Thursday, June 29, 2006

Mabok kematian

Atas nama luka ia pasrahkan hidupnya pada kematian, tangan terbuka menunggu malaikat datang tunaikan tugasnya, agar pupus satu kisah tentang manusia. Jika benar bahwa harapan membuat orang bertahan hidup, Dia menerimanya sebagai cara yang layak untuk menjemput sang maut. Ia telah menjadi tawanan nasib yang membanting dan menghempaskanya tanpa kendali, membuat syaraf motoriknya mati. Ia menggelinding saja mengikuti arus kewajiban serta meniadakan perlawanan apalagi pemberontakan. Diterimanya semua dengan hati tak rela.

Ia menggelandang dari bayangan demi bayangan, dari kabut ke kabut yang disangka menenteramkanya. Dilarungnya segala benda kepemilikanya ke kawah keputus asaan, lebur jadi asap lalu terbang tak bersisa dilangit raya. Jika air mata yang tumpah melambangkan hati yang terkoyak dan patah, suatu kali ia adalah muatan awan yang sempat diminta bintang untuk singgah, sekedar menyirami kebun strawberry dan ladang anggrek. Lalu ia ditendang jatuh, mukanya membentur lantai es yang kaku. Maka tumpahlah pula segala luka baru jiwanya, menghambur ke bumi menjadi butiran hujan; berkah bagi kehidupan yang melata di tepi kematian.

Dia menyerahkan diri kepada ketidak pastian masa. Dilaluinya hari dengan serpihan kaca disekujur nadinya, berjalan gontai kehilangan delapan mata angin penuntunnya. Ia hanya mencari kematian dari satu titik ke titik lainya. Tak satupun rumah yang disinggahinya menganggapnya pantas untuk menjadi penghuni, sedangkan miliknya sendiri telah amblas ditelan sejarah badai hujan yang hitam. Dikuburnya mimpi yang menjelma menjadi batu kenangan, dibawanya kesana kemari sebagai beban sepanjang perjalanan ragunya. Telah dipilihnya kekalahan menjadi teman sejati tanpa ikatan janji. Toh dia hanya menjalani jalan setapak kehidupan dengan langkah kedepan yang hanya menginjak udara. Kosong tanpa rasa.

Dipeliharanya mimpi dikepala, tentang sebuah kematian indah dimana hanya alam yang menyaksikan ketika jiwanya lepas dari belenggu konskwensi. Kematian yang ia persembahkan bagi pengabdian terhadap hidup. Perlahan disadarinya, harapan hanyalah fatamorgana yang memprovokasi hati untuk takut kehilangan hidup. Dia sadar bahwa dia tidak punya kontrol apa apa terhadap wujud masa lalu maupun transformasi masa depan. Dibuangnya jauh jauh segala bentuk kebanggaan, ia terima tawaran dari nurani untuk beternak domba di kandang srigala. Dia teruslah berjalan, mencari kesempatan dimana malaikat merencanakan kematiannya meski pencarianya membetur dinding dinding buntu, sebuntu harapanya.


Gempol, dibawah kerlip Orion 060627

Tuesday, June 27, 2006

Kepalsuan yang palsu

Jika tiba saatnya ia memilih diam sebagai sebuah percakapan, yang menjabarkan begitu banyak kemungkinan yang tak tertebak, menyembunyikan ketidak tahuan bahkan hal hal yang diketahui sekalipun. Dia juga menyempurnakan kepura puraan, membuat sikap menjadi pasif.

Dipalsukanya kepalsuan hingga kerap menjelma menjadi kebenaran. Bahkan gerak tubuh dan tarikan nafasnya hanyalah seutas kewajiban yang menyatu dengan udara dari angkasa mana sana. Jubah kebajikan dipersembahkan sebagai seragam, menyembunyikan badai yang terkandung pada setiap ayunan jarum arloji. Separuh jalan yang amblas telah hancur menjadi lumpur, menghambur menyusuri lereng curam hingga nanti kering didasar jurang dan lalu mentransformasikan diri menjadi butiran debu yang kelak akan meliuk dipecundangi angin.

Dikira gampang meluruskan kaki pincang, letihlah yang datang menjadi jawaban. Ciuman mentari meredam amukan gundah gulana membawa kabar tentang langit berisi bunga, satu satunya di galaksi. Cerita tentang kabut dan asap yang saling berbicara, tentang mimpi dan mimpi yang saling bertemu telah menyempurnakan tampilan sang palsu. Melambari telapak kaki yang hancur tertusuk batuan dengan sandal fantasi berlogo cinta. Tubuh seolah menari dilantai mega mega, dengan irama angin meniupkan wangi sorga. Bersama sebentuk bintang, bersetubuh menghayati alam memanjakan keinginan hingga lupa diri juga lupa ingatan.

Selayang udara hangat melintas diam diam, lembutnya yang menyentuh kulit membangkitkan kehidupan pada pori pori membuat darah menagih untuk dijelajahi senti demi senti setiap bidang tubuh. Iapun melebur malam menjadi imajinasi, bercerita tentang dunia tak tersentuh angan angan, apalagi cerita kepalsuan. Sang Cupidon sibuk merentangkan busur panahnya, meluncurkan kata kata yang bergedebam melentingkanya kelangit tinggi, membuatnya mati mati. Nafas mereka menyatu, meniadakan dimensi ruang dan waktu yang membentengi rindu, menayangkan drama animasi terbaik abad ini. Ia menjadi bayi, tergolek tak berdaya tanpa jubahnya, ditelanjangi lembar demi lembar piranti kepalsuanya. Ia rasa ia menjadi dirinya sendiri, hidup diantara debu dan udara alam nyata.

