Wednesday, January 31, 2007

Konsep Pengelabuan

Ketika kemutlakan warna hitam dan putih dicampurkan dengan komposisi yang seimbang maka akan timbul warna baru yang berwarna kelabu. Sebauh warna yang berisi kebimbangan, penuh ketidak berfihakan atas sebuah kemutlakan dan menciptakan kemutlakan baru, wahana baru dan tentu saja nuansa baru.

Dan ketika kebenaran bercampur aduk dengan kebohongan yang timbul di permukaan kemudian adalah pengelabuan fakta. Mengelabui keyakinan pandangan bahkan sampai kepada tingkat kepercayaan seseorang dengan kebohongan menjadikan kebenaran kehilangan bobot makna. Untuk bisa mengelabui orang lain, orang harus mampu mengelabui diri sendiri dengan melakukan pembenaran atas apa yang seharusnya tidak benar, dilarang oleh nurani dan hati kecil. Karena larangan ini tanpa sanksi, maka pengelabuan bisa berjalan dan dilancarkan tanpa pura pura.

Antara kebohongan dan kebenaran yang berpilin pilin, maka akan timbul pula anak beranak kebohongan dan kebenaran itu sendiri, berpacu dalam arah yang berlawanan dengan kepentingan yang berlawanan dan efek karambol yang berlawanan arah. Kadang kadang tidak akan pernah bertemu, sebab ketika anak anak kebohongan dan kebenaran bertemu, yang terjadi adalah sebuah benturan dahsyat yang mengakibatkan sendi kehidupan menjadi nyeri, bengkak bahkan tidak jarang membusuk.

Untuk mengelabui, yang diperlukan adalah kepercayaan semata. Kepercayaan bisa didapat hanya dengan mengungguli rasa percaya diri si korban dan dengan sedikit kepandaian mengakali bahasa tubuh. Inilah yang sebenarnya disebut sebagai sebuah penipuan. Segala kegiatan menipu orang lain mulanya adalah menipu diri sendiri, membelanjakan sekian persen dari kualitas pribadi untuk tujuan mengaburkan warna kesejatian. Pada akhirnya adalah memaksa si korban untuk percaya dan meyakini bahwa kelabu adalah warna yang hakiki sebagai perwujudan kemutlakan hitam atau putih.

Sebagian orang dibekali dengan cangkang kebodohan ego yang mempertahankan kelicikan dengan sikap kasar dan melupakan hukum malu apalagi tahu diri. Orang seperti ini memang memiliki bakat sejak lepas dari masa kanak kanak untuk menjadi parasit, penghancur apapun yang baik bagi kehidupan dan kehilangan penghargaan atas segala sesutu yang dihasilkan atas nama perjuangan hidup bahkan pengalaman. Tidak ada sesuatupun yang berarti di muka bumi kecuali diri sendiri, itulah semboyan hidup bagi kaum lemah nurani ini. Dianggapnya kehidupan berjalan lancar lancar saja sesuai keinginan pribadinya, menyembunyikan segala persoalan bahkan aib dalam sikap pura pura, dalam kehidupan seolah olah. Kaum lemah nurani seperti ini biasa hidup di habitat bernama kepalsuan, mendewakan benda benda imitasi dan pecinta sinetron sejati. Mereka bahkan sebetulnya patah arang untuk sekedar melihat diri sendiri, sebab tak ada satupun cermin yang dipandang sebagai sebuah kebenaran.

Bahkan ketika kebenaran dijejalkan ke kornea mata, dihempaskan kehadapan muka dengan bukti sedemikan nyatapun pengakuan yang muncul adalah penyangkalan atas kebenaran yang disimpanya sendiri. Tidak jauh beda dengan maling yang tertangkap tangan, maka si pendurhaka seperti ini akan mempergunakan segala daya upaya untuk mempertahankan aksi pengelabuannya dengan satu bisikan setan tentang cerita fiksi. Dia tertipu!

