jasa kepada awak bus dan mikrolet dengan dalih mencarikan sewa atawa penumpang, sampai ke petugas berseragam dengan lampu gatur kedip kedip minta perhatian dari tempat persembunyiannya, warung kopi dan rokok ditepi jalan, mereka petugas yang mengabdi untuk negara demi lancarnya tertibnya lalulintas. Lampu pengendali arus lalulintas berkedap kedip dalam interval waktu yang sama, demikian juga rambu rambu lalulintas ditepi jalan bisu mandul terbalut debu polutan dari semua jenis knalpot, mesin dan manusia. Kehilangan makna dan fungsinya. Konon di tempat ini hukum bisa digadaikan oleh penegaknya dengan harga terjangkau rakyat jelata.

Melintasi JB selepas senja adalah ujian emosi tersendiri sebelum menyadari bahwa JB tidak ubahnya adalah jalan raya biasa yang punya fungsi menghubungkan satu tempat ke tempat lainya. Persinggahan dan pemberhentian kehidupan individual dari kampung kampung dan kota kota, yang masing masing berhak atas kepentingannya sendiri sendiri. Maka pemahaman soal hak itulah yang telah menciptakan kesemrawutan yang mendekati sempurna di JB. Di Jakarta, tiap jengkal tanah baik itu jalan raya maupun bukan jalan raya adalah lahan rezeki, sedangkan mengupayakan hal itu adalah hak azasi. Masing masing berebut kepentingan sendiri sendiri di tempat ini, sehingga kepentingan umum menjadi hal yang tidak mendapatkan prioritas. Kepatuhan atas ajaran budi pekerti berupa tenggang rasa dan mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi seperti dulu diajarkan sewaktu kita SD menjadi bias disini. Fungsi dasar sebagai fasilitas umum di JB boleh saja kabur demi kepentingan pribadi yang kemudian di artikulasikan sebagai kepentingan umum.

Melintasi JB selepas senja di ujung minggu, serasa menyaksikan keseluruhan Jakarta dalam sepotong jalan raya. Kehidupan, peruntungan, keculasan. Diantara udara bercampur karbon dioksida yang kental terbaca pikiran pikiran gelisah tentang hidup yang berkejaran dengan waktu, mencoba berpacu dengan Jakarta yang tumbuh bongsor dalam usia yang makin tua, dalam peradaban yang makin langka; jauh dari kesunyian alam maupun gaung waspada dari sudut pedesaan dimana angin dan udara bersetubuh mesra setiap waktu.

Jalan Baru, 071209
*JB = Jalan Baru

Monday, December 10, 2007

Pondok Yang Indah

(Cerita Dari Jakarta VII )

+ Nak, inilah jalan busway yang sering diributkan di tivi itu.
- Ooo..ini rupanya ya? Lihat, jalanan beton telah dibangun untuk jalan busway.
+ Ini kampungnya orang orang kaya, mereka tidak mau kampung mereka dilewati busway. Bagaimana pendapatmu, nak?
- Mungkin karena mereka orang kaya, mereka merasa menjadi orang penting yang bisa mengatur. Ini kan jalan umum, jalannya pemerintah, lagian yang lewat sini juga bukan orang Pondok Indah saja.

+ Bhahahahaah….!!!


Setuju!
Dengan pemikiran yang sederhana sekalipuan, sebuah ruas jalan umum tentunya diutamakan untuk kepentingan umum, mulai dari komunitas tertentu, daerah tertentu sampai kepada negara tertentu. Umum berarti secara universal, sebuah hukum relativitas yang mengukuhkan akan mutlaknya bekerja sama sebagai perlambang dari rakyat yang berperadaban serta hukum baku sebagai mahluk sosial. Kepentingan yang lebih luas memiliki pula kuasa soal, kuasa waktu dan kuasa tempat atas fasilitas umum.

Pondok Indah, kawasan elite orang orang gedongan, orang orang kaya yang tentu lebih tahu soal peradaban justru menunjukkan sikap bertolak belakang dari moral sosiologis dasar dari tenggang rasa. Atas nama lingkungan, atas nama kelayakan, atas nama peraturan bahkan atas nama pohon pun dikemukakan demi didengar keberatannya pembangunan jalur busway koridor 8 yang membelah Pondok Indah, mulai dari Lebak Bulus sampai ke Kebayoran Lama. Salah satu jalur yang menjadi urat nadi transportasi Jakarta. Maklum saja, Jakarta ini sudah seperti orang mantu setiap hari. Sibuknya luar biasa, urusannya ribet luar biasa dan masalahnya juga banyak luar biasa. Jakarta memang kota yang luar biasa!

Yang terbayang dengan Pondok Indah adalah tempat tinggal para selebritis, pejabat, pengusaha bahkan pelacur kelas kakap, atau warga biasa tinggal, menempati gedung gedung bak istana yang tidak saling mengenal antara tetangganya. Egois, dan individualistic sesuai dengan karakter normal masyarakat cosmopolitan, metropolitan atau jumpalitan mungkin. Orang orang top, hebat dengan sumber daya manusia yang mendatangkan rezeki begitu mudah dan dalam jumlah yang besar pula. Orang dengan kelas demikian tentu saja memiliki komunitas yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Jauh lebih ‘maju’ dalam pola pemikiran maupun pemahaman tentang di zaman apa dan sikap bagaimana semestinya diterapkan untuk mempresentasikan diri sebagai manusia smart, unggul diantara yang lainnya dalam bidangnya. Mereka tahu banyak soal perkembangan dari seluruh permukaan bumi satu detik setelah satu detik lainya terbunuh mati.

Seperti biasa, sebagian kecil orang bisa keblinger dengan keadaan yang terlalu maju tersebut dan membuatnya perlahan kembali menjadi mahluk yang sebenarnya; binatang yang paling sempurna. Pemahamannya dipaksa sama dengan suku Apache atau puluhan suku Indian yang harus menyingkir ketika rel kereta api dibangun di lembah lembah perawan milik leluhur mereka di pedalaman Amerika ratusan tahun silam. Si sebagian kecil ini juga hinggap di sebagian yang lebih kecil lagi dari komunitas pondok indah. Kegelisahannya persis layaknya kegelisahan sang singa ketika territorial yang sudah ditandainya dilanggar oleh binatang lain, entah pemangsa entah mangsa. Pondok Indah dan seluruh pohon, jalan, tanah, batu, bangunan serta udaranya adalah hanya milik si sebagian lebih kecil dari warga Pondok Indah itu. Takutnya, orang orang semacam ini justru tersesat oleh pikirannya sendiri yang terlanjur tidak bisa sederhana. Apapun lantas dilakukan untuk menggagalkan proyek pembangunan jalur angkutan umum yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umum, mulai dari argumentasi dan teori soal amdal sampai memasang portal! Dan itu disebut sebgai perlawanan! Gigih bukan?!

Coba saja kita berhenti memanjakan ego sejenak, kembali ke masa kecil kita yang entah indah entah getir, kemudian kita definisikan kembali soal ‘jalan umum’. Jalan umum adalah misteri yang tidak terkuakkan dalam hayalan kecil kita. Tidak pernah seorangpun atau satu kelompokpun kita dengar menjadi pemilik dari salah satu jalan umum. Kita hanya bisa bersyukur bahwa telah ada jalan itu jauh hari sebelum kita lahir. Siapa yang membuatnya, itu adalah cerita turun temurun yang selalu memiliki segudang hal yang mengundang ketertarikan untuk mengetahuinya lebih jauh. Ribuan orang pernah kita lihat menggunakan jalan yang juga kita gunakan setiap harinya, bahkan orang yang tidak ada kepentingan dengan tempat kita atau orang yang dilintasi jalan itu. Jalan dibuat semata untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain. Kita membersihkannya supaya orang yang lewat lebih selesa, kita merawat dan memperbaikinya karena kita sendiri juga menggunakan jasanya.

Lalu kita ke Pondok Indah, dimana jalur busway koridor 8 sedang getol dibangun dan juga getol ditentang pembangunannya. Kisruh intelektual yang bisa kita jadikan cermin bersama, betapa memprihatinkannya kerusakan moral sebagian warga bangsa karena teracuni oleh peradaban yang dianggap layak sebagai dewa baru, semudah kemunculan nabi baru; palsu!


Antara Pondok Indah – Pondok Aren, 071209

Friday, December 07, 2007

Gerutu Hujan

Marah yang membuncah merobek pagi lewat mimpi. Damai terbunuh oleh gemuruh dendam yang tiba tiba hidup dari kematian suri panjang. Gigi gemeletak menahan letupan benci, hati teraniaya sedangkan segala rumus kebaikan telah disuguhkan sebagai upeti. Tawa penghinaan dan senyum ejekan mencabik cabik segala percaya diri, menempatkan sebagai korban kesekian dalam palung luka yang sama, lumpur pekat yang sama; ketidak berdayaan itu.

Pagi datang tanpa matahari, Kamis dan setiap hari tak sama lagi. Semua berubah menjadi gerang dan gersang, pembosanan atas kehidupan. Bertemu dengan manusia manusia dengan parang terhunus ditangan ketika terjaga, bertemu iblis yang berpesta pora ketika lelap membekap, sakit dan sedih semata. Lantas kemana tempat tanpa tipu daya dan ganggu jiwa? Mendung menghias langit, menutup warna keperakan pada setiap tepi mega yang katanya mengandung harapan akan kecerahan. Gerimis yang biasanya membawa syahdupun berubah menjadi gerutu oleh sebab hampanya rasa sesiang ini.

Rencana. Beribu rencana teronggok bagai bangkai kuda nil dalam angan angan. Rencana rencana yang mati pada saat kelahirannya sendiri, terlilit oleh pesimisme yang menggelayuti hati. Dengan siapa hari ini akan terbagi, sesungguhnya telah terpasrahkan diri untuk segala bentuk kehidupan manusia dan benda mati, menyerahkan diri pada keperkasaan mereka mereka yang mengendalikan dunia. Perintah diterima, perintah diteruskan semuanya melulul berisi dikte dikte otomatis dari mulut ke mulut dan lupakan tenggang rasa.