Hingga tiba saatnya dia akan kembali, bertemu pagi dan seribu satu urusan duniawi, kepalsuan demi kepalsuan lain lagi. Kepalsuan belaka yang menyebabkan pagi dianggap sebagai hari baru, dimana segala bebas dimulai bak ladang harapan yang minta ditanami. Tak sadar isi dunia hanyalah kehausan akan keinginan dan kelaparan akan ketidak inginan, dengan peraturan pertaruran yang dibuat sedemikian rupa sebagai juklak pelaksanaan. Batasan demi batasan dibuat dengan azas ambigius demi celah pembelaan. Ah, betapa tua dunia bahkan ketika tak disadari bahwa sekarang tak perlu ada api untuk memunculkan asap. Keajaiban menjadi hal biasa, keluar biasaan menjadi budaya yang dimaklumi begitu saja pun tanpa alasan apapun. Garis antara palsu dan nyata menjadi kabur oleh pijakan kaki kaki kotor para pejalan, dan kepalsuan perlahan menjelma jadi kebenaran.


(Aku ingin menjadi bayi raksasamu malam ini,
tenggelam dalam lautan damai pelukanmu.
Ciumlah aku,
hapuslah resahku dengan belaianmu,
angkuti bergunung gunung rindu yang menimbun dengan lembut bisikanmu,
rindu yang kutanggungkan ratusan tahun sendirian.
Ah, kamu terlalu indah, sonyaruri…)


Gempol, 060624

Monday, June 26, 2006

Nafas Alam

(Tentang Rindu)
Ingin sambil mentap matamu kelak jika ruh kita menyatu mengalirkan jutaan ton tabungan rindu yang tak pernah bisa terjabarkan dengan kata kata. Nafas yang menyatu meniadakan jarak dan waktu yang telah semena mena mempermainkan rasa. Segala beban lenyap tak tersisa hanya oleh pelukan yang pertama.

Udara membawa muatan yang kita punguti sepanjang jalan bercampur baur menjadi satu, saling memilin kisah betapa jauhnya jarak tempuhan untuk sekedar sampai di dermaga pertemuan. Darah yang menggerakkan nadi berlarian kencang kesana kemari, membentur dinding jantung dan kebingungan mencari jendela untuk meloncat dari bangunan tubuh, berlarian kencang mengusung di sirkit syaraf, membuncah menguapkan ubun ubun.

Dengan tubuh telanjang dari aneka kepalsuan, rindu menjadi selimut penghangat kebersamaan. Setiap gerak melahirkan sentuhan, menjadi benturan dua godam dalam kecepatan. Seribu ciuman disekujur badan merubah daki menjadi cairan manis dengan rasa rindu. Sunyi, tak ada polusi suara di telinga sebab hanya rintihan hati menahan beban rindu yang menjepit sepanjang jalan. Ri rindu, si raja lalim yang kejam telah dengan licik melabur indah dengan keperihan.

Kita menuju ke perjalanan lain lagi, penjelajahan atas ngarai dan sungai, melewati hutan belantara, mendaki bebukitan dan mencari apa yang tidak ada tanpa berharap menemukan. Otak seolah merekam setiap detail yang telah di perbesar dan perjelas, lengkap dengan warna, bau rasa dan suhunya. Logika tetap terpelihara untuk mengkonfirmasi bahwa kejadian ini benar adanya, bukan sekedar mimpi siang hari yang membuat terjaga dengan hati kecewa. Menelusuri inci demi inci keajaiban sang hidup, membacai setiap goresan tinta masa lalu yang membuat kita menjadi ada.

Nafas alam penebus hutang rindu yang menggunung tak tertanggungkan, ekspresi tertinggi dari bahasa perasaan dua angan yang saling bertautan. Sebuah rasa yang tak pernah terjabarkan dengan kata kata tinggal menjadi misteri sebagai propaganda sang alam. Ia adalah persetubuhan dua ruh yang saling mendambakan keindahan tanpa bentuk…


Gempol, 060625

Wednesday, June 21, 2006

Anak

Anak sebagai wahyu, titipan sekaligus amanah selayaknya memiliki tempat tinggi dalam kehidupan keluarga maupun dalam komunitas sosial. Eksploitasi terhadap kelemahan dan ketidak mengertian anak terhadap tetek bengek kehidupan adalah sesuatu yang sungguh keji. Setiap orang dewasa pasti pernah memiliki masa kanak kanak, tetapi sayangnya banyak orang dewasa pura pura lupa bagaimana menjadi anak anak dengan kemampuan menganalisa dan pengertian terhadap pengalaman yang baru sedikit. Orang tua yang melakukan kekerasan fisik terhadap anak jelas mengidap penyakit mental, kelainan nurani yang kronis. Tindakan itu juga sebenarnya menciptakan dunia kekerasan berlipat ganda bagi kehidupan si anak itu sendiri. Dengan dalih apapun, kekerasan terhadap anak bukanlah cara bijak membentuk masa depanya. Bukankah masa kanak kanak adalah penopang kedewasaanya kelak?

