Tuesday, August 30, 2005

Jakarta, macet dan SMS


“Ufh…I am trapped in a traffic jam. Streets of Jakarta is really unpredictable” Amadea sms pada jam sembilan belas lewat tigapuluh menit tigapuluh sembilan detik, hari Senin minggu terkhir bulan ini. Di sudirman katanya, dalam perjalanan pulang dari kantornya di kawasan Hayam Wuruk ke rumahnya di Cinere.
“Yup! I heard a lot about that. What do you think government should do about it?” begitu tertulis di layar handphone dari antah berantah dalam format sama; sms.

“ Perbaiki kondisi angkutan umum, so the society lebih memilih naik angkutan umum daripada mbl pribadi. Contoh: Singapore. Angkat jempol buat angkutan umum disana. The keyword is: disiplin. Do u think Indonesia could do that?”
.
“ Not in d next 30 years I reckon. It is the matter of discipline. I agree. It is the mentality of the whole nation, -jkt community particularly. I think we can start from education plan”.
“ Indonesia disiplin? Berapa generasi lg ya? Dari segi edukasi kita ketinggalan many steps behind. Maybe we’ve lost 1 generasi penerus bangsa…”

“30yrs is when the next generation will be in charge. Idealnya kita yang menyiapkan pddkan bwat mereka sekarang. Sbh sistem pddkn yang komprehensif dan terevaluasi, tapi harus dibarengi policy yang ketat dalam prakteknya. Hukum harus dikawal scr represif. Ufh…I am out! Honestly I know nothing of what I was talking about”

Anda jangan salah, obrolan sms itu bukan keluar dari hape ekspatriat yang kebetulan tinggal dan bekerja di Jakarta, tapi dari dua orang laki laki perempuan dengan usia hampir sama, orang Indonesia satu bersuku Jawa dan satu bersuku Batak. Jangan pula kaget dengan bahasa yang mereka pergunakan, karena dalam dunianya bahasa itu justru lebih ekspresif dan sederhana! Bahasa seperti itu relatif jamak digunakan dalam komunitas eksekutif muda Jakarta. Campur aduk, yang penting komunikatif dan ekspresif. Dan kita tidak sedang dalam forum tata bahasa, kan?

Anda salah lagi kalau mengira obrolan kritis itu keluar dari pemikiran dua orang yang memang berkecimpung dalam dunia profesi yang sama, atau orang orang yang memang berkutat dengan kepedulian terhadap keadaan sosial kemasyarakatan, apalagi Lembaga Sosial Masyarakat. Bukan, si wanita bekerja di bidang civil engineering pada divisi tehnik sedangkan si laki laki bekerja dibidang Badan Usaha Jasa Pengamanan dan Penyelamatan pada bagian Operasi. Sama sama tidak ada konteks langsung dengan pekerjaan mereka. Wacana diskusi itu mengalir spontan atas apa yang mereka rasa, lihat dan alami semata.

Minimal dua orang itu sudah saling mengenal sangat lama? Oh, anda kurang tepat jika berprasangka seperti itu. Mereka kenal di dunia cyber lewat Yahoo Messenger barulah lima hari yang lalu dari computer di kantor mereka masing masing dan hanya itu. Mereka tidak pernah bertemu secara fisik di dunia real. Tetapi justru dunia maya itu barangkali yang membuat mereka berkomunikasi dengan bahasa fikiran dan bathin mereka, mengesampingkan embel embel hukum materi maupun yang melingkupi karakter peradaban secara fisik, termasuk latar belakang pendidikan. Sarjana tehnik dan seorang tamatan SMTA!
Sudahlah, kita kesampingkan profil dua panelis kita ini, sedikit kita bicarakan saja landasan filosofis dari content diskusi mereka.

Kemacetan Jakarta memang sudah menjadi keluhan umum yang didiamkan, diterima dan dimaklumi adanya. Orang seperti tidak berdaya melawan keadaan itu, kebingungan mencari alternatif jalan keluar ternyata menimbulkan kemacetan lain lagi pada umumnya. Penetapan three in one, menambah jalur perlintasan alternatif, Mass Rapid Transit atau Busway yang berbasis jalan raya, dan banyak lagi solusi praktis rasa rasanya belum membawa hasil yang melegakan bagi kemacetan itu sendiri. Macet tetap saja menimbulkan efek psikis yang sama; jengkel biarpun itu di mobil pribadi apalagi bergelantungan di bus kota. Pulang kerja, tanggal tua pula! Puih!