Rintik hujan disiang hari mewakili tangis yang tertahan sejak pagi. Tangis meratapi kemalangan bagi si beruntung dan keberuntungan bagi si malang; diri semata wayang. Jika nanti saatnya hujan berhenti, rasanya kaki ingin pergi meninggalkan bumi, terbang menjelajah negeri negeri sampai ke Timbuktu. Sejauh mungkin mengendarai angin, menembusi genangan demi genangan kenangan masalalu yang tak mau juga mengering meski waktu telah membakarnya jadi abu. Kenangan ternyata tak mau mati, meski perih meradang sebagai ekspresi.

Bahwa penderitaan memang melahirkan jiwa jiwa perkasa yang lahir kembali dari keterpurukan. Memahami betapa kebahagiaan tidak akan bisa terasa tanpa ketidak bahagiaan yang pernah dialami dan kesenangan sesungguhnya tidak bisa dinikmati tanpa merasakan ketidak senangan terlebih dahulu. Tersisihkan dan diacuhkan menciptakan keberanian untuk mengatakan ‘cukup’ dan lalu melambaikan tangan tanda perpisahan. Cukup adalah cukup, setelah mengemis pengertian sekian ribu tahun dan hanya membentur dalam cibiran yang menyakitkan, atau malah penghakiman yang mengerikan. “ kamu selalu negative…!”

Maka pergilah kepada hingar bingar keinginanmu. Sunyi ini akan menjadi indah tanpamu, tanpa cemooh dan permainan hatimu. Tenggelamlah diantara jubah dan topeng peradaban, menjadi palsu oleh keinginan dan pengingkaran atas realita duniawi yang tak bisa kan lepas dari status. Menarilah terus bersama irama irama cabul, pesan pesan mesum yang membuatmu serasa menjalani hidup yang semestinya.

Tetes embun, rumah kayu, kali kecil, pematang sawah, ikan gobi, sejuk lereng gunung, kebun strawberry dan cita cita indah itu mati bersama prasangka yang kau hujam deras ke ulu hatiku. Aku mati sudah untukmu…


Ciracas dibawah hujan dendam, 071207

Wednesday, December 05, 2007

Pejalan sunyi

Dia yang kecil melangkah ringan, garis dibibirnya datar, menatap tak lurus tak juga menunduk, hanya berjalan saja menjauh dari kerumunan, pergi menjauh searah tenggelamnya matahari diujung bumi ketika senja mengurung padang belantara rerumputan. Malam sebentar lagi menyembunyikan ngarai dan lembah, jurang dan perbukitan bahkan pokok pokok pohon rindang yang biasanya menyajikan keteduhan akan segera lenyap dari pandangan. Sayup sayup masih terdengar di telinga mungilnya teriakan sang ibunda, berisi pesan kebaikan seperti layaknya seorang ibu kepada bayinya yang belajar mengenal kehidupan; “ jangan bicara dengan orang asing, jangan lupa bersihkan belakang telinga ketika mandi, jangan berenang sendirian, dan larangan larangan lainya yang mencerminkan betapa besar keinginan sang ibunda agar anak emasnya bebas dari segala sengkala dan celaka.

Pelukan terakhir, ciuman terakhir, dan doa yang menyamudera menyertai langkah mungilnya kini. Tekad sudah dibulatkan, niat sudah dikuatkan, dan berangkat adalah pilihan. Menejelajah belantara, menemukan kesejatian hidup diantara rahasia pepohonan dan lebatnya belantara. Ia terusir dari kelompoknya, terusir oleh perasaan ‘tahu diri’ yang ia artikulasikan sendiri dalam pikirannya. Betapa ia telah berusaha mengesankan siapa saja bahwa ia tidaklah berbeda dengan anggota komunitas lainya, tetapi tetap saja ia berpredikat beda. Orang orang yang dikenalnya telah serta merta menempelkan stigma rumit bagi dirinya sebagai orang negative, dengan pikiran dan sikap yang negative. Sungguh, ia hanya ingin menjadi yang sewajarnya. Ia terusir dari tempat dimana ia mengenal udara sebagai kehidupan dan cinta sebagai oksigen bagi jiwa.

Kaki kecil, langkah kecil bergerak zigzag menjelajah padang ilalang dan rumpun perdu, membawa rasa terbuang dalam angan angan. Mata mungil menembusi setiap lorong udara, mencari makna dari apa yang tak terlihat dari pandangannya. Bumi damai penuh cinta dimana semua tersedia melimpah, nun jauh dari bengis kelakuan para sebangsanya menjadi tujuan langkahnya. Sepanjang jalan sepi menelikung, menghadirkan sosok sosok raksasa yang lahir dari gumpalan masasilam yang berantakan.

Diperjalanannya ditemukan guru pemandu jiwanya, ialah yang mengajarkan etika dan tatakrama, tenggang rasa serta pentingnya mengalahkan diri sendiri untuk kehidupan disekelilingnya. Embun, angin, mendung, langit, pohon, daun, tanah, ranting, batu, satwa, rumput, dan segala yang hidup dan mati dari bagian bumi memberinya ajaran tentang kasih akan kehidupan, makna akan kesementaraan.

Kesendirian mengajarnya menjadi pribadi dewasa yang kuat dari terpaan puting beliung sekalipun. Kesunyian menjadi dunia miliknya, lengkap dengan monolog demi monolog panjang antara hati dan logika. Berinteraksi dengan sesama ternyata memberinya begitu banyak goresan luka, goresan luka yang diakibatkan oleh harapannya sendiri yang membentur karang terjal dan menghempaskannya dalam kekecewaan yang hanya layak dikonsumsinya sendirian. Mempertahankan diri dalam lingkaran matarantai sosial rekaan hanyalah membebani mereka yang merasa lebih penting dan baik bagi kehidupan. Dirinya hanya secuil dari mata rantai makanan terbawah yang tidak memiliki pilihan selain lari, sembunyi dan menunggu kebaikan para pemangsa kebahagiaan.

Ia menjadi raja atas bukan siapa siapa dan atas bukan apa apa. Savana maha luas menjadi istananya, dan berjuta anak pemikiran menjadi kawan dan musuhnya. Dunia dibawanya dalam pikiran, mengembara mengumpulkan helai demi helai pengalaman yang kelak akan dianyam menjadi sebuah mahakarya warisan bagi kehidupan selanjutnya. Ia tak punya tujuan, ia tak perlu tujuan. Ia berhenti ketika hati memintanya berhenti, ia berlari ketika pikiran memerintahkannya demikian.

Segerombolan orang mengaku teman tetap ada dalam angan angannya, mereka menyeringai dengan pedang bernama ego terhunus ditangan, siap mempersembahkan sobekan pada kulit dan dagingnya. Dalam kesendiriannya, ia menjadi seorang lemah yang perkasa, menempuh lebih jauh dari siapapun yang kini jauh ditinggalkannya, belajar lebih banyak dari siapapun yang dulu merendahkannya, dan bersyukur lebih banyak dari siapapun yang pernah menganggapnya permainan bagi kesenangan belaka. Ia kini punya dirinya sendiri seutuhnya, tempat kesalahan dan kebenaran ia muarakan dalam diam.

Pernah suatu ketika dikirimkannya pesan rindu lewat daun gugur kepada mereka yang pernah mengenalnya sebagai seorang pribadi, dan makian serta penghakiman didapat sebagai balasan. Dalam setiap nafasnya, ia titipkan doa kebaikan bagi sesiapa yang karena keadaannya pernah menjadi duri bagi hatinya…

Ciracas, 071205

Tuesday, December 04, 2007

Rencana Pembatalan


Sebuah rencana bisa jadi dibuat dalam kurun waktu yang sangat lama, bisa berhari hari, bisa juga berbulan bulan maupun bertahun tahun. Rencana sama saja dengan menyiapkan segala sesuatu untuk membuat sesuatu terjadi. Sedangkan untuk membatalkan sebuah rencana (baik besar maupun kecil) maka kita hanya perlu ukuran waktu dalam satuan detik untuk melakukannya.

Terkadang pembatalan terasa seperti matahari yang tiba tiba padam. Dalam kegelapan seseorang yang dipancung dengan pedang bernama pembatalan harus mencari cari pegangan, dan hanya menemukan diri sendiri yang pantas untuk disalahkan. Menyalahkan diri sendiri karena terlalu berharap. Kekecewaan memang lahir dari harapan yang dibangun sendiri. Menerima. Ya, menerima itulah reaksi bijaksana yang juga menciptakan rasa aman bagi semua orang kecuali si yang menerima. Bagaimanapun kita tidak bisa mengkontrol orang lain untuk membuat sebuah keputusan, termasuk ketika seseorang harus membatalkan sebuah rencana besar yang sudah demikian diyakini bakan menjadi sebuah kenyataan yang mendatangkan rasa sukaria.

Kekecewaan yang terasa bisa saja datang dari rasa malu karena dipermainkan harapan dan keinginan sendiri. Memberi peluang kesenangan terhadap diri sendiri terasa sebagai sebuah kemewahan egois yang berlebihan terkadang. Kecele oleh keinginan dan keyakinan sendiri kemudian merubah bentuk antusiasme menjadi kekecewaan yang harus diterima sebagai milik pribadi sekali. Soal rasa memang hak milik yang sangat pribadi bagi setiap manusia.

Idealnya setiap orang tidak boleh memiliki hak untuk marah kepada orang lain,sebab setiap orang seyogianya tidak diperuntukkan untuk mengendalikan keputusan orang lain. Tidak ada satupun pasal yang mewajibkan siapapun untuk mewujudkan sebuah rencana rahasia yang disusun atas dasar keinginan semata. Setiap individu adalah pribadi yang bebas. Dan semesetinya kita merasa sangat beruntung sebab dalam kebebasan itu kita dipilih untuk menjadi sesorang dalam kehidupan pribadi orang lain. Hanya saja, memang ada kenyataan dimana terkadang kehidupan yang bukan pribadi justru menempatkan seseorang dengan penghargaan dan apresiasi yang memadai ketimbang sebuah hubungan pribadi yang semestinya penuh makna tenggang rasa.

