Monday, May 22, 2006

Elegi pilu dari sebelah hati

Ketika matahari jiwa tenggelam mengikuti irama bumi, separuh malam rebah oleh gerimis yang menterjemahkan tangisan panjang yang kehilangan dada. Sepi ini mengkonfirmasi hidup, mendramatisir setiap milliliter darah yang mengaliri tubuh, mengangkuti cerita demi cerita kekecewaan dari dunia yang tersia siakan, gersang tak bertuan. Bersama kehidupan yang mati suri, gerimis yang jatuh jadi lukisan hampa, berharap menemukan hangat dari tetesnya untuk dituang dalam tulisan.

Menatap langit yang kehilangan warna, rintihan sehalus angin terdengar bagai cerita kemeranaan ribuan tahun. Satu bintang, sinarnya letih terkepung luas angkasa, menggigil bagai hati yang pilu memanggil dari kejauhan. Segelas kopi berdaya mendandani muram ingatan, berimajinasi tentang hamparan masa depan dibawah sinar matahari yang menghangatkan. Tapi tangis sang malam melipatnya jadi kegelapan, hanya satu bintang termangu pucat sendirian.

Mestinya embun yang bersuka cita turun ke mayapada hadirkan sejuk dengan cerita dari dunia bidadari di khayangan, tetapi kali ini jadi serpihan teriris tajam pisau kenangan. Kepalsuan telah menjadi payung bagi nafas nafas yang bergantung, meskipun robek sana sini terkoyak badai. Sunggguh kekuatan tak hendak memberontak atas keadaan, kecuali mengalir mengikuti cerita menuju akhiran, entah kapan entah dimana, biarkan jadi rahasia.

Wahai sebelah hati yang menangis sendirian, lewat sepi dan detak arloji yang memunguti sisa malam kutuang gundah hatiku atas kokohnya dinding kenyataan yang melumpuhkan cita cita. Dari langit air matamu turun mengaliri lembah hatiku yang merana karena jauh darimu, tak sanggup kutampungkan hanya dengan tulisan. Mestinya suhu tubuhku mencairkan kebekuan cintamu yang membentur tebing penghinaan; merendahkan makna dari hati emas yang berusaha engkau persembahkan penuh kerelaan.

Engkau matahari jiwa itu, yang berabad abad kesepian menyaksikan musim demi musim menguliti harapan yang telah engkau tanam jadi rencana. Maafkan aku yang tak sanggup membelah ragaku menjadi dua bagian, agar terjangkau fana tubuhmu dalam rengkuhan, melumuri perih dukamu dengan kasih tanpa ukuran. Andai aku malaikat, ingin aku hadir disampingmu, mengecupi setiap butir ari matamu dan melipatnya jadi senyuman…

Gempol, lewat tengah malam 060521

10 comments:

Anonymous said...

Betapa kuberharap ada dadamu yang bisa kubasahi dengan air mataku semalaman...

Tapi begini pun, hangat lenganmu menjadi penopang yang kokoh bagi jiwa rapuhku..

iayu said...

satu bintang termangu pucat sendirian:'(...ihik.. ihik...

unai said...

Meski kau datang padanya, menghapus air mata yang menganak sungai di sudut matanya, tapi aku yakin..dia dapat rasakan hadirmu..memeluk hangat jiwa yang rapuh.

Maryulis Max said...

ini nih yg bikin aku salut banget sama Buderfly. Untaian kata yang penuh makna, lebih dari sebuah karya sastra yang yahud punya! Hebat & salut deh...

Anonymous said...

duh yang laen pada bilang bagus bud.. emang bagus sih bud kata2 nya, tapi dasar gue bolot gue susah banget ngerti nya yah hehehee...emang gak bakat neh gue ...

Anonymous said...

"teriris tajam pisau kenangan" hiks...sedihnya... tidakkah kenangan membawa senyuman?...

iteung said...

ckckckck...
sampe sekarang gw masih bingung ni bud...koq bisa ya, buddy punya persediaan untaian kata seperti ini?

tularin gw dunk :D

Theresia Maria said...

*ngubek2 buku, nyari kamus bahasa puitis*
ennggg...

buderfly said...

fragile princess: laramu tertampung oleh angin yang mengaliri kotaku...
Beve: Terimakasih Bev...
@yu: Hmm...dia dikepung luasnya kekosongan, Yu...
Unai: Ya Nai...ruhku disana bersama udara...
Uda Max: Duuuh...Uda bisa aja, terimakasih lho...
Ir: Wheheheh...bisa jadi memang tulisanya yang gak kebaca tuh Ir...
ranids: Sebagian kenangan menjadi beling dalam ingatan, tapi tetap sama...tidak eksis, Ran.
iteung: tapi penularanya cuma lewat air ludah teung!? huehuehue....
tenfams: udah ketemu ten???

Ida Syafyan said...

hati masih bisa menangis meskipun belahan hatinya sudah terisi...