Selalu ada sesuatu yang tersembunyi dan tidak kita ketahui dari hal apaapun di muka bumi, terlebih lagi ketika yang ada didepan pelupuk mata adalah hamparan warna kelabu semata…

Nutricia, usai hujan 070131

Thursday, January 25, 2007

Kerikil

Angan membeban ketika ketidak berdayaan dan rasa bersalah bergumul berpilin pilin dalam tangkaran perenungan. Apakah langkah tidak terbawa sebagaimana mestinya? Atau ini hanya sekedar efek sentimental dari sisi manusia yang terusik dan tercabik cabik. Hukum sebab akibat membuat semua kejadian menjadi sederhana, sedangkan relativitas telah mengatur setiap gerak hidup alam maya. Dua puluh empat jam sehari semalam terasa kurang sedangkan waktu tercuri dan tebawa pergi oleh hujan pagi hari.

Idealnya memang tidak ada kejahatan di muka bumi, idealnya tidak ada perasaan benci yang disebabkan hanya karena dengki semata. Semestinya rasa hormat dapat ditimba dari semua hal yang ada di depan mata maupun yang tersembunyi di balik dada. Semestinya, apa yang ditulis dihormati sebagai koridor untuk melangkah bersama, semestinya kebanggaan diri yang membutakan ditinggalkan dirumah, di kolong ranjang sebelum berangkat mengais rezeki. Idealnya sungguh, pertikaian tak perlu terjadi di muka bumi.

Beginilah akibatnya wahai pendurhaka. Tidak ada lagi hormat yang tersisa, maupun belas kasih yang tercecer. Semua lenyap dalam sekejap, hanyut oleh angin ambisi yang engkau hembuskan membabi buta. Persetan dengan masa lalumu yang jadi batu pengisi rongga kepalamu, persetan dengan segala pengalamanmu yang melulu hanya pelajaran mencuri yang kau dapat dari para gurumu yang pencuri pula. Lihatlah mukamu jadi pucat seperti monyet dalam belitan ular boa, tak mampu lagi menghindar dan kelincahanmu mati sia sia.

Sungguh mustahil melempar batu tanpa mengayunkan tangan, mengharap diri bersih dari lumpur yang engkau taburkan keudara. Biar kuasa angin yang membawanya kembali ke manapun seharusnya sang lumpur menghambur. Tanggung jawab tetap melekat di badan sebagai predikat kemanusiaan yang atas nama keluarga, diri sendiri dan Tuhanmu telah kau sakiti sesama tanpa ukuran rasa. Kemana perginya caci maki itu ketika matahari menyinari kegelapan dan menampakkan semua yang kau sembunyikan, wahai orang tua. Lalu apa saja yang engkau pelajari dari hidup setelah sekian tahun pura pura menjadi manusia??

Maka kini tantanglah badai dari angin yang kau taburkan sembarangan. Berlindunglah dari amukanya yang sederhana, dengan tameng rasa bangga yang kau sangkakan datang dari kumpulan pengalaman. Kasihan, engkau tertipu oleh dirimu sendiri yang kau sangkakan sebesar gunung dan sekeras batu. Maka kembalilah kepada nuranimu, sekedar menunduk malu. Kemudian, terimalah kenyataan bahwa diri tak lebih dari sebutir debu…

Hari ini, hidup adalah kemewahan atas pencapaian aktualisasi diri. Apakah sudah benar langkah mengarah? Ataukah justru badai datang dari getaran langkah perkasa? Ah, ragu, kenapa selalu mengganggu?

Nutricia, 070124

Friday, January 19, 2007

Langkah Besar

Seperti apa definisi langkah besar itu sebenarnya? Apakah jika kita telah berhasil melakukan sesuatu yang menunjukkan hasil? Ataukah ketika kita memulai sesuatu diluar kebiasaan dan bertekad untuk menjadikanya rutinitas?

Bagi para penganut hati (yang notabene berpondasi labil) langkah besar sama saja berkompromi dengan hati sendiri, menundukkan pemberontakan hati sendiri lalu menjalaninya dengan tenang, dengan datar meskipun gejolak dari peperangan yang terkurbur hidup hidup dalm diri terus menjombak, tak henti bergejolak. Adalah sebuah langkah besar menurutku ketika benci dan muak juga sakti hati yang membenalu akhirnya bisa ditekuk, lalu dibenamkan ke dasar jurang hati lalu diinjak rapat rapat agar tak menyembul lagi menjadi caci maki. Permukaan hidup yang sedatar lantai es menggambarkan bahwa sudah tidak ada lagi perang sengit antara harapan dan kekecewaan dari tidak terwujudnya pengharapan.

