Friday, December 24, 2010

Sendal

Jika diantara dua orang, yang satu tunagrahita dan calon yang satunya tunanetra, maka manakah yang akan lebih bijaksana dalam memimpin?

Dalam menjalankan fungsi kekuasaanya, penguasa tunanetra seharusnya lebih bisa bijaksana dibandingkan dengan penguasa tunagrahita. Sebabnya, ketunanetraanya adalah berkah untuk tidak melihat isi dunia yang terkadang menyilaukan mata dan bisa merubah perilaku orang. Ia mendengar dan memahami keadaan disekelilingnya dengan penginderaan bathin, dengan merasakannya sebagai pengalaman empiris yang menempatkan diri pribadinya adalah bagian dari sebuah sistem masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban, serta cita cita politik yang sama. Penguasa tunanetra mendasari keputusan keputusan yang dibuatnya dari apa yang ia rasakan dan ideal menurut parameter nuraninya.

Sedangkan dalam fungsi yang sama, pemi mpin yang tunagrahita memiliki kendala besar dalam mendengar dan menangkap suara suara yang timbul disekitarnya. Ia tidak bisa membedakan mana jerit kelaparan dan mana makian kemarahan. Penguasaan dan pemahaman atas alam kawula yang mendambakan kebijaksanaanya sudah melalui saringan saringan, individu individu penterjemah yang terkadang menginterprestasikan aspirasi kepada boss tunagrahita sesuai pesanan sponsor yang memberinya penghasilan sampingan. Keputusan penguasa tunagrahita cenderung tidak tepat sasaran, karena selain mengupayakan berfungsinya alat pendengarannya, kemegahan dunia telah mengurungnya dalam tembok tirani kekuasaan lewat bagaimana dia memandang orang membungkuk terhadapnya, tersenyum dan seolah olah selalu antusias untuk bertemu dengannya. Pandangan matanya dihiasi dengan kembang kembang plastik dan hal hal manis atribut penguasa. Karena ia mampu melihat, maka yang dinomorsatukan tidak lain adalah priviledge-nya sendiri. Karena dia penguasa, bukan karena dia tunagrahita. Sudah menjadi pembawaan alamnya, penguasa tunagrahita selalu pasti tamak sifatnya.

Bagi kawula, memang tidak ada pilihan lain kecuali menjadi kawula. Menjadi bagian kecil yang seolah olah diluar sistem kekuasaan yang hingar bingar. Porsi sikap dan kewajiban yang dimiliki adalah civil obedience. Ketaatan terhadap aturan aturan yang dibuat untuk menciptakan ketertiban, yang juga dikelola oleh penguasa atas tegak dan berlakunya peraturan itu berbasis rasa adil. Intinya, kawula tidak mempersoalkan penguasa yang tuli ataupun penguasa yang tunanetra selama penguasa dapat juga memenuhi kewajibanya sebagai pengayom dan pelayan kawula. Itu amanah mulia, bukan semata mata mata pencaharian, yang idealnya dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan bagi semua kaum kawula. Rasa adil harus menjadi jaminan untuk perlakuan yang sama sesuai porsinya. Jika penguasa baik yang tunanetra maupun yang tunagrahita tidak memiliki kepekaan terhadap rasa itu, maka doa kawula yang merasa terzalimi lambat laun akan dikabulkan Tuhan juga.

Tetapi penguasa tunagrahita maupun tunanetra tak jarang melahirkan tipe penguasa yang baru, yaitu penguasa tipe sendal. Ia belajar menjadi penguasan berbasiskan filsafat sendal jepit. Gaya kepemimpinan yang memanfaatkan anak buahnya ibarat sendal, alas kaki yang dipakai untuk keperluan2 remeh temeh dan receh, sebab jika keperluan penting tentunya orang menggunakan sepatu. Penguasa model ini membawa dirinya berdasarkan pandangan dan kepentingan pribadinya saja, dimana urusan performa organisasi atau kelompok menjadi bukan prioritas; apalagi bicara soal bakti negara.

Pada prakteknya, penguasa seperti ini sangat gemar memerintah dan sedikit memberi contoh, maka sulit juga dirinya dijadikan contoh bagi bawahannya. Bahkan hal sepele untuk keperluan pribadinya jika perlu harus menyuruh bawahannya. Lebih besar lagi, ia akan melimpahkan tanggung jawab yang berkenaan dengan citra dirinya kepada orang lain agar dia aman dari pandangan orang akan kekurangannya. Sifat egois yang menjadi pandangan hidupnya mengabaikan akibat akibat negatif yang terjadi pada kelompok yang dipimpinnya. Ia suka memberi perintah tanpa menjelaskan latar belakang perintah itu serta dengan mudah menungarahkan jari telunjuk kepada bawahannya jika sesuatu hal yang tidak dikehendaki terjadi. Penguasa sendal adalah type manusia yang gemar mengoleksi kambing hitam.

Idealnya seorang penguasa harus bisa menjadi contoh, bukan sekedar bisa memberi contoh. Agar maklum, penyandangan tunanetra dan tunagrahita disini yang dimaksud adalah nuraninya.

Selamat Natal,
Tuhan memberkati.

Jembatan Item 101224