Saturday, November 10, 2007

Risalah Pengantin

:Embun
Kutulis kesaksian, menyerta lompatan dan potongan waktu yang lahir dan mati dengan cerita. Demi kisah yang bergulung dalam sistem penanggalan, kutancapkan kerelaan pada lelaki dan perempuan dengan segenap cinta kasih. Perempuan restu ibunda hingga akhir hayatnya. Perempuan lapang dalam duka, damai dalam suka. Perempuan pilihan, tempat anak-anak bersenda di pangkuan. Tanpa keraguan, sebagaimana anak panah yang melesat menembus bilik-bilik kesunyian semesta.

Bersama, menara mimpi terbangun, kisah-kisah dan legenda terpatri pada pintu dan jendela. Membukanya ketika fajar. beranjak ketika bayang meninggalkan cahaya. Menjalin angin yang menyelusup di antara kisi-kisi hati. Merebahkan jiwa pada gugusan malam dengan sepenuhnya sukacita. Menjadi pagar besi bagi kegundahan hati. Menjadi pengasih bagi kedukaan. Menjadi bapak dalam kekanakannya. Menjadi anak bagi keibuannya.

Engkau perempuan, yang menyulam kain menjadi baju-baju. Merenda dinding kasih keniscayaan hari ini. Menjemput bunga-bunga tumbuh semusim di taman imaji. Menyiraminya dengan titik air yang meleleh menelusuri kali-kali dari hulu sudut matamu. Mengembus ubun-ubun dengan kehangatan napas kesturi.

Dia laki-laki, yang datang padamu tanpa sepatah janji-janji. Tiada sangka takdir mengulurkan tangan di hadapan. Menarik diri menelikung nurani. Merengkuh batu-batu, melunturkan luka berabad-abad. Menghadapkan wajah-wajah pada tanah keabadian.

O, Tuhan! Izinkan mereka membelah ladang-ladang. Melahirkan keturunan dari perempuan restuMu. Mengalirkan darah yang memancar membasahi lorong-lorong persemaian.

Hanya mantra doa-doa sebagai pelipur lara. Bahkan aku menziarahimu melepas segala sesal. Pada dunia lain aku berharap, sunyi akan mendengar dengan keluasan semesta. Membelaiku dengan tangan rasa penuh luka. Menghapus air mata yang menderas, mengenangmu pada cermin masa lampau.

Tak ada yang berubah atau berganti rupa. Aku tetap manusia anak manusia sediakala. Di jantungku tak lekang prasasti tentang asal-usul sejarah pertemuan. Ada darahmu yang mengalir dalam darahku. Jangan biarkan aku jadi durhaka. Lepas bakti tinggalkan jasa. Tanpa ilmu kenakan alpa dan keangkuhan. Menyusahkanmu tiada henti. Sementara waktu semakin menjadi tua. Menjadi abu. Menjadi segala yang akan kembali pada asalnya terjadi. Mungkin menjadi arang atau tanah liat, yang menanti dengan setia, seluruh kejadian terangkai untuk dikembalikan seperti semula.

O, wahai orang tua! Perkenankan waktu menyunting anak anak terkasihmu. Akan berangkat pada ketinggian derajat. Mengayun perahu batu karang. Menebar jala mengail suka. Memupuk amarah merangkum rindu. Bawa berlari menerabas halang esok hari. Meniti harapan serambut dibelah tujuh. Lepaslah dalam bentangan tiada tara.

Lepaslah bersama jiwa-jiwa bebas penerus generasi! Wahai, pengantin! Engkau menapaki jalan yang pernah aku lewati. Dengan busur dan selusin anak panah, lepaslah engkau sebagai ksatria di medan perang. Esok hari akan kembali ulang dengan kemenangan. Sekali langkah ke depan takkan dijumpai surut sejengkal. Meski tak selamanya berarti keluasan, ia hadir bersama makna-makna.

Melempangkan jalan lebih baik daripada menimbunnya dengan batu-batu. Biarkan mengalir dalam sungai-sungai yang akan pasti ke muara. Sementara sebelumnya, ia berkelok mengikuti sifat asalnya. Aku masih bagian jwamu. Seperti siang mengisi keterbatasan waktu malam, begitu pula sebaliknya kejadian. Siapa dapat menebak perhentian rumah tangga?

Wahai, pengantin! Kutulis risalah ini sebagai mahar untuk pernikahanmu. Tiada intan atau emas permata bakal kau terima, kecuali kata-kata yang berdenging di telinga, persembahan paling berharga yang sempat kumiliki. Engkau tahu, betapa tubuhku bergetar dipenuhi rasa bimbang untuk menuliskannya. Aku mati rasa menyusun kalimat demi kalimat. Dihantui ketakutan teramat sangat, membayangkan engkau yang paripurna.

Namun, wahai pengantin. Kekuatan hati telah menyatu bersama risalah ini. Tak ada bahasa lain yang mampu kusampaikan, selain lompatan huruf-huruf yang engkau mugkin tidak tertarik untuk membaca dan mendengarnya. Karena semua telah menjelma butiran-butiran di atas gemuruh jantung.

Dan ketika senja mengusung segumpal awan-awan, aku bergerak melambai pada cakrawala. Mungkin aku melebur menjadi semburat jingga, yang meriak di kaki langit meski sekejap. Dan esok lusa, aku akan muncul kembali dalam bentuk dan rupa lain. Seperti siklus berputar berwarna-warna. Siapa mampu menghadang kehendak, selain siapa yang berhak memilikinya.


Ciracas, 071110