Wednesday, May 31, 2006

Seseorang yang memandang langit

Dibawah sepotong bulan anganya menggerayangi pekat jawaban teka teki masa silam. Segugus bintang Alpha Centaury diselatan mengabarkan duka, milik bersama umat manusia.
“Aku bisa merasakan lukamu meski hanya sedikit” berbisik angin yang lindap dari letih perjalanan sesiangan, mengitari matahari untuk mengumpulkan butir demi butir debu penagalaman.

Seseorang menatap langit ketika dunia mengucilkannya sendirian. Embun yang turun perlahan menjadi tirai yang mengelabuhi perih alam kenyataan. Lapar dan terbuang. Ditemukan dirinya sebatang kara menjelajah belantara, sebatang kara meskipun ketika telinga pekak oleh kerumunan; mahluk mahluk pencari mangsa. Ia tak memiliki lingkaran silsilah yang sering menjadi tanggul bagi rapuhnya kekuatan diri. Ia hanya milik dirinya sendiri, dengan rentetan kewajiban yang terbentang dari ujung ke ujung langit.

Ia menatap langit ketika sebiru lautan, tempatnya menyemaikan bunga khayali. Langit tempatnya bersembunyi dari kerdil diri. Nyanyian dan tangisan ia ceritakan kepada langit, tanpa bosan sebab hanya itu temanya melintasi gurun kehidupan. Keinginannya datang bersama ketidak inginan, melahirkan bayi bayi harapan yang kemudian jadi beban standar pencapaian. Maka iapun menjadi penghuni lazuardi, kadang melayang kadang menukik mengikuti irama angin. Berteman mentari dan bulan, ia menjelma menjadi kabut misteri.

Iapun jatuh cinta pada langit hampa, memuja biru yang kosong untuk disadur menjadi isi kepala; meminta diri untuk tidak berharap apapun dari apapun, kosong maha luas seperti langit. Harapan hanya akan memilin keinginan, sedangkan tidak berharap adalah menerima apapun yang harus diterima tanpa ekspresi. Ah, sungguh nyanyian indah yang sederhana dari segumpil mahluk berakal bernama manusia. Musykil adanya!

Ketika menatap langit malam ini, ia menemukan diri mengapung di samudera misteri yang mesti dijalani dalam gelap jawaban. Ia letih menyabung keyakinan dengan kenyataan…


Gempol, lewat tengah malam 060531

Sunday, May 28, 2006

Duka di bumi Jogya

Sabtu baru lepas dari subuh ketika bumi terasa runtuh. Gempa tektonik mengguncang Jogyakarta dan getaran terasa hingga jarak puluhan kilometer dari episentrumnya di dasar laut Jawa, empatpuluh kilometer dari daratan pada kedalaman sekian ribu meter. 56 detik dengan guncangan 5.9 SR melumatkan apa yang dibangun, dijaga, dipelihara dan dianggap sebagai hak kepemilikan selama berpuluh tahun. Harta benda, harga diri, nyawa seakan remuk jadi debu. Hari itu mestinya akhir pekan yang menyenangkan penuh rencana cerita cerita keceriaan. Dan langit mendung penuh duka, bumi koyak oleh luka.

Kaki dunia seperti gemetar pada pijakan kepongahan manusia, peristiwa ini menempatkan kita sebagai butir butir debu tanpa daya dibawah kuasaNya. Dari kejauhan, lutut menyentuh tanah, tunduk takluk pada keperkasaan alam. Bukan amarah Tuhan sebab Tuhan tak pernah marah kepada mahluk ciptaaNya, maha Pengasih dan Penyayang. Barangkali inipun caraNya menyayangi, dengan mengetuk dinding nurani kita yang semakin tebal tertimbun kepintaran akal. Mungkin satu lagi wake up call kepada sanubari setiap manusia, bahwa setitik debu tidaklah pantas untuk bersombong diri. Bukankah lebih bijak jika kita terima itu sebagai pengingat bahwa seyogianya mahluk berakal di bumi ini mengedepankan kehidupan sesama diluar kepentinganya sendiri.

Ketakutan dan rasa kehilangan menjadi terror yang menggerayangi jiwa jiwa yang tersisa, berserak tak berdaya di tenda darurat. Hanya langit, tanah dan udaralah yang tersisa, juga kesedihan menggunung menindih jiwa. Kepedulian datang bagaikan banjir, jutaan hati mengalirkan simpati lewat udara. Keprihatinan menjadi sempurna oleh ketidak berdayaan kita untuk melakukan sesuatu yang berarti disana, meskipun sekedar mengulurkan tangan untuk pegangan bagi para korban, pertanda bahwa diri bersama mereka, meyakinkan bahwa kehidupan masih ada.

Inipun test case tersendiri bagi penyelenggara negara, pengabdi warga negara (baca; korban bencana). Hingga hari kedua, puluhan ribu nyawa yang selamat belum terurus dengan layak. Mereka semua terluka, fisik dan mental. Respon pemerintah seperti biasa; lamban!. Kesigapan raksi tanggap darurat dari pemegang kebijakan menjadi tumpul karena kepintaran berteori, menyusun ini itu, merencanakan ini itu. Pusat pusat penanganan bencana dibentuk (eh, bukankah pusat itu semestinya hanya satu???), masing masing institusi memiliki pusatnya sendiri, sementara di lapangan para korban masih harus tidur berselimut air hujan, berteman rasa takut juga lapar, sebagian terbiarkan keleleran dilingkungan rumah sakit menunggu pengobatan. Keadaan ini, menimbulkan asumsi – yang bisa jadi salah - bahwa rencana penganggulangan bencana gunung Merapi yang tempo hari terkesan amat sempurna itu ternyata hanya retorika. Sedikit banyak, kita andaikan saja bencana ini adalah akibat dari letusan gunung Merapi, maka ketahuan bahwa memang penggagas penanganan krisis itu tidak memasukkan skenario terburuk jika gunung benar benar mengamuk.

Otak awamku hanya berfikir, bahwa sistim tanggap darurat yang cepat dan efektif tentu akan sangat membantu dalam situasi ini. Pengerahan bantuan fisik dari seluruh lini negeri pada detik pertama berita itu tersiar pastinya membuat perbedaan besar. Tentara dan segala peralatan dan logistiknya semestinya diberangkatkan dari barak barak untuk penanganan pertama di tempat kejadian, menyusul kemudian relawan medis beserta bantuan logistik. Kita punya kepala badan koordinasi nasional yang juga Wapres, yang fungsinya sebenarnya adalah simpul terpenting untuk melegitimasi aksi. Apakah pendidikan perilaku yang salah, atau memang efek dari kecanggihan ilmu sosial yang menyebabkan pamong (pengasuh) anak negeri ini lebih jadi kurang punya kepekaan sense of crisis?

Tulisan ini samasekali tidak punya niat menghujat apalagi mengumpat. Hanya seandainya saja aku adalah Bakornas bencana, maka evakuasi yang segera akan menjadi prioritas utama ‘no matter what it takes’ dan pengerahan bantuan maksimal sesuai SOP yang terakreditasi canggih. Apa negara ini tidak memiliki satu standar prosedur operasi untuk sebuah skenario yang terburuk menghadapi bencana? Apa kita masih kurang belajar dari kejadian tsunami di Aceh Desember tahun lalu, gempa di Nias Maret lalu dan ribuan kali bencana sebelumya? Atau kita yang terlau sombong untuk tidak mau belajar dari kejadian kejadian itu? Kita punya Bulog, tentara, Depkes, Depsos, PU, dll yang memang ada untuk kepentingan warga negara sebagai pemegang kuasa pertama di sebuah negeri berlabel demokrasi. Ah, barangkali kesederhanaanpun menjadi hal langka di negara demokrasi? Sayang aku hanya sebutir debu di angkasa, yang dengan lutut gemetar terduduk takluk ditanah bumi, dengan isi hati dan angan angan berhamburan ke tanah bencana, berkhayal bisa berbuat sesuatu secara nyata bagi luka luka mereka.

(Kepada sahabat dan saudaraku Unai, Ratih dan puluhan ribu korban lainya;
Hang in on there,
Dilangitmu jutaan hati memayungi
Meski hanya nyeri dan takut yang kau rasa jadi penguasa
Di udaramu jutaan tangan hangat menggenggam jemarimu
Meski hanya gelap sunyi dan jerit kesakitan penemanmu
Menuju bumimu cinta yang datang dari jiwa jiwa mulia membanjir
Meski hanya pedih dan duka yang terasa olehmu
Matahari yang datang esok pagi, ladang garapan membentang bagi harapanmu
Meski hanya kehancuran yang tampak dalam pandangan

Lewat detik yang mengalir
Kutitipkan intisari do’a dan simpati dari palung sanubari
Sebab hanya itu yang sanggup ku berikan
Ketika engkau hanya bisa menerima apapun yang terjadi
Semoga ketabahan dan kekuatan baru menyertaimu, saudara hatiku…)

Gempol, ketika benderang lampu seakan padam 060528

Saturday, May 27, 2006

Garda Bangsa vs FPI = premanisme berkedok agama.