Orang tua yang merasa lebih berpengalaman dan lebih tahu tentang segala hal juga terkadang memanfaatkan situasi itu dengan sangat picik. Perceraian, adalah contoh paling gampang kita temukan dimana kepentingan si anak tidak mendapatkan posisi yang semestinya; sebagai dasar dari setiap pertimbangan pengambilan keputusan. Selamanya perceraian adalah cara ekstrim penonjolan egoisme suami istri, yang memunafiki fungsi sosial sebagai induk psikologis maupun biologis dari sang anak. Ketika perceraian terjadi, otomatis anak anak secara psikologis akan kehilangan sebelah kaki. Dia akan berjalan pincang menjalani hari harinya kedepan dengan rasa kehilangan. Dalam hal ini, anak tidak diberikan hak pilihan. Orang tua semacam ini hanya berfikir tentang diri mereka sendiri, dan memandang anak sebagai tanggung jawab materi. Dan perceraian hanyalah kekerasan psikis terhadap anak semata. Selamanya, kekerasan dilakukan oleh siapapun yang lebih kuat terhadap siapapun yang lebih lemah.

Seyogianya, anak memiliki kedudukan tertinggi dalam rumah tangga. Resolusi atas konflik yang terjadi seharusnya mengedepankan kepentingan sang anak karena menjadi orang tua berarti juga mengambil konskwensi sebagai penanggung jawab kehidupan sang anak. Anak anak hanya tahu mencintai dan dicintai, mereka tidak punya kepentingan lebih tinggi selain belajar tentang segala hal dari apa yang dialami dan dijalaninya. Tidaklah sulit menempatkan anak sebagai malaikat penyelamat, jimat penguat dan sahabat karib bagi si orang tua selama kepentingan anak menjadi prioritas utama. Penempatan anak pada posisi mulia seperti itu juga menjadikan orang tua memiliki mercu suar perilaku dengan selalu memperhitungkan dampak terburuk terhadap si anak ketika mengambil sebuah sikap.

Orang tua adalah guru kehidupan, cermin panutan bagi anak. Orang tua yang buruk akan menciptakan generasi yang buruk dimasa depan, dan sebuah kehidupan dunia yang suram telah menjadi janji untuk ditepati di kemudian hari. Menjadikan anak ‘pangeran’ ataupun ‘puteri’ dalam keluarga akan memberinya motivasi untuk mencintai hidup, mencintai sesama dan kehidupan. Pengajaran yang benar tentang toleransi dan rasa hormat terhadap mahluk hidup akan menciptakan pribadi pribadi yang peduli terhadap isi bumi. Sikap orang dewasa kepada anak anak, adalah cermin kedewasaan yang sesungguhnya.

(tulisan ini sebagai ekspresi keprihatinan terhadap rasa bangga yang ditonjolkan pada sebuah acara infotainment tentang perceraian, betapa anak hanya menjadi figuran dalam kepentingan dua orang tua mereka yang hanya menuruti ego. Tidak malukah public figure ini dengan gemerlap pesta pernikahan a la raja raja yang dilangsungkan beberapa tahun silam sebelum si anak ada di dunia atas prakarsa mereka?)

Gempol, 060620

Monday, June 19, 2006

Harmonisasi Bumi

Judul diatas sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan sekaligus juga materi tulisan untuk kontes yang diadakan oleh Hiking.

Sebuah kehidupan dimana semua mahluk hidup saling berdampingan dan terbebas dari ancaman dan kecemasan. Setiap orang saling memandang orang lainya bahkan yang tidak dikenalnya secara pribadi dengan pandangan penuh cinta kasih seperti halnya cinta kita kepada anak maupun kepada orang tua. Penghormatan terhadap anak maupun orang tua adalah manifestasi cinta kasih yang sesungguhnya, tanpa embel embel tertentu dibelakangnya. Jika itu terjadi, maka dunia tak memerlukan kosa kata untuk mengumpat, memaki ataupun kata kata vulgar yang sebenarnya sebagai jarum penunjuk kualitas kecerdasan emosi. Tak ada negativisme di bumi, maka tidak akan perlu ada perkelahian, konflik apalagi peperangan. Semua nurani pasti dibekali satu pemahaman bahwa perang hanya pabrikasi atas korban, sebab nurani hanya mengenal kebaikan.