Harapan menjadi warna hitam putih semata berbatas tabir yang nyaris tak kentara. Mengharap membuat kita begitu merasakan hidup, demikian pula ketika diri di aniaya olehnya. Mengharap seseorang untuk melangkah maju, mengambil langkah besar dengan mereformasi tingkah laku dan belajar befikir dengan cara lain yang lebih umum kerap kali membenturkan kita pada tembok kekecewaan. Caci maki, tetesan darah dari lengan kiri, pertemuan antara kepala dan tembok yang bertubi tubi kini berhenti sudah, angin badai dan petir reda, sunyi gung liwang liwung. Hidup kemudian kehilangan separuh rasa, separuh warna tinggal antara puing puing bangunan yang dulu sempat menobatkan diri menjadi raja.

Amarah kadang kadang membuncah tanpa arah, mencari pelepasan, sekedar ekspresi kekecewaan yang ditanggungkan sendirian begitu lama dan mencemaskan. Anak bisa pasti menjadi sasaran empuk bagi kekesalan hati atas kebuntuan logika, kecele atas ketidak cocokan antara harapan dan kenyataan yang terjadi. Kekesalan dan penyesalan berpilin pilin hanya berselang detik, lalu kita terdampar di kesadaran betapa tidak bahagianya hidup kita saat ini justru di tempat dimana semestinya kebahagiaan bersimaharajalela. Tekanan psikis yang sedemikian hebatnya harus ditanggungkan sendirian. Lalu kembali kepada satu titik yang tidak menenangkan karena perasaan bersalah kita kepada buah hati yang keberadaanya di muka bumi atas prakarsa kita sendiri. Anak menjadi alasan kita rela menelan perih dan pahit perkawinan, menjalani apa yang tidak kita kehendaki dan harapkan, tetapi karena labilnya emosi oleh gerusan sakit hati, anak pula yang sangat rentan menjadi sasaran. Sungguh sama sekali kehidupan yang tidak sehat, sakit menurutku.

It is not a simple and easy life we are live in now, and there is no such simple life. Yang ada hanya 'life', apapun bentuk dan rasanya masing masing orang punya cara menghayatinya sendiri sendiri. Menyesalkan kenapa hidup bisa berbalik arah sedemikian buruk, yang dulunya membanggakan dan membahagiakan kini menjadi beban, tidaklah akan menemukan jawaban yang memuaskan karena semua berpendar di perasaan semata. Yang kita butuhkan hanya sebuah langkah besar, sebuah keberanian untuk mengamputasi rasa sakit hati yang tumbuh menjadi langit dalam rongga batin kita, untuk kemudian berani mengatakan kepada diri kita senidri bahwa inilah hidup yang harus kita jalani. Setelah sekian ribu deretan kata kotor, sekian kilometer luka disepanjang jalan penagalaman batin kita terima sebagai hadiah atas harapan panen kebahagiaan dari titipan hati yang kita pilih diatas kuburan keraguan dahulu kala.

Jangan bumbui hati dengan iri, bahwa kita tidak bisa sebahagia orang lain disekitar kita, bahwa kita tidak bisa se normal mereka dalam berumah tangga. Tidaklah seperti itu hukum yang berlaku, semua hal memiliki jatahnya sendiri sendiri di muka bumi. Meskipun bukan orang religius, tetapi diri memilih untuk mempercayai itu setelah semua yang teralami, setelah keletihan yang melewati titik puncak. Mengharapkan orang untuk sadar, untuk bisa memahami kita seperti yang kita rasa, rasanya kita harus mempersiapkan lagi satu ladang untuk memanen kekecewaan.

