
Burung camar terbang rendah, menghirup aroma damai dari ombak yang memecah disepanjang tepi laut, pantai pendamparan. Dipijakkanya kaki rapuhnya pada karang landasan pengharapan, dan perih didapatkan dari tajam setiap ujung sisi pendaratan. Bahkan batu karang tempatnya dulu bermain merenda jawaban atas tebakan di alam seberangpun tak lagi memiliki ruang baginya. Tapi ia tetap berpijak disana, berharap menemukan teman teman lama; belibis dan lumba lumba.
Sepi, sunyi sekelilingnya kini. Terdiam merenungi awan gemawan dimana telah diarunginya sekian mil perjalanan, menembusi kosong demi kosong angkasa bersama matahari dan bintang kecilnya. Udara membawa bau anyir dari sayapnya yang terkoyak, menusukkan amarah yang tak rela ia tuntaskan kepada sang durjana. Bersama rapuh kerangka tubuhnya ia yakinkan kaki gemetaranya bahwa ia kuat menopang sejarah masa lalu dan sekaligus memikul tanggung jawab masa depan.
Terkadang dirindukanya angkasa tempatnya memuja rasa, menjelajahi hampa tempatnya mengingkari tajam karang kenyataan. Tapi terbangpun ia letih, setelah perih dari sayatan masa lalu tak sanggup ia redam menjadi pengalaman. Dilangit ia pernah tulisakan puisi tentang cinta dan pengabdian, juga tangis pedih memanjang dari kemeranaan yang disembunyikan diam diam. Tetapi hujan telah menghapusnya kemarin sore, justru ketika ia rindukan datangnya damai.
Sekarang ia sendirian, sayapnya pincang menjelempah di lantai karang. Matanya keruh menanggungkan beban, berharap musim segera tentukan keputusan; mati jadi polutan atau tetap hidup membangun nyali. Tetapi jalinan ruhnya hanya berisi sepi dan uap air laut yang kental menggarami sayapnya yang membusuk…ia hanya menunggu, matahari tenggelam ditelan samudera untuk datang lagi esok menyeruak dari ujung lainya…
Sekali ini ditengoknya langit, laut, batu karang, pasir dan matahari…ia sadar kini, bumi ini bukan tempatnya berdiri lagi, sebab ia telah menjadi zombie, terpencil ditengah alam antah berantah tak terkenali…
Cubicle, 060525
8 comments:
Datanglah kemari wahai camar. Takka kubiarkan lukamu membusuk, menyisaka sakit yang menikam. Terbanlah rendah, hinggaplah di karang itu. Lepaskan sejanak letihmu. Biarka saja matahari tertelan samudra, esok kan datang lagi mentari yang sama
wahai burung camar.
tinggi melayang ,bersautan di balik awan,tiada teman berbagi derita,bahkan untuk berbagi cerita...
Seandainya.. Si burung camar adalah si burung gelatik yg menclok di jendela, aku akan menolongnya, mengobatinya...
=Lagu Tasya="...Ada gelatik menclok di jendela.. Aduh kasian, kasian.. Sayapnya luka tak bisa terbang.. Aduh kasian, kasian.. Mari kutolong.. kasih obat.. lekas jadi baik, kembali sehat.."
Menjadi mahkluk hidup sepaket dengan sakit dan sehat, senang dan sedih...Semua akan jadi bahan pelengkap tas pengalaman hidup kita. Begitu juga dengan si burung camar...
Unai: Sayapnya koyak, ada darah mengering sisa badai yang mengamuk musim lalu, Nai. Dia hanya bisa menyaksikan, mentari datang dan pergi...
Nita: Vina Panduwinata! *berpacu dlm melodi mode on*
Beverly: Sarangnya hilang, dicuri orang Bev.
Rara: Ia tetap camar, terdampar di pulau karang tak bertuan, Ra...hanya menunggu ajal tiba.
Fei: konskwensi atas kelahiran, Fei?
Cool blog, interesting information... Keep it UP Balleys fitness center loss pilates weight broadband mobile data broadband mobility
What a great site » » »
Post a Comment