Sikap legowo (menerima dengan ikhlas) bisa menjadi kunci dari semua keruwetan dari penjabaran nilai tenggang rasa ini. Menempatkan ego diri dalam rantai terendah kepentingan umat manusia dengan kepemilikan tanggung jawab moral terhadap nurani akan membuat dunia menjadi sejuk. Bagaimanapun, menekan ego yang menjulang pada setiap diri manusia bukanlah perkara mudah. Berfikir sebagai kerja kognitif oleh otak dan cikal bakal pemikiran, ide maupun gagasan menjadi sumber dari segala peristiwa sosial di kehidupan. Pengendalian terhadap arus berfikir mutlak memerlukan kemampuan menduplikasi efek dari perbuatan kita terhadap hidup disekitar kita. Inipun terkadang menjebak manusia dalam sikap superior, tidak mau kalah apalagi dikalahkan, tidak ingin salah apalagi disalahkan. Kita sering bertindak kasar karena tidak mau orang lain berlaku kasar terhdap kita. Sikap legowo tidak mengenal pembalasan maupun fikiran sikap petakompli. Sombong yang tak disadarilah yang memprovokasi batin manusia untuk melindungi kepentingan individu (sebagai sifat bawaan), ketimbang mengembangkan pola pola kompromi terhadap konflik kepentingan antara ego, logika dan hati. Bukankah jika mata dibalas mata, maka dunia akan menjadi buta (mengutip kata kata bijak dari Mahatma Gandhi). Mengalah yang benar benar mengalah sama saja menciptakan kemenangan yang tak perlu dipublikasikan, sebab kemenangan yang sejati adalah ketika manusia bisa mengalahkan ego sendiri. Kemenangan seperti samasekali tidak memerlukan korban kalah.

Mahluk hidup juga termasuk segala jenis binatang dan tumbuhan tanpa pengecualian. Kemampuan akal manusia melahirkan sifat ingin menguasai dan ambisius dengan sederet nafsu dan cara pemuasanya. Malang bagi mahluk hidup non manusia, karena harus menempati posisi yang paling mudah untuk di eksploitir. Terhadap binatang, manusia yang nota bene berakal tetapi terkadang justru mematikan akalnya sendiri. Sangat mudah kita dapati disekeliling kita, betapa dengan dalih kesenangan, manusia menempatkan binatang dalam kurungan terali. Predikat menyayangi binatang diartikulasikan sebagai penguasaan atas hidup si binatang malang. Pernahkah terpikir bagaimana seandainya zaman berbalik, dimana manusia yang tak berdaya dan binatang yang berkuasa? Maka bersiap siaplah kepada saudara saudara yang berparas elok maupun berpenampilan fisik menarik untuk menjadi buruan para binatang ini sebagai pajangan. Betapa mudah manusia mencabut nyawa binatang hanya alasan jijik melihatnya. Binatang, juga tumbuhan memiliki alam dan dunianya sendiri di bumi ini, dan kecerdasan akal manusia seharusnya memberikan ruang yang semestinya bagi kehidupan mereka, kita berbagi tempat dan kepentingan di bumi yang sama.

Maka bumi yang harmonis adalah kehidupan ideal yang barangkali lebih berupa utopia. Tetapi setidaknya kelebihan akal kepintaran manusia atas mahluk hidup lainya memberi peluang kepada kita untuk mengevaluasi kerja nurani sendiri bagi kehidupan, bukankah semua manusia hanya pejalan dari gelap rahim bunda menuju gelapnya liang kuburan? Dan diantara dua kegelapan itu manusia diwajibkan menjalani benderang bernama kehidupan, bukankah indah jika menjadi sekali berarti lalu mati? Dan semua itu hanya bisa terjadi dengan memulainya dari diri sendiri…


Gempol, 060618

Wednesday, June 14, 2006

Identity barcode

.....
“Seandainya setiap individu memiliki Identity barcode, mungkin tidak akan ada orang yang dikemudan hari menyadari bahwa dia salah memilih teman hidupnya, masing masing orang tinggal menemukan barcode yang cocok, nanti akan ada organ semacam detector yang berdenging. Semakin cocok identity barcode seseorang dengan kita, maka dengingnya akan semakin nyaring. Aku yakin di dunia ini tidak ada perceraian kalau keadaanya seperti itu”
“ Kalau kita punya barcode, kira kira apa yang akan terjadi dengan detector kita sayang ya?”
“Aku rasa akan berdenging terus saat kita dekat seperti ini. Brisik, tau! Kamu tahu cara men-deaktifkanya, kan?”
.....
Jika benar urusan jodoh, mati dan rezeki itu mutlak urusan Tuhan, kenapa manusia diwajibkan untuk mengupayakan ketiga hal tersebut dan menyerahkan hasilnya kembali kepada Tuhan?
Mohon maaf, pertanyaan diatas tanpa sedikitpun mengandung makna tendensius dan menghasut, sekedar pertanyaan pribadi atas percakapan dua manusia yang terdampar diserpihan nirwana di bumi langit namanya.

Ketidak harmonisan hubungan, dengan ribuan dalihnya sendiri sendiri. Sebagian mengada ada, sebagian lagi memang menjadi ciri wanci kehidupan manusia yang terus bergerak mencari dan menemukan, menjelajahi bahkan sebagian bertualang di miliaran rel perjalanan hidup penghuni bumi. Azas hubungan selamanya mengandung kepentingan entah itu pribadi maupun komunitas. Pengembaraan jiwa jiwa yang merana itu bergentayangan menghilangkan garis pembatas ruang peradaban. Ketidak bahagiaan melegitimasi pengkaburang terhadap batas antara semu dan nyata, antara khayal dan kenyataan. Dan ketidak terbatasan kemampuan angan angan memiliki merajai kekuatan atas setiap kehendak pemilik badan.