Jika anda bingung mengartikan judul diatas, maka bisa disederhanakan dengan Ormas Islam vs Ormas Islam, kedua duanya organisasi massa berbasis sektarian. Mau lebih sederhana lagi, sebut saja Gusdur cs vs Habib Rizieq cs. Kedua duanya adalah pemimimpin yang notabene imam dalam organisasi bebasis massa. Dan dimanapun, organisasi berbasis massa seperti ini rentan memicu dan menimbulkan konflik horizontal, dengan fihak manapun yang tidak persis sefaham dengan kolompoknya. Dalam konteks ini menjadi lebih parah karena kedua duanya berbasis agama sama, Islam yang seyogianya adalah sebuah faham yang mengajarkan kedamaian kepada penganutnya.

Perseteruan dua kolompok Islam yang dipicu soal pro kontra Rencana Undang Undang Pornografi dan Pornoaksi tersebut telah melenceng jauh dari esensi yang sebenarnya. Orang jadi lupa sama azas kesederhanaan, melupakan pokok pangkal permasalahan serta nilai nilai ajaran dogmatis tentang cinta kasih dan sopan santun. Satu kelompok menentang RUU APP karena dianggap hanya akan menjadi sampah undang undang setelah sekian peraturan, ketentuan dan undang undang selama ini mandul dalam implementasi (yang sebenarnya disebabkan karena unsur unsur pelaksananya yang impotent), satu kolompok lagi mendesak agar RUU APP itu segera di sahkan oleh DPR. Kedua duanya sama; untuk mereduksi kebejatan akhlak bangsa, mengatur batas batas eksplorasi syahwat!

Tetapi sekali lagi, masing masing yang berkepentingan adalah yang paling benar, dengan argumentasi yang paling sahih. Masing masing imam adalah yang harus diikuti dan dibela, kalau perlu dengan kerelaan untuk mati. Oligarki bergaya sektarian ini tidak lebih dari pada premanisme yang berkedok agama, menggunakan eksperimen eksperimen destruktif sebagai titik penekanan terhadap obyek garapan. Orang, bahkan anak anak (tunas harapan penerus generasi – pen) sudah tidak asing lagi dengan kata kata hujatan, makian bahkan pengkebirian martabat terhadap kepentingan diluar satu kelompok. Yang memprihatinkan lagi, kebangkrutan nilai tanggung jawab telaah moral telah jauh memutan didalam kelompok yang semestinya memiliki idealisme dan tanggung jawab terhadap perbaikan moral; agama. Ajaran sesat tentang moral itu digambarkan secara gamblang oleh Gus Dur cs dan Habib Rizieq cs yaitu budaya kekerasan.

Islam (baca : muslim) sebagai satu komunitas yang bisa menimbulkan efek positif maupun negatif yang massif di negeri tercinta ini seakan telah menjadi pecahan pecahan beling dengan sisi sisinya yang tajam mengerikan, siap melukai siapa saja yang bersinggungan. Pada pandangan yang lebih umum, kaidah tentang persatuan dan kesatuan bangsa yang semestinya bisa disokong oleh toleransi beragama sebagai modal vital dan sekaligus ladang persemaian bagi benih benih baru yang akan melestarikan budaya damai dan cinta kasih telah mengalami degradasi nilai yang sungguh memprihatinkan. Inilah saatnya kita mempertanyakan integritas pemimpin sebuah kaum kepada sanubari kita masing masing, bukan asal berteriak lantang dan mengacungkan kepalan tangan dengan pengertian yang dangkal mengenai arti sebuah pembelaan. Kebenaran bisa menjadi sumir dengan olah bahasa yang sedemikian absurd, dan menentukan kebenaran berdasarkan ‘kata orang’ adalah apriori semata; sebuah tindakan yang sebenarnya amat berbahaya bagi masa depan bangsa.

Jadi, benturan dua kelompok massa Islam yang terjadi sejak Selasa lalu (060523) sejak Gus Dur dengan lantang ‘menghujat’ FPI, mempertajam image buruk tentang Islam dengan anarkisme dan premanisme. Pembelaan apapun yang mengatas namakan perdamaian dengan kekerasan justru akan menimbulkan impact ganda atas image yang disangkakan. Jika beberapa kalangan menganggap penganut Islam berperilaku ekstrim, hal itu memang dibuktikan kebenaranya oleh Gus Dur cs dan Habib Rizieq cs dengan mengedepankan pendekatan yang arogan, alih alih dialog yang bisa menyejukkan iklim negara yang memang sedang gerah atas hampir segala hal ini. Siapa yang salah, tak perlu kita tentukan, sebaiknya kita tanyakan kepada lembar lembar rumput patah yang terinjak injak massa yang marah kepada sesamanya atas nama Tuhan itu, sebab sang rumput tak sanggup lagi bergoyang.

Apakah kita akan wariskan budaya kekerasan kepada anak cucu kita? Mari tebarkan kasih dan damai kepada seluruh penghuni bumi, satu satunya warisan yang layak bagi generasi mendatang…

Gempol, diantara petir dan gelap malam 060527

Friday, May 26, 2006

Bunga Desember


“ I am on the way to Bantul, remember when we were here…” pesanmu lewat angin lembut petang ini. Turut terkirim juga senyum lebar dan sorot bening dibalik kaca pelindung mata indahmu. Aku menjelma menjadi si bisu, kehilangan suara dan kata kata, hanya tulisan ini mewakilinya.

Dan angin petang ini telah membangkitkan satu catatan indah tentang hangat sebuah hubungan semasa dulu kita masih bebas berdiri ditengah tanah lapang, saling bergandengan tangan menyimak aliran cerita hidup mencari tujuannya sendiri. Disanalah batang bunga Desember tertanam oleh alam, lalu terpendam hilang dari pemandangan. Ia ditelan hiruk pikuk kehidupan. Hormat dan penghargaankupun ikut larut dalam keterpendaman, menjadi seonggok umbi yang bernafas diam diam didalam kebun rahasia persembunyian yang sempurna.

Sebutir air mata jatuh dari langit keharuan, meluruhkan kebekuan yang mengurung malam. Ternyata aku masih hidup di dalam tanah pekarangan hatimu, terawat meski tak tercatat. Maaf jika tak pernah kuajarkan pandanganmu tentang azas saling memiliki itu, hingga angin menerbangkan kita dalam gelembung yang berbeda ke arah yang berbeda pula.

Dalam ruang sempit ini, raga terbelenggu oleh udara. Sedangkan angan melanglang jauh menembusi awan, memetakan kembali Jogyakarta pada suatu masa. Keruh kali Opak dan riuh stasiun Tugu pernah menjadi catatan diary, dengan bathin yang saling erat berdekapan. Kita yang selalu saling menjaga, dan aku si kerdil yang hanya mampu sembunyi dibalik bayang bayang masa depan, semua lalu menghilang ditelan gelombang kehidupan.

Sebelas tahun sudah jejak terkubur debu dan rerumputan, demikian juga ilalang penyesalan telah tumbuh beranak pinak dalam keseharian, sebab aku tak menuruti nasehatmu untuk berlari dari sekedar keinginan menjadi tameng hidup bagi si pendurhaka, berharap aku jadi martir bagi harga yang telah digadaikan murah.

