Friday, November 15, 2013

Luntur

Masih ingatkah kamu?

Waktu itu hujan turun riwis riwis seperti saat ini, suatu sore diatas bus AKDP. Kita bertemu tanpa sengaja, setelah sekian tahun saling menjauh dan tak lagi berkabar.  Tatapan mata yang tiba tiba itu ibarat segumpal salju yang membentur di tebing karang. Menghentak lalu amblas ditelan kejut. “ Sebaiknya  sekarang kita menjalani hidup kita masing masing” ucapmu sambil lalu. Dan seluruh isi dunia diam membeku sejak saat itu. Tatapan matamu kosong kedepan, mengimpikan tempat tujuanmu segera datang. Sedangkan aku, bergelantungan memandang pepohonan dan rumah rumah berlarian. Hampa.

Tas punggung di gendonganku berisi baju celana bekas, hasil dari meminta. Oleh sebab keadaanku yang sedang di dasar jurang kesengsaraan, tak mampu membeli pakaian untuk anakku. Sedangkan kamu, tengah berada dipuncak kejayaan masa mudamu, seolah tak aka nada satupun duka yang akan sanggup menaklukkanmu. Dan aku tengah menghitung jasa dari sesiapa yang berjasa untuk tetap ada dalam hatiku ketika dunia seolah membelakangiku. Tak sedikitpun itu kudapat darimu. Kamu terbuai dengan segala euphoria masamuda, hanyut oleh keinginan melampaui langit batas yang kelak ternyata membantingmu dalam gelap tak beratap.

Empatbelas tahun berlalu, lalu tiba tiba kita bertemu.

Kita telah kehilangan begitu banyak cerita selama itu. Waktu berputar seolah kita tidak berada didalam pusarannya. Ribuah mozaik kehidupan kita susun dalam ketidak tahuan, serpihan masa lalu telah membangkai dan kita hanya bisa mencatatnya dalam kenangan masing masing; penuh rahasia. Wajahmu menjadi layu, bersama keriput yang tumbuh satu satu di garis wajahku. Senyummu masih senyum yang dulu, sinis tapi mengandung madu. Kita bebicara, seolah olah masa lalu tidak pernah ada. Betapa kita sadar ketika itu, bahwa sungguhlah putaran kisah hidup seolah tak mempedulikan kita. Semua yang terjadi di kehidupan kita sebelumnya membias layaknya asap rokok yang memenuhi ruang tamu rumahmu.

Sejak itu aku berusaha memaksa diri, mencari sesuatu yang hilang dari hidupku atas dirimu. Dan tak kutemui jua apa yang kucari. Empatbelas tahun telah menghapus sebagian besar kekagumanku, berganti dengan halaman baru dalam buku komik yang berisi kisah biasa tentang dunia dari dua orang asing yang berbeda. Bukan orang baru yang mengandung misteri keajaiban tentang sebuah pribadi, melainkan dunia lama yang tertayang nyata dalam realita. Bedanya, kali ini hambar terasa. Kita telah menjalani apa yang seharusnya terjadi, dan kitapun akan menjalani apapun yang Tuhan kehendaki. Dunia berputar cepat, segala cerita manusiapun perlahan lindap dalam lilitan waktu.

Lalu waktu berjalan lagi seperti yang seharusnya. Aku mengenalmu sebagai pribadi baru yang suka mengeluh dan menonjolkan kemalangan sebagai symbol mentahnya jiwamu. Sungguh sekian lama waktu dan sekian banyak luka dan tawa tak mendewasakanmu. Tak juga menjadikanmu sebagai kanak kanak seperti halnya engkau ingin dianggap oleh setiap orang yang ada dalam kehidupanmu. Seolah engkaulah manusia paling malang di muka bumi dan berharap semesta alam akan jatuh kasihan terhadapmu. Padahal sesungguhnya, mengasihani diri tidak ubahnya pamer diri yang tidak perlu. Bahkan wajahmupun tak semenarik dulu, pun tiap hari kau pajang di jendela dunia agar semua orang mengagumimu.

Perlahan aku menjadi muak dengan ketidak dewasaanmu. Kecerdasan yang menjadi butir butir benih kekagumanku dulu telah lenyap ditelan waktu. Ya, memang sebaiknya kita menjalani hidup kita masing masing, diam diam.