Idealnya orang mengenali orang lainya dari sisi dalam yang tak terlihat mata telanjang. Arus pemikiran dan irama pandangan jelas sekali menentukan karakter dasar dari satu individu. Umumnya keyakinan bahwa kita mengenal seseorang dengan baik dari sifat maupun tabiatnya mengabaikan hal hal yang mungkin saja menjadi pilar penentu perubahan kepribadianya di suatu masa. Slamanya dunia berubah, manusianya tetap sama itu itu juga dengan pola mengikuti perubahan dunia. Dan, masa kanak kanak yang akan berbicara jika sesorang memang tiba saatnya untuk bertransformasi. Masa kecil penyangga kedewasaan setiap manusia, penentu laju proses demi proses transoformasi penghuni dunia.

Terkadang kita berharap mengembangkan komitmen hubungan dengan maksud untuk menyekutukan kepentingan pribadi. Kita berharap dikenali seperti halnya mengenali orang sejauh yang kita mengerti. Padahal, tidak ada satupun orang di muka bumi yang bisa mengenali seseorang lainya secara menyeluruh. Disetiap kehidupan seseorang terdapat lorong lorong yang tak bisa dimasuki untuk dibaca maupun dipelajari oleh orang lain dan tetap menjadi misteri. Keyakinan yang terlalu tinggi terhadap pengetahuan kita atas orang yang ada dalam kehidupan kita tanpa sadar menyeret kita menuju laut apriori.

Dan alam punya aturanya sendiri, selamanya berjalan demikian sekuat apapun akal fikiran manusia mengingkari dengan kesombongan. Demikianlah akal budi yang berafiliasi menjadi kepintaran, memiliki senjata dan sekaligus daya pencarian terhadap apa yang dikehendaki, juga apa yang dibutuhkan oleh sebuah hati; kebahagiaan. Dan kebahagiaan adalah milik alam bathin, sedangkan alam bathin kalis dari batas vertical maupun horizontal alias tak terbatas. Kesenangan hanya segumpil dari ekspresi kebahagiaan, tak menterjemahkan keselurhan terpenuhinya nutrisi batin yang - sekali lagi - tanpa pembatas. Kalaupun norma dan nilai jadi pembatasnya, maka kepintaran dengan senjata dan dayanya akan bisa mencari celah untuk melegalkan penggeseran nilai untuk alasan keseimbangan.

Identity barcode hanya produk dari pabrikasi khayalan, sebab oleh sifat manusia yang memang pemilik sifat segala binatang termasuk bermimikri, mengelabuhi warna sekitar demi eksistensi. Maka siapakan sejatinya yang berkuasa atas jodoh, mati dan rezeki manusia? Diri sendiri, dan Tuhan yang mengawal prosesnya, kewajiban manusia adalah menjadi manusia. Seperti halnya kematian, perceraian, dan kebangkrutan hanya proses dari isi kehidupan belaka. Identity barcode akan mencegah terjadinya kemenysalan dan salah pilih bahkan kasus perceraian dalam rumah tangga, pastinya!


Gempol, 060614

Tuesday, June 13, 2006

Benalu

Kulit buahnya yang rapuh koyak oleh cabikan paruh burung pemangsan, terbawa melanglang lalu bijinya yang lengket didamparkan begitu saja disebuah dahan pohon kehidupan yang yang tumbuh di alam jiwa. Dahan tumpangan menjadi sandaran yang menyamankan untuk memulai satu kehidupan baru diatas kehidupan yang sedang ada, menjadi wahana bagi pengembang biakan cita cita generasi lanjutan. Biji benalu yang tak berdaya, kecil dan hina kini mendapat sandaran kokoh batang pohon kehidupan, yang menyerap dan menyimpan puluhan tahun pengalaman dalam setiap jalinan batang kayu, kulit dan akarnya.

Sang pohon yang hanya tahu cara menjadi pohon, menyerap intisari makanan sebanyak yang dibutuhkan dan terus menjulang ujung ujung rantingnya membacai langit pengetahuan. Klorofilnya mencerna setiap sari makanan jadi kekuatan, tajam akarnya kokoh menjaga tetap tegak berdiri menjadi prasasti. Sesekali pejalan dan petualang bersinggahan dibawah rimbunya, tak menghiraukan betapa ia menjadi saksi atas begitu banyak kejadian. Dari lembar lembar daun pengalaman berisi catatan penting tentang kebajikan yang gugur satu demi satu ditimpas musim ia memupuk diri.

Syahdan sang alam menitiskan ruh kehidupan kepada sang biji benalu, menggubahnya menjadi tumbuhan mungil tak berarti yang melekat di kekar dahan sang pohon. Atas kebaikan hati sang pohon semata si benalu memiliki kekuatan membangun kehidupanya sendiri perlahan dengan kepastian menyusupkan akar akar tajam tuntutan kepada lumbung enzim di dahan kekar. Ia lalu mentahbiskan diri sebagai pelaku simbiosis parasitisme; melakukan sabotase sari makanan yang yang dihasilkan sang pohon demi tumbuh kembang kehidupanya yang sangat eksklusif milik si benalu itu sendiri. Lalu ia menjadi benalu yang tak punya malu.