Petang ini…kenangan memapahku berjalan tertatih menyusuri jalanan khayali, dengan seribu penyesalan dan pengandaian yang sama sama nisbi…

(Sebatang tumbuhan menyembul dari dalam tanah, warnanya merah hanya batang dan sekelopak bunga; tanpa daun. Ia muncul begitu saja dari diamnya yang panjang setelah sekian ribu musim kemarau lewat dipermukaan. Umbian yang tertindih beban tanah telah menjadikanya kawan, bertahan hidup dalam mati suri yang panjang. Putiknya mekar segar merona, mengundang serangga untuk hinggap dan bercengkerama. Sebermula ia adalah sepokok pohon yang daunya luluh lantak ditindas matahari, kering dan mati dimuka bumi. Dan dipermukaan tanah yang menyembunyikan umbinya, tak ada jejak kehidupan yang pernah dilaluinya. Alam seolah melupakanya…ia sang bunga Desember – dinamakan demikian karena menurut Bunda, ia hanya muncul di bulan Desember ketika bumi basah oleh air yang tumpah dari langit)


Gempol, 060526

Thursday, May 25, 2006

Kisah seekor camar

Seekor burung camar terbang mengitari langit yang lembab suatu siang. Matahari sedang bersungguh sungguh menumpahkan resahnya, menikam ubun ubun dan memanggang dada. Sayapnya terluka, darah kering menghiasi bulu bulu mengkilatnya. Di langit ia sendirian, merindukan tanah pijakan tempatnya temukan dermaga letih yang ditahankan. Sedikit dami sedikit ditabungkan kesakitan hatinya, buah dari perkelahian dari alam seberang dimana telah dikaramkan segala pengharapan dan mimpi yang dibangunkan.

Burung camar terbang rendah, menghirup aroma damai dari ombak yang memecah disepanjang tepi laut, pantai pendamparan. Dipijakkanya kaki rapuhnya pada karang landasan pengharapan, dan perih didapatkan dari tajam setiap ujung sisi pendaratan. Bahkan batu karang tempatnya dulu bermain merenda jawaban atas tebakan di alam seberangpun tak lagi memiliki ruang baginya. Tapi ia tetap berpijak disana, berharap menemukan teman teman lama; belibis dan lumba lumba.

Sepi, sunyi sekelilingnya kini. Terdiam merenungi awan gemawan dimana telah diarunginya sekian mil perjalanan, menembusi kosong demi kosong angkasa bersama matahari dan bintang kecilnya. Udara membawa bau anyir dari sayapnya yang terkoyak, menusukkan amarah yang tak rela ia tuntaskan kepada sang durjana. Bersama rapuh kerangka tubuhnya ia yakinkan kaki gemetaranya bahwa ia kuat menopang sejarah masa lalu dan sekaligus memikul tanggung jawab masa depan.

Terkadang dirindukanya angkasa tempatnya memuja rasa, menjelajahi hampa tempatnya mengingkari tajam karang kenyataan. Tapi terbangpun ia letih, setelah perih dari sayatan masa lalu tak sanggup ia redam menjadi pengalaman. Dilangit ia pernah tulisakan puisi tentang cinta dan pengabdian, juga tangis pedih memanjang dari kemeranaan yang disembunyikan diam diam. Tetapi hujan telah menghapusnya kemarin sore, justru ketika ia rindukan datangnya damai.

Sekarang ia sendirian, sayapnya pincang menjelempah di lantai karang. Matanya keruh menanggungkan beban, berharap musim segera tentukan keputusan; mati jadi polutan atau tetap hidup membangun nyali. Tetapi jalinan ruhnya hanya berisi sepi dan uap air laut yang kental menggarami sayapnya yang membusuk…ia hanya menunggu, matahari tenggelam ditelan samudera untuk datang lagi esok menyeruak dari ujung lainya…

Sekali ini ditengoknya langit, laut, batu karang, pasir dan matahari…ia sadar kini, bumi ini bukan tempatnya berdiri lagi, sebab ia telah menjadi zombie, terpencil ditengah alam antah berantah tak terkenali…

Cubicle, 060525

Wednesday, May 24, 2006

Balada Boss

1. Pertama, boss tidak pernah salah.
2. Kalau salah, lihat peraturan pertama.

Joke gaya srimulat itu sekilas enteng tanpa bobot, bagi yang membaca dan tidak mengalami tekanan ‘implementasi’ gurauan itu. Begitupun peribahasa dan kata kata mutiara yang dirangkai sedemikian indah sekalipun, menjadi sekedar bacaan pengetahuan selama tidak bersinggungan dengan pengalaman empiris pembacanya. Bagi yang mencicipinya dalam pengalaman hidup, prinsipnya tetap sama bagi yang mengalaminya; benar adanya!!

Memanglah benar bahwa selamanya tidak ada kehidupan yang normal, karena yang ada hanyalah kehidupan. Titik. Ceritanya saja yang beragam, termasuk inti dari tulisan ini; tentang dua peraturan baku untuk sang boss, sebuah cerita yang terjadi di suatu sudut bumi kolong langit, sekuku hitam dari miliaran cerita kehidupan yang sedang terjadi.

Sebagian bakat manusia adalah menjadi patriark, pengontrol arah kehidupan setiap benda hidup dan benda mati sesuai keinginan dan harapanya. Terkadang hidup menempatkan seseorang pada kursi empuk dimana ia bisa mengembangkan bakatnya dengan baik, sementara untuk kepentingan sang bakat alam itu harus ada orang lain yang mau tidak mau, rela tidak rela mengemban posisi menggelesot dibawah sebagai pelaksana sistim patriarkinya. Kelak golongan ini lebih nyaman menamakan diri sebagai bawahan. Telunjuk jari, perkataan dan pikiran sang patriark adalah remote control yang menggerakan aktifitas kontrolnya. Kursi empuk dan kedudukan yang lebih tinggi menempatkan dirinya di titik yang strategis pengembangan bakat itu. Kelak patriark patriark berbakat ini mendapat predikat baru; boss.

Ketika sang boss entah karena kedangkalan akal fikiranya, entah karena kerendahan budinya atau barangkali kebobrokan moralnya melakukan kesalahan, maka kesalahanpun memiliki wadahnya yaitu sang bawahan. Tak perlu ada risau memikirkan bahwa si bawahan bisa juga menilai bossya mempraktekkan sistim bersikap yang sangat mentah, jauh dari bayangan ideal seorang boss yang cerdas, arif dan tentu pelindung. Menumpahkan kesalahan kepada bawahan yang seharusnya samasekali tidak berhak membuat si boss terlalu sibuk hingga terabaikan langkah langkah pencegahan dampak dari resiko kesalahan yang dibikinya sendiri. Jikapun resikonya menjadi semakin parah, maka keparahanyapun akan menjadi hak milik si bawahan. Demikianlah sebagian aturan kehidupan dunia dijalankan.

Cerita paragraph diatas tentu tak terjadi di zaman elektronik saat ini, sebab boss sudah berganti titel menjadi pemimpin, dan bawahan berganti label menjadi pekerja. Pemimpinlah yang menentukan kebijakan, merencanakan arah dan laju organisasi, dan melakukan pemantauan yang cermat terhadap pelaksanaan dari rencana rencana yang dibuatnya. Kesalahan terjadi hanya di kadang kala, dan itu mutlak manusiawi. Menjadi pemimpin adalah semata mata pengejawantahan dari makan harafiah ‘pemimpin’, zonder kepentingan dan nuansa individual. Penyelesaian suatu masalah maupun kesalahan yang terjadi dengan arif dan cerdas akan menempatkan si pemimpin pada kursi yang layak untuk dihormati, ditunggu arahan dan didengar serta ditaati setiap imbauanya.

Disisi lain, pendekatan kesamaan status sebagai pekerja dengan beda wewenang dan tanggung jawab, juga kesamaan sebagai manusia yang rentan terhadap sakit hati dan tekanan psikis menempatkan pemimpin pada posisi yang dihormati, disegani yang sekaligus menghapuskan dua aturan kolot tentang pimpinan. Bukan sebagai boss patriarkis yang hanya tahu mengumpat dan menyalahkan, dan mendapat hadiah kentut serta cibiran setiap kali membelakangi kita. Kasihanlah orang orang yang bodoh tapi beruntung seperti ini, yang menerapkan dua aturan tentang ke-boss-an yang primitif dan dangkal nalar.

Gempol, 060524

Monday, May 22, 2006

Elegi pilu dari sebelah hati

Ketika matahari jiwa tenggelam mengikuti irama bumi, separuh malam rebah oleh gerimis yang menterjemahkan tangisan panjang yang kehilangan dada. Sepi ini mengkonfirmasi hidup, mendramatisir setiap milliliter darah yang mengaliri tubuh, mengangkuti cerita demi cerita kekecewaan dari dunia yang tersia siakan, gersang tak bertuan. Bersama kehidupan yang mati suri, gerimis yang jatuh jadi lukisan hampa, berharap menemukan hangat dari tetesnya untuk dituang dalam tulisan.

Menatap langit yang kehilangan warna, rintihan sehalus angin terdengar bagai cerita kemeranaan ribuan tahun. Satu bintang, sinarnya letih terkepung luas angkasa, menggigil bagai hati yang pilu memanggil dari kejauhan. Segelas kopi berdaya mendandani muram ingatan, berimajinasi tentang hamparan masa depan dibawah sinar matahari yang menghangatkan. Tapi tangis sang malam melipatnya jadi kegelapan, hanya satu bintang termangu pucat sendirian.