Obrolan sms diatas mengandung satu keluhan dari individu yang secara rutin mengkonsumsi kemacetan itu pada setiap hari kerja. Nah! Pada hari kerja saja rupanya kemacetan itu menjadi rutinitas. Sedangkan pada hari hari libur, jalanan menjadi lengang oleh lalu lalang. Orang bahkan bisa bikin acara jalan santai, sepeda santai atau jalan ramai ramai dijalanan protokol Sudirman pada hari libur! Dengan minta ijin kesana kemari dulu tentunya! Tidak diragukan lagi, memang mobilitas kaum pekerja jugalah yang menyebabkan kemacetan itu. Jutaan orang dalam urusannya masing masing memanfaatkan fasilitas jalan yang sama pada saat yang sama. Apakah lantas ada introspeksi yang konstruktif dari pemakai jalan bahwa merekalah sebenarnya subyek dan sekaligus obyek dari kemacetan itu? Tentu tidak. Mereka memiliki hak yang sama untuk menggunakan fasilitas jalan dan kendaraan, mereka dibebani dengan kewajiban yang sama pentingnya atas tuntutan profesi dan kehidupan pribadi masing masing. Harapan mereka, orang lain yang seharusnya mengerti kepentingan egois mereka, jalanan seharusnya tidak menciptakan kemacetan, dan nah ini dia…pemerintah seharusnya tanggap dan cerdas mencari solusi demi warganya!

Orang orang seperti Amadea yang notabene kelahiran Jakarta ataupun orang orang yang bermukim di Jakarta meskipun dilahirkan ditempat lain, memang cenderung terjebak dalam ekslusifias individunya masing masing. Pola seperti itu mau tidak mau memang menjadi budaya kota urban.
Sebagai individu Amadea mengeluhkan tentang kemacetan yang terjadi, dan dengan lancar dia mengungkapkan idealismenya kepada orang yang dianggapnya ada dalam ekslusifitas individunya. Sebuah idealisme berbasis solusi yang lahir dari keluhan terhadap realisme sosial yang semakin mengakar menjadi satu permakluman bersama; macet. Sebuah idealisme yang lagi lagi hanya terkurung dalam lingkaran ekslusifitas individu Jakarta, bukan menjadi wacana dari para pembuat kebijakan tata kota. Apa ini? Apakah Amandea berada di posisi yang tidak seharusnya atau pembuat kebijakan yang memang tidak tepat menduduki kursinya? Somebody put the wrong man on the wrong place? Mohon anda tidak berfikir su’udzon, sebab itu juga bisa menjadi salah satu bibit stress kabarnya. Saya tidak mau tulisan ini nantinya menjadi pemicu salah satu pemicu melonjaknya angka penderita penyakit kejiwaan di Jakarta, lho!

Gagasan Amadea lahir dari keluhan yang terkurung dalam ruang ekslusif itu, terjemahan dari kejenuhan akan keadaan yang tidak lebih baik dari harapannya. Berdasarkan pengalaman pribadinya, di ambillah profil Singapura sebagai contoh pembanding. Dari perbandingan itu pula akhirnya ditarik benang merah, titik pangkal dari penyebab kesemrawutan di jalanan Jakarta; disiplin pengguna jalan, disiplin bangsa! Content diskusi secara sederhana menyadari bahwa produk disiplin bukan pekerjaan tukang sulap atau borongan sehari jadi, karena disiplin jelas memiliki banyak sekali variabel sebagai korelasi. Dan yang paling berdekatan denga degradasi disiplin mental bangsa ini – sekali lagi menurut panelis – adalah pendidikan. Kalau mau lebih jauh lagi, simpul kemacetan bisa diurai sebagai dimensi kultural terhadap perilaku anti disiplin. Disiplin disini kita definisikan saja dengan kepatuhan atas kuasa kesadaran terhadap aturan prosedur yang berlaku secara umum.

