Thursday, May 25, 2006

Kisah seekor camar

Seekor burung camar terbang mengitari langit yang lembab suatu siang. Matahari sedang bersungguh sungguh menumpahkan resahnya, menikam ubun ubun dan memanggang dada. Sayapnya terluka, darah kering menghiasi bulu bulu mengkilatnya. Di langit ia sendirian, merindukan tanah pijakan tempatnya temukan dermaga letih yang ditahankan. Sedikit dami sedikit ditabungkan kesakitan hatinya, buah dari perkelahian dari alam seberang dimana telah dikaramkan segala pengharapan dan mimpi yang dibangunkan.

Burung camar terbang rendah, menghirup aroma damai dari ombak yang memecah disepanjang tepi laut, pantai pendamparan. Dipijakkanya kaki rapuhnya pada karang landasan pengharapan, dan perih didapatkan dari tajam setiap ujung sisi pendaratan. Bahkan batu karang tempatnya dulu bermain merenda jawaban atas tebakan di alam seberangpun tak lagi memiliki ruang baginya. Tapi ia tetap berpijak disana, berharap menemukan teman teman lama; belibis dan lumba lumba.

Sepi, sunyi sekelilingnya kini. Terdiam merenungi awan gemawan dimana telah diarunginya sekian mil perjalanan, menembusi kosong demi kosong angkasa bersama matahari dan bintang kecilnya. Udara membawa bau anyir dari sayapnya yang terkoyak, menusukkan amarah yang tak rela ia tuntaskan kepada sang durjana. Bersama rapuh kerangka tubuhnya ia yakinkan kaki gemetaranya bahwa ia kuat menopang sejarah masa lalu dan sekaligus memikul tanggung jawab masa depan.

Terkadang dirindukanya angkasa tempatnya memuja rasa, menjelajahi hampa tempatnya mengingkari tajam karang kenyataan. Tapi terbangpun ia letih, setelah perih dari sayatan masa lalu tak sanggup ia redam menjadi pengalaman. Dilangit ia pernah tulisakan puisi tentang cinta dan pengabdian, juga tangis pedih memanjang dari kemeranaan yang disembunyikan diam diam. Tetapi hujan telah menghapusnya kemarin sore, justru ketika ia rindukan datangnya damai.

Sekarang ia sendirian, sayapnya pincang menjelempah di lantai karang. Matanya keruh menanggungkan beban, berharap musim segera tentukan keputusan; mati jadi polutan atau tetap hidup membangun nyali. Tetapi jalinan ruhnya hanya berisi sepi dan uap air laut yang kental menggarami sayapnya yang membusuk…ia hanya menunggu, matahari tenggelam ditelan samudera untuk datang lagi esok menyeruak dari ujung lainya…

Sekali ini ditengoknya langit, laut, batu karang, pasir dan matahari…ia sadar kini, bumi ini bukan tempatnya berdiri lagi, sebab ia telah menjadi zombie, terpencil ditengah alam antah berantah tak terkenali…

Cubicle, 060525