Mestinya embun yang bersuka cita turun ke mayapada hadirkan sejuk dengan cerita dari dunia bidadari di khayangan, tetapi kali ini jadi serpihan teriris tajam pisau kenangan. Kepalsuan telah menjadi payung bagi nafas nafas yang bergantung, meskipun robek sana sini terkoyak badai. Sunggguh kekuatan tak hendak memberontak atas keadaan, kecuali mengalir mengikuti cerita menuju akhiran, entah kapan entah dimana, biarkan jadi rahasia.

Wahai sebelah hati yang menangis sendirian, lewat sepi dan detak arloji yang memunguti sisa malam kutuang gundah hatiku atas kokohnya dinding kenyataan yang melumpuhkan cita cita. Dari langit air matamu turun mengaliri lembah hatiku yang merana karena jauh darimu, tak sanggup kutampungkan hanya dengan tulisan. Mestinya suhu tubuhku mencairkan kebekuan cintamu yang membentur tebing penghinaan; merendahkan makna dari hati emas yang berusaha engkau persembahkan penuh kerelaan.

Engkau matahari jiwa itu, yang berabad abad kesepian menyaksikan musim demi musim menguliti harapan yang telah engkau tanam jadi rencana. Maafkan aku yang tak sanggup membelah ragaku menjadi dua bagian, agar terjangkau fana tubuhmu dalam rengkuhan, melumuri perih dukamu dengan kasih tanpa ukuran. Andai aku malaikat, ingin aku hadir disampingmu, mengecupi setiap butir ari matamu dan melipatnya jadi senyuman…

Gempol, lewat tengah malam 060521

Thursday, May 18, 2006

Pahlawan dan Oblanggathak

Tiba saatnya, ketika tanah dan langit menyempit dinding udara menjepit. Lunas sudah seribu kecemasan yang menggunung, patah dan luruh jadi kepasrahan tanpa daya; rebah tak bernyawa. Tak dikenangnya harta benda, tak dikenangnya lagi segala jerih payahnya. Di angan anganya pada detik terakhir kehidupanya hanya ada Tuhan dan orang orang tercinta; anak, istri, ibu lalu bapaknya. Tak ada yang berdaya menolongnya ketika tombak mengujam di tenggorokan dan urat nadi putus ditengah jalan. Ia meninggalkan dunia dan sejuta kecemasanya, sejuta cinta mulianya.

Menjadi seorang satpam bukanlah profesi pilihanya, melainkan keharusan yang mesti diemban dan kemudian menerbitkan sedikit kebanggaan atas pengabdian kepada hidup, Tuhan dan keluarga. Tertutup rimbun pepohonan hutan dan terkurung dari pandangan mata, ia menghadapi musuh musuhnya dengan berani; sekelompok manusia rakus budak materi. Hukum diterapkan atas desakan ekonomi dan dorongan adrenalin dari alkohol yang memprovokasi syaraf. Dan, sang satpam hanya benda bulan bulanan sebagai media pengirim pesan belaka.

Kepentingan modal yang terlalu picik memandang segala hal yang ada diatas kertas, dengan sederet tanda tangan dan stempel tak mencakup pemahaman betapa diluar sana, dihutan yang terlindung oleh rimbun pohon raksasa, para satuan pengamanan terjepit diantara dua kepentingan yang samasekali bertolak belakang kepentingan. Hukum pidana maupun setumpuk kertas berisi undang undang, kesepakatan maupun peraturan lainya seakan tak berisi makna, tak diberlakukan disitu. Kertas kertas yang seharusnya ikut menjamin keberlangsungan kehidupan satpam sebagai satuan penjaga keamanan dan ketertibanpun menjadi mandul, demikian juga berlaku bagi segolongan kaum rakus yang hanya memandang satpam sebagai elemen sebuah kapitalisme.

Menjadi seorang satpam dalam pemahamanku adalah membelanjakan hidup dan mempertaruhkan diri demi kemuliaan hidup yang bukan dirinya pribadi. pandangan sebelah mata dari dunia disekeliling, tidak menyurutkan hakekat profesinya sebagai tameng hidup bagi kenyamanan banyak orang. Satpam mengabdi untuk keluarga, menjual nyawa dan keringat dengan cara yang barangkali jarang kita fikirkan. Resiko profesinya sedemikian tinggi, bahkan ketika meninggalkan pintu rumah untuk bekerja, harapanya adalah untuk kembali pulang dengan nyawa utuh.

Maka, demikianlah sebagian orang menebus ongkos kehidupan dengan menggadaikan jiwanya, menjadikan orang orang tercinta sebagai mantra penyemangat dan jiwa penyelamat di medan tugas. Sungguh nistalah sesiapapun yang dengan sengaja menghargai jerih payahnya dengan penghinaan, menjadi lintah yang menempel didalam hati dan tak berhenti menghisap darah sampai mati. Oblanggathak tak tahu diri orang orang semacam ini, yang tak memiliki sedikitpun kepekaan nurani. Sementara dipertaruhkan nyawa dan rasa aman tenteram ditengah keluarganya, si oblanggathak mengobral murah kehormatan keluarga. Semoga cerita oblanggathak tak pernah terjadi dimuka bumi. Amin.

Kesejahteraan keluarga terkadang harus ditebus mahal dengan nyawa. Penghargaan atas upaya mensejahterakan keluarga sebagai implementsi dari cinta yang sesungguhnya sepatutnya mendapatkan imbalan penghargaan. Jika toh yang diterima sebaliknya, maka ketika bumi dan langit menjepit dan badan yang sebatang kara menjelempah penuh darah, lalu tiba detik terakhir dan hanya Tuhan yang menghuni angan angan. Ia telah tunaikan kewajibanya menjadi seorang lelaki, dan menyelesaikanya dengan sebuah kematian yang indah. Bagiku, orang seperti itu adalah pahlawan yang sebenarnya.

(Tulisan ini sebagai catatan atas tewasnya satpam Supriyanto pada 26 Mei 2006, seorang yang dulu pernah sederap langkah, selalu seorang sahabat yang tewas ditangan para pengeroyoknya ditengah hutan sawit diseputar Perawang -Riau ketika ia sebagai Danton berusaha menyelamatkan anak buahnya yang terkepung dan disandera. Bersama seorang anggotanya, ia tewas ditempat dengan luka tombak di leher dan luka bacokan disekujur tubuh. Semoga arwahnya diterima disisiNya. Di tepian garis batas batas itu kita dulu meniti bersama, dan engkau telah sampai lebih duluan…Selamat jalan, teman!)

Gempol, 060518

Wednesday, May 17, 2006

Senja di simpang Pasar Rebo

Sepenggal ceritera dari Jakarta – 1

Mendung tipis menggantung diatas jembatan layang simpang Pasar Rebo, menafikan kebisingan. Di barat matahari melembayung bersiap luruh ke pusar bumi. Wajah wajah layu dengan mulut terkatup diam, memancarkan kecemasan dan fikiran yang berlarian kian kemari. Ke segala arah mereka membawa langkah, dalam kerangka rapuh kehidupan pribadi yang terkurung tembok tinggi individualisme. Tak seorangpun mengenal siapapun disini, dikebisingan lalu lalang manusia ini. Mereka menyimpan dunianya sendiri sendiri dan membawanya kesana kemari sebagai cangkang pelindung diri.

Rambu rambu jalan dipasang untuk menangisi kebangkrutan disiplin sebagian yang bangga atasnya. Sedangkan dibawahnya berdiri gagah selusin penegak berseragam memahfumi ketidak berdayaan sang rambu jalan. Merekapun hanya robot yang berdiri dibawah rambu berdasarkan hitungan waktu, maka dikepalanya yang cemas melulu berisi arloji, kalendar dan angka angka. Selebihnya adalah percakapan pribadi keluarga, mantra keramat bagi kekacauan nurani.

Ribuan pejalan kaki kehilangan trotoar oleh sebab telah menjelma jadi pasar. Diantara desingan peluru baja, pejalan kaki menyabung nyawa, bermimpi akan keselamatan diri menjadi domain bagi kesadaran pengguna jalan, sedangkan hanya hak pribadi yang tampak bagi setiap kepala. Kehidupan sedang bertransformasi, melompat dari satu ruang ke ruang lainya dalam masing masing koloni asingnya dan rembulan pucat malas muncul disisi timur, berbalut debu; samar samar.