Pembatalan sefihak tetap saja melahirkan korban. Tanpa berharap dianggap sebagai pembelaan, tetapi menempatkan kepentingan orang lain sebagai “korban” tidak lebih baik dari tragedy terburuk dalam kehidupan. Anggap saja sebagai pengabaian atas diri dan segala yang terkandung dalam pemikiran maupun emosi justru ketika diri begitu yakin kalau punya cukup nilai yang pantas untuk dipertahankan sebagai seseorang yang eksis dalam kehidupan seseorang lainya. Merasa menjadi korban atau menempatkan diri sebagai korban memanglah bukan sesuatu yang menguatkan. Pilihannya tinggal membiarkan segala hal menimpa, sebagai konskwensi dari kehidupan. Sudah sepantasnya kita berdoa semoga hidup setiap manusia diberkati dengan banyak kebaikan, terhadap siapapun yang memperlakukan kita sesuai keinginan mereka.

Entah apa lagi, entah siapa lagi yang akan melukai nanti. Biar saja, tidak penting untuk dipikirkan. Toh sebenarnya hanya kita sendiri yang bisa menyakiti diri sendiri sebab tidak seorangpun yang bisa melakukanya lagi.

Cisarua 071201

Wednesday, November 21, 2007

Sembunyi

Dimanakah dimuka bumi ini tempat untuk bersembunyi, dimana tidak ada manusia dan hanya ada alam; langit dan seisinya. Benar benar sendiri ketika segala perhubungan menjadi penjajah bagi batin bimbang. Manusia menjadi wakil dari ribuan jarum yang merajam hati kesakitan satu persatu tanpa henti.

Aku ingin sembunyi, menghindari tatapan dan prasangka keji. Sembunyi dan diam tanpa kata kata membiarkan segala kehidupan berjalan dalam lindungan rasa aman tenteram, tanpa harus merasa kecewa karena manusia.

Kutemukan tempat sembunyiku, teduh rimbun dalam balutan sepi, adalah kamar tempat dimana mimpi mimpi menjadi raja atas hidupku. Tenggelam dalam ketidak sadaran dan mengembalikan fitrah pada kepasrahan. Menayuh harapan dan kecemasan yang menjadi tali ayunan sepanjang hari.

Tempat tempat yang jauh tak menjanjikan privacy, hanya jarum tajam berbentuk beda, tetap saja mengandung keperihan setiap kali nama demi nama disebutkan. Tuntutan untuk menjadi sempurna telah meletihkan semua unsur syaraf dan menyisakan lolongan tanpa suara nuin jauh di lubang rasa.

Lalu aku ingin diam. Diam berjuang memendam semua suara yang berjubal di kerongkongan, menghindar dari setiap kata yang menyerang melalui udara. Diam dan sembunyi dari manusia, hanya ada alam angan angan berbatas langit keinginan, menikmati perih siksa masalalu yang setia menjadi warna darah.

Engkau boleh bercerita tentang perjalananmu menembusi malam, menembusi gerimis dan kegembiraan, melupakan bahwa akupun punya pengharapan.

Di mimpiku tak kutemui manusia, disana tempatku menyembunyikan rasa dan raga. Disana hanya ada segerombolan iblis yang berpesta, mencabik cabik kulit tulangku sesenti demi sesenti sampai tak terasa beda antara perih dan gembira. Disana tempatku bebas mengutuki nasib diri, tanpa perlu menipu berpura menjadi lelaki.

Gempol, 071121

Saturday, November 10, 2007

Risalah Pengantin

:Embun
Kutulis kesaksian, menyerta lompatan dan potongan waktu yang lahir dan mati dengan cerita. Demi kisah yang bergulung dalam sistem penanggalan, kutancapkan kerelaan pada lelaki dan perempuan dengan segenap cinta kasih. Perempuan restu ibunda hingga akhir hayatnya. Perempuan lapang dalam duka, damai dalam suka. Perempuan pilihan, tempat anak-anak bersenda di pangkuan. Tanpa keraguan, sebagaimana anak panah yang melesat menembus bilik-bilik kesunyian semesta.

Bersama, menara mimpi terbangun, kisah-kisah dan legenda terpatri pada pintu dan jendela. Membukanya ketika fajar. beranjak ketika bayang meninggalkan cahaya. Menjalin angin yang menyelusup di antara kisi-kisi hati. Merebahkan jiwa pada gugusan malam dengan sepenuhnya sukacita. Menjadi pagar besi bagi kegundahan hati. Menjadi pengasih bagi kedukaan. Menjadi bapak dalam kekanakannya. Menjadi anak bagi keibuannya.

Engkau perempuan, yang menyulam kain menjadi baju-baju. Merenda dinding kasih keniscayaan hari ini. Menjemput bunga-bunga tumbuh semusim di taman imaji. Menyiraminya dengan titik air yang meleleh menelusuri kali-kali dari hulu sudut matamu. Mengembus ubun-ubun dengan kehangatan napas kesturi.

Dia laki-laki, yang datang padamu tanpa sepatah janji-janji. Tiada sangka takdir mengulurkan tangan di hadapan. Menarik diri menelikung nurani. Merengkuh batu-batu, melunturkan luka berabad-abad. Menghadapkan wajah-wajah pada tanah keabadian.

O, Tuhan! Izinkan mereka membelah ladang-ladang. Melahirkan keturunan dari perempuan restuMu. Mengalirkan darah yang memancar membasahi lorong-lorong persemaian.

Hanya mantra doa-doa sebagai pelipur lara. Bahkan aku menziarahimu melepas segala sesal. Pada dunia lain aku berharap, sunyi akan mendengar dengan keluasan semesta. Membelaiku dengan tangan rasa penuh luka. Menghapus air mata yang menderas, mengenangmu pada cermin masa lampau.

Tak ada yang berubah atau berganti rupa. Aku tetap manusia anak manusia sediakala. Di jantungku tak lekang prasasti tentang asal-usul sejarah pertemuan. Ada darahmu yang mengalir dalam darahku. Jangan biarkan aku jadi durhaka. Lepas bakti tinggalkan jasa. Tanpa ilmu kenakan alpa dan keangkuhan. Menyusahkanmu tiada henti. Sementara waktu semakin menjadi tua. Menjadi abu. Menjadi segala yang akan kembali pada asalnya terjadi. Mungkin menjadi arang atau tanah liat, yang menanti dengan setia, seluruh kejadian terangkai untuk dikembalikan seperti semula.

O, wahai orang tua! Perkenankan waktu menyunting anak anak terkasihmu. Akan berangkat pada ketinggian derajat. Mengayun perahu batu karang. Menebar jala mengail suka. Memupuk amarah merangkum rindu. Bawa berlari menerabas halang esok hari. Meniti harapan serambut dibelah tujuh. Lepaslah dalam bentangan tiada tara.

Lepaslah bersama jiwa-jiwa bebas penerus generasi! Wahai, pengantin! Engkau menapaki jalan yang pernah aku lewati. Dengan busur dan selusin anak panah, lepaslah engkau sebagai ksatria di medan perang. Esok hari akan kembali ulang dengan kemenangan. Sekali langkah ke depan takkan dijumpai surut sejengkal. Meski tak selamanya berarti keluasan, ia hadir bersama makna-makna.

Melempangkan jalan lebih baik daripada menimbunnya dengan batu-batu. Biarkan mengalir dalam sungai-sungai yang akan pasti ke muara. Sementara sebelumnya, ia berkelok mengikuti sifat asalnya. Aku masih bagian jwamu. Seperti siang mengisi keterbatasan waktu malam, begitu pula sebaliknya kejadian. Siapa dapat menebak perhentian rumah tangga?

Wahai, pengantin! Kutulis risalah ini sebagai mahar untuk pernikahanmu. Tiada intan atau emas permata bakal kau terima, kecuali kata-kata yang berdenging di telinga, persembahan paling berharga yang sempat kumiliki. Engkau tahu, betapa tubuhku bergetar dipenuhi rasa bimbang untuk menuliskannya. Aku mati rasa menyusun kalimat demi kalimat. Dihantui ketakutan teramat sangat, membayangkan engkau yang paripurna.

Namun, wahai pengantin. Kekuatan hati telah menyatu bersama risalah ini. Tak ada bahasa lain yang mampu kusampaikan, selain lompatan huruf-huruf yang engkau mugkin tidak tertarik untuk membaca dan mendengarnya. Karena semua telah menjelma butiran-butiran di atas gemuruh jantung.

Dan ketika senja mengusung segumpal awan-awan, aku bergerak melambai pada cakrawala. Mungkin aku melebur menjadi semburat jingga, yang meriak di kaki langit meski sekejap. Dan esok lusa, aku akan muncul kembali dalam bentuk dan rupa lain. Seperti siklus berputar berwarna-warna. Siapa mampu menghadang kehendak, selain siapa yang berhak memilikinya.


Ciracas, 071110

Friday, November 09, 2007

Selembar foto kenangan

Kuncup kuncup daun rumput menguning dikalahkan musim, dicerca oleh debu yang timbul tenggelam dalam permainan angin pancaroba. Jauh mimpi dari nyata menyasarkan pencarian pada ketiadaan demi ketiadaan, badan badan wadag yang tak berisi apa apa. Dari kosong melompat ke kosong lainnya dalam kepincangan nasib yang dipertaruhkan dengan diam.

“Aku merasa sendirian sepanjang jalan, berteman dengan kecemasan yang tak henti mencumbui kehendak diri”

Matahari selalu lahir prematur menumpas sisa embun yang terurai. Semalam tadi curah hujan mengaburkan tangis, menyisakan penindasan kenapa subuh tak datang belakangan setelah semua mimpi terlunaskan dalam tidur yang dalam. Begitu panjang jarum arloji merabai setiap permukaan perasaan, suara detaknya bagaikan genta memekakkan telinga. Di bumi ini kesendirian bisa jadi mengerikan, ketika keindahan telah kehilangan bentuk karena dipermainkan oleh keinginan dan ketidak berdayaan maya.

Remah remah di kamar tempat dulu kita tinggalkan noda di spreinyapun ikutan mati berpupur debu. Tinggal kentara sebagai kenangan yang tak lagi punya nafas hidup meski tak mati jua. Seluruh persediaan air mata telah tumpah sepanjang jalan matahari, tinggal mengering menjadi gurun raksasa tanpa nama. Sepi yang sejati tak mengenal tenggang rasa, berdiri sendiri dan tak terbagi meski hanya dengan kata kata.