Medan 131115

Sunday, October 13, 2013

Anak Setan

Suatu ketika terbersit pemikiran yang kemudian bermutasi menjadi pertanyaan tentang kekuasaan setan atas perilaku seseorang. Tentu pertanyaan itu tidak muncul dari udara hampa, melainkan dari penghakiman yang semena mena dialamatkan ketika ketidak sesuaian pandangan berselisihan.

Setan tidak lebih adalah sikap menyimpang yang kita amini, kita turuti dalam berkehidupan. Jikapun sebagian berpendapat dia bukanlah diri kita sendiri, itu semata mata adalah cara paling ideal untuk mengkambing hitamkan hal lain kecuali diri sendiri. Karena setan tidak ubahnya dalah diri kita sendiri yang terhanyut dalam negatifisme pikiran, kemudian diterjemahkan dalam sikap yang belebihan. Sikap yang melanggar tatanan norma kepantasan mapun aturan peradaban yang tidak tertulis, tetapi terpatri dalam nurani setiap manusia. Jadi setan adalah belahan hitam dari sifat manusia itu sendiri yang keluar dari pakem kemanusiaannya.

Penguasaan atas setan pada diri manusia diterjemahkan dalam berbagai bentuk perilaku yang merugikan orang lain yang sejatinya adalah merugikan diri sendiri. Rugi yang amat besar. Akan tetapi sungguh tidak ada manusia yang bisa terhindar dari bahaya terlarut dalam kekuasaan setan. Itu karena sebagian dari perilaku menyimpang yang dikategorikan sebagai produk setan adalah hal hal yang menyenangkan secara rahasia, terutama memberi kepuasan ego. Acap kali perilaku salah yang dilakukan dengan sadar kemudian menimbulkan penyesalan (bagi mereka yang memang berwatak dewasa), namun tidak jarang juga justru menimbulkan ketertagihan bagi pelakunya. Jadi setan itu bisa adiktif.

Diantara dari sekian banyaknya produksi setan adalah perasaan dendam. Seseorang yang memiliki sifat pendendam akan memuaskan egonya dengan menurutkan dendam itu dalam berbagai bentuk yang merugikan. Dendam adalah perasaan memendam rasa tidak terima untuk dibalaskan dengan kesengsaraan yang berlipat lipat ganda jumlahnya. Dan dendam timbul secara subyektif dari perasaan sakit hati. Seseorang yang hatinya pernah tersakiti tidak akan pernah kembali pulih seperti sedia kala. Rasa sakit dalam hati akan melukai jiwa dan menjelma menjadi magma di dalam batin yang pada suatu saat dapat menggejolak dan meledak. Guncangan guncangan karena ketersinggungan perasaan oleh ucapan maupun perbuatan dapat memicu timbulnya bencana api.

Kompromi nurani adalah satu satunya cara untuk dapat “menyembunyikan” si gunung api. Kompromi menghasilkan kaldera yang tentu saja mengandung kesuburan untuk menumbuhkan tetanaman mimpi maupun harapan bagi kehidupan masa depan. Dan kompromi memerlukan kekuatan yang maha besar, untuk menerima kekalahan sebagai sebuah ketidak berdayaan. Komprimi artinya merelakan sebagaian dari hidup yang terbangun untuk diterima sebagai sesuatu yang telah hancur dan tak bisa dibangun lagi, harus ditinggalkan dan tak diharapkan lagi manfaatnya. Dan bagi lelaki, maka penghinaan yang paling menghancurkan adalah binasanya martabatnya sebagai lelaki, ditempat dimana ia membangun investasi sosialnya.

Mereka yang berpandangan picik akan menganggap bahwa sikap negative seseorang yang pernah disakitinya adalah semata mata karena setan telah menguasai hidupnya. Padahal, jika mau sedikit membuka mata sebenarnya sikap yang disesalkan itu tidak lebih adalah anak anak setan yang dia tanamkan bertahun tahun silam. Penghinaan yang sedemikian buruk telah membinasakan makna kemuliaan yang selama bertahun tahun berusaha dibangun dari kehancuran. Harga diri yang karena penghinaan bagi laki laki sungguh sangat menghancurkan kehidupan, mematikan matahari di siang hari dan meniadakan rembulan ketika malam. Di dalam kegelapan itu terjadi perkelahian panjang dengan segala macam nelangsa, benci, amarah bahkan rasa malu karena telah dilecehkan oleh orang justru seharusnya menjaga hatinya. Sungguh sebuah proses rekonsiliasi yang termat mahal, memboroskan umur dan sekaligus mempertaruhkan kebahagiaan pribadi.