Pengemis cilik dan pengemis renta, seperti mencoba menjajakan nyali; prototype generasi masa depan dan pendahulu, menggadaikan harga manusia dengan belas kasihan dan dengan jubah palsu. Di simpang ini Jakarta ditawarkan dengan harga pinggir jalanan. Pasar besar atas segala komoditi kehidupan, bagi siapapun yang sekedar lewat dan tak cukup punya ruang waktu untuk sekedar melirik kepentingan sesama.

Simpang Pasar Rebo ketika senja, mempertemukan jutaan kekesalan dan kecemasan Jakarta sehari penuh. Diantara riuh dan keruhnya, rencana rencana atas fase kehidupan lain lagi menjombak disetiap kepala yang melintasinya. Sebagian akan menjadi hiasan di halaman depan koran pagi esok hari, teman menikmati segelas kopi, yang kemudian hinggap sejenak di otak untuk menghambur hilang tak berbekas dihati pembacanya. Bagi yang tak beruntung masuk menjadi berita, tinggal zombie zombie penunai keharusan hidup ciptaan budaya baru metropolitan.

Disini panca indera jadi mati rasa. Mata tak saling melihat, telinga tak menerima getar suara, hidung menjadi kebal atas tajam asap knalpot dan anyir genangan got celaka, lidah mati kehilangan selera dan fungsi ragawi terwakili oleh fikiran materi. Keterasingan mendatangkan bimbang, menoleh kekiri ke kanan hanya berisi rabaan perasaan. Apakah diri telah terdampar di planet asing?

Bocah balita berdandan kumal, menyinggung lengan sodorkan tangan. Tajam mata memohon kasihan menutupi sorot bengis yang mengerikan. Senja di simpang Pasar Rebo menjadi saksi, uang recehan telah membunuh kemuliaan masa depan sang bocah, dia telah jadi bagian dari aspal jalanan…


Pasar Rebo suatu senja 060517

Monday, May 15, 2006

Terimakasih wahai huruf

Terimakasih wahai huruf yang menaburkan miliaran warna di dinding dunia. Darimu jendela jendela terbuka, sebagian dengan belati masih menancap di ujung jantung, meneteskan darah yang menyembunyikan kesakitan. Atas jasamu pula dunia bentukan cinta melambung di angkasa dalam gelembung inklusif yang tak tercium oleh debu kepentingan. Disana, jiwa jiwa bertemu tanpa bersentuhan, sepenuhnya hanyalah rasa.

Terimakasih wahai huruf yang menayangkan apa yang terasa ketika bulan padam pada lewat tengah malam, hanya kehampaan udara sebagai teman dan kenangan menggenang tak pergi tak juga datang. Porong kopi letih menghimpun kecemasan demi kecemasan setelah benderang hari lewat tanpa jejak, kecuali susunan angka statistik yang memangkas usia. Serpihan tulang yang retak di lutut kanan jadi tak terasa, perihnya tertimbun oleh kemeranaan bathin yang merindukan datangnya kematian.

Terimakasih wahai huruf yang mengantarkan sepotong senyum melintasi ruangan, mendamparkan percakapan yang tak pernah selesai. Rencana rencana telah mati muda, sedangkan butiran air hujan sisa tadi siang tak juga pergi dari ujung rerumputan sepanjang jalan pulang; memprovokasi kempis harapan. Dan sepasang mata mungil dengan pancaran sinar menyilaukan milik penguasa alam khayali melumuri sepi dengan gairah tanpa arah, kehilangan arah. Hanya membentur dinding bernama kekecewaan semata.

Terimakasih wahai huruf yang telah menyusun sejarah peradaban hanya melalui catatan, maka inilah catatan isi gelap pada tengah malam ketika rembulan tiga perempat lingkaran baru saja padam…

Pada sisi sebuah sepi, gempol 060515

Sunday, May 14, 2006

Analogi sebatang pohon

(pengakuan sebatang pohon yang menjulang ditengah terik tanah lapang)

Tubuhku makin tua, sebagian melapuk dirampas usia. Ribuan daunkupun telah rontok jadi pengalaman pemupuk kesuburan masa depan, sedangkan goresan demi goresan tangan durhaka kusimpan sebagai kenangan yang menghiasi kisah keberadaanku. Disetiap pucuk dahanku tunas tunas harapan tumbuh atas kuasa matahari dan udara, karunia tunggal sebagai bekal kehidupan. Cabang dan dahanku menjulur ke seribu arah mata angin, mencari angkasa tempat jawaban atas misteri kehidupan tersimpan.

Aku bersaksi atas kejadian demi kejadian sejauh batas pandangan pemahamanku. Butiran debu musim kemarau telah berbiasa singgah diantara daun dan dahanku sebelum akhirnya luruh kebumi bersama derai hujan. Bagiku tak ada siang maupun malam, waktu adalah sebuah jelujur panjang tanpa jeda dan persinggahan. Angin menawarkan rimbunku bagi setiap pejalan ingkari letih, dimana darinya kucatat ribuan cerita perjalanan beraneka rupa.

Temanku yang setia mengurai rasa adalah sejuk sisa embun yang selalu malas beranjak dari pucuk daunku, dan rembulan yang malu malu mempercakapkan tentang kesepian jagad raya, terlebih tentang aniaya oleh cinta umat manusia. Dengan langit dan senja juga kupercakapkan tentang segala bentuk imajinasi yang terkurung oleh keadaanku, tertancap di bumi bagai balok tanpa kehidupan.

Musim demi musim yang lewat kusimpan dalam lingkaran pengertian. Pernah juga datang angin puting beliung dan badai hitam yang memamerkan keperkasaan sang angkara murka. Menerjang dengan nafsu merobohkan apapun yang ada dihadapan. Aku sendirian dan hampir rubuh mempertahankan pijakan, pernah layu oleh parasit yang menghisap sari pengalaman yang kukumpulkan, hampir menyerah pada kematian, terampas segala keinginan.

Kedurjanaan kemudian hari justru menjadi enzim baru bagi batang tubuhku, membekali setiap pori pori kulit dengan kekebalan terhadap keinginan diluar batas kemampuan akarku menyerap sari harapan. Ia mengajari tunas tunas daunku melihat dengan cara lebih bijak, menjadi sederhana; bahwa apapun yang terjadi dan terasa semestinya tak menjadi keharusan sesuai dengan kamauan. Biarkan saja terjadi, sebab aku hanya sebatang pohon tanpa fungsi kontrol terhadap kehidupan diluar labirin nuraniku sendiri. Sedih dan bahagia, puas dan kecewa memang telah permanen menjadi milik isi dunia, dan kita harus siap mengecap apapun rasanya. Dan tunas tunas pengharapan takkan berhenti merangkai langit kebebasan.

Aku hanya sebatang pohon, kepada pejalan kutawarkan rimbun ketika terik menikam dan teduh ketika hujan mendera. Barangkali saja akan terbaca catatan pengalaman dari akar yang menancap dibumi kehidupan sebelum mati datang menjemput dan aku tinggal jadi pokok kayu, monumen tanpa catatan baru…

Gempol menjelang pagi, 060214

Saturday, May 13, 2006

Memilih diam

Diam karena ketidak mengertian atas apa yang hendak dibicarakan dari apa yang sedang jadi bahan pembicaraan, apa yang hendak dilakukan dari kejadian yang sedang berlaku. Diam ini meredam banyak kemungkinan, melambatkan gelombang ketidak mengertian yang lebih besar lagi. Diam mendengarkan, memperhatikan sampai pengertian datang menghampiri fikiran.

Ketika kesalahan yang sengaja maupun tanpa sengaja dilakukan tiba tiba membanjiri kesadaran, maka diam menjadi pilihan lain lagi. Diam akan membendung datangnya kesalahan lebih besar lagi, sebagai efek karambol dari kesalahan yang sebelumnya. Berdiam diri dari perbuatan dan perkataan menjadikan kesalahan yang sudah terjadi akan lebih mudah untuk dievaluasi.

Satu lagi sikap diam adalah karena kecewa dan marah. Kekecewaan yang kemudian membentuk kawah amarah sering kali meledakkan perkataan maupun perbuatan yang ekstrim, lebih kuat dari ukuran normal. Sikap diam dipilih sebagai sikap untuk mengontorl diri sendiri, menghindari benturan yang jelas akan berdampak lebih keras dari yang disangkakan.