Timbunan waktu lalu mengantar sang benalu menjadi si sombong, merasa berdaya perkasa bukan atas prakarsa siapa siapa. Seluruh penampilanya mencerminkan sifat parasit dengan ciri dan bentuk segalanya yang serba berbeda dari sang pohon pemilik kehidupanya yang sejati. Benalu tidaklah lupa dari mana ia didamparkan dan berasal, ia hanya ingkar terhadap masa lalunya yang tak terlacak oleh jejak sejarah. Iapun hanya tahu cara menjadi benalu, menghisap hidup mahluk lain yang dengan dermawanya memberikan kesempatan kehidupan. Kesombonganya mengklaim diri menjadi mahluk tersendiri, terpisah dari induk pohon yang digerogoti. Benalu tumbuh gagah tanpa mengenal perih maupun lelah. Ia bersuka cita atas kuasa cuma cuma, bahkan empatipun tak dimilikinya kecuali sebanyak mungkin menuntut apapun yang tersedia untuk menjadikan dirinya lebih dari sekedar batang pohon kecil yang hidup pada dahan tumpangan yang kemudian menjadi jajahan.

Dengan jatidiri barunya benalu meracuni kesempatan sang pohon untuk mencari kesejatian. Dahanya menjadi kurus tak terurus, bukti tak terjaganya suplai keniscayaan yang semestinya. Kematian yang perlahan bagi sang dahan sedang dijalani, dan tergantikan kehidupan subur bagi benalu pemakan hati. Benalu hidup dalam kehidupan sang pohon, menjadi pohon dengan karakteristik terpisah diatas pohon, berjaya dengan menindas rasa sebagai bahan bakar pelangsung keangkuhanya. Dan sang pohon ia telah ikrarkan sumpah: demi matahari terbit ia tidak akan berkelahi lagi memprotes keberadaan benalu yang menempel di fikiranya.


Gempol, 060613

Saturday, June 10, 2006

Dunia dibalik kaca

Bahkan wahana transparan itupun sanggup memantulkan imanji tentang diri, berwujud manusia dari ujung kaki, badan hingga rambut penutup tulang tengkorak. Karakteristik ciri jasmaniah mahluk paling sempurna. Kehidupan fisik memiliki pamornya sendiri demikian juga kehidupan dibalik penampilanya. Jauh lebih rumit dan kompleks ketimbang apa yang bisa dibaca oleh mata. Ia adalah sebuah dunia yang tersembunyi, terisolasi oleh garis garis batas bentukan nurani.

Berdiri di depan dinding kaca transparan, mata memandang kehidupan lain lagi berjombak dikedalaman. Senyum tawa dan hangat suasana terpancar dari kilatan blitz lampu kamera, seolah menitip pesan agar jangan sejarah dilupakan. Ada kebahagiaan mengisi ruangan, ada cinta yang menegaskan persaudaraan saling mengikatkan hati mereka. Wajah wajah cerah menerangi dunia dibalik kaca bersinar penuh gairah penoreh kisah bagi setiap individu penghuni di dalamnya. Pertemuan fisik, selamanya adalah konfirmasi bahwa hati benar adanya (according to Q).

Dinding kaca hanya pembatas, garis penegas bagi letak keberadaan. Kehadiran termaknai sebagai saksi atas keraguan tentang dua dunia yang berbenturan, mengalahkan kemustahilan dan melipat lembaran daftar pertanyaan. Dari balik dinding kaca, benih cerita akan menjadi permulaan bagi episode lanjutan. Seseorang yang berdiri masygul didepan kaca, menghamburkan angan bersama mereka. Sayang, ia tak menemukan pintu untuknya membawa diri larut serta. Sampai saatnya matahari memanggilnya pulang, dibawanya serta cangkang dunianya dikepala, menyusuri jalan jalan dengan nyenyanyian tentang kerinduannya kepada bulan. Ia lebur menjadi debu disetiap ruas jalan pulang yang dilaluinya.

Diantara deru obrolan dan gempita pertanyaan, seseorang menyelinap ditengahnya tanpa terlihat dan terasa. Ia ada, hidup di dunianya sendiri dibalik dinding kaca menyaksikan dunia dunia yang dikenalinya dilangit tak bertuan sana. Dan ia tersenyum turut berbahagia dengan caranya sendiri siang itu…


Citos, 060610

Friday, June 09, 2006

Hikayat lemah sangar

Aku ingat sebidang tanah tandus di sebelah timur kampungku dulu, yang melulu berisi semak dan tumbuhan perdu. Tidak produktif, gersang dan mandul. Tempat itu menjadi arena bermain sekaligus lahan gembala hewan piaraan sewaktu aku kecil dulu, berada di kepungan sawah sawah oncoran yang subur, ia menjadi seperti pulau yang ditengah lautan sawah. Orang menyebutnya sebagai lemah sangar. Dongeng nenek dulu, tanah itu menjadi gersang demikian karena pada suatu ketika di zaman dahulu kala seorang ksatria pernah menangis dan meneteskan air matanya ke bumi, radius puluhan meter dari tempat air mata ksatria itu menetes akan menjadi gersang dan mandul, tak memberi janji berarti bagi kehidupan. Pesan moral dari nenek barangkali agar lelaki ksatria dipantangkan untuk menangis apalagi meneteskan air mata, sebab seorang ksatria adalah figur yang mumpuni dalam segala suasana.

