Tuesday, June 27, 2006

Kepalsuan yang palsu

Jika tiba saatnya ia memilih diam sebagai sebuah percakapan, yang menjabarkan begitu banyak kemungkinan yang tak tertebak, menyembunyikan ketidak tahuan bahkan hal hal yang diketahui sekalipun. Dia juga menyempurnakan kepura puraan, membuat sikap menjadi pasif.

Dipalsukanya kepalsuan hingga kerap menjelma menjadi kebenaran. Bahkan gerak tubuh dan tarikan nafasnya hanyalah seutas kewajiban yang menyatu dengan udara dari angkasa mana sana. Jubah kebajikan dipersembahkan sebagai seragam, menyembunyikan badai yang terkandung pada setiap ayunan jarum arloji. Separuh jalan yang amblas telah hancur menjadi lumpur, menghambur menyusuri lereng curam hingga nanti kering didasar jurang dan lalu mentransformasikan diri menjadi butiran debu yang kelak akan meliuk dipecundangi angin.

Dikira gampang meluruskan kaki pincang, letihlah yang datang menjadi jawaban. Ciuman mentari meredam amukan gundah gulana membawa kabar tentang langit berisi bunga, satu satunya di galaksi. Cerita tentang kabut dan asap yang saling berbicara, tentang mimpi dan mimpi yang saling bertemu telah menyempurnakan tampilan sang palsu. Melambari telapak kaki yang hancur tertusuk batuan dengan sandal fantasi berlogo cinta. Tubuh seolah menari dilantai mega mega, dengan irama angin meniupkan wangi sorga. Bersama sebentuk bintang, bersetubuh menghayati alam memanjakan keinginan hingga lupa diri juga lupa ingatan.

Selayang udara hangat melintas diam diam, lembutnya yang menyentuh kulit membangkitkan kehidupan pada pori pori membuat darah menagih untuk dijelajahi senti demi senti setiap bidang tubuh. Iapun melebur malam menjadi imajinasi, bercerita tentang dunia tak tersentuh angan angan, apalagi cerita kepalsuan. Sang Cupidon sibuk merentangkan busur panahnya, meluncurkan kata kata yang bergedebam melentingkanya kelangit tinggi, membuatnya mati mati. Nafas mereka menyatu, meniadakan dimensi ruang dan waktu yang membentengi rindu, menayangkan drama animasi terbaik abad ini. Ia menjadi bayi, tergolek tak berdaya tanpa jubahnya, ditelanjangi lembar demi lembar piranti kepalsuanya. Ia rasa ia menjadi dirinya sendiri, hidup diantara debu dan udara alam nyata.

Hingga tiba saatnya dia akan kembali, bertemu pagi dan seribu satu urusan duniawi, kepalsuan demi kepalsuan lain lagi. Kepalsuan belaka yang menyebabkan pagi dianggap sebagai hari baru, dimana segala bebas dimulai bak ladang harapan yang minta ditanami. Tak sadar isi dunia hanyalah kehausan akan keinginan dan kelaparan akan ketidak inginan, dengan peraturan pertaruran yang dibuat sedemikian rupa sebagai juklak pelaksanaan. Batasan demi batasan dibuat dengan azas ambigius demi celah pembelaan. Ah, betapa tua dunia bahkan ketika tak disadari bahwa sekarang tak perlu ada api untuk memunculkan asap. Keajaiban menjadi hal biasa, keluar biasaan menjadi budaya yang dimaklumi begitu saja pun tanpa alasan apapun. Garis antara palsu dan nyata menjadi kabur oleh pijakan kaki kaki kotor para pejalan, dan kepalsuan perlahan menjelma jadi kebenaran.


(Aku ingin menjadi bayi raksasamu malam ini,
tenggelam dalam lautan damai pelukanmu.
Ciumlah aku,
hapuslah resahku dengan belaianmu,
angkuti bergunung gunung rindu yang menimbun dengan lembut bisikanmu,
rindu yang kutanggungkan ratusan tahun sendirian.
Ah, kamu terlalu indah, sonyaruri…)


Gempol, 060624