Rasanya sudah sepantasnya jika kita selalu belajar menjadi bijaksana, dengan membukan diri untuk mencoba merasakan apa yang orang lain rasakan atas sikap dan perbuatan kita di masa lalu. Seseorang yang dihancurkan di masa lalu dan kemudian memutuskan untuk bertahan dan membangun kembali puing kebanggan, dengan sekaligus memberikan baktinya kepada orang yang telah menghancurkannya sungguh tidak layak untuk direndahkan lagi. Cita citanya untuk menjadi orang baik layak untuk dihargai dengan cara cara yang membesarkan hati. Bagaimanapun juga, dia telah melewati ribuan siang dan ribuan malam dalam perang batin yang sangat melelahkan dan menyakitkan. Mempersembakan kembali luka masa lalu sebenarnya dalah perbuatan tolol yang hanya mungkin dilakukan oleh orang orang yang tolol pula.

Anak setan bukan lahir dari udara, melainkan tertanam di dalam hati yang baik lewat perkawinan antaran kebohongan dan penghianatan. Bayi bayi setan itu berkubang dalam kawah yang tertutup oleh lembaran waktu yang amat rapuh. Erupsinya mendatangkan pedih yang ribuan kali perihnya dari luka awal yang membentuknya. Hidup tidak sesederhana kata kata, sedangkan sikap menggampangkan sembarang mencerminkan kedangkalan nalar. Sungguh tidak bijaksana menyepelekan perasaan orang lain yang berusaha memberikan kebaikan dan kemudahan hidup kita.

Maka pada akhirnya, terkadang orang akan menyesali kebaikannya sendiri yang sia sia. Sungguh mengerikan rasanya membayangkan menjadi laki laki yang mati dengan menanggungkan sakit hati. Terlebih lagi, sungguh rendah mereka yang menyebabkannya.



Panjang Jiwo 131030

Thursday, April 04, 2013

Maros Nostalgi

Gerbang stasiun perlahan tertutup, seiring lampu lampu peron yang perlahan meredup. Senja turun mengikat satu demi satu cahaya. Sepasang sepasang orang terbuang berkerumun di tepi kali, bersiap melintasi malam sialan sekali lagi. Mata mata waspada, ketika iblis menggeliat disepanjang trotoar dan balik rimbun bunga liar. Tinggallah dingin yang membelah tulang! Gedung gedung megah menjulang menyimpan kemewahan menjadi penghias langit belaka bagi siklus kehidupan sisa sisa disepanjang rel kereta dan pintu air Jagir. Nyala lilin seolah melantunkan lagu lagu pilu tentang masa silam dan orang orang dalam kenangan. Tiba saatnya sadar, bahwa ternyata masa lalu tertimbun jauh lebih banyak ketimbang jumlah masa depan. Tiba tiba hidup menjadi terasa usang.

Bangku kayu panjang kedai kopi beratap terpal, menjadi terminal pikiran bagi setiap pejalan. Sesekali angin membawa debu bercampur asap knalpot, beraroma air kencing basi yang tertimbun kencing lain lagi di pojok parkir stasiun. Inilah dasar dari sebuah peradaban kota, ampas dari  cita cita perjalanan masa muda. Mimpi mimpi terdapar pada lapak lapak dekil Pasar Maling, yang memberi nafas pada kehidupan malam di sebuah lorong kota metropolitan. Orang orang begitu kesepian, dengan wajah wajah gelisah seolah takut sendirian. Sungguh, sebenarnya setiap orang selalu sendirian, meskipun ditengah keriuhan. Sungguh sebenarnya setiap manusia adalah invididu yang membawa dunianya sendiri sendiri, hidupnya sendiri sendiri dengan cara yang paling rahasia.