Inilah adat dunia; dari ketiadaan lalu menjadi ada kemudian menjadi sesuatu dan oleh waktu ditindas menjadi udara hampa, hilang ditelan sejarah masa. Hidup menjadi sekilas sekilas, sepotong sepotong kemudian lengang tak bertuan. Prosa atau puisi menjadi catatan yang melekat dalam darah, demikian juga sakit hati.

Pikiran mengingatkan masa dimana matahari tiba tanpa selimut awan, hanya embun pagi yang setia memupuk semangat sepanjang hari. Mata bening yang cerah senyum simpul pantang menyerah seoalah mengurai sepotong demi sepotong sejarah masasilam. Waktu membangkai, menyisakan lingkaran debu dalam cerita dan angan angan.

Selembar foto kenangan menyimpan beribu cerita kehidupan, berisikan kisah kisah panjang tentang sesuatu yang selalu bermula baru. Gambar yang terbaca melambangkan kehilangan panjang setelah jarak dan cerita kehidupan menceraikan.

Ciracas dibawah hujan, 071109

Friday, October 19, 2007

Catatan Lama

Serak sumbang suara teriakkan letih jiwa malang yang sendirain nun jauh di kota asing, membangun harapan dari puing harapan lainya yang hampir tak kentara. Ternyata ia hanya boleh mengikuti irama hidup seperti apa yang telah di takdirkan tanpa ia ketahui ujung dan muaranya. Ia berbekal lugu dan semangat, mencoba mengganjal cerita hidup yang lain dari kebanyakan. Diyakininya harapan meski iri dan perasaan terbuang kerap kali memojokkanya di tempat penuh api dan dendam yang berkarat; kemiskinan.

Ia mengenal gadis menanamkan cinta suci dihatinya meski seperti memburu angin. Serentet cerita duka menggunung, kerinduan akan kampung halamannya mencatat kesendirianya yang teramat sepi dan berat. Iat tak begitu pintar mengakali hidup sebab terbentuk oleh kesahajaan dan sifat alam yang membumi fana.

Di negeri perburuan ia temukan arti hidup yang dipertahankan dengan ototnya yang lemah. Ia terbentuk menjadi seorang lelaki kecil dan tumbuh tua tanpa sempat menjadi muda. Hari hari yang tercatat hanyalah ekspresi jiwanya yang tak pernah berhenti bercakap dengan keadaaan dan keterbatasan yang nyata. Bumi aneh dan garang yang diakrabinya ternyata membawa banyak pelajaran dan medidiknya untuk tetap kokoh berdiri di kakinya sendiri yang mungil.dan tetap berpijak pada tenggang rasa yang kekal.

Cerita tentang ia yang terkucil dan sengsara, tak banyak orang mendengarnya. Sebab ia enggan memperdengarkannya kecuali menghayatinya dengan banyak tanya dan gejolak muda. Begitu banyak bangkai hari hari sepi yang pernah ia lewati, begitu bahyak episode getir dan kusam yang harus ia jalani. Tangannya melepuh oleh tiang besi pembobok bumi, dan kakinya berkapal oleh jarak yang seperti tak berujung. Sepanjang jalan ia sisir rezeki. Begitu jauh dan lengang pematang yang harus ia tempuh sendirian untuk menemukan hidup yang hilang, hidup hilang yang perlahan menjadi impian yang ia kejar diam diam.

Tanpa sadar ia menjadi bocah tua yang menciptakan dunianya sendiri seperti apa yang diingini di masa kanak kanak dulu. Ia temukan juga pelajaran berharga tentang tenggang rasa, iri, benci, kasih saying dani nilai luhur persamaan dan interaksi sesama. Iam nomanden, membuka diary yang ia simpan teramat rapi buat cerita anak cucu dan sahabat kelak…

Gang Jempiring 16 B – Denpasar Desember 1992

Tuesday, October 09, 2007

Sembilan Oktober












: Chronicles

Tiap orang yang hidup pernah dilahirkan disebuah hitungan hari dalam kerucut bulan dan tahun tentu. Bahwa segala yang hidup dihasilkan dari ketiadaan, dilahirkan melalui proses beranak pinak.

Sembilan Oktober melahirkan banyak bayi bayi kehidupan baru. Bayi bayi yang kemudian tumbuh di ruh tiap jiwa, membawa kisah hidupnya sendiri sendiri serta melakonkan perannya sendiri sendiri, masing masing. Sembilan Oktober melahirkan juga sebuah dunia temuan baru, tak bertuan dan teduh menenangkan. Dunia Tak Bertuan. Dimana kemudian dua hati yang berjauhan dipertemukan, dileburkan segala keterasingan dalam ketelanjangan nurani yang penuh. Peleburan yang melahirkan senyawa yang menghidupkan dunia tak bertuan itu dengan drama drama kehidupan penuh warna cinta cintaan. Begitulah jika dua hati bersenyawa.

Langit, udara, awan, matahari dan lumpur menjadi bernyawa. Luka yang menganga telah menemukan tabibnya. Tabib ajaib dari daratan seberang, permaisuri sang naga yang di punggungnya tersimpan cerita hitam, tentang cinta yang melukai, melumpuhkan dan menjadi beban. Dibawanya kian kemari dalam diam, memelihara iblis dalam setiap sudut pikiran. Senyawa mematikan jarak. Dua hati sebelah menyebelah, tertaut dalam tali kalbu sehingga menyatukan syaraf perasa. Dunia tak bertuanpun kemudian memiliki nyawa, pikiran dan impian. Dua hati menjelajah rimba perawan hanya berjalan tanpa tujuan, berharap menemukan serpihan demi serpihan kebahagiaan masa lalu yang terlanjur menjadi setan.

Dunia tak bertuan menjadi perlindungan, dari bengisnya hidup penuh kepura puraan. Dua hati dua cuilan puzzle, saling menemukan sisi dan bersinergi. Bahasa hanya dengan hati, sebab logika mengikut atas kehendak sang raja. Hatilah sang raja itu, yang juga sahabat sang logika. Sungguh dua kubu yang gemar saling menentang, memprotes bahkan terkadang berperang. Entah terbuat dari apa hati mereka, sehingga menjadi malaikat yang terluka. Luka menganga yang akan menjadi codetan berisi cerita melulu tentang kekalahan. Ya, kekalahan setelah memutuskan diri menjadi pahlawan yang kesiangan. Penjelajahan melahirkan mendung dan hujan tangis setiap kali kereta diberangkatkan dari stasiun tua yang itu itu juga. Pun terkadang menuntun menjadi musafir, menyusur jejak sang Musa; membelah laut membunuh jarak.

Sembilan Oktober kini telah berabad abad lewat. Pohon teduhan yang tertanam telah rindang mengakar kedasar bumi. Sepotong demi sepotong kisah telah terbagi, dalam setiap detik yang terlewati. Jauh menjelajah di rimba perawan dunia tak bertuan, tak juga lelah kaki mengangkah. Menjelma mereka, menjadi matahari dan embun pagi. Yang satu menghidupkan, dan yang satunya memberi kehidupan. Hingga saatnya logika kembali memberontak, menginginkan diri menjadi raja. Ada saatnya matahari turun dan embun yang bekerja, ada saatnya malam tiba seperti halnya pagi yang datang tiba tiba. Waktu menjadi penguasa, dimana memakasa tunduk atas kehendak memberi penghargaan yang layak bagi bumi manusia. Semoga amputasi tak akan menyebabkan mati, hanya jasad yang dipisahkan oleh tajamnya pisau peradaban. Adat istiadat rekaan manusia dengan maksud memberi pagar bagi emosi yang tak memiliki perintang. Menyerah pada logika yang gagah bermahkota kini, tunduk takluk melepas raga. Waktunya mengemas kenangan, sambil tersenyum tak dipaksakan. Dendam dan sakit hati tak dikenal disini. Keajaiban demi keajaiban tercatat jadi pelajaran, tersimpan rapi di almari kenangan. Menjadi pijar setiap kali gelap menyergap ingatan, harta berharga yang tak terwariskan.

Sembilan Oktober menjadi saksi, kisah cinta sepanjang abad antara embun dan matahari.


Gempol, 071009

Tuesday, October 02, 2007

Republik Pengemis

Ceritera dari Jakarta – part VI

Lebaran segera datang. Perayaan nasional segera digelar. Ritualnya mulai dari nuansa islami kental selama sebulan penuh bernama Ramadhan, diikuti berita tentang transportasi pulang mudik, sembako, dan jangan lupa; THR. Setiap orang mempersiapkan diri tidak perduli suku, agama, pekerjaan, maupun segala jenis perbedaanya, yang penting manusia. Semua seperti melipat gandakan kuantitas pendapatan pada waktu yang bersamaan secara nasional. Akibatnya bujet belanja membengkak, dan berefek pada pemenuhan kebutuhan yang meledak. Tiap tiap rumah tangga mulai menghitung angka potensial pengeluaran serta menaksir naksir berapa pendapatan setelah ditambah bonus atau THR.

THR diberikan sebagai bonus untuk membantu menunjang pengeluaran yang berlipat ganda itu. Dan mau tidak mau sang majikan rela untuk mengalokasikan pengeluaran ekstra yang pasti besar, dua kali lipat dari anggaran normal. Menjelang lebaran THR menjadi dewa paling didambakan oleh umat pekerja, umat pengharap.

Kemudian makna tunjangan itu menjadi bias, melebar kesana kemari setelah ternyata di alam kenyataan hidup manusia ide Tunjangan Hari Raya itu berubah makna menjadi kesempatan mengemis dengan cara yang elegan. Dari orang berseragam hingga yang mengaku sebagai anu, ini dan itu, institusi anu, dinas ini, kesatuan itu, atau apapun yang pantas untuk ditonjolkan sebagai nama untuk meminta THR! Pola pengemisan yang lebih memalukan dari pengemis konvensional yang biasa menampilkan mimik menghiba hiba agar dikasihani. Untuk pengemis intelektual, justru kekuatan dan keperkasaan anu ini itu yang dijadikan pelindung rasa malu. Sebuah pemerasan musiman dengan mekanisme menyeluruh yang sangat rapi dan “dimaklumi”. Setahun sekali kita menjadi pengemis berjamaah. Stempel berbunyi ‘pelit’ dan ‘dermawan’ segera beredar dimasyarakat, dalam alam fikiran yang tidak bisa tampak oleh mata manusia saking tidak nyatanya. Harum semerbak ‘uang ketupat’ bertebaran di angkasa raya, menyebar sampai ke pelosok negeri. Aromanya membuat banyak orang mabuk, sehingga sengaja menjebakkan diri dalam praktek korupsi, pemerasan maupun sekali lagi pengemisan musiman.

