Friday, November 15, 2013

Luntur

Masih ingatkah kamu?

Waktu itu hujan turun riwis riwis seperti saat ini, suatu sore diatas bus AKDP. Kita bertemu tanpa sengaja, setelah sekian tahun saling menjauh dan tak lagi berkabar.  Tatapan mata yang tiba tiba itu ibarat segumpal salju yang membentur di tebing karang. Menghentak lalu amblas ditelan kejut. “ Sebaiknya  sekarang kita menjalani hidup kita masing masing” ucapmu sambil lalu. Dan seluruh isi dunia diam membeku sejak saat itu. Tatapan matamu kosong kedepan, mengimpikan tempat tujuanmu segera datang. Sedangkan aku, bergelantungan memandang pepohonan dan rumah rumah berlarian. Hampa.

Tas punggung di gendonganku berisi baju celana bekas, hasil dari meminta. Oleh sebab keadaanku yang sedang di dasar jurang kesengsaraan, tak mampu membeli pakaian untuk anakku. Sedangkan kamu, tengah berada dipuncak kejayaan masa mudamu, seolah tak aka nada satupun duka yang akan sanggup menaklukkanmu. Dan aku tengah menghitung jasa dari sesiapa yang berjasa untuk tetap ada dalam hatiku ketika dunia seolah membelakangiku. Tak sedikitpun itu kudapat darimu. Kamu terbuai dengan segala euphoria masamuda, hanyut oleh keinginan melampaui langit batas yang kelak ternyata membantingmu dalam gelap tak beratap.

Empatbelas tahun berlalu, lalu tiba tiba kita bertemu.

Kita telah kehilangan begitu banyak cerita selama itu. Waktu berputar seolah kita tidak berada didalam pusarannya. Ribuah mozaik kehidupan kita susun dalam ketidak tahuan, serpihan masa lalu telah membangkai dan kita hanya bisa mencatatnya dalam kenangan masing masing; penuh rahasia. Wajahmu menjadi layu, bersama keriput yang tumbuh satu satu di garis wajahku. Senyummu masih senyum yang dulu, sinis tapi mengandung madu. Kita bebicara, seolah olah masa lalu tidak pernah ada. Betapa kita sadar ketika itu, bahwa sungguhlah putaran kisah hidup seolah tak mempedulikan kita. Semua yang terjadi di kehidupan kita sebelumnya membias layaknya asap rokok yang memenuhi ruang tamu rumahmu.

Sejak itu aku berusaha memaksa diri, mencari sesuatu yang hilang dari hidupku atas dirimu. Dan tak kutemui jua apa yang kucari. Empatbelas tahun telah menghapus sebagian besar kekagumanku, berganti dengan halaman baru dalam buku komik yang berisi kisah biasa tentang dunia dari dua orang asing yang berbeda. Bukan orang baru yang mengandung misteri keajaiban tentang sebuah pribadi, melainkan dunia lama yang tertayang nyata dalam realita. Bedanya, kali ini hambar terasa. Kita telah menjalani apa yang seharusnya terjadi, dan kitapun akan menjalani apapun yang Tuhan kehendaki. Dunia berputar cepat, segala cerita manusiapun perlahan lindap dalam lilitan waktu.

Lalu waktu berjalan lagi seperti yang seharusnya. Aku mengenalmu sebagai pribadi baru yang suka mengeluh dan menonjolkan kemalangan sebagai symbol mentahnya jiwamu. Sungguh sekian lama waktu dan sekian banyak luka dan tawa tak mendewasakanmu. Tak juga menjadikanmu sebagai kanak kanak seperti halnya engkau ingin dianggap oleh setiap orang yang ada dalam kehidupanmu. Seolah engkaulah manusia paling malang di muka bumi dan berharap semesta alam akan jatuh kasihan terhadapmu. Padahal sesungguhnya, mengasihani diri tidak ubahnya pamer diri yang tidak perlu. Bahkan wajahmupun tak semenarik dulu, pun tiap hari kau pajang di jendela dunia agar semua orang mengagumimu.

Perlahan aku menjadi muak dengan ketidak dewasaanmu. Kecerdasan yang menjadi butir butir benih kekagumanku dulu telah lenyap ditelan waktu. Ya, memang sebaiknya kita menjalani hidup kita masing masing, diam diam.



Medan 131115