Segelas kopi menunggu arloji. Berteman gumpalan gorengan dan rupa rupa jajanan. Bangku kayu ini oase sederhana ditengah gurun karbondioksida. Seolah memberikan panorama kehidupan dunia yang berjalan ibarat gerbong berbong kereta yang melaju meninggalkan waktu. Cerita demi cerita diri sendiri, rahasia demi rahasia diri sendiri dan juga rahasia milik setiap orang. Hidup begitu keras, toh tidak harus diperlihatkan sebagai sesuatu yang buas. Kemiskinan yang perih ternyata juga hanya salah satu kisah yang hanya tnggal harus dijalani. Semua kisah ada masanya, ada tempo dan iramanya. Dan semuanya berjalan tak berjeda. Waktu telah menjadi belenggu tak kasat mata, rantai gaib yang menggandengkan antara kejadian masa silam dengan kemungkinan di masa yang akan datang. Sedangkan, di bangku kayu kedai kopi tepi jalan, kenang kenangan menggenang bersama nelangsa yang menikam diam diam.

Sepotong maros yang hampir terasa hambar adalah gerbang masuk miliaran nostalgi masa kecil. Masa kanak kanak yang tumbuh remaja dimana manusia belajar membedakan diri dari binatang. Kemiskinan memberikan banyak dispensasi moralitas, oleh karena idealisme yang harus takluk oleh keperkasaan sang lapar. Dan kemiskinanlah sesungguhnya guru paling bijaksana bagi setiap umat manusia kota. Oleh sebab daripadanya, manusia diajarkan untuk tidak melimbahkan apapun dalam hidup. Kemiskinan juga motivator yang alim, sebab daripadanya lahir mimpi mimpi besar, harapan harapan lebar. Yang diperlukan hanya kekuatan untuk menjalaninya. Itu saja. Ketika dogma dijejalkan sebagai surga dan neraka yang sama sama tak ada di muka bumi, maka hidup memberi kebijaksanaan tinggi atas ajaran mulia itu sebagai nilai penenang hati.

Lunak gumpalan maros membawa runcing tajamnya kenangan masa silam, ketika sekeluarga petani tanpa suami hidup pada suatu masa. Lima bocah dan satu ibu, bersama ketidak mengertian dan ribuan makian yang disembunyikan. Keluarga compang camping yang tidak memiliki banyak pilihan, dan hanya memiliki terlalu banya keinginan. Dunia seolah olah lahir dengan ketidak berdayaan, dan anak anak lahir dari krisis yang tak berujung dan tak berpangkal. Setiap hari terjadi perebutan kekuatan, antara harapan dan keputus asaan. Keajaiban ditunggu tunggu setiap bangun dari tidur di pagi hari, bahwa dunia akan memberikan kemuliaan sepenuhnya dengan tiba tiba. Berpuluh puluh tahun terjalani, dan rupanya memang semuanya harus seperti yang terjadi. Suka cita bisa datang dengan berbagai sarana dan cara, meskipun kemelaratan mengepung dari enambelas penjuru angin.

Suapan terakhir maros di tangan  menghadirkan sensasi kenangan akan masa silam yang jauh dari dimensi ruang dan waktu. Ketika sekeluarga petani tanpa suami, lima bocah satu ibu membagi segumpal darah ayam kental goreng; darah dari ayam jago yang disembelih untuk kenduri, mengirim doa bagi para leluhur dan para wali. Ayam jago ayam piaraan, yang terlalu berharga untuk dilimbahkan oleh keluarga yang kelaparan. Mereka mungkin menawar perintah Tuhan, tetapi sungguh mereka tak hendak mencelakakan sesama. Sesungguhnya, mereka hanya mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh kehidupan, tanpa banyak bertanya.

Terimakasih ibu, atas jasamu mengajari kebijaksanaan hidup yang tak ada di dalam buku.  

Pasar Maling – Wonokromo 130403

Monday, February 18, 2013

Rasyid Jamal Rajasa

Rasyid anak pejabat tinggi Negara, kaya dan lagi ternama. Tempo hari selepas hura hura tahun baruan, dengan mobil mewahnya ngebut di tol dan menabrak omprenangan dari belakang. Dua orang tewas, satu balita satu lagi manula. Setelah samar samar, maka semua jelas bahwa memang si kaya ini lalai, sehingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Hukum pidana berlaku, bersamaan dengan tata acaranya.