Cinta bukanlah harga mati yang bisa diikat erat hanya dengan selembar akta nikah, hanya berdasarkan sumpah gereja. Selamanya cinta adalah sukarela, urusan kemauan dan kesadaran hati. Tidak ada apapun yang menjadi jaminan pengikatnya. Anak sekalipun, tidak bisa menjadi jaminan keaslian rasa cinta, yang ada kemudian adalah tanggung jawab atas status masing masing. Sekali lagi, selagi masih punya daya dan kesempatan, juga kemampuan untuk menolak diperlakukan tidak adil, maka kita juga berhak untuk berbuat apapun yang memberi jaminan kebahagiaan hati dan hidup. Agar jangan tersisa hanya tinggal penyesalan, penyesalan itu membenalu, tumbuh meraksasa setiap hari menjadi bayang bayang penutup celah munculnya sinar kebahagiaan hati.
Ya, langkah besar sebenarnya adalah reformasi atas rasa hati, keberanian untuk mengamputasi tumor psikis bernama ‘sakit hati’…

Nutricia, 070118

Monday, January 08, 2007

Tentang Rindu

Ketika jarak, waktu dan rantai kewajiban mengikat kaki hati, maka rindu menjadi terpenjara pada dinding kenyataan yang tak teraba oleh mata telanjang. Rasa yang menjombak seakan memberontak merontokkan pelapis dada maupun tulang pelindung kepala. Sesederhana itulah cinta, ketika rindu menjadi raja penguasa dari keterasingan ditengah keriuhan alam peradaban umat manusia. Dua hati, dua manusia memuja rasa hanya melewati angin yang menerobos melalui kisi kisi ruang fikiran.

Oh, betapa perkasanya cinta, yang sanggup mengombang ambingkan rasa dan menjadikan bumi fikiran menjadi gelap tak teraba. Betapa mahalnya sentuhan dan tatapan mata ketika ratusan kilometer mengangkangi keberadaan dua jiwa yang merana mencari penebusan atas hausnya kebersamaan. Sepenggal kata yang terkirim lewat pesan ajaib yang meluncur cepat melintasi bukit dan lautan memaparkan betapa dalamnya rasa rindu memperkosa hati. Kemeranaan yang mempertegas bahwa kesendirian adalah milik yang sejatinya.

Angan mengalir bagaikan air, mengangkuti rindu dari tempatnya yang kosong tak menemukan sambutan. Apa lagi yang hendak dinyatakan jika tidak satupun kata sanggup mengulas rindu yang menggelembung menerbangkan isi dada dan isi kepala. Arus yang mengalir mencari penebusan terkadang mendobrak segala ketidak mungkinan menjadi sesuatu yang sederhana, sesuatu yang tak memiliki resiko kerusakan apapun.

Merindukan seseorang adalah merindukan keseluruhan kebersamaan dan menghitung setiap detiknya menjadi penuh makna. Ketika waktu kemudian dengan keperkasaanya memutus kebersamaan, yang tersisa adalah luka menganga dari dua hati yang saling menjauh dan meninggalkan kebersamaan. Luka yang di kelak kemudian hari akan menjadi indah, manis ketika diletakkan di lemari kenangan dalam hati maupun ingatan. Luka yang kemudian membujuk hati maupun fikiran untuk mempertanyakan kapan luka baru yang serupa akan terjadi lagi, kapan setiap sentuhan menjadi benturan dua magnet bagi hati yang mendamba…

Perjalanan membawa badan melintasi jarak dalam kecepatan tinggi, menghamburkan angan yang tercecer pada setiap pohon yang seolah berlari menjauh, tercecer pada sederet bangku peron yang letih menunggui jejak kaki. Jarak ini mengunci gerak, kecuali hati yang bebas menari di langit angan angan bagaikan kupu kupu kehilangan pasangan. Ada pedih yang menteteskan peluh disetiap sisi tajamnya rindu, pedih yang mengandungkan kesejukan akan indahnya rasa. Pedih nan tak sia sia sebab hati tahu kemana rindu dialamatkan, ke tempat satu lubuk hati dimana hati tenteram terlindungi, dimana setiap detik terbagi penuh makna. Rindu yang tak pura pura, ia datang dari pendalaman rasa, biarpun sekedar ingin menukik dan menyelam di kolam hati pujaan. Tak ada yang apapun yang bisa menghalangi datangnya rindu, meskipun aturan peradaban sekalipun.

