Thursday, May 18, 2006

Pahlawan dan Oblanggathak

Tiba saatnya, ketika tanah dan langit menyempit dinding udara menjepit. Lunas sudah seribu kecemasan yang menggunung, patah dan luruh jadi kepasrahan tanpa daya; rebah tak bernyawa. Tak dikenangnya harta benda, tak dikenangnya lagi segala jerih payahnya. Di angan anganya pada detik terakhir kehidupanya hanya ada Tuhan dan orang orang tercinta; anak, istri, ibu lalu bapaknya. Tak ada yang berdaya menolongnya ketika tombak mengujam di tenggorokan dan urat nadi putus ditengah jalan. Ia meninggalkan dunia dan sejuta kecemasanya, sejuta cinta mulianya.

Menjadi seorang satpam bukanlah profesi pilihanya, melainkan keharusan yang mesti diemban dan kemudian menerbitkan sedikit kebanggaan atas pengabdian kepada hidup, Tuhan dan keluarga. Tertutup rimbun pepohonan hutan dan terkurung dari pandangan mata, ia menghadapi musuh musuhnya dengan berani; sekelompok manusia rakus budak materi. Hukum diterapkan atas desakan ekonomi dan dorongan adrenalin dari alkohol yang memprovokasi syaraf. Dan, sang satpam hanya benda bulan bulanan sebagai media pengirim pesan belaka.

Kepentingan modal yang terlalu picik memandang segala hal yang ada diatas kertas, dengan sederet tanda tangan dan stempel tak mencakup pemahaman betapa diluar sana, dihutan yang terlindung oleh rimbun pohon raksasa, para satuan pengamanan terjepit diantara dua kepentingan yang samasekali bertolak belakang kepentingan. Hukum pidana maupun setumpuk kertas berisi undang undang, kesepakatan maupun peraturan lainya seakan tak berisi makna, tak diberlakukan disitu. Kertas kertas yang seharusnya ikut menjamin keberlangsungan kehidupan satpam sebagai satuan penjaga keamanan dan ketertibanpun menjadi mandul, demikian juga berlaku bagi segolongan kaum rakus yang hanya memandang satpam sebagai elemen sebuah kapitalisme.

Menjadi seorang satpam dalam pemahamanku adalah membelanjakan hidup dan mempertaruhkan diri demi kemuliaan hidup yang bukan dirinya pribadi. pandangan sebelah mata dari dunia disekeliling, tidak menyurutkan hakekat profesinya sebagai tameng hidup bagi kenyamanan banyak orang. Satpam mengabdi untuk keluarga, menjual nyawa dan keringat dengan cara yang barangkali jarang kita fikirkan. Resiko profesinya sedemikian tinggi, bahkan ketika meninggalkan pintu rumah untuk bekerja, harapanya adalah untuk kembali pulang dengan nyawa utuh.

Maka, demikianlah sebagian orang menebus ongkos kehidupan dengan menggadaikan jiwanya, menjadikan orang orang tercinta sebagai mantra penyemangat dan jiwa penyelamat di medan tugas. Sungguh nistalah sesiapapun yang dengan sengaja menghargai jerih payahnya dengan penghinaan, menjadi lintah yang menempel didalam hati dan tak berhenti menghisap darah sampai mati. Oblanggathak tak tahu diri orang orang semacam ini, yang tak memiliki sedikitpun kepekaan nurani. Sementara dipertaruhkan nyawa dan rasa aman tenteram ditengah keluarganya, si oblanggathak mengobral murah kehormatan keluarga. Semoga cerita oblanggathak tak pernah terjadi dimuka bumi. Amin.

Kesejahteraan keluarga terkadang harus ditebus mahal dengan nyawa. Penghargaan atas upaya mensejahterakan keluarga sebagai implementsi dari cinta yang sesungguhnya sepatutnya mendapatkan imbalan penghargaan. Jika toh yang diterima sebaliknya, maka ketika bumi dan langit menjepit dan badan yang sebatang kara menjelempah penuh darah, lalu tiba detik terakhir dan hanya Tuhan yang menghuni angan angan. Ia telah tunaikan kewajibanya menjadi seorang lelaki, dan menyelesaikanya dengan sebuah kematian yang indah. Bagiku, orang seperti itu adalah pahlawan yang sebenarnya.

(Tulisan ini sebagai catatan atas tewasnya satpam Supriyanto pada 26 Mei 2006, seorang yang dulu pernah sederap langkah, selalu seorang sahabat yang tewas ditangan para pengeroyoknya ditengah hutan sawit diseputar Perawang -Riau ketika ia sebagai Danton berusaha menyelamatkan anak buahnya yang terkepung dan disandera. Bersama seorang anggotanya, ia tewas ditempat dengan luka tombak di leher dan luka bacokan disekujur tubuh. Semoga arwahnya diterima disisiNya. Di tepian garis batas batas itu kita dulu meniti bersama, dan engkau telah sampai lebih duluan…Selamat jalan, teman!)

Gempol, 060518