Sebidang tanah gersang itu dulu, suatu kali terbakar hangus, terbakar oleh tangan manusia juga dengan tujuan kesenangan belaka. Rumpun rumpun rumput wlingi dan ilalang yang selalu berbau wangi hangus tanpa sisa, perdu perduan seperti orok orok, pohon duri, jlegor dan lainya tinggal menjadi onggokan onggokan gosong. Praktis kehidupan yang tadinya gersang menjadi semakin terpojok di rangkaian paling belakang rantai kehidupan. Kemarau kemudian memperpanjang gersangnya, menyisakan lemah sangar menjadi gurun kecil tanpa kehidupan, bahkan tanda tandanyapun tiada.

Kemudian atas kuasa alam, turunlah curah hujan. Dibawah tanah yang tak terlihat oleh mata harfiah, akar akaran hidup dalam kerahasiaan bentuknya. Hidup bersama para pemangsa dan sekaligus juga peneman yang dikodratkan harus demikian. Sejuk air hujan yang menelusup jauh kedalam bumi, sekedar mencari jalanya kembali ke angkasa itupun menyapa akar rumput yang mati suri, juga mengilhami biji biji rerumputan yang sempat gugur sebelum api memusnahkan rumah penghidupannya. Hujan seperti mengirimkan nyawa bagi mahluk mahluk hidup yang pasif ini, kemudian matahari membwa pemupuk semangat setiap pagi. Maka lemah sangar itupun perlahan ditumbuhi helai helai mungil berwarna hijau; daun kehidupan meskipun hanya rumput tanpa nilai materi. Tetapi kehidupan tetaplah kehidupan; berkah dan anugerah terbesar dimuka bumi.

Si akar rumput dan bebijian begitu perkasanya menahankan siksa api kebakaran dan juga tikaman matahari musim kemarau. Semangatnya hanya mengabdi kepada bumi, berharap silsilah tetap terjaga sebagai imbalan atas keberlangsungan kehidupan secuil lemah sangar tempat ia dan komunitasnya ada. Telah dibangunya sebuah investasi sosial sebaik kemampuanya sebelum ludas oleh satu percikan api durhaka. Sifatnya yang bukan pelawan telah dikalahkan kemudian diabaikan bahkan mungkin ditertawakan ketika perlahan ia luluh tak berdaya, hangus terbakar. Tak perlu menakar seberapa besar kontribusi kepada kehidupan, sebab pemberian bukanlah menjadi ukuran pengabdian.

Dinyatakan kalah dan salah (karena ia tumbuh di sebidang lemah sangar), ia tak mampu memberontak ke permukaan tanah kering yang memenjara amarahnya. Pembelaanya terhadap ketidak adilan yang hanyalah semata ketidak relaanya atas ego yang dilecehkan ketika jalinan ruhnya hanya berisi pengabdian bagi keberlangsungan satu gelembung kehidupan yang menjadi kebanggaan. Pemberontakan bisunya hanya menyisakan letih jiwa, merana tak menentu dipecundangi harapan dan keinginan basi. Lalu ia berhenti berharap apapun dari apapun, hanya menjalani kodrat sesuai amanat bumi. Kekalahan bertubinya melahirkann kontemplasi panjang tentang kekalahan itu sendiri, bahwa memang kehidupan berjalan atas konsepsi menang dan kalah bagi sebagian mahluk penghuni bumi. Terus memprotes kekalahan yang tidak adilpun hanya akan mempertajam setiap sisi makna kalah itu sendiri; tidak lebih baik dari sang pemenang. Tidak berharap apapun dari apapun adalah menerima kekalahan sebagai hal yang wajar (juga segala hal yang terjadi dalam kehidupan adalah kewajaran semata), seperti melepaskan seikat balon ke udara, ikhlas menerima kenyataan. Ikhlas tanpa menyembunyikan pertanyaan apapun, tak mengharap apapun.

Akan sampai kemudian datangnya hujan menggemburkan tanah dan matahari memberikan penghargaan terhadap peluang yang wajar. Giliranya kini, menjalani kewajiban untuk hidup menjadi sebatang rumput dalam komunitasnya yang sama; lemah sangar yang gersang tak bertuan, menjadi jelmaan dari ksatria sejati yang menangisi diri.


Gempol, 060609

Thursday, June 01, 2006

Mencintai dan Dicintai

Satu pesta pernikahan yang membosankan syaraf menyisakan pesan untuk saudara yang berkehendak memilih seseorang sebagai teman menghabiskan sisa hidup, menjadi pasangan yang terikat oleh hukum dan kewajiban.

Bahwa menikah adalah memasuki gerbang penjara raksasa yang berisi lahan garapan masa depan, yang dengan bergandengan tangan bersama pasangan masuk kedalam sebuah dunia eksklusif. Sekali melangkah melewati gerbang maka pintu raksasa itupun tertutup dengan otomatis. Keseluruhan dunia perkawinan berdinding kaca, berlangit kaca dan juga berlantai kaca, semua tembus pandangan. Itulah gelembung peradaban, yang dengan ekstrim memiliki tatanan kepantasa dan standar etika sebagai produk budaya.

