Monday, February 18, 2013

Rasyid Jamal Rajasa

Rasyid anak pejabat tinggi Negara, kaya dan lagi ternama. Tempo hari selepas hura hura tahun baruan, dengan mobil mewahnya ngebut di tol dan menabrak omprenangan dari belakang. Dua orang tewas, satu balita satu lagi manula. Setelah samar samar, maka semua jelas bahwa memang si kaya ini lalai, sehingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Hukum pidana berlaku, bersamaan dengan tata acaranya.


Jamal lain lagi, dia supir omprengan biasa, hidup pas pasan di rumah kontrakan, jauh dari kenyamanan. Dia hanya mencari rizki, mengitari kota saban hari sejak dua puluh tahun terakhir ini. Suatu hari yang kacau, Jamal mendapat sewa, seorang mahasiswi UI. Anak baru di Jakarta, tak paham jalan jalan ibukota, maka sopir angkot jadilah navigator andalannya. Ketika ternyata ia salah naik, lalu ia jadi panic. Melompat sejadi jadinya dari angkot yang melaju, dikira Jamal berniat mesum seperti kabar di Koran Koran belakangan. Daripada dirampok, diperkosa lalu dibunuh, mendingan menyelamatkan diri. Walhasil kepala mahasiswi UI membentur aspal, terseret sebenatar kemudian terkapar; tewas pula. Maka hukum pidana berlaku, bersamaan dengan tata acaranya.

Rasyid tidak ditahan, otaknya masih shock oleh kecerobohannya yang menyebabkan orang sengsara batinnya; kehilangan orang orang yang dicintainya. Rumah sakit mewah menjadi pilihan, tameng hukum yang melegalkan alasan keculasan. Konon dia harus rajin berobat dan beristirahat oleh sebab kondisinya yang tidak sehat. Nasibnya terbalik 180 derajat dengan Jamal. Sebab Jamal yang kemudian kaget mengetahui penumpangnya melompat, kemudian membawanya ke rumah sakit untuk diobati. Nahas memang, sebab penumpangnya akhirnya mati. Maka Jamal melapor ke polisi. Detik ia melapor itulah awal dia kemudian ditahan, masuk ruang tahanan polsek yang njekut dan kumuh. Bersama bajingan dan penjahat lainnya yang menganggap diri mereka bernasib apes. Dijauhkannya  Jamal dari istri dan anaknya, dari keluarganya. Demi hukum, maka ia harus berhenti mencari makan untuk keluarganya. Terkurung dalam kerangkeng tahanan dengan masa depan yang penuh kekhawatiran.

Jika dipikir pikir, para petinggi negeri ini memang banyak yang otaknya tercampur feses. Di negeri yang berlandaskan hukum ini, hukum berjalan pincang pincang, tebang pilih dan pandang bulu. Untuk pejabat, orang kaya dan orang orang ternama, hukumannya tak perlu berat, sebab dengan menjalani ketidaknyamanan penjara saja dianggap sudah merupakan hukuman yang berat. Cara berpikir yang imbisil itu nyata nyata pernah disampaikan didepan khalayak oleh seorang yang menyandang gelar ahli hukum. Untuk orang miskin sekelas Jamal, maka hukum diterapkan sesuai apa adanya, sesuai yang seharusnya. Tidak ada yang mempedulikan akibat yang timbul dari proses hukum yang harus ia jalani, sebab Jamal bukan anak pejabat, apalagi kaya raya. Terkenalpun namanya sejak malapetaka sore itu saja.

Memang tambah apes bagi orang kecil di negeri penuh retorika ini. Menjadi obyek dari mesin politik yang berjalan mempengaruhi segala lini. Sikap sikap petinggi tak lagi patut untuk jadi tauladan, yang semestinya pimpinan adalah imam yang mendidik dengan contoh; hidup dengan jujur. Tatkala hukum menyambangi mereka yang Berjaya, maka hukum pula akan menjadi ajang kepandaian meramu fakta. Azas kepastian, azas keadilan dan manfaat hanya tinggal menjadi ajaran yang dilupakan, seperti layaknya pelajaran membaca abjad untuk kali pertama. Hukum tajam kebawah, menghujam bumi dan menjepit mereka yang tak cukup punya piti. Kuat melilit sehingga menyebabkan sesak nafas secara psikologis, sedangkan untuk mereka yang kaya, longgar dan melar seperti trampoline.

Memang keadilan tidak perlu sama rata sama rasa, karena keadilan bersifat abstract lagi subyektif. Hukum bukanlah sarana balas dendam, sebab hukum merupakan satu satunya tiang suar bagi keadilan. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab moral yang tidak ringan oleh sebab mereka adalan tentakel pengelola Negara yang berkewajiban mejalankan amanat konstitusi. Ketika pejabat hukum tidak terkontaminasi dengan kekaguman dan materi, maka bisa dipastikan bahwa hukum akan menjadi komoditi menakjubkan dan menguntungkan. Akibatnya, tata cara penghukuman orang akan diabaikan, sebab mata penegak hukum tak lagi melihat bahwa setiap orang sama dihadapan hukum.

Bagaimanapun kita sepakat bahwa kita berpijak pada konsep negara hukum, dimana semua orang memiliki hak yang sama didepan hukum. Meskipun, sebenarnya hukum yang berjalan sendiri sudah memberi peluang kepada bemracam macam diskriminasi. Ditambah lagi, mental penegak hukum yang reyot di negeri ini memberi peluang menganga distribusi ketidak adilan, khususnya pada rakyat jelata. Maka tidak akan mengherankan jika pada akhirnya nanti Rasyid Rajasa yang nyata nyata bersalah karena atas kelalaiannya menyebabkan jatuhnya korban jiwa, akan menerima vonis sejenis lelucon. Sedangkan Jamal dan para sopir angkutan umum yang memiliki bobot kesalahan yang sama dengan motivasi berbeda, tentu akan tunduk pada hukuman badan apa adanya.

Bambuapus 130218