Friday, November 25, 2005

Matinya Doktor Azahari


Salut dan angkat jempol untuk kerja Polisi dengan detasemen 88 antiterornya yang akhirnya berhasil menemukan persembunyian orang nomor satu yang dicari cari karena disangka sebagai begawan perakit bom handal yang dipakai buat membunuh secara acak dan massal sejak tahun 2000an. Doktor Azahari Husin, mati dengan tiga lubang ditubuhnya ditembusi peluru, hancur oleh bom yang dirakit dan dipasang ditubuhnya sendiri pada satu penggerebekan mirip adegan film Hollywood pada 9 November lalu di sebuah rumah sewaan di Songgoriti yang sejuk di Batu Malang. Profesionalisme institusi polisi Indonesia patut dihargai, minimal dengan angkat kedua ibu jari buat mereka. Good job!

Doktor Azahari lelaki kelahiran Jasin, Malaka Malaysia yang berumur 45 tahun itu pun jadi mayat tanpa sempat membela diri. Dia seorang lelaki cerdas dan berpendidikan tinggi yang meraih gelar doktor bidang statistika dengan predikat cum laude di Reading University London. Menurut infomasi intelijen Azahari mulai bergabung dengan islam radikal yang menginduk ke Al Qaeda setelah mengikuti latihan bersama ribuan mujahiddin lainya di Afganistan. Pendidikan itu rupanya merubah pula pandangan hidupnya tentang perjuangan melawan kebathilan dimuka bumi. Sayang sekali, pemahaman itu terlalu ekstrim dan egois, sekaligus impulsive. Menganggap diri adalah martir utusan Tuhan yang punya lisensi untuk membunuh dan akan dapat pass card gratis ke surga apabila terbunuh. Pemahaman itulah yang lantas membubuhkan gelar baru baginya sebagai “The demolition man” alias sang pengancur, gembong teroris.

Sebagai mahluk sosial Azahari dikaruniai kehiudupan dunia yang baik, dengan istrinya Wan Noraini Jusoh dan kedua anaknya Aisyah 7 tahun dan Zaid Abil 5 tahun, pekerjaan yang baik sebagai dosen di Universitas Teknologi Malaysia Sayang itupun kurang disyukurinya. Sebagian analisa menyimpulkan Azahari menjadi keblinger dengan konsep jihad dan menobatkan diri sebagai syuhada adalah sebagai pelarian atas kekecewaanya terhadap kehidupan, dimana istrinya menderita kanker tenggorokan sejak setelah kelahiran anak keduanya pada 2001. Bisa jadi memang ada kontribusi yang membentuk kelakuanya, tetapi mungkin lebih sederhana kalau simpatinya terhadap perjuangan Islam diartikulasikan sebagai perang salib era baru, yang jelas sudah bukan pada zamanya untuk diterapkan. Makna ketuhanan disikapinya sebagai pemahaman horizontal, mematikan hukum dasar ‘habluminallah wal habluminanaas” (berbakti kepada Tuhan dan menjaga hati kepada sesama).

Azahari melupakan kodratnya sebagai manusia, sebagai lelaki yang sudah mengambil keputusan untuk bertanggung jawab kepada dua orang manusia yang atas prakarsa dan kesengajaanya menjadi penghuni dunia, tanggung jawab sebagai ayah dan suami, kepala rumah tangga serta panutan bagi keluarganya. Keputusanya untuk menjadi pembunuh dan meninggalkan tanggung jawab sebagai kepala keluarga adalah sikap pengecut paling kentara. Islam mengajarkan untuk mencintai kehidupan, dan kehidupan yang paling nyata adalah kehidupan keluarga sendiri, kehidupan anak anak kita. Bagaiman membesarkan dan mendidik mereka, memberikan irah irah bagaimana hidup dalam harmoni didunia dengan menggandeng ajaran suci Tuhan didalam jiwa.

Ternyata, kecerdasan dan pendidikan tinggi bukanlah jaminan untuk menjadikan seseorang menjadi manusia berakhlak mulia. Doktor Azahari, meskipun mungkin menjadi legenda bagi sebagian orang berotak tengik, tetaplah seorang pembunuh keji tanpa hati manusia. Otaknya terpelintir oleh teori akidah dengan landasan kesombongan egonya sendiri, dan terjerumus kedalam pengertian yang sangat dangkal, sangat bodoh tentang sebuah ajaran agama.

Tetapi Azahari tetap manusia biasa ucapan ‘Innalillahi wainailaihi roji’un’ atas kematianya, juga doa selamat bagi keluarga yang ditinggalkanya. Sangat disesalkan dia mengingkari tanggung jawabnya sebagai seorang manusia, sebagai kepala rumah tangga, gantungan hidup tiga nyawa anggota keluarganya. Dimana letak tanggung jawab kepada Tuhan apabila tanggung jawabnya kepada sesamapun tak dihiraukanya?

Kadang kadang kecerdasan dan pendidikan tinggi membuat orang menjadi terlalu bodoh!


Kost Simatupang, 24 November 2005