Di dalamnya membaur dua individu yang sama sama berasal dari planet asing – seberapapun kita mengenal orang itu- yang kemudian atas komitmen hati menciptakan sebuah bangunan rumah tangga tempat berlindung dari terik dan kerasnya pergaulan. Tempat berlindung itu juga sekaligus basis untuk membangun mimpi mimpi dan harapan, menciptakan sesuatu dari ketiadaan dan merencanakan masa depan. Secara kodrati kehidupan baru dua individu ini juga melahirkan kewenangan kewenangan atas fungsi yang berbeda, menakhodai dan memelihara dengan tujuan sama; demi tetap berlangusngnya kehidupan penjara.

Ketika rumah penjara baru dimasuki, yang menjadi azas adalah cinta. Dan seperti saudara maklum, cinta membutakan mata logika, meremehkan ketidak mungkinan ketidak mungkinan yang biasanya melahirkan penindasan bathin (biasanya kemudian cinta dipersalahkan). Selama proses pembutaan logika berlangsung, maka dunia penjara dengan komunal baru itupun menjadi tempat memuja rasa yang membanggakan sekaligus menjanjikan, bahwa tidak akan ada hal buruk yang bakal terjadi selama cinta mengikat dua hati. Eh, jangan salah, hatipun labil adanya. Pandangan hati bisa setajam mata elang menembus dinding kaca, dan pada saat yang sama tak sanggup mengendus dunia mikro si individu pasangan terpilih.

Maka pada titik kelabilan tertentu dua mahluk masing masing dari planet asing itupun memperoleh panggilan alamnya masing masing. Kepintaran akal melahirkan skill untuk menelisik planet asal di langit langit penjara, sebagian bahkan menempel di tembok kaca penjara cinta; perkawinan. Sebuah hirarki baru terbentuk bersamaan dengan mengaburnya dinding kaca, seolah tidak ada wewaler yang menghalangi kebebasan tarian angan angan, yang berupa khayalan fantastis. Maka pada saat itulah, saudara, satu demi satu pilar penopang kokoh teduhan peradaban mulai melapuk, memungkinkan untuk runtuh. Hati hati, ini bisa terjadi kapan saja dan dimana saja meskipun jelas bukan kategori kecelakaan.

Maka saudara, memilih teman hidup adalah juga menentukan type ‘rasa’ yang mendasarinya. Memilih mencintai atau dicintai? Mencintai berarti bahwa mengikhlaskan hati, fikiran, dan perbuatan sebagai persembahan terhadap hidup orang lain. Memberikan cinta yang sebenar benarnya cinta tanpa pamrih imbalan balas jasa. Mencintai seseorang dengan cara seperti itu dalam perhitungan logis akan memperoleh imbalan yang sama dari si obyek dimana cinta itu dicurahkan. Hanya orang dengan mutu tinggi dan kebajikan sangat tinggi bisa menjalani ini, sebab mencintai bukan otomatis mendapat juga feedback cinta dengan kadar yang sama. Salah salah malah dimanfaatkan oleh si obyek karena dianggap cinta adalah senjata mematikan untuk melumpuhkan si pencinta.

Kemudian dicintai. Memilih orang sebagai teman hidup karena diri merasa dicintai oleh orang lain, berartii juga telah memvonis diri sendiri dengan keyakinan yang bisa saja apriori. Rasanya dicintai adalah diperhatikan, dimanja dan dibutuhkan. Bagi yang bijak hati, dicintai ibaratnya menerima pemberian hati, separuh jiwa dari orang lain yang memasrahkan pengabdian untuk memelihara dan membela kepentingan diri. Rasa dicintai bisa menimbulkan kesadaran dan tekad nurani untuk menerima si hati pemberian sebagai amanah, kepercayaan yang wajib dijaga dan dirawat; dengan cara mencintai si pemberi. Hati hati karena merasa dicintai bisa membuat orang lupa diri. Bagi mereka yang memiliki falsafah hidup adalah sebatas konsepsi ‘menang’ dan ‘kalah’ (aku ada kenal type orang seperti ini), maka dicintai bisa dianggap sebagai kemenangan atas orang yang mencintai kita. Sedangkan, hukum pemenang adalah bebas melakukan apa saja terhadap si kalah. Orang dengan perilaku seperti ini (menurut Qee) adalah golongan orang licik, dan untuk menjadi licik orang harus bejat dulu. Jadi, orang yang merasa dicintai kemudian memanfaatkan cinta itu untuk menindas si pencinta adalah bejat adanya.

Demikianlah saudara, selamanya cinta memang fleksibel dalam makna, labil dalam fondasinya karena cinta adalah cawan disetiap jiwa manusia. Selama kaki tegak lurus, maka air didalamnya akan tenang dan menghidupi, mendamaikan sekaligus membahagiakan dan melindungi si jiwa. Tetapi jika kaki hati pecicilan, tentu ia bisa tumpah kesana kemari, dan bisa menyebabkan sakit jiwa, luka psikis yang permanen. Dan karena aku mencintai saudara, maka pilihlah teman hidup saudara dari golongan orang yang saudara rasa saudara tidak bisa hidup sempurna tanpanya, bukan cinta dengan azas balas budi apalagi memuja. Selamat menjadi pengantin!


Gempol, 060601