Konsep mengemis adalah meminta minta kesukarelaan orang lain untuk memberi materi. Menciptakan image diri bahwa ia adalah orang yang layak untuk dikasihani. Penampilan memelas serta eksploitasi ketidak sempurnaan fisik kerap menjadi jurus jitu penakluk belas kasihan. Lalu berkembang lagi, anak kecil menjadi komoditi handal untuk bisnis belas kasihan ini. Paradigma mengemis juga berkembang mengikuti zaman. Majunya peradaban ikut pula merubah pola mengemis zaman sekarang yaitu dengan unsur paksaan sekedarnya. Praktek pengemisan ini menggunakan teori teori intimidatif mutahir, untuk menciptakan terror kecil kepada calon dermawan. Serang anak kecil di perempatan Pasar Rebo dengan membawa botol bekas Yakult berisi sejumput beras menyanyi tidak jelas sambil memukul mukulkan si botol plastic bekas ke sisi pahanya, seolah olah menjadi musik pengiring nyanyiannya. Si kecil adalah hasil eksperimen penggabungan unsur mengemis dan mengamen, unsur meminta minta dan menghibur orang. Bisa dijamin bahwa tidak ada seorangpun yang terhibur dengan caranya mengmen dan menampilkan diri.

Tradisi meminta minta otomatis juga melahirkan dermawan dermawan musiman. Terlepas dari perkara terpaksa atau sukarela, seorang pengemis juga pada gilirannya akan menjadi dermawan pada gelembung dunia berikutnya. Bahkan si dermawan yang mengabulkan pintanyapun sebenarnya adalah pengemis juga pada level dan gayanya tersendiri. Jadi membingungkan, apakah momen lebaran sebenarnya momen menjadi dermawan atau pengemis. Atas nama kemuliaan hidup, tentu kita akan menyebutnya sebagai momen menjadi dermawan saja. Lebih aman, tidak ada yang memprotes bahkan hati kecil kita sendiri sekalipun. Ini adalah momen untuk menjadikan diri kita sinterklas musiman yang baik hati.

Selamat lebaran, Jakarta,
Selamat lebaran, Indonesia…!

Gempol, 070902

Saturday, September 29, 2007

Pulang

“Ternyata semua orang yang kita kenal punya rumah. Ada waktunya mereka pulang dan tenggelam dalam kehangatannya”

Jika hati yang mengembara, kemana pula hendak kan pulang? Satu hari menjelang subuh. Tidur digubal mimpi panjang, tentang romantisme, tentang tebalnya rasa mencinta, tentang asmara yang begitu kental memberi makna. Semua rasa yang pernah nyata dan terlewati dulu, hadir kembali di mimpi itu. Sungguh mimpi yang panjang dan menyenangkan mengajak kembali menjelajahi perasaan. Dan ketika pagi hampir menjelang, sebuah mimpi datangnya perpisahan melahirkan tangis tanpa sadar. Tangis yang benar benar tangisan dengan air mata dan sesenggukan, menyisakan kesedihan sepanjang harinya kemudian. Kesedihan sungguhan.

Ketika matahari membangunkan tidur, air mata masih menggenang, berita tertebarkan lewat setiap butir embun yang dicumbui hangat matahari. Biasanya akan hadirkan senyum bahagia, ketika sebelah hati nun jauh dibalik bebukitan membalas sapa dengan senyum di angan angan. Tapi pagi itu sepi bisu, udara mati beku. Tidak ada jawaban maupun kicau burung pemura mura alaminya alam. Sayang mata tak tembus pandang, sayang telinga tak sanggup memanjang. Hanya rasa menjadi andalan, hanya keyakinan percaya menjadikan panutan bahwa sebelah hati hanya sebentar tenggelam dalam riuh permainan dunia. Hukum materi selalu saja bisa membuat hati berkompromi, menumpas prasangka dan mengusung doa baik baik.

Hingga kebenaran menyuguhkan kejutan, maka padamlah matahari yang menyinarkan lelangit siang. Semestinya memang waktunya senja yang datang perkasa mengatur kejadian, memadaman matahari dan menenggelamkan harapan sehari penuh. Tiap tiap orang pulang, kerena tiap tiap orang punya rumah, atau setidaknya tempat hunian. Dan barisan harap pulang ke palung penjara, tempat dimana kesemestian terpaku pada batu, diam tak punya pilihan. Bahkan burung burung yang menjelajah angkasapun pada waktunya akan pulang kembali ke sarang yang pernah diangun dengan semangat juga tetesan ludah bahkan darah, kadang air mata. Rumah menjadi tempat segala sesuatu bermuara, kebahagiaan bersarang dan mimpi mimpi diberangkatkan.

Hingar bingar keramaian diseberang lautan, dan meriah pesta penyempurna kebahagiaan disuguhkan sebagai catatan, bahwa setiap orang memang punya rumah sendiri sendiri. demikian pula hati, masing masing telah punya alamatnya sendiri sendiri. Terang lampu lampu penghias ruangan dan atap rumah para mempelai malam, mengusung sunyi dibalik bukit yang hanya berisi batu cadas dan kelaparan.

Menyakiskan segala sesuatu pulang, seperti menyangsikan akan datangnya rasa yang selama ini dipercaya. Menghablur menjadi prasasti milik masa lalu belaka, tak tersentuh oleh mimpi maupun fantasi masa kini. Satu persatu daun mahoni di tepi jalan berguguran, menyambut setiap pejalan yang pulang melintasi petang. Memang tidak ada yang pantas disebut sebagai kejutan bagi hidup yang hanya melintasi garis dari titik kelahiran menuju finish di titik kematian. Kecuali kami yang memang tidak berhunian..

Dan matahari padam…padam karena memang waktunya senja datang. Waktunya kita pulang, kembali ke lubang tempat persembunyian...sebagian pulang ke kebahagiaan hidup, melupakan mereka yang sekarat ditikam kesedihan, atau terkekeh senang dengan perhiasan bertaburan; bukti sempurnanya kepalsuan!

Ditulis dengan air mata pada Sabtu sore, 070929

Tuesday, September 18, 2007

Laten

Topan dendam tiba tiba datang, mengoyak kebisuan yang tercipta sebagai perlindungan selama ini. Lima bulan yang tenang, setelah luka tenggelam dalam kabut yang mengkamuflasekan sesal. Prasangka menyeret diri ke tubir jurang, dan satu pemicu saja menghempaskan diri terpelanting, jatuh ke lubang jurang, gelap tanpa dasar.

Tiba tiba iblis mengelilingi dengan seringai dan tatapan mata merah semerah api membara. Masa lalu telah menarik dan mengikat ingatan menjadi kejadian yang sebenarnya. Titik didih yang selama ini diabaikan telah menjelma menjadi nafas dan butiran darah, membentur dinding, membentur lantai, membentur langit langit dan membentur jiwa. Kerdil seketika, lemah lunglai tak berdaya. Ribuan tali diikatkan pada setiap otot yang bekerja dan yang mati. Lumpuh diri bagaikan hari hari gelap berbadai kembali.

Ternyata luka hati tidak pernah selamanya sembuh. Selalu saja ada pemicu untuk bisa kambuh. Ketika sakit yang dipura purai dan ditutupi dengan kulit tipis penipu pandang tertusuk oleh pedang berkarat milik masalalu yang ditakutkan, sakitnya sungguh seribu kali sakit yang pertama datang. Dibawah permukaan kulit tipis yang nampak mengering pertanda kebaikan, nanah dan darah terus bergumul memperebutkan kuasa atas segumpal hati yang compang camping disana sini.

Tangisanpun tak mengentikan sesal yang meraja, demikian juga makian tak akan bisa meredam perih yang meradang. Ingatan dikelabui sana sini hanya dengan jawaban yang sama setiap kali gundah melahirkan tanya. Isi kepala yang pecah terbawa menyusur jalanan di pagi buta, berharap menemukan pintu batu dimana didalamnya tersedia ruang tempat bagi diri untuk bersembunyi dari dunia, bersembunyi dari diri sendiri. Air mata yang meleleh enggan berhenti menadai batin yang belah oleh penghianatan. Diam menjadi pilihan, sebagai symbol pelindung bagi sesiapapun yang memiliki perkataan. Diam tidak akan melukai siapapun, dan diam hanya memutar mutar potongan kaca disekitar dada sendiri saja.

Betapa rapuhnya hati manusia, ketika kelam masalalu datang menyerbu, meruntuhkan setiap pilar penyangga sementara dari keretakan oleh datangnya prahara. Sakit hati sebenarnya tidak pernah mati, ia ada mengintip setiap celah untuk saatnya mengeksploitasi diri. Gunung Berapi, demikian seseorang pernah menamai dahulu. Indah dari kejauhan, sensasional untuk didaki dan menyimpan kawah penghancur setiap aspek alam, mematikan yang hidup dan menhancurkan yang mati. Gunung berapi yang berkawah hanya didalam angan angan, menjadi property ekslusif dari si pengangan sendiri, tidak terbagi dengan siapapun meski seseorang akan selalu mengirimkan ekspresi keprihatinan dalam konsep empati.

Kiranya waktu bisa menyembuhkan luka, perlahan dan sangat berkala. Rupanya sekali kambuh, segala jeda rasa sakit menghablur menjadi satu jelujur kesakitan yang panjang, keperihan yang sungguh kan mengabadi. Luka telah dipersembahkan kepada hati yang rapuh, maka ia akan menjadi warna bagi si rapuh, sepintar apapun sanggup tertutupi hanya dengan sikap maupun kepura puraan kuat. Pembusukan hanya dirasakan oleh mereka yang mengalami, tak terbagi. Satu satunya kehendak adalah menemukan sebuah hati untuk teduhan, sekedar menyandarkan kepala yang bergetar tanpa kendali, kehilangan segala yang dikumpulkan diam diam; kekuatan.