Jamal lain lagi, dia supir omprengan biasa, hidup pas pasan di rumah kontrakan, jauh dari kenyamanan. Dia hanya mencari rizki, mengitari kota saban hari sejak dua puluh tahun terakhir ini. Suatu hari yang kacau, Jamal mendapat sewa, seorang mahasiswi UI. Anak baru di Jakarta, tak paham jalan jalan ibukota, maka sopir angkot jadilah navigator andalannya. Ketika ternyata ia salah naik, lalu ia jadi panic. Melompat sejadi jadinya dari angkot yang melaju, dikira Jamal berniat mesum seperti kabar di Koran Koran belakangan. Daripada dirampok, diperkosa lalu dibunuh, mendingan menyelamatkan diri. Walhasil kepala mahasiswi UI membentur aspal, terseret sebenatar kemudian terkapar; tewas pula. Maka hukum pidana berlaku, bersamaan dengan tata acaranya.

Rasyid tidak ditahan, otaknya masih shock oleh kecerobohannya yang menyebabkan orang sengsara batinnya; kehilangan orang orang yang dicintainya. Rumah sakit mewah menjadi pilihan, tameng hukum yang melegalkan alasan keculasan. Konon dia harus rajin berobat dan beristirahat oleh sebab kondisinya yang tidak sehat. Nasibnya terbalik 180 derajat dengan Jamal. Sebab Jamal yang kemudian kaget mengetahui penumpangnya melompat, kemudian membawanya ke rumah sakit untuk diobati. Nahas memang, sebab penumpangnya akhirnya mati. Maka Jamal melapor ke polisi. Detik ia melapor itulah awal dia kemudian ditahan, masuk ruang tahanan polsek yang njekut dan kumuh. Bersama bajingan dan penjahat lainnya yang menganggap diri mereka bernasib apes. Dijauhkannya  Jamal dari istri dan anaknya, dari keluarganya. Demi hukum, maka ia harus berhenti mencari makan untuk keluarganya. Terkurung dalam kerangkeng tahanan dengan masa depan yang penuh kekhawatiran.

Jika dipikir pikir, para petinggi negeri ini memang banyak yang otaknya tercampur feses. Di negeri yang berlandaskan hukum ini, hukum berjalan pincang pincang, tebang pilih dan pandang bulu. Untuk pejabat, orang kaya dan orang orang ternama, hukumannya tak perlu berat, sebab dengan menjalani ketidaknyamanan penjara saja dianggap sudah merupakan hukuman yang berat. Cara berpikir yang imbisil itu nyata nyata pernah disampaikan didepan khalayak oleh seorang yang menyandang gelar ahli hukum. Untuk orang miskin sekelas Jamal, maka hukum diterapkan sesuai apa adanya, sesuai yang seharusnya. Tidak ada yang mempedulikan akibat yang timbul dari proses hukum yang harus ia jalani, sebab Jamal bukan anak pejabat, apalagi kaya raya. Terkenalpun namanya sejak malapetaka sore itu saja.

Memang tambah apes bagi orang kecil di negeri penuh retorika ini. Menjadi obyek dari mesin politik yang berjalan mempengaruhi segala lini. Sikap sikap petinggi tak lagi patut untuk jadi tauladan, yang semestinya pimpinan adalah imam yang mendidik dengan contoh; hidup dengan jujur. Tatkala hukum menyambangi mereka yang Berjaya, maka hukum pula akan menjadi ajang kepandaian meramu fakta. Azas kepastian, azas keadilan dan manfaat hanya tinggal menjadi ajaran yang dilupakan, seperti layaknya pelajaran membaca abjad untuk kali pertama. Hukum tajam kebawah, menghujam bumi dan menjepit mereka yang tak cukup punya piti. Kuat melilit sehingga menyebabkan sesak nafas secara psikologis, sedangkan untuk mereka yang kaya, longgar dan melar seperti trampoline.

Memang keadilan tidak perlu sama rata sama rasa, karena keadilan bersifat abstract lagi subyektif. Hukum bukanlah sarana balas dendam, sebab hukum merupakan satu satunya tiang suar bagi keadilan. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab moral yang tidak ringan oleh sebab mereka adalan tentakel pengelola Negara yang berkewajiban mejalankan amanat konstitusi. Ketika pejabat hukum tidak terkontaminasi dengan kekaguman dan materi, maka bisa dipastikan bahwa hukum akan menjadi komoditi menakjubkan dan menguntungkan. Akibatnya, tata cara penghukuman orang akan diabaikan, sebab mata penegak hukum tak lagi melihat bahwa setiap orang sama dihadapan hukum.