Sikap diam, memerlukan satu kekuatan yang mau tidak mau dipaksakan. Kekuatan yang dipaksakanlah sesungguhnya kekuatan yang sebernarnya karena sikap diam adalah meredam diri sendiri dari pembelaan maupun penuntutan atas ketidak nyamanan sebuah kejadian. Ketika diri tak mengerti, ketika kita berlaku salah, ketika kita merasa marah maka perkataan sering dijadikan bungkus celaka. Memilih diam sebagai pengakuan adalah memberi peluang kepada diri sendiri untuk membangun karakter diri dan menyublimkan ego ke titik aman. .

Pemberontakan ego entah untuk menutupi atau membela diri adalah ledakan dahsyat yang terjadi bisa kapan saja dan dimana saja. Ledakan yang demikian hebat tentu akan bisa menimbulkan korban dan konflik baru dalam interaksi sosial. Maka memilih diam adlah kebijaksanaan yang terukur dalam menyikapi sebuah luapan emosional. Jika diam itu emas, maka ia datang dari pilihan hati. Dan, memilih hati yang memegang kendali memiliki konskwensi pribadi yang sangat individual.

Gempol 060513 ketika amarah menggenang sejak petang.

Friday, May 12, 2006

Sewindu Reformasi

Reformasi ternyata melahirkan sebuah oligarki massive diseluruh negeri. Slogan dan jargon tentang masyarakat madani yang rajin kita dengar ternyata hanya mantra muslihat belaka, angin surga bagi kejenuhan akan status quo. Inilah akibatnya ketika keinginan telah tanpa terasa teracuni oleh manis pandangan akan rumput tetangga; gaya berfikir radikal.

Teori reformasi yang hanya melulu berupa gagasan tanpa blue print pelaksanaan serta ekses kemudian melahirkan sebuah generasi bingung dalam menata negara yang notabene bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan berbangsa bagi warganya. Sesungguhnya, pejabat negara dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah pelayan bagi warga negara, menyediakan diri untuk melayani warga negara mendapatkan hak hak sipil. Prinsip yang sederhana itu telah bergeser menjadi wacana birokrasi berbelit belit yang mengaburkan esensi fungsional yang mendasar sebagai pegawai negeri; pelayan bagi rakyat jelata. Orang jadi abai dengan prinsip kesederhanaan fungsi sebuah elemen negara.

Reformasi salah kaprah menjadikan para pelayan rakyat jelata (khusus yang bermoral korup) menobatkan diri mereka menjadi raja raja kecil dalam lingkup kekuasaanya. Bagaimanapun mereka juga manusia, yang memiliki nafsu dan kepentingan sebagai manusia, dan dengan jiwa korupnya jeli melihat peluang untuk menggelembungkan diri dilingkunganya. Materialistis selamanya menempel pada sifat manusia, tak terkecuali juga para raja kecil dan besar. Perduli setan dengan rakyat jelata, salah sendiri menjadi rakyat jelata, dan kasihan deh lo menjadi rakyat jelata.

Jadilah kini, delapan tahun reformasi ternyata menampakkan wujudnya yang sejati. Sebuah perebutan bangkai gajah oleh ribuan belatung yang tak bisa kenyang, dengan kebusukan yang membahana menjadi hal biasa. Terlalu sibuk mengurusi sempalan sempalan daging busuk pengurus negeri ini mengabaikan tiang terkuat dari satu negara; warga negara yang notabene rakyat jelata!

Bukankah idealnya pemerintahan reformasi adalah sebuah pemerintahan yang mengakomodir semua kepentingan warga negara, menjadikan hukum sebagai satu satunya landasan untuk ditaati bersama tanpa tawar menawar dan menciptakan kesejahteraan dan rasa aman bagi siapapun yang ada didalam territorial, dan menjunjung tinggi hak hak sipil bernegara. Negara dipimpin berdasarkan kebingungan yang legitimated, dan menciptakan sebuah paradigma kekuasaan yang terkotak kotak, semua berazas birokrasi dalam berbagai bentuknya. Undang undang hanya menjadi sederet tulisan berisi pasal pasal, sanksi sanksi jika para pelaksana dan pengawalnya tidak menyelenggarakanya dengan landasan moral dari nurani pribadinya.

Tidak mengherankan jika setiap hari di tivi kita tonton berita demonstrasi (baca: ekspresi ketidak puasan), protes atas sebuah tindakan, kebijakan bahkan rencana sekalipun. Nah, ternyata reformasi juga melahirkan sebuah ketidak percayaan dari berbagai lini. Semua atas dasar kepentingan kelompok dan golongan yang maunya mengharuskan suara dan pendapatnya ditelan mentah oleh yang diprotes, kalau tidak, ancamanya adalah anarkisme, kekerasan. Pendekatan kekerasan dengan tingkat pertanggung jawaban hukum yang rendah. Kelompok kelompok kesukuan, ras, golongan bahkan agama dijadikan tunggangan untuk menekan. Karena memang demikianlah reformasi itu digulirkan delapan tahun silam, dengan demonstrasi besar besaran dan kekerasan.

Negara kehilangan power of control terhadap warganya sendiri, sebuah alamat bagi kemandulan identitas sebuah bangsa. Dalam sejarah peradaban manusia, revolusi seyogianya menelurkan sebuah pembaharuan kearah yang lebih bermutu. Delapan tahun sesudah euphoria reformasi, bhineka tunggal ika, dan garuda pancasila bersiap siap untuk gulung tikar, kolaps (meminjam istilah dari blognya gee). Reformasi sebagai alasan sebuah penyelenggaraan negara yang lebih demokratis berbasis rakyat jelata seharusnya mengedepankan kepentingan dan hati nurani rakyat, bukan hitungan hitungan di atas kertas yang lahir dari otak otak cerdas yang hanya bisa merumuskan berdasarkan buku panduan.

Setiap warga negara hanya butuh rasa aman secara moral dan material, terlindungi hak haknya tanpa membedakan etnis, dengan demikian terpenuhi rasa keadilan yang pada giliranya akan melahirkan sebuah generasi yang cinta negeri, memiliki wawasan kebangsaan keindonesiaan, benteng terkuat bagi keberlangsungan sebuah negara. Ketika orde baru tumbang, kita berharap hal hal itu dapat terwujud melalui reformasi (pembentukan ulang) pemerintahan. Kita boleh berharap, toh tak selamanya harapan menjadi kenyataan.

Dari diri kita sendiri kita akan merubah keadaan, saling bergandeng tangan dengan rasa hormat tinggi terhadap sesama tanpa harus memandang perbedaan sebagai satu peluang merendahkan. Hancur dan suburnya negeri ini, sungguh tergantung kepada nurani kita sendiri. Kita tidak ingin tika, uis, kilgor, davin, damara, anne, farell, vio, zaki, darrel, Aileen, angie, dan jutaan anak anak lainya terbentuk oleh kepribadian oligarkis yang menyesatkan itu, bukan? Persaudaraan, kesetaraan dan menjadikan nurani sebagai pijakan moral dari setiap warga negara Indonesia akan dengan alami membentuk sebuah bangsa yang memiliki patriotisme dan nasionalisme tinggi, rasa memiliki yang positif terhadap negara yang menjadi ada karena sumbangsih setiap individu warganya. Jangan kita wariskan kekacauan moral kepada anak cucu kita dengan kemewahan janji surga.

Dari sinilah perbaikan dan langkah mantap kepada kehidupan madani berawal, dari dalam sanubari kita masing masing. Tebarkan cinta dan damai demi masadepan Indonesia tercinta, agar penerus kita bangga menjadi orang Indonesia.

Gempol, 060512

Thursday, May 11, 2006

Serpihan dunia retak

Jam satu malam, kegelisahan sejak pagi tetap menggelombang. Beribu pertanyaan datang tanpa jawaban. Satu keinginan sederhana sekalipun menjadi rumit berbelit belit, keinginan diri melompat ke bumi beralas sejuk tanah berdebu dibawah rumpun bambu masa kecil saat ini. Pagi tadi, kesedihan meraba rongga hati. Kosong belaka. Tidur yang sesaat tak sanggup menipu mimpi yang menggetarkan ketenangan yang diharapkan.

Perlahan kesadaran menjabarkan rasa, tentang diri yang berdiri diatas puing puing kenangan, serba rapuh dan labil. Puing puing itu menjadi benteng keberadaan dimuka bumi yang perlahan lahan semakin bergeser menepi. Keinginan, ketidak inginan, cara memelihara orang orang kesayangan, kepedulian, semuanya membuyar terbawa angin masa. Hidup sekenanya, hidup asal hidup seperti selembar bulu elang yang tertiup badai digurun pasir.