(Dimana engkau ketika pintumu kuketuk pagi buta tadi?
Lihatlah…untuk kesekian kali diri tebunuh oleh tajamnya masa lalu…)


Sepanjang jalan aspal Jakarta, pada weekend 070916

Monday, September 10, 2007

Belasungkawa

(Sebuah ungkapan duka, kepada semua yang menyimpan kenangan atas Susiawan Wijaya - 1 Maret 1975 – 2 September 2007 - )

Dan ketika duka datang sekuat cinta yang terhalang, lepaskan semua pikiran ke udara, ke langit tanpa bunga. Memang disanalah tempatnya pikiran bersinggasana, berpermaisuri duka dan sukacita. Hidup penuhlah kejutan, dan tidak ada yang terlalu cepat datang kecuali kita menyesali perpisahan yang tiba tiba. Selebihnya, hanyalah tentang bagaimana menjalani hidup, tentang bagaimana kedewasaan diukur dari cara menyikapi prahara yang datang seketika.

Sewaktu tubuh melumpuh, syaraf berhenti bekerja dan yang tersisa hanya kelenjar air mata, menulislah dengan air mata, tentang kepedihan dalam rangkaian kata yang indah. Akan menjadi monumen pengingat masa depan, dimana kekuatan dan pesona hidup selalu terpupuk setiap kali kita menoleh mengenangnya. Selamat mencicipi satu dari miliaran rasa hidup, kejutan yang tidak menyenangkan yang datang seolah hanya gurauan. Batas antara harapan dan kenyataan cuma setebal selaput mata, sedangkan tidak ada cara lain kecuali menerimannya.

Mata yang sembab perlambang dari hati yang tersayat luka oleh goresan duka. Kenyataan telah mematahkan semua bentuk keyakinan dan ketidak percayaan. Dan dengan cara apapun duka dipadamkan, tetap akan menggiring pengakuan kepada kejujuran terakhir bahwa kenyataan pahit adalah harta milik hidup manusia dan kesakitan yang diakibatkan olehnya hanya bisa disembuhkan oleh sang waktu. Janganlah dilawan sedih yang menghimpit, sebab akan sia sia belaka jika terus diingkari. Biarkan tangis pecah diudara, mengalirlah bersama nada protes yang kita tahu akan percuma.

Kelopak mata yang menggenang akan dikeringkan oleh waktu, dan hati yang berlubang akan tertutup pula oleh masa dan peristiwa kehidupan. Matahari yang datang setiap pagi tanpa terlambat sedetikpun akan setia menjadi teman, penumbuh segala yang mati dalam ingatan dan penguak segala yang tersembunyi di kegelapan. Dan hidup tetaplah menjadi sumber ilmu pelajaran tertinggi, sedangkan mereka yang tinggal dalam hati akan tetap hidup mengabadi.

Doa doa dihamburkan ke udara, lewat hati dan juga rasa. Tangisan kehilangan dan rintihan kesedihan hanya ekspresi mengasihani diri karena harus menerima apa yang tidak diharapkan untuk diterima. Kepala kepala tertunduk mengiringi kepergian sang pengisi hati, kepergian untuk menjelajah ke kehidupan yang jauh lebih panjang dari sekarang. Karangan bunga ungkapkan belasungkawa, menghiasi kereta yang mengantar sang pahlawan pulang ke rumah sang Pencipta. Langit yang hitam, mendung kelam dan hati yang bungkam akan berganti oleh datangnya matahari yang setia menghangatkan.

Dia yang pergi, akan tetap tinggal dan hidup di palung hati, menempati ruang istimewa laksana raja maya bagi permaisuri, menunggu sang penduka tersenyum bangga mengenang hidup atasnya…


Gempol, 070908

Wednesday, September 05, 2007

Teman

Seorang teman adalah malaikat yang tidak bersayap. Seorang teman memperlakukan kita dengan hormat, menempatkan tenggang rasa sebagai landasan sikap berinteraksi. Jika sampai terlontar kata makian dan mulai menyelipkan beling disetiap perkataan, maka makna teman semestinya dikaji ulang.

Memang semestinya hubungan tidak harus terpatri pada perbedaan gender. Tetapi memang kita hidup ditengah banyak orang dengan pola pemikiran dan latar belakang yang beda, yang mau tidak mau menuntut kita kadang kadang memaklumi orang lain dengan tingkat pengeertian dan cara bersikap mereka sendiri sendiri. Tidak semua hubungan dengan lain jenis akan sama dengan satu pola tertentu saja. Tetapi prinsip hubungan yang sehat adalah sama, menjunjung tinggi kesopanan, hormat dan tenggang rasa, merelakan diri terlibat dalam kehiudupan orang lain. Soal hubungan yang berkembang lebih dalam dan akrab itu urusan alam dan waktu saja, selama berjalan sesuai dengan hati maka semestinya terjalani dengan totalitas.

Mengenal seorang baru dan kemudian mengarahkan pembicaraan ke soal soal yang sangat pribadi sungguh sesuatu yang tidak nyaman. Komunikasi yang sopan, yang mengedepankan rasa hormat dan menunjukkan penghargaan terhadap teman baru adalah lebih bermutu ketimbang chit chat yang mengarah ke seputar kebutuhan kejenisan. Mengenal seseorang adalah anugerah, apalagi boleh terlibat secara pribadi dengan invidu orang lain. Setiap individu itu unik, dan kita bisa belajar dari pengalaman orang lain, belajar dari cara orang lain menyikapi atau menghadapi sesuatu dalam hidupnya. Dari cara pandang orang lain kita juga bisa belajar memandang kehidupan dengan cara lain. Tidak selamanya hubungan lelaki perempuan itu berakhir di tempat tidur, meskipun kemungkinan ke arah sanapun terbuka tergantung bagaimana hati memintanya.

Dan selama perkenalan itu hal yang selalu membuat pertemanan merasa bermakna adalah perhatian dan kepedulian yang datang dari hati yang tulus. Ketulusan untuk peduli dan mengetahui apa yang terjadi dengan hidup seorang teman sungguh merupakan sesuatu yang amat berharga. Sungguh akan sangat memalukan jika seorang teman baru mendapat predikat norak, kurang ajar karena sikap dan perkataanya yang vulgar. Bagaimanapun pertengkaran harus dihindari sebisa mungkin. Pertengkaran itu hanya punya satu tujuan, yaitu menyakiti dan menghancurkan, sebuah kondisi kontra produktif yang sengaja diciptakan demi kepuasan ego semata dan samasekali bertentangan dengan prinsip prinsip pertemanan.

Berteman dengan orang yang beda jenis, memang terkadang terhalang pandangan umum yang menyamaratakan bahwa ujungnya adalah bed relationship. Huh, dangkal itu, itu picik.. Pertemanan yang sehat bisa menjadi ajang curahan hati soal apa saja, dari pekerjaan sampai urusan rumah tangga. Dekat jarak hati, meskipun kedekatan itu tidak otomatis menimbulkan keinginan untuk ke hubungan badan secara fisik. Bukan itu, karena hubungan timbal balik secara batiniah itu jauh lebih bermutu dan bermakna ketimbang kedekatan fisik semata. Sebutan ‘sahabat hati’ memang benar adanya, bahwa memang sahabat hati adalah teman; malaikat tanpa sayap. Saling berusaha selalu ada dalam raihan ketika hati sedang membutuhkan telinga untuk mendengarkan meskipun hanya lewat perangkat tehnologi.

(malaikat itu ada, tetapi kadang kadang ketika mereka tidak punya sayap kita menyebutnya teman – sh)


Ciracas 070905

Tuesday, September 04, 2007

Filsafat Gagu

(Sebuah beban tambahan bagi yang sedang patah hati)

Cinta memang membutakan logika, mematikan akal sehat. Ketika itu terjadi, kepala ke dua, telinga ke dua dan pemikiran kedua dari luar lingkaran bumi pemikiran sendiri dibutuhkan untuk membangkitkan pengertian baru. Ketika kita terpuruk dan hancur, maka kita juga kehilangan kekuatan untuk berfikir objektif dan factual. Akibatnya adalah negativisme ke segala sendi kehidupan. Bahakan bagi orang yang sensitive, ketika terpuruk, mendengarkan lagu saja dianggap sebagai menyindir dan menyakitkan hati.
Pengalaman mengajarkan bahwa kekecewaan yang berlebih lahir dari pengharapan yang berlebih pula. Kita sering kali kecewa dan sedih karena harapan kita tidak terwujud dalam kenyataan. Kekecewaan itu akhirnya melemahkan pemikiran dan menghasilkan akumulasi penyesalan dan bahkan mempersalahkan diri sendiri. Semuanya sama saja, adalah bentuk batuan dari masa lalu yang tidak bisa kita rubah menjadi angin atau udara. Prinsipnya begini, bahwa apa yang sudah terjadi tidak bisa dirubah lagi. Semakin keras kita mengingkarinya, semakin berat pula beban yang akan terasa. Yang terbaik adalah kompromi. Kompromi adalah menerima kenyataan dengan dada lapang dan melanjutkan hidup tanpa harus menjadikan masa lalu sebagai beban. Nanti suatu saat waktu juga yang akan menunjukkan bahwa memang Tuhan telah menentukan yang terbaik. Jika akhirnya cerita cinta kandas dan kita sulit bisa menerimanya, maka suara protes akan terus ada didalam dada, dan semakin hari suara protes itu akan menjadi pemberontakan yang merusakkan hidup. Diri sendiri yang akan rugi, tidak ada orang lain lagi yang bisa merasakan kerugian itu.

