Sunday, October 13, 2013

Anak Setan

Suatu ketika terbersit pemikiran yang kemudian bermutasi menjadi pertanyaan tentang kekuasaan setan atas perilaku seseorang. Tentu pertanyaan itu tidak muncul dari udara hampa, melainkan dari penghakiman yang semena mena dialamatkan ketika ketidak sesuaian pandangan berselisihan.

Setan tidak lebih adalah sikap menyimpang yang kita amini, kita turuti dalam berkehidupan. Jikapun sebagian berpendapat dia bukanlah diri kita sendiri, itu semata mata adalah cara paling ideal untuk mengkambing hitamkan hal lain kecuali diri sendiri. Karena setan tidak ubahnya dalah diri kita sendiri yang terhanyut dalam negatifisme pikiran, kemudian diterjemahkan dalam sikap yang belebihan. Sikap yang melanggar tatanan norma kepantasan mapun aturan peradaban yang tidak tertulis, tetapi terpatri dalam nurani setiap manusia. Jadi setan adalah belahan hitam dari sifat manusia itu sendiri yang keluar dari pakem kemanusiaannya.

Penguasaan atas setan pada diri manusia diterjemahkan dalam berbagai bentuk perilaku yang merugikan orang lain yang sejatinya adalah merugikan diri sendiri. Rugi yang amat besar. Akan tetapi sungguh tidak ada manusia yang bisa terhindar dari bahaya terlarut dalam kekuasaan setan. Itu karena sebagian dari perilaku menyimpang yang dikategorikan sebagai produk setan adalah hal hal yang menyenangkan secara rahasia, terutama memberi kepuasan ego. Acap kali perilaku salah yang dilakukan dengan sadar kemudian menimbulkan penyesalan (bagi mereka yang memang berwatak dewasa), namun tidak jarang juga justru menimbulkan ketertagihan bagi pelakunya. Jadi setan itu bisa adiktif.

Diantara dari sekian banyaknya produksi setan adalah perasaan dendam. Seseorang yang memiliki sifat pendendam akan memuaskan egonya dengan menurutkan dendam itu dalam berbagai bentuk yang merugikan. Dendam adalah perasaan memendam rasa tidak terima untuk dibalaskan dengan kesengsaraan yang berlipat lipat ganda jumlahnya. Dan dendam timbul secara subyektif dari perasaan sakit hati. Seseorang yang hatinya pernah tersakiti tidak akan pernah kembali pulih seperti sedia kala. Rasa sakit dalam hati akan melukai jiwa dan menjelma menjadi magma di dalam batin yang pada suatu saat dapat menggejolak dan meledak. Guncangan guncangan karena ketersinggungan perasaan oleh ucapan maupun perbuatan dapat memicu timbulnya bencana api.

Kompromi nurani adalah satu satunya cara untuk dapat “menyembunyikan” si gunung api. Kompromi menghasilkan kaldera yang tentu saja mengandung kesuburan untuk menumbuhkan tetanaman mimpi maupun harapan bagi kehidupan masa depan. Dan kompromi memerlukan kekuatan yang maha besar, untuk menerima kekalahan sebagai sebuah ketidak berdayaan. Komprimi artinya merelakan sebagaian dari hidup yang terbangun untuk diterima sebagai sesuatu yang telah hancur dan tak bisa dibangun lagi, harus ditinggalkan dan tak diharapkan lagi manfaatnya. Dan bagi lelaki, maka penghinaan yang paling menghancurkan adalah binasanya martabatnya sebagai lelaki, ditempat dimana ia membangun investasi sosialnya.

Mereka yang berpandangan picik akan menganggap bahwa sikap negative seseorang yang pernah disakitinya adalah semata mata karena setan telah menguasai hidupnya. Padahal, jika mau sedikit membuka mata sebenarnya sikap yang disesalkan itu tidak lebih adalah anak anak setan yang dia tanamkan bertahun tahun silam. Penghinaan yang sedemikian buruk telah membinasakan makna kemuliaan yang selama bertahun tahun berusaha dibangun dari kehancuran. Harga diri yang karena penghinaan bagi laki laki sungguh sangat menghancurkan kehidupan, mematikan matahari di siang hari dan meniadakan rembulan ketika malam. Di dalam kegelapan itu terjadi perkelahian panjang dengan segala macam nelangsa, benci, amarah bahkan rasa malu karena telah dilecehkan oleh orang justru seharusnya menjaga hatinya. Sungguh sebuah proses rekonsiliasi yang termat mahal, memboroskan umur dan sekaligus mempertaruhkan kebahagiaan pribadi.

Rasanya sudah sepantasnya jika kita selalu belajar menjadi bijaksana, dengan membukan diri untuk mencoba merasakan apa yang orang lain rasakan atas sikap dan perbuatan kita di masa lalu. Seseorang yang dihancurkan di masa lalu dan kemudian memutuskan untuk bertahan dan membangun kembali puing kebanggan, dengan sekaligus memberikan baktinya kepada orang yang telah menghancurkannya sungguh tidak layak untuk direndahkan lagi. Cita citanya untuk menjadi orang baik layak untuk dihargai dengan cara cara yang membesarkan hati. Bagaimanapun juga, dia telah melewati ribuan siang dan ribuan malam dalam perang batin yang sangat melelahkan dan menyakitkan. Mempersembakan kembali luka masa lalu sebenarnya dalah perbuatan tolol yang hanya mungkin dilakukan oleh orang orang yang tolol pula.

Anak setan bukan lahir dari udara, melainkan tertanam di dalam hati yang baik lewat perkawinan antaran kebohongan dan penghianatan. Bayi bayi setan itu berkubang dalam kawah yang tertutup oleh lembaran waktu yang amat rapuh. Erupsinya mendatangkan pedih yang ribuan kali perihnya dari luka awal yang membentuknya. Hidup tidak sesederhana kata kata, sedangkan sikap menggampangkan sembarang mencerminkan kedangkalan nalar. Sungguh tidak bijaksana menyepelekan perasaan orang lain yang berusaha memberikan kebaikan dan kemudahan hidup kita.

Maka pada akhirnya, terkadang orang akan menyesali kebaikannya sendiri yang sia sia. Sungguh mengerikan rasanya membayangkan menjadi laki laki yang mati dengan menanggungkan sakit hati. Terlebih lagi, sungguh rendah mereka yang menyebabkannya.



Panjang Jiwo 131030

No comments: