Thursday, December 13, 2007

JB* = jalan raya, terminal atau pasar?

Cerita dari Jakarta 8

Menyusuri jalan TB Simatupang dari arah Pondok Indah selepas senja, dengan nyanyian ringan dalam ingatan dan mata jelalatan menjilati sesama pemakai jalan, tua muda, laki perempuan, pejalan kaki dan yang berkendaraan. Manusia manusia Jakarta mewakili individu masing masing dalam kepentingan masing masing, tertutup rapat dalam misteri masing masing, misteri yang amat rapat dirahasiakan, hampir tanpa tebakan. Ke arah terminal Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) Kampung Rambutan, melintasi perlintasan dengan jeda lampu lalulintas di beberapa perempatan yang selalu saja sibuk oleh pemakainya di sepanjang sisi kiri kanan tol lingkar luar Jakarta.

Secara geografis JB menempati posisi yang sangat strategis, pertigaan kecil, jalur putar balik kendaraan komersial dari terminal Kampung Rambutan yang bersiap siap untuk mengantar penumpangnya ke Bogor, Bandung dan kota kota di Jawa lainya melalui tol Bekasi nantinya. JB juga tempat transit banyak penumpang dalam kota sendiri, angkot ke Jakarta bagian timur maupun ke arah Bekasi dan kota kota penyangga Jakarta lainya. Di JB juga sudah dibangun megah sebuah halte busway bernama halte Tanah Merdeka. Busway yang ini melayani rute Kampung Rambutan sampai ke Kota bahkan Ancol di tepi utara Jakarta. Tidak heran jika kemudian JB berkembang dari sekedar tempat persinggahan atau transit, tetapi juga tempat dimana banyak manusia akan memanfaatkan kondisi itu untuk mengais rezeki.

Limapuluh meter dari titik singgung persimpangan dimana bus bus AKAP memutar balik setelah lepas dari labirin terminal Kampung Rambutan, telah tampak betul kesemrawutan dari kejauhan. Jalanan bercabang kecil itu penuh dengan kamuflase khas Jakarta; Pedagang Kaki Lima yang menawarkan bermacam komoditi dari busana, hiburan hingga ke boga, alias barang barang yang punya alamat akhir lubang kakus, atau makanan, dari buah buahan sampai ke minuman ringan. JB telah lama kehilangan trotoarnya, berganti menjadi etalase pasar tradisional dengan musik kencang penjual CD bajakan, kaos kaki sepuluh ribu tiga pasang hingga ke counter pulsa portable! Dalam pajangan jangan ditanyakan soal kedai makanan, mulai dari warteg, warung padang, baso, mie ayam atau apapun yang mungkin orang akan butuhkan. Semua pasti ada, seperti halnya mudah dijumpai di sudut kota yang lain. Pasar buah di JB sebenarnya mengadopsi dari perempatan besar Pasar Rebo, yang berjarak hanya sekitar satu kilometer saja. Disana PKL buah buahan telah memperoleh legitimasinya denga menempati kios permanent selain yang berjubalan di sepanjang trotoar.

Sekali lagi, dari jarak limapuluh meter sebelum memasuki titik pusat ‘kehidupan’ JB, pengguna jalan yang budiman akan disuguhi dengan pemandangan yang menakjubkan; sebuah jalan raya yang seolah tidak ada celah sedikitpun yang bisa ditembus dengan kendaraan roda dua maupun roda berapapun. Penuh sesak oleh berbagai jenis kendaraan, seperti etalase hidup bagi para dealer. Disini mission impossible dimulai dengan mereka reka celah mana yang hendak dilalui untuk menembus kesemrawutan JB sambil menikmati dentuman musik dari CD bajakan, atau menikmati wajah wajah gelisah para penunggu jemputan maupun angkutan umum yang membawa mereka pergi dari situ. Angkutan umum menaikkan dan menurunkan penumpang di tengah jalan, penumpang naik dan turunpun di tengah jalan, tentu saja lengkap dengan teriakan dan suara bising klakson. Kombinasi yang harmonis untuk sebuah kondisi lalulintas!

Lepas dari kesimpulan awal bahwa JB merupakan pasar tradisional, kesimpulan baru tiba tiba terbentuk bahwa JB merupakan terminal bayangan atau tak resmi. Penumpang, kendaraan besar kecil pencari sewa, para calo yang memaksakan jasa kepada awak bus dan mikrolet dengan dalih mencarikan sewa atawa penumpang, sampai ke petugas berseragam dengan lampu gatur kedip kedip minta perhatian dari tempat persembunyiannya, warung kopi dan rokok ditepi jalan, mereka petugas yang mengabdi untuk negara demi lancarnya tertibnya lalulintas. Lampu pengendali arus lalulintas berkedap kedip dalam interval waktu yang sama, demikian juga rambu rambu lalulintas ditepi jalan bisu mandul terbalut debu polutan dari semua jenis knalpot, mesin dan manusia. Kehilangan makna dan fungsinya. Konon di tempat ini hukum bisa digadaikan oleh penegaknya dengan harga terjangkau rakyat jelata.

Melintasi JB selepas senja adalah ujian emosi tersendiri sebelum menyadari bahwa JB tidak ubahnya adalah jalan raya biasa yang punya fungsi menghubungkan satu tempat ke tempat lainya. Persinggahan dan pemberhentian kehidupan individual dari kampung kampung dan kota kota, yang masing masing berhak atas kepentingannya sendiri sendiri. Maka pemahaman soal hak itulah yang telah menciptakan kesemrawutan yang mendekati sempurna di JB. Di Jakarta, tiap jengkal tanah baik itu jalan raya maupun bukan jalan raya adalah lahan rezeki, sedangkan mengupayakan hal itu adalah hak azasi. Masing masing berebut kepentingan sendiri sendiri di tempat ini, sehingga kepentingan umum menjadi hal yang tidak mendapatkan prioritas. Kepatuhan atas ajaran budi pekerti berupa tenggang rasa dan mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi seperti dulu diajarkan sewaktu kita SD menjadi bias disini. Fungsi dasar sebagai fasilitas umum di JB boleh saja kabur demi kepentingan pribadi yang kemudian di artikulasikan sebagai kepentingan umum.

Melintasi JB selepas senja di ujung minggu, serasa menyaksikan keseluruhan Jakarta dalam sepotong jalan raya. Kehidupan, peruntungan, keculasan. Diantara udara bercampur karbon dioksida yang kental terbaca pikiran pikiran gelisah tentang hidup yang berkejaran dengan waktu, mencoba berpacu dengan Jakarta yang tumbuh bongsor dalam usia yang makin tua, dalam peradaban yang makin langka; jauh dari kesunyian alam maupun gaung waspada dari sudut pedesaan dimana angin dan udara bersetubuh mesra setiap waktu.

Jalan Baru, 071209
*JB = Jalan Baru