Tidak ada yang kekal di dalam hidup. Demikian pula dengan cinta dan rasa. Tidak akan ada yang kekal. Semua sementara, dan pada saatnya nanti akan bergeser menjadi makna baru. Orang orang lajang percaya bahwa perkawinan mengikat dan mengabadikan cinta, tetapi perkawinan adalah media untuk mengikat cinta dan merubahnya menjadi bentuk tanggung jawab dan kewajiban. Makna cinta yang tadinya modal awal akan bergeser menjadi sebuah nilai investasi sosial yang juga berpengaruh terhadap perilaku si pemilik rumahtangga tersebut. Disekitar kita terlalu banyak orang orang yang mengalami ketidak bahagiaan dari hasil hubungan cinta yang berubah bentuk jadi rumah tangga. Bukan maksud menakut nakuti, hanya ingin kita sedikit realistis bahwa kita tidak hidup di Timbuktu, negeri dongeng, tetapi di kehidupan real yang keras dan penuh intrik. Dan yang pasti hidup adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita. Menyia nyiakannya dalam penyesalan dan keterpurukan hanya akan menghasilkan sesal kelak dikemudian hari nanti.

Kadang kala hati jatuh terjebak kedalam lubang dalam yang membingungkan. Itulah cinta, yang mengendalikan kita pada masa tertentu. Mengendalikan kita dengan semena mena sementara kita dibuat tidak berdaya. Hanya saja, jangan lupa syarat utama cinta yang membahagiakan adalah bahwa harus ada dua fihak yang sepakat dan sepaham dengan bentuk hubungan. Jika hanya satu orang yang mengucurkan rasa simpati atau kasih, maka namanya menjadi pemujaan. Nah, apakah kita rela memuja seseorang yang tidak peduli dengan apa yang kita rasa?

Jika terus menyesali keadaan seperti itu, sama saja kita mengumpulkan keburukan demi keburukan yang kita dapat dalam hidup, yang nantinya bisa menyeret kita menjadi orang yang tidak pintar bersyukur. Apa yang terjadi memang harus terjadi sebagai rantai peristiwa kehidupan, demikian juga apa yang terjadi sebelum sebelumnya. Kalau hanya hal hal jelek yang kita inventarisir, nantinya malah akan membuat langkah kita tertancap di batu karang, tidak bergerak maju. Dan itu sangat merugikan.

Disekeliling kita hidup melaju kencang. Kita bisa saja mengimbangi lajunya, atau tertinggal jauh dan menjadi asing dengan diri kita sendiri. Optimisme, kebahagiaan hanya datang dari diri sendiri, sebab kekecewaan maupun kesedihan adalah buah fikiran kita sendiri. Kompromikan hati, terima semua sebagai kejadian yang harus diterima. Jangan menyalahkan dan menambahi beban dengan mengharap teralalu banyak dari apapun, tetapi syukuri dan terima apapun yang kita dapatkan. Percayalah, sekali kita sanggup mengangkat dagu dan memandang lurus ke depan, meninggalkan kemuraman sebagai catatan hitam masa lalu, maka kita akan sadar bahwa hikmah dari peristiwa buruk yang kita alami justru membuat kita manjadi pribadi yang matang, kuat dan dewasa.

Melupakan setiap detail yang berhubungan dengan pengalaman emosional kita memang mustahil selama hayat masih di kandung badan. Maka tidak dianjurkan untuk melupakan semua. Tidak gampang dan tidak mungkin untuk dilakukan. Semakin keras kita berusaha melupakan, maka semakin erat dan berat kenyataan pahit yang kita rasakan. Jangan dilawan, rasai saja semua dan jadikan itu sebagai imunisasi kekebalan terhadap rasa sakit, rasa sedih dan kecewa. Akan sia sia melawan atau mengingkarinya, karena semuanya ada didalam jalinan ruh, otot, darah, otak, daging dan tulang. Semuanya ada didalam diri kita sendiri, maka ketika kita memutuskan melawan, kita akan melawan diri sendiri, seperti perang tangan kiri melawan tangan kanan. Dan jika seseorang telah begitu mengecewakan kita, membuat kita merasa kecil dan tertinggal atau kalah, hanya dengan tidak memberikan beban pengharapan maupun keinginan terhadap hidupnya, berarti kita sudah mengalahkan musuh terbesar dalam diri kita sendiri. Suatu saat kelak akan datang seseorang yang baik meskipun tidak sesempurna. Orang yang akan dengan rela melibatkan hati dan dirinya dalam kehidupan. Jangan dicari dan jangan ditunggu, jalani hidup dengan datar lewati semua dan ambil hikmah dari setiap intisari peristiwa. Nanti tanpa sadar, orang yang kita idamkan akan berada disana, didalam hati. Ia yang akan menghangatkan kebekuan, akan menerangi gelapmu. Tetap yakini itu, bahwa Tuhan bekerja dengan cara misterius dan tanpa cacat.

Setiap hari disekitar kita, masih banyak sekali orang yang lebih menderita dari kita, dan banyak diantara mereka menjalani hidup mereka dengan tenang. Kekaguman patut diberikan bagi orang orang seperti mereka, yang mengabdikan setiap momen menjadi sangat berharga. Be tough, hidup adalah anugerah terbesar yang diberikanNya cuma cuma. Jangan sia siakan, jangan disesalkan. Jalani saja lewati saja, maka semua akan muncul menjadi makna; bahwa hidup memang sangatlah berharga.

Ciracas, 070904

Tuesday, August 28, 2007

Bediding

All of sudden I feel so lonely…
Tatapan mata yang terakhir membekas dalam ke selaput hati, sampai menghilangkan jeda seratus tahun perpisahan ketika kita harus terseret oleh arus kehidupan masing masing. Mata itu mengingatkan betapa pernah kita begitu bahagia dulu. Kesadaran mematikan bebunyian dalam rasa, menyadarkan diri betapa sepinya hati…

Getir pengalaman mengajarkan untuk tidak menyesali dan apalagi mengutuki masalalu, sebab akan percuma saja hasilnya. Masa lalu itu hanya batu fosil bekas kehidupan dan masa depan adalah misteri permainan teka teki nasib. Tetapi tatapan mata dan senyummu meruntuhkan kokoh keyakinan itu. Ternyata kita telah berjalan menjauh untuk waktu yang sangat lama dari tempat dimana hati kita pertama bertemu, tempat dimana mata kita biasa bertatapan. Tempat dimana deburan hati seperti mempermainkan setiap cc darah yang terpompa liar setiap kali pertemuan.

Terlalu banyak kosa kata ‘if only’ berjubal di dalam kepala, menyembul tak beraturan menjadi ratapan terhadap ketidak bahagiaan dari sebelah badan. Ketiadaan yang datang justru dari cara yang kita pilih dan membuat kita tak lagi bersama dulu. Kesadaran selalu datang terlambat bersama penyesalan, betapa indah kehangatan yang tercipta dahulu, betapa jauh jarak telah kita tempuhi sepanjang jalan kita masing masing.

Ketika angin dingin yang kering membekukan tulang, sinar rembulan menyembunyikan debu dari pelataran kesunyian yang merajai hati. Menghadirkan keindahan atas kenangan masasilam; masa kanak kanak. Dulu kita sering membicarakan hal yang sama, tempat yang sama di awang awang sana. Masih ada rumah kayu dengan ladang di pekarangannya, dengan huma dibawah teduh pokok mangganya. Semua jadi gersang dengan ilalang disana sini. Rayap usia pun siap merubuhkan tiang tiangnya. Dan kebun strawberry hampir musnah dilindas musim, tinggal akar belukar tanpa dedaunan. Pemiliknya telah pergi lama, entah kapan kembali, atau mungkin hanya pemimpi yang menunggu ragu di sana

Renungan melahirkan kesadaran, barangkali memang hanya perbedaan harta diri sekarang. Hal hal yang dulu terlihat bersama tidak tampak lagi sebab kita ada di alam fikiran dan dua dunia yang berbeda. Angan akan terus menari dengan rasa sendiri. Dan jikapun indah tidak akan pernah kembali, tetaplah sama saja, kenangan tetap hidup dan menjadi bunga bagi langit hati disana…di tempat paling tersembunyi di muka bumi…

(Dan aku tinggal punya kenangan atasnya. Ya, aku sendiri, bukan untukmu karena engkau jauh terbang tinggi diantara sela warna pelangi. Aku tidak, aku tetap di bumiku, dengan debu dan matahariku …)

Ciracas, 070828

Amarah

Siang. Matahari yang membakar bumi. Api yang maya menyambar kepala, menghanguskan segala pencapaian dan cita cita dalam bentuk amarah terpenjara yang sangat diam. Wajah menjadi panas, kata kata berjubal disela gigi. Seluruhnya kata kata makian atas kekecewaan terhadap diri sendiri. Seolah ingin menyembur keluar mewakili kemurkaan yang merajalela.

Semua orang pergi menjauh, pergi tertawa membawa suka citanya. Sebuah pesan terkirim bagaikan timpukan seember air cabai kemuka dan kepala. Menggeledah simpanan luka membiru yang selama ini tersembunyi rapi, pura pura mati. Tempat ini siang ini terbakar hangus jadi neraka, menyisakan abu dan jelaga, debu dan murka.
“Aku kesakitan...” bisik seonggok hati yang melelehkan nanah diam diam.

Dan segerombolan iblis menyeringai berkeliling, dengan segala hal yang tak pantas untuk diucapkan bahkan untuk diperlihatkan. Belatung dan beling dari masalalu menyembul menganiaya batin, membutakan matahari dan mematikan jalan fikiran. Sekeping demi sekeping pilar kemunduran yang pernah terpatahkan hanya dengan kompromi perlahan mengumpul menjadi kekuatan baru yang mengerikan. Menawarkan kesakitan yang tak terobati hanya dengan keikhlasan hati.

Selamanya kekecewaan adalah buah dari harapan yang berlebihan, memang. Dan selamanya kekecewaan melemahkan syaraf logika, melumpuhkan barisan kata kata. Semestinya hari lekas usai dan berganti sunyi, tetapi matahari yang tiada pernah akan terlambat mengabdi hanya melata mengikuti jalur yang selama jutaan tahun dikenalnya. Hujan tak akan sanggup kita hentikan, dan kemarahan hanya satu dari sekian banyak ilustrasi emosi sebagai pertanda hidup memang sedang terjadi. Ya, kemarahan sama halnya dengan sukacita dan kesedihan.

Dan tersadar tiba tiba, dendam tetap hidup dan ada didalam jiwa, terbawa sampai kan mati kelak…

Keparat kau iblisku!!

Ciracas, 070828

Tuesday, August 21, 2007

Kampung Kolongtol

(Ceritera dari Jakarta V)

7 Agustus lalu lebih dari 200 ‘rumah’ ‘milik’ sekitar 6.000 kepala keluarga yang dihuni sekitar 14.000 nyawa manusia terbakar ludes di ruas sepanjang 13 kilometer kolong tol Wiyoto Wiyono atau gampangnya tol Jembatan Tiga interchange Pluit. Sepanjang kolong jalan tol itu memang telah disulap jadi kampung kumuh berdasarkan ijin dari Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia tahun 2002 lalu, meskipun ijin tersebut konon sudah dicabut pada tahun 2006.

Kebakaran itu menyisakan selain abu dan arang secara harfiah juga menyuguhkan persoalan sosial yang teramat pelik bagi pemerintah kecamatan Pluit. Dari total sebanyak itu warga, hanya 24% yang memiliki KTP dan selebihnya illegal lias penduduk liar. Masih ada sisa 76% dari warga kampung Kolongtol yang akan menghadapi ‘deportasi’ ke kampung halamannya masing masing meskipun jika dilihat dari adat kebiasaan kota Jakarta, mereka yang semestinya pulang kampung itu hanya akan pindah ke satu lahan kosong ke lahan nanggur lainya. Begitu dan seterusnya.

Tidak heran kalau angka dari jumlah manusia yang tinggal di kolong tol Jembatan Tiga mencengangkan siapapun yang tidak pernah memperhatikannya, karena dari hari ke minggu, kemudian ke bulan dan tahun, mereka beranak pinak dan berkembang biak di tempat itu atas ‘restu’ dari abdi negara yang semestinya mengedepankan aturan dan kepentingan Jakarta secara luas. Upeti memberikan akses bagi kehidupan layaknya rumah normal dengan tata cara maupun budaya yang dibuat sedemikian rupa legal. Pola hidup konsumtif Jakarta tak urung memberi dampak langsung terhadap keberadaan para penghuni kolong tol.

Jakarta memang semrawut, dan mental Jakarta juga yang membuat kesemrawutan itu bisa menjadi lahan rezeki bagi sebagian orang. Apalagi jika sebagian orang oportunis tersebut memiliki seragam yang menunjukkan kepemilikan atas kewenangan mengatur dan menjaga, maka soal tanggung jawab tugas bisa dengan gampang saja digadaikan di Jakarta ini untuk tujuan pengkayaan pribadi. Belum sampai ke level kaya barangkali, sekedar pemenuhan dari keinginan sebagai dampak langsung dari budaya konsumtif Jakarta yang mahal. Tumpang tindih pungli dan pungutan ditengah kesemrawutan membuat lahan kolong tol menjadi ajang pendpatan yang menggiurkan bagi banyak fihak, termasuk Satpol PP, Kampraswil, maupun BPN.

Sekarang nasi sudah menjadi bubur, kolongtol tumbuh subur menjadi kampung bernama kampung Kolongtol. Daerah daerah seperti Pluit, Penjaringan, Warakas, Tanjung Priok dan banyak lagi lainnya seperti invisible bagi mereka yang berkewajiban menjalankan pengelolaan sistim tata kota, atau lebih parah lagi justru dijadikan bahan obyekan penghasilan tambahan. Sebuah ‘kemajuan’ yang sebenarnya sangat mudah diprediksi untuk bisa dicarikan solusinya sejak awal apabila pegawai dan pejabat berseragam bisa membwa diri mereka sebagai pengemban amanah, pemomong dan pengayom masyarakat serta pelaku berjalannya hukum dan peraturan. Pendekatan sosial saja belumlah cukup untuk bisa mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di kampung besar Jakarta. Ketegasan pelaksanaan hukum, pemberlakuan sanksi serta aplikasi tata tertib secara murni dan terkontrol dibutuhkan demi kepentingan semua fihak.

Ketidak pedulian pelaksana pemerintahan maupun tumpang tindih wewenang sering kali menjadi pusat konflik panjang yang juga sekaligus menjadi ajang pencucian tangan tangan yang kotor. Kebakaran hebat kolong tol Jembatan Tiga tidak urung menimbulkan kerugian miliaran bagi pengelola si jalan tol yang nota bene adalah atap kampung Kolongtol dan juga tentunya para penghuni yang menjadi korbannya juga. Meskipun dalam 2 tahun terakhir saja sudah 5 kali terjadi kebakaran di kolong tol, namun nampaknya tidak ada upaya serius untuk pencegahan.

Setiap sudut, lorong maupun inci tanah di Jakarta adalah ajang mencari makan bagi siapapun yang tinggal di kota ini. Sebagian besar pendatang membawa mimpi manis untuk dikonfirmasi dengan kenyataan kota ini, sebagian lagi berjibaku dengan nasib saja cukup. Sebagian besar orang beruntung bertahan dan berkembang menjadi manusia yang pulang kampung dengan dialek dan penampilan berbeda dibandingkan dengan pada saat berangkat dulu, dan sebagian lagi menghitung hari demi hari dengan mengumpulkan mimpi mimpi yang berantakan.

Di kolong tol interchange pluit Jembatan Tiga kontradiksi Jakarta terlihat nyata. Sebagian kita lewat di atap rumah mereka sepulang dari berterbangan atau hendak berangkat terbang melaluai Jakarta International Airport Soekarno Hatta.
Dan…Jakarta masih menyimpan jutaan cerita manusia sebagai catatan dari sejarah zamannya…


Ciracas, 070821

Thursday, August 16, 2007

Mimpi Buruk

(Mimpi adalah cara otak menterjemahkan kejadian yang membingungkan pikiran – Spacetoon)

Entah dari mana datangnya, mimpi buruk merajam, mimpi yang dulu pernah rajin hadir di malam malam ketika tertidur maupun terjaga. Mimpi itu sebenarnya hanya repetasi dari kejadian yang teramat buruk dimasa lalu, dan mendamparkan pada situasi yang sangat tidak berdaya, sangat tidak beruntung. Mungkin lebih tepat dinamakan mimpi buruk untuk hal hal yang bersangkutan dengan masa lalu, sedangkan untuk hal hal masa depan adalah mimpi manis (?)

Mimpi buruk menempatkan diri ditempat yang paling tidak mengenakkan bagi hidup, dimana dulu pernah ada disana untuk waktu yang cukup lama, cukup lama dalam ukuran normal untuk merontokkan semangat maupun keyakinan bahwa hidup masih terus berjalan dan akan berubah entah kapan. Sebuah situasi dimana diri terperangkap dalam lubang hitam yang sangat pekat, kehilangan cahaya dan hanya bisa meratap sendirian. Seperti anak ayam yang terjebak di lubang kakus.

Mimpi buruk membawa seluruh muatan emosi, pengalaman rasa hati. Pertengkaran, muslihat, penghianatan, penghinaan, ucapan, dan segala hal yang memang pernah terjadi dalam rangkaian cerita masa lalu. Mimpi buruk seperti benda busuk masa lalu yang disuguhkan ke meja makan untuk menu sarapan. Nutrisinya menjalar menjadi energi yang menggerakkan segala sikap yang berawal dari pikiran, menjadi racun yang meneggelamkan optimisme sang matahari. Mimpi buruk membajak tidur dan merubah haluan menjadi sumpah serapah yang hanya terpendam sendirian. Amarah yang membuncah kadang meledak tanpa kesadaran, juga kesedihan yang tesisa sesudahnya menjadikan tidur adalam momok yang menakutkan. Seperti dulu dulu, pergi tidur hampir sama dengan menyerahkan badan dan fikiran kepada iblis yang akan menjadikan setiap serpihan diri sebagai pelengkap pesta mereka. Tanpa berdaya…

Apakah ada kontribusi ekternal yang membuat mimpi buruk itu hidup kembali setelah mati suri beberapa bulan ini? Sungguh tidak ada korelasinya samasekali. Tetapi keyakinan bahwa memang hidup setiap manusia terbagi atas ceritanya masing masing, berjalan dan berkembang sesuai dengan catatan takdir. Dan rasa menggumpal seperti itu sama saja membuka pintu lebar lebar bagi iblis, mengundangnya untuk masuk dan menguasai alam bawah sadar. Hidup jadi tampak semua serba salah, serba mengecewakan diri sendiri. Rasanya tidak ada alasan samasekali untuk memelihara optimisme bahwa masa depan itu ada untuk ditanami dengan pohon pohon harapan sebab semua akan berakhir percuma saja.

Tidak akan ada yang mampu mencegahnya, tidak ada yang sanggup merubahnya. Mimpi buruk hanyalah visualisasi dari kejadian buruk masa lalu yang hadir tiba tiba setelah sekian lama terkubur dangkal dalam ingatan. Tidak ada jeda pembeda waktu antara kejadian sebenarnya dan bayangan yang hadir disebabkan oleh betapa parahnya dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa tragis masa lalu. Dan masa lalu tetaplah sebongkah batu yang menggelinding liar menggilas kekinian di kadang kala, menjelma dalam mimpi buruk yang meremukkan rasa. Dalam keadaan terjaga, mungkin saja mimpi buruk bisa dilawan dengan pemikiran lainnya yang memenangkan ego, tetapi dalam keadaan tertidur, sungguh merupakan siksa tanpa daya.

Sebagai perenungan, mimpi buruk adalah anak anak dari peristiwa buruk masa lalu dimana diri terlalu banyak berharap kepada orang yang menyebabkan kerusakan itu, berharap bahwa dia akan memiliki kebijaksanaan hati yang cukup untuk menunjukkan itikad memperbaiki, atau setidaknya menunjukkan tanggung jawab atas perbuatannya. Dan ketika harapan harapan itu pupus, muncullah pengertian baru bahwa tidak seharusnya berharap apapun dari apapaun supaya juga tidak kecewa.

Bahwa tidak ada yang bisa merubahnya lagi karena masa lalu menjadi property individu yang sangat pribadi, dan dimana mana masa lalu hanyalah sebongkah batu yang tidak bisa kita rubah menjadi sesuatu yang bukan batu. Ia ada menjadi prasasti bagi hidup, catatan belaka. Hal yang bisa meringankan adalah berkompromi dengan hati sendiri, dengan pikiran sendiri. Berhenti berharap, berhenti menghujat dan menumbuhkan pandangan pandangan baru tentang hidup.

Ciracas, 070816