Dan bahagialah mereka, yang memiliki rindu yang mengalir tanpa henti, tiap waktu…


Nutricia, 070108

Thursday, January 04, 2007

Lelaki Perempuan Suatu Masa

“ Tolong jangan tebaskan pedang yang kau genggam itu ke hatiku suatu saat jika kita berselisih faham, sayang”

Pinta perempuan itu setengah menghiba. Tulang belulangnya serasa dicabuti dan diangkut pergi dari susunan raganya setiap kali lelaki gagah itu menjulang di hadapanya atau setiap kali suara lelaki pujaan hatinya itu menggeletar seperti meruntuhkan seluruh dinding kepercayaan dirinya yang ia bangun diatas reruntuhan masa lalunya, diatas pondasi yang labil dan bagaikan kastil pasir.

“ Makanya, jangan pernah bikin aku marah !”
Lelaki itu mengurai luka di setiap inci tubuhnya yang dipelihara agar abadi sebagai senjata yang siap mencabik hati sang wanita kapan saja iblis menggelitik kepalanya. Selalu dibawa bawanya bangkai masa lalu yang telah teringgalkan waktu, sekedar menunjukkan betapa perihnya seorang lelaki menanggungkan luka hati. Segala aspek menjadi delik pemberat untuk mengkerdilkan hati dan jiwa si perempuan, menjadikanya seonggok daging tumbuh yang dikerumuni kekurangan dan jauh dari kesempurnaan bentuk fisik. Kesalahan si perempuan di ungkit setiap kali iblis menghendaki, dan berubah bentuk menjadi pisau tajam yang menyisakan perih tak tertahankan bagi si perempuan. Perbandingan demi perbandingan tentang nilai penampilan fisik dihempaskan ke muka si perempuan untuk menguji kekuatan hati, sampai dimana akan bertahan sampai ikatan beban tanggung jawab boleh dilepaskan tanpa beban rasa bersalah.

Lelaki itu begitu perkasanya membangun singgasana bagi hati si perempuan. Ia ada di setiap kerdipan dan helaan nafas, bahkan mimpi mimpi tentang sebuah rumah di tepi danau mulai menggelitik, tinggal selangkah untuk jadi nyata. Ganjalan nyata berbumbu keraguan melanggengkan ketidak berdayaan, pasrah terhadap apapun yang dikehendaki sang hidup. Berharap sang lelaki tidak akan pernah mengayunkan pedang dendamnya ke hati lembek sang perempuan meratap merutuki masa lalunya sendiri. Apa yang bisa dipercayakan kepada sikap manis ataupun bengis seseorang di masa datang? Sungguh hidup tak memiliki pertanggungan, bahkan tidak ada satupun jaminan yang bisa membuat segalanya berjalan seperti kemauan diri.

Sebuah hubungan dibangun diatas ringkih tanah pekuburan masa lalu, dengan harap sebagai penguatnya agar tak datang badai maupun angin yang mengalir menyisiri butir demi butir mimpi yang tersusun dalam dinding rumah tangga. Filsafat indah kebersamaan dalam sumpah diatas nama Tuhan menjadi sandaran rapuh dari hati yang merindukan ketenteraman, dimana investasi sosial pertama kali benihnya disemaikan. Semestinya menjadi satu satunya alasan kenapa dua manusia berbeda jenis saling menautkan hidup, dengan satu gerak sama, satu arah yang sama dan satu tujuan yang sama; membangun sesuatu dari ketiadaan. Cinta menjadi landasan klisenya, berharap cinta sanggup mendestilasikan udara menjadi satu zat baru yang mempengaruhi arah dan rasa setiap inci jarak fikir logika manusia dalam mengawal hati yang terlalu rapuh untuk berjalan sendirian melintasi padang kehidupan.