Tigapuluh tahun waktu yang dibutuhkan jika ide tentang reformasi sistem pendidikan itu direalisasikan sekarang, jika tidak hari ini ya bisa minggu ini, bulan ini tidak apa apa, atau minimal tahun inipun masih bolehlah. Bukankah bangsa kita termashur fleksibel dalam urusan waktu? Tigapuluh tahun masa yang singkat sebenarnya untuk ‘merelakan’ satu generasi hilang dan membentuk sekaligus melahirkan brand new generation yang beda dengan generasi sekarang. Angka itu jelas bukan muncul dari kajian ilmiah, melainkan opini impulsif semata, ekspresi pesimistik atas kualitas generasi yang sedang hidup sekarang ini. Tapi kita bayangkan saja tigapuluh tahun kedepan dari usia kita yang sekarang, itu tips lagi untuk mengurangi beban protes yang terkadang menjadi bibit stress di kota semegah Jakarta ini. Jadi delivery product dari ide itu begini; sebuah generasi yang berdisiplin yang terbentuk dari satu sistem pendidikan yang integrated, kemudian dalam penerapanya di dalam aktivitas semua sektor dikerangkai satu sistem kebijakan publik yang dikawal oleh praktek hukum yang menekan. Whaalla…! Sebuah generasi yang kembali kepada nurani dasar, bahwa siapapun akan malu hati jika tidak berdisiplin ketahuan ataupun tidak ketahuan oleh khalayak, karena mencerminkan tingkat kemampuan menyerap pendidikan yang diterima rendah alias bodoh, kampungan atau predikat yang meremukkan kebanggaan lainya. Penderitaan si bodoh tidak sampai disitu saja karena masih harus berhadapan dengan sistim hukum yang secara eksplisit dan transparan memberikan tekanan tindakan koreksi tingkah laku. Catat: hukum budaya ini berlaku universal dari pengangguran, preman, pegawai, pejabat, aparat sampai orang gila sekalipun.

Tigapuluh tahun yang akan datang barangkali panelis sudah menjadi kakek nenek yang tinggal punya kenangan bahkan tidak berkepentingan lagi dengan gagasan yang terkurung tadi. Atau bahkan barangkali sudah tidak lagi menjadi penghuni planet bumi, dan masih mengenangkan gagasanya untuk melihat satu generasi yang berdisiplin sehingga tidak ada lagi kemacetan di jalan jalan Jakarta meskipun tembok ekslusifitas pribadi makin tinggi dan kokoh membentengi jiwa setiap orang Jakarta. Toh gagasan itu tidak mempunyai tendensi untuk menghujat, atau menyalahkan siapapun seperti tren saat ini dimana satu persoalan selalu melahirkan kambing berbulu hitam. Kita tidak mengesampingkan bahwa kemungkinan sudah ada gagasan gagasan yang lebih brilian daripada obrolan sms beberapa menit itu dari orang orang yang jauh lebih berkompeten. Terlebih lagi, educated generation form ini bukanlah satu satunya solusi mengatasi macet karena dari setiap kepala orang orang seperti Amandea pasti banyak lagi memiliki ide ide yang terkurung dalam ekslusifisme individu. Mislnya; perbaikan sistem angkutan umum Perilaku masyarakat yang lebih memilih kendaraan pribadi harus segera dirubah. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan paksaan ataupun dengan penyediaan pilihan lain. Angkutan umum yang aman, nyaman dan tepat waktu serta terintegrasi satu sama lainnya merupakan pilihan lain paling logis yang dapat merubah perilaku tersebut. Angkutan umum yang baik juga memberikan peluang bagi semua lapisan masyarakat untuk melakukan perjalanan dengan biaya yang terjangkau dan aksesibilitas yang tinggi dengan dampak lingkungan yang minimall. Nah!

Bagi anda pekerja pemerintah pembuat kebijakan, itung itung daripada bingung bingung menghitung hitung jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dan berapa kapasitas ruas perlintasan dan isfrastruktur lainya untuk menampung angka itu. Atau bahkan itung itung daripada dikantor bingung, bacaan ini bisa diplagiat menjadi gagasan institusi; dengan improvisasi sana sini tentunya. Dengan catatan harus ikhlas bahwa tigapuluh tahun yang akan datang generasi baru akan malu makan gaji buta dari kantor pemerintah, dihukum Negara karena menganggur pada jam kerja, apalagi menjiplak gagasan orisinil punya orang lain!


