Tuesday, December 04, 2007

Rencana Pembatalan


Sebuah rencana bisa jadi dibuat dalam kurun waktu yang sangat lama, bisa berhari hari, bisa juga berbulan bulan maupun bertahun tahun. Rencana sama saja dengan menyiapkan segala sesuatu untuk membuat sesuatu terjadi. Sedangkan untuk membatalkan sebuah rencana (baik besar maupun kecil) maka kita hanya perlu ukuran waktu dalam satuan detik untuk melakukannya.

Terkadang pembatalan terasa seperti matahari yang tiba tiba padam. Dalam kegelapan seseorang yang dipancung dengan pedang bernama pembatalan harus mencari cari pegangan, dan hanya menemukan diri sendiri yang pantas untuk disalahkan. Menyalahkan diri sendiri karena terlalu berharap. Kekecewaan memang lahir dari harapan yang dibangun sendiri. Menerima. Ya, menerima itulah reaksi bijaksana yang juga menciptakan rasa aman bagi semua orang kecuali si yang menerima. Bagaimanapun kita tidak bisa mengkontrol orang lain untuk membuat sebuah keputusan, termasuk ketika seseorang harus membatalkan sebuah rencana besar yang sudah demikian diyakini bakan menjadi sebuah kenyataan yang mendatangkan rasa sukaria.

Kekecewaan yang terasa bisa saja datang dari rasa malu karena dipermainkan harapan dan keinginan sendiri. Memberi peluang kesenangan terhadap diri sendiri terasa sebagai sebuah kemewahan egois yang berlebihan terkadang. Kecele oleh keinginan dan keyakinan sendiri kemudian merubah bentuk antusiasme menjadi kekecewaan yang harus diterima sebagai milik pribadi sekali. Soal rasa memang hak milik yang sangat pribadi bagi setiap manusia.

Idealnya setiap orang tidak boleh memiliki hak untuk marah kepada orang lain,sebab setiap orang seyogianya tidak diperuntukkan untuk mengendalikan keputusan orang lain. Tidak ada satupun pasal yang mewajibkan siapapun untuk mewujudkan sebuah rencana rahasia yang disusun atas dasar keinginan semata. Setiap individu adalah pribadi yang bebas. Dan semesetinya kita merasa sangat beruntung sebab dalam kebebasan itu kita dipilih untuk menjadi sesorang dalam kehidupan pribadi orang lain. Hanya saja, memang ada kenyataan dimana terkadang kehidupan yang bukan pribadi justru menempatkan seseorang dengan penghargaan dan apresiasi yang memadai ketimbang sebuah hubungan pribadi yang semestinya penuh makna tenggang rasa.

Pembatalan sefihak tetap saja melahirkan korban. Tanpa berharap dianggap sebagai pembelaan, tetapi menempatkan kepentingan orang lain sebagai “korban” tidak lebih baik dari tragedy terburuk dalam kehidupan. Anggap saja sebagai pengabaian atas diri dan segala yang terkandung dalam pemikiran maupun emosi justru ketika diri begitu yakin kalau punya cukup nilai yang pantas untuk dipertahankan sebagai seseorang yang eksis dalam kehidupan seseorang lainya. Merasa menjadi korban atau menempatkan diri sebagai korban memanglah bukan sesuatu yang menguatkan. Pilihannya tinggal membiarkan segala hal menimpa, sebagai konskwensi dari kehidupan. Sudah sepantasnya kita berdoa semoga hidup setiap manusia diberkati dengan banyak kebaikan, terhadap siapapun yang memperlakukan kita sesuai keinginan mereka.

Entah apa lagi, entah siapa lagi yang akan melukai nanti. Biar saja, tidak penting untuk dipikirkan. Toh sebenarnya hanya kita sendiri yang bisa menyakiti diri sendiri sebab tidak seorangpun yang bisa melakukanya lagi.

Cisarua 071201