Bagaimanapun kita sepakat bahwa kita berpijak pada konsep negara hukum, dimana semua orang memiliki hak yang sama didepan hukum. Meskipun, sebenarnya hukum yang berjalan sendiri sudah memberi peluang kepada bemracam macam diskriminasi. Ditambah lagi, mental penegak hukum yang reyot di negeri ini memberi peluang menganga distribusi ketidak adilan, khususnya pada rakyat jelata. Maka tidak akan mengherankan jika pada akhirnya nanti Rasyid Rajasa yang nyata nyata bersalah karena atas kelalaiannya menyebabkan jatuhnya korban jiwa, akan menerima vonis sejenis lelucon. Sedangkan Jamal dan para sopir angkutan umum yang memiliki bobot kesalahan yang sama dengan motivasi berbeda, tentu akan tunduk pada hukuman badan apa adanya.

Bambuapus 130218 

Wednesday, February 13, 2013

Membelah Detik



Malam jatuh kepada garis garis wajah yang dilukis oleh cahaya temaram, ketika perkasa lampu lampu mematikan gemuruh jalan. Tasikmalaya kembali sunyi, tenggelam dalam rahasiannya yang menggenang.  Kedai kopi tepi jalan, tumpangan khayal melalang terbang, jauh menerabas awan awan kemustahilan. Gambar gambar mati tersaji bagai replica taman kaca, indah menyayat. Pupus mimpi hanya  oleh sepatah sepatah kalimat penyampai yang termaknakan keliru dan berbeda. Sisi sisi berisi estetika rasa, bukan tentang siapa dia tetapi tentang betapa sempurna ciptaanNya.

Malam seperti membelah detik ketika pertempuran kehendak bisu menggejolak, pertarungan antar nilai dan kodrat alam fauna.  Tipu tipu daya berasa seolah nyata, membentuk gugusan kebodohan yang mengagumkan.  Kesadaran atas kemanusiaan yang manusiawi membawa angin menganyam ingatan, atas utas demi utas kenangan masa silam.  Pada pucuk pucuk menara Masjid Agung, sepasang mata agung berkilauan menawarkan rindu.

Ada sepi yang menusuk lewat sela sela pagar setiap rumah batu yang membeku. Ada api yang sesekali menyambar pori pori, membujuk diri untuk bertindak gegabah. Dari lorong lorong berupa jembatan dan gang gang seterang kunang kunang, perempuan bermunculan membawa bau rambut. Itu terjadi ketika rombong demi rombong menjadi tak berlampu, terdiam berselimut plastic menjaga malam. Tepian jalan kota ini telah mengajari satu romansa kehidupan purba, seumur zaman dengan peradaban tikus tikus werok. Tingkah manusia aneh  bisa menjadi sangat wajar dan biasa, sebab hidup memang perlu biaya. Ah, kota kecil ini telah menjelma menjadi metropolitan kecil pula.

Pejalan yang terlupakan tersesat di negeri  bidadari, kehilangan arah, kehilangan gravitasi selayak layangan tak berbenang. Sembunyipun akan percuma sebab semua kejadian yang tak diceritakan akan tetap menjadi rahasia. Ia mencari penderitaan yang tak kasat mata, selayak  kenangan runcing  yang menancap telapak kaki sepanjang marka pemandu di jalan aspal.  Sejatinyalah rasa rindu terpelihara oleh dimensi ruang semata ketika jarak menjadi tunduk pada sebuah batas. Batas yang terkadang terletak berjauhan dengan hasrat dan keinginan tersembunyi.

Pantulan khayal percintaan memperlambat interval di kota bernuansa ziarah ini. Percakapan kental terpenggal oleh sebuah keharusan yang teramini. Kilasan balik pikiran melahirkan pergumulan sepi antara keinginan dan kenyataan. Hidup jadi tiba tiba membeku bersama inspirasi yang mati sewaktu sikap menjaga hati diterjemahkan dengan memasung jarak; batas yang terlalu jauh. Dongengan manis kisah si kembi yang takut matahari menyajikan kantuk, ketika sonyaruri terbelah oleh detik yang tak terhentikan.  