Simatupang, 29 Agustus 2005





Catatan:
Data pada akhir tahun 2004, petumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta selama 10 tahun terakhir adalah 11% per tahun, sedangkan pertambahan ruas jalan tidak lebih dari satu persen. Itu pun ruas jalan yang baru dibangun berupa jembatan layang (flyover) dan terowongan (underpass).
Jumlah kendaraan bermotor yang bergerak di Jakarta setiap harinya mencapai 5,6 juta (kendaraan roda dua 53%, mobil pribadi 30%, bis 7%, dan truk 10%). Jumlah itu belum termasuk sekitar 600 ribu kendaraan komuter (pulang-pergi) dari wilayah Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi.
Lebih ruwet lagi karena kendaraan di Jakarta didominasi kendaraan pribadi. Perbandingannya adalah 98 persen kendaraan pribadi dan 2 persen kendaraan umum. Dari total 17 juta orang perjalanan setiap hari, kendaraan pribadi hanya mengangkut sekitar 49,7 persen. Sedangkan 2 persen kendaraan umum harus mengangkut sekitar 50,3 persen. Akibatnya, jumlah penumpang menumpuk di angkutan umum. Sedangkan angkutan pribadi memakan sebagian besar ruas jalan.






Saturday, August 27, 2005

Musyawarah embun

Embun mulai luruh di dedaunan rambutan diluar jendela, bersekutu dengan sisa hujan tadi malam yang engggan luruh ke bumi dan bermanja dalam buaian angin lembab jakarta. Langit semburat merah oleh lampu mercury di kejauhan, dan dijalanan masih terdengar suara mobil dan motor sesekali menderum, sesekali ditimpali bunyi sirine membawa orang sepagi ini masuk IGD, masuk penjara barangkali. Tak ada suara manusia. Semua lelap dalam kehidupan maya; mimpi dan kecemasanya masing masing. Seekor cicak dilangit langit dekat lampu diam bagai patung, seperti sedang merenungi takdirnya sebagai cicak. Dan pada tembok yang retak retak jam dinding warna kuning dengan logo Bank Niaga tak henti henti bergerak, sekarang 0128. Jarum kecilnya seolah menyempurnakan kesendirianku. Aku merasa begitu jauh dari siapa siapa, merasa begitu sendiri di jagad raya. Ya, aku begitu jauh dari orang orang yang dulu mengenalku,dan mengharapkanku. Aku tak pantas lagi menjadi harapan. Musyawarah embunpun hanya tayangan kebisuan. Pagi ini kebekuan begitu sempurna menggigilkan hati...
Aku selalu rindu hari hariku yang telah hilang...


Jatipadang, 26 Agustus 2005

Wednesday, August 10, 2005

Surat Kepada Teman Baru

Teman baruku,
Angin lembab kota Manado perlahan membawa embun turun luruh ke atap atap rumah yang membisu. Perlahan menyelimutinya; syahdu. Kota ini mulai tertidur ditimpahi satu dua lalulintas sisa kebisingan seharian penuh. Suara yang mengiring malam melangkah melewati setengah perjalanan menuju pagi.

Di tv masih ada tinju, salah satu tontonan kesukaanku selain warta berita. Discourse kita tentang anak di sms sudah terhenti, dan asumsiku, kita setuju bahwa jiwa seorang anak adalah guru filsafat yang luar biasa bagi orang dewasa. Kesederhanaanya adalah tauladan perilaku bagi orang dewasa, seharusnya. Demikian juga anakku, Kartika Mumpuni namanya, Tika panggilanya. Hampir setiap hari aku menelponya, dan hampir setiap hari pula kata kataku tersumbat di tenggorokan, terganjal pasir yang keluar dari perasaan haru. Sedih. Hampir selalu aku menangis setiap kali selesai menelpon. Pernah suatu ketika ditelepon dia bilang tentang mimpinya semalam, dan dengan polosnya dia bilang:” andaikan bapak bisa masuk lewat telepon, kita bisa ketemu sekarang. Dik Tika kangen bapak...” dan kata kata itu langsung mencabuti otot dan tulang belulang dalam tubuhku. Begitu sederhana, dan begitu mengena.

Bagiku, berteman yang sebenarnya berteman adalah ketika hati merasa nyaman untuk berkomunikasi, bertenggang rasa. Aku sendiri memiliki teman teman dekat yang masih hidup dalam alam bathin itu, masih menjaga komunikasi meskipun mungkin belum tentu satu tahun sekali kami bertemu. Bahkan seorang sahabatku aku tak pernah mengenalnya secara fisik, tetapi aku hampir mengenal seluruh kehidupan dan cara berfikirnya. Tidak jarang juga aku ketemu dengan orang yang pada akhirnya bukan malah menjadi teman, melainkan berhenti diperkenalan dan hilang ditelan arus sang waktu. Seorang temanku, aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu, dan kami menjadi sahabat hati sampai sekarang. Intensitas komunikasipun tidak terlalu terpentingkan karena kami tahu masing masing kami punya kehidupan sosial yang terbentengi oleh aturan kepantasan dan tatanan peradaban. Tetapi nilai seorang sahabat tidaklah luntur, dia hidup dalam alam bathin dan selalu ada ketika bathin membutuhkan. Kedekatan semu seperti itu terkadang justru menciptakan satu komunikasi bathin yang bd anggap sebagai telepati tanpa sadar. Ya, komunikasi bawah alam sadar. Terkadang seorang sahabat tiba tiba berkirim email setelah sekian bulan atau bahkan tahun menghilang, berkirim kabar ketika hati gundah menanyakan bagaimana kabarnya. Tak jarang pula justru aku yang mengirim email dan si sahabat bilang kalau sebenarnya dia memikirkan bd beberapa hari sebelum dia terima emailku. Ya, dan itu menumbuhkan keyakinan bahwa aku masih tetap hidup dalam kehidupan bathin beberapa orang. That is true!

Tentang aku,
Hmm...tak ada sesuatu yang istimewa rasanya yang ada padaku. Dalam komunikasi aku lebih suka dipanggil bd, pharse bd mewakili sebuah jiwa, sebuah pribadi yang kalis dari keharusan peradaban dan budaya, dia memiliki nilai yang mandiri sebagai pribadi. Bagiku, menjalani hidup terkadang adalah memunguti buah buah pengalaman pada setiap detik yang terlewati, dan menulis adalah memanivestasikan pengalaman itu sendiri. Mungkin menjadi kenangan, mungkin menjadi pelajaran, tetapi selalu punya makna. Menulis adalah pelepasan atas apa yang tersimpan dihati, dan bagiku tulisan haruslah jujur seperti apa yang dialirkan oleh hati ke otak dan otak memerintahkan syaraf2 untuk menggerakkan jari diatas keyboard atau membentuk serangkaian huruf huruf ketika tangan menggenggam pena. Aku lebih suka menikmatinya sendiri dan kalaupun menulis atas permintaan, aku anggap sebagai keingin tahuan orang lain tentang bagaimana aku memandang sesuatu. Karena itu pandangan, maka sifatnya adalah opini yang kesimpulanya terserah kepada siapapun yang bersinggungan dengan opini itu.

Teman baruku,
Bagiku bertemu seseorang adalah ibarat membaca sebuah buku, dan aku sendiri adalah sebuah buku bagi orang lain. Tak pernah aku menitipkan standar dalam berkenalan. Siapapun, seperti apapun dia adalah jiwa, adalah pribadi. Setiap orang memiliki kekhasanya pengalamanya sendiri sendiri, seperti bukupun memiliki bibliografi tersendiri yang menentukan ruh kehidupan temanya. Kamu boleh saja tidak setuju dan aku akan tetap menghargai ketidak setujuanmu itu.


Singkil – Manado 09 Agustus 2005

Manado Dalam Kelebat

Kota ini sedang membangun, a rapid growing. Tetapi kota ini sendiri dalam pandanganku memiliki kejayaan dimasa silam. Penduduknya memiliki kebanggaan yang membanggakan sebagai satu komunitas. Ekonomi kota ini berjalan cepat dan dalam pusaran yang kuat. Keramaianya bisa melebihi Yogya kalau siang hari, bahkan pada malam minggu seluruh kota bisa menjadi seperti hari raya. Kesan yang belum hilang sampai hari ini adalah semrawutnya. Kesemrawutan yang dibumbui dengan perilaku “aneh” dari banyak sopir angkot (mikro) yang memasang pengeras suara dimobil mereka, memutar musik kencang kencang sampai terdengar sampai radius ratusan meter. Kencang sekali karena memang keluar dari corong loudspeaker. Disisi lain, kota ini bagi laki laki adalah kolam besar untuk cuci mata. Mayoritas wanita wanita muda berpakaian sensual, seksi, kebanyakan berkulit bersih dan.....ehemmm..cantik. Beberapa orang kenalanku juga bilang kalau tidak sulit untuk mengencani wanita disini. Kabarnya disini (maaf) free sex bukan hal yang begitu tabu. Tentang kebenarnya aku tidak pernah berusaha membuktikan.

Manado, sekali lagi memang kota yang menurutku memiliki eksotisme tinggi. Pola hidup penduduknya konsumtif, tetapi religius. Ya, religius selalu membawa ketenteraman tersendiri. Sayangnya aku belum sempat datang ke museum, sebab biasanya aku selalu menyempatkan diri datang ke musemu atau makam tua apabila berada disatu kota.

Singkil – Manado 09 Agustus 2005

Tuesday, August 09, 2005

Demotivasi laki laki

Laki laki dan demotivasi adalah sesuatu yang bersifat kodrati. Dimana mana dimuka bumi barangkali setiap lelaki menginginkan pengakuan atas diri, pengakuan atas keberadaan sebagai “laki laki”. Tidak harus bersikap otoriter apalagi patriark tetapi pengakuan itu sesuatu yang harus dimiliki laki laki. Perasaan dihargai dan dibutuhkan laki laki terkadang menjadi sumber dari demotivasi ini karena mau tidak mau terkadang keadaan diri, keadaan jiwa tidak bisa memuaskan perasaan penghargaan itu. Sebagian orang lebih suka dengan cara otoriter bahkan patriark (bahwa dia adalah penguasa, bahwa dia adalah benar, dan bahwa dia adalah yang serba tahu, dan bahwa dia adalah yang harus diikuti semua pendapat serta rencananya). Cara cara itu memang terkesan primitif, tetapi praktek itu masih tetap terjadi sampai sekarang. Terbuka atau tertutup.

Demotivasi laki laki juga bisa terjadi karena secara emosional laki laki tidak mendapat pengakuan eksistensi dari dirinya sendiri. Ini yang paling sering terjadi dimana diri tidak bisa mengakui bahwa pribadi laki lakinya (secara individualistik) memperoleh bahan bakar yang memadai. Bahan bakar itu adalah harapan. Harapan akan membuat hidup bergairah dan gairah akan memotivasi tindakan apapun dimana gairah itu akan melahirkan daya cipta dan karsa. Kehilangan gairah = demotivated.

Menurut saya, pangkal demotivasi ada dua yaitu kekecewaan pribadi dan ketidak berdayaan pribadi. Itu dua hal yang sangat melemahkan semangat. Kekecewaan dan ketidak berdayaan itu bisa karena ulah orang lain, tetapi juga bisa karena keadaan. Terkadang lelaki menginginkan keadaan mengikuti kemauan hatinya, bukan kemauan hati yang menyesuaikan keadaan.

Obat yang paling mujarab bagi ‘penyakit’ ini tentu adalah infus support dari orang yang dianggap paling berarti bagi si laki laki itu. Orang yang dianggapnya memililki kelebihan yang tak dimiliki oleh laki laki itu. Curahan perhatian dari orang terdekat dan “pengakuan” dari orang terdekat.

Demotivasi bisa jadi adalah manifestasi dari batang tumbuhan dari akar serabut kejadian, adalah buah akumulasi kecewa. Memperbaikinya tentu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan, kecuali memang semangat juang dan persemaian harapan tetap terpelihara, tetap dipelihara. Depresi sembunyi sembunyi yang terjadi, orang lain tahu hanya tidak bisa berbuat apa apa atasnya. Mungkin secara sederhana orang akan beranggapan bahwa yang seharusnya bisa berbuat lebih adalah yang mengalami demotivasi itu sendiri. Tidak selamanya seperti itu. Bagaimanapun dominasi perempuan (diluar fanatisme definisi gender, hanya kebetulan mahluk hidup bermetamorfosa disekitar faham itu) juga adalah faktor yang bisa menyebabkan demotivasi. Yang menjadi permasalahan adalah ketika demotivasi itu terjadi dan orang sekitar merasa sedikit banyak terpengaruh oleh itu, setidaknya orang beranggapan akan bisa lebih mudah untuk bangkit dari demotivasi itu kalau terjadi pada dirinya sendiri. Tidak semudah itu bagi laki laki, demotivasi melemahkan semua sendi kehidupan yang sebenarnya bola salju depresi yang menggelinding dari puncak gunung kebanggaan pribadi. Dia bisa menghancurkan semua mua yang dimiliki laki laki yang tidak bisa dilihat ataupun dirasakan oleh perempuan.

Mungkin tidak ada keharusan untuk setuju, bahwa yang terbaik adalah mempelajari betul betul sejauh mana demotivasi itu berpengaruh dalam sendi kehidupan sampai sekecil kecilnya, syukur syukur bisa tahu apa penyebab konkritnya. Lelaki merasa punya arti apabila dia bisa menciptakan sesuatu, mengadakan sesuatu dari tangannya sendiri, dari perbuatanya sendiri. Tetapi sekali lagi memang harus diketahui penyebabnya apa, dan lebih penting lagi sejauh mana demotivasi itu mempengaruhi sikap hidup dan pola berfikir. Yang pasti, sikap untuk menumbuhkan kepercayaan diri, sikap untuk tetap menjadi “ perempuan” harus tetap dijaga.
Laki laki memiliki sifat superior dan menguasai, dan perempuan memiliki sifat lemah dan perlu perlindungan (meskipun prakteknya tidak seperti itu, tetapi itu kodrat yang diakui nurani mungkin hampir setiap orang).



Singkil - Manado, 8 Agustus 2005

Friday, August 05, 2005

Mengemas Kenangan

(sebuah catatan untuk sesorang yang pernah begitu terkasihi)

Malam meleleh pelan pelan menuju pagi. Dalam alam fikiran yang merasa sebongkah karang di Antartika, kehidupan masih ramai berseliweran. Kehidupan angan angan, kehidupan kenangan, kehidupan fikiran semata. Ah, ternyata sulit mengubur kenangan dan menancapkan nisan bernama pengalaman atasnya.

Kesadaran bahwa diri hanya setitik debu bagi kehidupan yang laksana pantai di samudera hindia. Mestinya meratapi itu, tetapi entah kenapa hanya bisa menerimanya dengan rela, bahwa memang diri berarti demikian sekarang ini. Maka memilih tahu diri dengan kerelaan adalah bijaksana.

Tulisan inipun seharusnya adalah tetasan dari fikiran fikiran pribadi dalam pandangan pandangan sebagai pribadi yang introvert (?). Tetapi apa yang mengeram dalam fikiran itu tidak akan menetas disini, ditempat lain dimana bisa dicerna otak dan hati tanpa harus menjaga perasaan orang lain akan tidak menyukainya. Tentu tulisan itu hanya bersifat memoir belaka dan barangkali tak berguna bagi orang lain. Tak mengapa, itupun teranggap sebagai jejak perjalanan hati dan fikiran, untuk kelak menjadi catatan untuk catatan.

Dan akan terkemas segala kenangan bersama. Kita tak lagi membutuhkan itu semua, karena didepan jalan melempang terang benderang digelari permadani warna warni yang menjajikan. Tak ada sesuatupun manfaat dari keberadaan dan dramatisitas kenangannya. Tersimpan itu semua dalam tulisan, dalam fikiran dan sebagai catatan hidup. Akan terpajangkan di dinding hati mutiara mutiara persahabatan yang terjalin, hanya diri yang berhak menikmati betapa pernah punya sebuah perhubungan mullti makna dan multi definisi. Di dinding hati akan terukir sebuah keyakinan dari masa lalu bahwa pernah diri merasa berarti …

Semoga bertahun kemeranaan yang tersembunyikan sendiri berganti dengan masa depan gilang gemilang, kebahagiaan yang tumpah ruah tak berhenti. Amin. Akhirnya ucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga untuk semua semua yang pernah terbagi atau terberi selama ini. Juga memohon maaf untuk semua kekhilafan dan juga sikap sikap yang entah menyakiti entah membuat merasa terabaikan dimasa yang telah lewat. Mohon diri….


Simatupang, 4 Agustus 2005