Kehidupan angan angan, kehidupan virtual adalah semata kehidupan ideal penghiburan bagi kegetiran diri. Dibalik itu, diri tak punya kuasa apa apa untuk membuatnya menjadi sentuhan, menjadi realita. Kehidupan virtual yang penuh penghargaan dan citarasa, sebenarnya adalah kekecutan yang tak terlihat dari mata. Ia adalah gelembung nyanyian nurani yang menjabarkan isi dada, kepala dan juga langkah kaki.

Hal hal basi kadang melengkapi isi hari ini, mematikan bahan pemikiran. Keinginan dan pandangan hanya menjelma jadi angin yang berdesis lewat ditelinga. Tak ada lagi topic untuk dibicarakan karena semua percakapan telah usai dimasa lalu. Kehidupan hanya berjalan dengan azas kewajiban semata, kehilangan nilai artistiknya.. Hal hal kecil mendetail yang terjabar dan berubah menjadi kezaliman bagi diri akhirnya menjadi beling beling pribadi. Keadaan seperti itu menjauhkan diri dari dunia, dari pandangan tentang diri sendiri. Kabur tak kentara.

Kemudian melintas rasa haus akan datangnya hujan damai atas nama kebersamaan. Kehidupan di alam nyata yang keras penuh orang berkepentingan dan duri tajam egoisme itu meletihkan syaraf. Kekosongan yang merajai hati terasa langsung menghujam bagai pisau belati. Ah…seandianya saja, seandainya saja diri adalah malaikat, akan terampas dan terkubur semua kemurungan itu, menggantikannya dengan sinar gilang gemilang dimana hidup hanya berisi cinta dan pengharapan, dangan hati dan logika yang erat saling bergandengan tangan.

Lewat tengah malam di gempol, 060511

Wednesday, May 10, 2006

Burung dalam sangkar

Sebuah pesan tentang pengakuan merontokkan teguh keyakinan akan keberadaan nilai ‘istimewa’ sanggup mematahkan keluhan. Denyut kehidupan nadi sebuah hati terperangkap dalam sangkar emas bernama rumah tangga, sebuah lembaga yang memayungi umat manusia dari terik panas peradaban dunia (dari PAT).

Benarkah sangkar emas itu memang ada diciptakan bagi si burung yang elok rupa? Ataukah si burung elok rupa sendiri yang menciptakan burden burden tak kasat mata yang karena keyakinan apriori terbentuk menjadi terali yang menghalangi kepak sayap dan merdu suaranya? Barangkali saja sangkar emas itu sebagai hadiah bagi keindahan yang di klaim sebagai kepemilikan dan sekaligus kebanggaan, dan si burung elok rupa sendiri menjadi familiar dengan keberadaan sangkarnya yang gemerlapan, dengan segala yang tersedia untuk dipergunakan sebatas parameter pengekangan.

Kejadian disekitar memberikan gambar bahwa sebagian burung nan elok itu memang menciptakan sendiri garis garis batas yang dikemudian hari ternyata mengurangi kenyamanan dalam mengepakkan pemikiran dan keinginan. Keinginanlah yang terpenjara dalam sangkar emas, berbatas aturan kepantasan dan tatanan peradaban. Sebagian penghuni sangkar dengan pintar menggandakan kunci gembok pintu kecilnya, dan menyembunyikanya rapat dibalik sayap. Sesekali dunia lengah dan sang burung dengan kunci duplikatnya bebas terbang tanpa merusak apapun, untuk kemudian pulang lagi menjadi burung elok rupa di sangkar emas.

Sangkar emas yang megah berkilauanpun sering menjadi simbol kesuksesan material bagi si pemiliknya. Didalamnya terpelihara dengan sentausa kehidupan yang menajadi tanggung jawabnya, dengan sangkar emas melindungi burung nan elok berkicau didalamnya. Kesempurnaan hidup hanya terasa bagi pemandangan diluar garis sang sangkar, sendangkan pandangan penghuninya tetap bebas menerabas awan, dan menyimpulkan dalam pemikiran perihal kebebsan yang terpenjarakan. Sang pemilik sangkar emas dengan impulsive menempatkan kemegahan sangkar sebagai sekaligus pertanda eksklusifitas pribadi bentukan dari jerih payah tanganya yang paling murni, menjadikanya simbol kebanggaan sebagai penguasa sekerjap terang kehidupan dunia.

Sebagian burung kemudian menganggap diri terperangkap pada penjara peradaban yang dulu dilakukan sebagai kesengajaan sebab kemilaunya menawarkan propaganda sebagai tempat yang tepat dan terhormat bagi si burung. Betapa perubahan dunia selalu bermula dari keinginan, dari alam fikiran. Dari pemandanganya diterjemahkan cerita demi cerita kebebasan bintang diangkasa yang menjadi milik jagad raya dimana setiap kornea mata mahluk hidup berhak memilikinya. Dan pemberontakan dahsyat atas keinginan dibalik dimanya…


Gempol, 060510

Sunday, May 07, 2006

Skeptis

(Kepada seorang manusia berakal budi tinggi yang mengaku bernama aku’ – tulisan ini sebagai tanggapan pribadiku atas pemuatan commentmu di blog seorang temanku)

Terimakasih atas komentar sederhanamu, yang kutangkap sebagai rasa ketidak sukaan atas diri pribadiku yang kau sebut sebagai ‘him’, juga atas lalu lintas komunikasi virtualku di blog.

Aku menghormati kebebasanmu untuk membenci siapapun yang memang ingin kau benci. Aku tidak ikut mengontrol apa yang kau inginkan dan tidak kehendaki. Se asing apapun kau buat aku, tetap saja aku memandangmu sebagai manusia yang terpelajar dan berakal budi, bahkan aku yakin pelajaran formal tentang budi pekerti jauh lebih banyak kau dapatkan ketimbang aku.

Bagiku, tidak ada keharusan bagi mahluk hidup di muka bumi ini untuk menyukaiku. Sebuah interaksi terjadi atas azas suka rela. Aku tidak membencimu seperti kau membenciku, sungguh bukan maksudku untuk membebani diriku sendiri dengan kebencian tanpa alasan. Aku tidak mengenali kau yang bersembunyi, bagaimana mungkin aku akan memberikan penilaian bahkan kebencian kepadamu?

Aku jadi ingat, kejadian di dunia nyata beberapa waktu silam, ketika sebuah lingkungan mengucilkan seseorang dengan pandangan skeptis yang didapat dari cerita subyektif satu orang yang begitu piawai mempermainkan simpati. Tanpa tahu ujung pangkalnya, seseorang ini kemudian mendapat predikat sebagai manusia rendah budi, barakhlak buruk dan suka menyakiti. Semua hanya berdasar cerita dari satu orang yang sekali lagi aku sampaikan, subyektif semata. Maka lingkungan itupun mengucilkanya. Lebih mengenaskan lagi, cerita subyektif yang tersiar hanyalah sepenggal kisah panjang dari rentetan panjang kejadian yang saling bertautan. Setujukan kau jika kemudian itu disebut sebagai fitnah terhadap si seseorang yang malang itu?

Mungkin kau tidak akan pernah membaca tulisan ini karena kebencian yang kau kandungkan terhadapku, bagiku tak jadi persoalan sebab aku tahu tulisanku adalah temanku, dan kepadanya aku mengadu. Ia mungkin bisu, tapi dialah teman yang tak pernah membenci apalagi menghasutku.

Sekali lagi terimakasih atas kepedulianmu terhadap kedangkalan nalar maupun pemahamanku atas etika hidup. Semoga dimuliakanlah hidupmu seperti kau memuliakan hidupmu sendiri. Mudah mudahan.

Lewat tengah malam, gempol 060507

Saturday, May 06, 2006

Selamat Ulang Tahun Bidadari...

May 6, 2006, 0147hrs

Tigabelas menit lagi engkau akan menjalani dua jam pertama dalam hitungan jumlah usia yang dengan angka satuan bertambah lagi. Selamat memasuki usia ke duapuluh tujuh meskipun baru dua jam saja. Inipun akan menjadi catatan dari dua puluh enam tahun yang pernah terlewati yang sekarang tinggal menjadi masa lalu yang menyisakan kenangan dan kuburan pengalaman berderet memanjang dengan catatan macam macam.

Sebuah perjalanan panjang kehidupan yang telah engkau tempuh dan akan terus engkau tempuh entah sampai kapan, entah kearah mana. Angka yang baru dua jam kurang tigabelas menit engkau sandang adalah tetap anugerah terbesar hingga detik ini; kehidupan. Didepan jalan lapang melempang, langkahmu akan menapaki udara dan lalu meninggalkan jejak perjalanan seperti yang sudah sudah. Jalanan itu, tak seorangpun pernah melewatinya sebab ia memang diciptakan khusus untukmu, princess.