Angin nakal membawa kabar tentangmu, yang bersembunyi di balik gelap. Tentang kisah jejak jejak yang kau teinggalkan setengahnya bersisi undangan. Kabarmu datang terlambat, sedangkan hasrat hati tunduk pada waktu yang membawa tubuh melaju pesat. Hanya pada simpang jalan di sudut pasar tua itu, kenangan terbelenggu rantai di bangku kayu.  Kembara malam mengidung asmaradahana, laksana mendaki Galunggung, serasa telah menaklukkan sang gunung. Rupanya pendaki tak lebih sekedar pengunjung yang melintas di perjalanan. Terkadang ada saatnya, ketika segala bentuk pencapaian seolah olah tidak memiliki makna. Hilang begitu saja, tinggal jejak percakapan yang samar samar kuikuti.

Hingga malam lelah menggantung, lunas sudah mantera  bisu pemujaan mengalun.  Bahkan cahaya hari tak dapat menemukanmu, yang menjauh dan bersembunyi di balik mimpi bimbang milik pejalan yang menyinggahi malam. Nyatanya, engkau seolah olah ada.

Tasikmalaya 130208 

Monday, February 11, 2013

Teman Dibawah



Dia adalah seorang asing yang kemudian oleh keajaiban takdir dipertemukan dan kemudian mengenali hidup pribadinya, bahkan membelasak hingga jauh kedalam hati dan pikiran. Kita begitu sendirian ketika berada di ketinggian, merasa bahwa ketinggian menciptakan jarak persepsi . Kita tumbuh di rimba peradaban dimana ketidak adilan terjadi dan terus menjadi jadi di negeri ini. Ketidak adilan yang juga menerbitkan bibit bibit ketidak adilan lainnya, beranak pinak dan berkembang biak dalam laju zaman yang tak mampu kita bendung. Atau hanya karena kita tumbuh pada zaman yang salah. Barangkali.

Sekumpulan kisah perjalanan   terkandut dalam umur yang menyusut. Lompatan lompatan euphoria hidup maupun dada sesak oleh pikiran pekat terlalui seolah olah hanya cerita milik orang lain. Menjadi gambar mati disepanjang dinding lorong dimana kita terus melangkah menuju kuburan. Kita bertemu diantara lekuk lekuk kisahnya, membagi lolongan tentang dasar jurang berisi lumpur yang pernah membenamkan, atau membagi perih oleh sebab penghianatan orang kepercayaan.  Dan kita tetap melaju dengan cara hidup masing masing.  Cinta begitu syahdu mengombang ambingkan arah disepanjangnya.  Membanting dan menerbangkan angan angan hingga kita terdampar pada halaman yang tak mungkin lagi akan terulangi.

Aturan kepantasan memang tidak peduli pada nasib dan keinginan. Maka, dengan masih bisa saling menemukan di dunia langitpun cukup sebagai ziarah kepada monument abadi yang penuh berisi prasasti tentang stanza dunia kecil berpelangi. Sungguh nilai pertemuan hanya dapat terjadi hanya dengan campur tangan keajaiban, oleh sebab daya rencana kita telah dimatikan oleh begitu banyaknya kewajiban yang harus ditunaikan. Hak istimewa kita sebagai manusia bebas telah gugur satu demi satu, jatuh mati ke tanah pada setiap lembar kalendar yang tercabik dari dinding di dekat ruang tamu.

Ketika langkah kakipun perlahan melemah, maka teman di bawah tetap setia menemani, memelihara keindahan masa muda.  Kenangan atas teman dibawah menjadi mozaik kerinduan yang berisi catatan kebaikan hidup dua manusia yang berbeda kepala, berbeda dada.  Teman dibawah menjadi cinta platonic yang justru lebih abadi dari ingar binger petualangan asmara. Catatan catatan pertemuan menjadi silabus pengalaman yang selalu bisa menguatkan oleh sebab penghargaan yang tanpa motif duniawi.

Rasa rindu adalah kolaborasi dari sekumpulan tiga rantai kehidupan sosial manusia; melakukan untuk orang lain, orang lain melakukan untuk kita, atau kita sendiri melakukan untuk diri sendiri.  Sebagian dikatakan dengan bahasa yang tidak bisa cukup menjelaskan esensinya, sangking rahasianya. Toh selamanya teman di bawah menjadi teman peneman angan, peneman hati yang selalu memiliki ruang untuk kesendirian. Sebab teman di bawah sejatinya adalah mereka yang benar benar memenuhi semua syarat untuk menjadi teman; menyediakan ruang lapang dalam hati untuk sekedar berbagi warna hari hari.

Karawang 130211