Tak apa sejenak menoleh kebelakang, mengurai kembali warna dan rasa perjalanan. Betapa begitu banyak kesempatan telah menjelempah menjadi bangkai waktu yang tak berguna lagi, tertikam mati oleh keputusan demi keputusan yang harus engkau ambil demi laju langkah kaki.

Jika pagi ini tangismu luruh sebagai prasasti dan kesunyian memberikan hadiah terbaik bagi perayaan hari peringatan, maka catatlah itu sebagai satu lagi rasa yang kelakpun hanya akan tinggal menjadi ingatan, hidup dalam kenang kenangan semata. Biarkan saja air matamu jatuh jika sebab memang harus berlaku demikian. Jangan tangisi masa depan yang tak terbacakan, tapi terjemahkan sisa bathinmu sebagai tanah pijakan dimana engkau berdiri menekuri catatan kehidupan. Biarkan genit angin beku dini hari menggodamu, sebab ia akan selalu ada untuk engkau jadikan apa saja yang engkau mau.

Kelak jika kelopak matamu mengering dan rembulan teduh diatas langit abu abu menyinari pandanganmu, berbanggalah sebab engkau telah menjadi istimewa bagi sebuah keistimewaan. Setidaknya berbahagialah bahwa engkau sempat menjadi peri cantik baik hati bagi beberapa hati.

Jangan risaukan curam jurang dan terjal tebing masa lalu yang pernah engkau tempuh jika itu hanya akan melahirkan penyesalan demi penyesalan yang jadi alasan untuk melegitimasi pengutukan diri. Biarkan semua perih dan pedih yang pernah terlewati terlipat rapi dalam catatan, sertifikasi bagi kekuatan yang engkau perlukan untuk perjalanan kedepan yang tak memiliki ramalan. Tengoklah catatan diarymu sesekali, sekedar memompakan infus semangat bahwa pernah terjadi moment moment dimana hidup terasa gelap dan berat untuk dijalani. Jadikan catatan itu kebanggaanmu seperti kubanggakan keberadaanmu.

Pagi ini, semestinya aku memelukmu, menghitung tetes demi tetes embun yang turun menyejukkan bumi, meresapi setiap detik dengan ketenteraman hati, mempercakapkan masa lalu sebagai cerita dan masadepan sebagai harapan, menikmati masa kini sebagai sebuah anugerah kehidupan. Tak ada yang melebihi keinginanku saat ini kecuali mendekapmu erat dan berbisik ditelingamu: “Selamat Ulang Tahun, bidadari sebelah hatiku”.

Sudah sekian jauh jarak tempuhanmu lalui dengan gemilang, dan tetap kokoh berdiri menerima semua konskwensi dari keputusan dimasa lalu. Bukankah hidup manusia hanya menjalani keputusan keputusan yang ia buat sendiri, sayang? Demikian juga engkau yang aku kenal sebagai seorang puteri dengan konskwensi terhadap apapun yang engkau harus jalani.

Pagi ini udara menggenang tak mau pergi. Dunia seperti mati tanpa gerak dan suara. Begitu diam dan tenang, menghadirkan bayanganmu yang tengah sendirian disana dengan beribu kecemasan karena benturan antara harapan dan alam kenyataan. Sunggguh, terlu mudah bagiku untuk ikut hanyut dalam penghayatan yang engkau rasakan saat ini. Dan gelisahku yang menyelubungi sunyi dini hari ini, bercerita tentang letupan rasa rindu yang menjadi pusaran di palung hati. Aku sayang padamu …sayang sekali….

Selamat Ulang Tahun sebelah hati, semoga hari hari kedepan adalah masa panen bagi buah kedamaian dan kebahagiaan yang engkau tanam sepanjang perjalanan…

Ended - 0223hrs with 1000 kisses

Thursday, May 04, 2006

Rindu

: Dragon soulmate
Siang ini ketika mendung lagi lagi mengurung Jakarta, aku terbang tanpa bungkusan material ke kotamu. Isi dada dan isi kepalaku menghambur mengikuti panggilan masa lalu yang menggema dari langit dan gedung gedung kotaku.

Pesanmu mengajakku menelusuri jejak masa lalu yang baru saja kemarin kita tapaki bersama dengan bahasa angin yang cuma kita berdua mengerti maknanya. Dunia tak bertuan yang kita ciptakan hanya dengan kebetulan, hanya mengandalkan proses alam.

Maka anyir laut yang melingkupi kotamu kuhirup lagi dalam kehidupan dunia terpendamku dengan penuh cita rasa. Engkau masih disana tersenyum menungguku, ketika gerimis usai mengaburkan sore. Sisa perjalanan kita membatu bagaikan menjadi prasasti dan menara, sebagian lagi berdiri kokoh sebagai monumen.

Kutemukan lagi bening di lekuk bola matamu, memancarkan sejuta cerita yang pernah kau titipkan lewat suara angin dan gemuruh hujan. Dan senyum yang tersunting dibibirmu menterjemahkan optimisme sang matahari di siang hari juga menjelma bulan ketika malam menyuguhkan gelap. Pipimu memerah ketika mataku membenturnya, dan aku terbius oleh harum rambutmu yang menghambur ke system pernafasanku seketika.

Menyusuri jalan jalan dikotamu dengan jemari lekat dalam genggaman bathinku, kebahagiaan membuncah dan meniadakan tanah sebagai alas pijakan. Dengan sayap hatiku yang membiru engkau ajarkan aku kembali mengeja mendung, bercakap dengan embun dan menterjemahkan setiap bisikan bayu yang lembut membelai wajah kita.

Kukenangkan engkau sebagai malaikat yang datang dari balik kabut di kegelapan, muncul menjulang membalurkan ramuan bagi luka disekujur badan. Pada mataku yang lebam kau ajarkan pandangan baru tentang kejatuhan, dan pada hatiku yang meradang kau selimuti dengan kehangatan. Aku pikir itulah surga setelah kematian, seperti pernah kutemukan dalam dongeng dongeng pencegah sesat.

Kau dengarkankah suara gemuruh guntur diangkasa yang mewakili pemberontakan bathin atas hasrat hati yang terlalu lama diperam ini?
Aku rindukan hadirmu di beku hari hariku...
cubicle, 060504

Monday, May 01, 2006

Seni Imajinasi malam Jakarta

Malam luruh di Jakarta. Ribuan lampu mercury mengingkari gelap, sia sia mencoba menandingi matahari. Di gemuruh jalanan aku meluncur laju, berselancar diatas aspal, menari dalam iringan senandung malaikat pengendali nyawa yang hanya seutas. Membunuh satu demi satu jentik masa depan dan meniadakan pertanyaan atas kemungkinan kemungkinan yang mencemaskan. Dijalanan, setan dan malaikat bermusyarwarah dalam jutaan transmisi komunikasi kasat mata.

Diantaraku, ribuan gelembung kehidupan berjalan dengan harapan dan kecemasanya masing masing, tersembunyi dalam tembok yang dibangunya tinggi tinggi, kemunafikan dengan masing masing jubah dan topengnya. Dalam bentuk masing masing, busuk dan memabukkan sekaligus. Disetiap rimbun gelapnya sudut pandangan, kebudayaan terkubur menjadi monumen penegas keberadaan, kerdil dan mengecil.

Jakarta, kampung besar ini begitu kaya dengan segala cerita kebosanan. Dan iklan, mengajarkan penghuninya untuk menjadi budak, mengerjakan sesuatu yang tidak disuka supaya bisa membeli hal hal yang tidak menjadi kebutuhan, melainkan keinginan. Melulu manusia disetiap lorong dan sisi kampung ini, tak ada yang saling mengenal kecuali dalam kelompoknya dalam selera tawa oligarki masing masing pribadi.

Udara malam menimbun karbondioksida begitu indah dicerna paru paru yang makin tua, memompakan oksigen ke dalam metabolisme tubuh dan merubahnya menjadi semangat plastik metropolitan. Jakarta menjadi panggung raksasa, seni imajinasi bagi setiap penghuninya. Lampu dipasang disetiap kepala bagi menyinari kepentingan diri mengontrol laju dunia. Peradaban telah melupakan apa menu sarapan pagi tadi, berganti menjadi apapun yang ada di meja hidangan untuk disantap dengan kecemasan.

Disepanjang jalan malam Jakarta, di kepala kunyanyikan lagu duka seperti yang digariskan dalam cerita sang Sutradara…

Simatupang – Gempol 060501