Nutricia, 070104

Wednesday, January 03, 2007

Tahun Baru

Selamat Tahun Baru, meskipun diri tidak tahu apa makna ucapan selamat itu dan kemana ditujukan dan apa isi kandungan dari ucapan selamat itu sendiri? Doa kah, ucapan selamat karena ‘berhasil’ melewati tahun ‘lama’ kah, atau sekedar basa basi karena orang lebih banyak melakukan hal itu daripada tidak melakukan pada saat bulan Desember berakhir setiap tahunnya? Ah, makin tua rasanya diri makin bodoh mencerna hal hal yang sederhana begini. Ketika orang bersuka cita dengan terompet dan kembang api, jauh didalam hati diri malah berfikir apa sebenarnya yang ada dibenak orang orang yang merayakan ini? Old and New bla bla bla, kontemplasi bla bla bla…apa pentingnya? Berapa banyak waktu, tenaga dan juga uang terbuang lebur jadi udara tanpa sisa ketika perayaan dihajatkan ditempat tempat umum maupun tertutup? Ah, makin ruwet, makin rumit rasanya kalau semakin detail mencari akar dari akar pertanyaan yang muncul beranak pinak dalam benak.

Tahun baru, bukanya kita justru menghadapi masa dimana jaman semakin tua dan nilai manusia semakin murah karena persaingan hidup dan gesekan kemajuan tehnologi? Mengandalkan kebijakan fikiran orang sama saja menebak berapa biji isi dari buah manggis yang rapat tertutup kulit hitam kemerahanya, bukan? Hidup hanyalah mengikuti jelujur masa yang sama, panjang dengan batas misterius, dan juga berisi cetakan rute yang misterius dimana manusia tinggal menjalaninya dan punya cara sendiri sendiri untuk menghayati rasanya. Semua pasti akan tersimpul dalam satu rangkuman pengalaman batin, dan dari pengalaman itulah maka kita akan berfikir untuk berbuat atau bertindak sesuatu. Berdasarkan pengalaman, bukan berdasarkan jibaku. Jadi, sudah bijaksanakah kita menyambut datangnya tahun baru sebagai sesuatu yang baru? Bukankah hanya angka yang berubah dan itupun atas prakarsa manusia juga? Jadi jika itu adalah perayaan, perayaan atas apa?

Ketika satu tahun terlewati, kemudian secara massal kita menganggap bahwa tahun baru telah datang, dan yang dikenang hanya setahun belakangan. Nilai dari berpuluh tahun sebelumnya dimunafiki sebagai catatan sejarah belaka, cerita belaka. Semudah itukah kita menyimpulkan bahwa hidup hanya berdasarkan satu kotak ke satu kotak lainya yang bernama ‘tahun’? Tidak saudara, hidup adalah kumpulan dari pengalaman yang terbentuk dari detik demi detik kita menjalaninya, bukan tahun maupun bulan ukuranya, tetapi dari setiap aspek yang kita rasakan, kita jalani, kita lewati selama hayat di kandung badan.

Tahun baru sama saja dengan hari baru, dimana matahari memulai tugasnya dan kehidupan berjalan akan penuh rahasia, tak terduga dan tak teraba akan apa yang mungkin terjadi nantinya. Sepantasnyalah membekali hati dan mental dengan kekuatan agar jangan kita diperdaya oleh keadaan yang barangkali tidak sesuai dengan pengharapan kita yang lebih banyak kepada kebaikan semata. Hal buruk bisa terjadi kapan saja, dan hidup bisa berubah apapun bentuknya hanya dalam hitungan detik. Sebuah luka hanya perlu hitungan detik untuk terjadi, dan lalu hinggap didalam hidup selamanya. Bukan hasil kristalisasi dari menjalani hidup selama setahun penuh, tetapi dari dari apa yang terjadi pada saat ini, pada detik ini sebab detik yang akan datang selalu saja menjadi rahasia alam, rahasia kehidupan yang tak memiliki kunci jawaban.

Apakah kemudian kita harus pesimistik bahwa masa depan berisi iblis yang akan menghancurkan hidup yang kita jaga selama sekian tahun? Jangan pula saudara, biarkan saja hidup berjalan sebagaimana mestinya, dan lewati, jalani saja tanpa mengharap lebih dari apa yang kita dapat. Ukuran kualitas diri hanya kita sendiri yang tahu, dan rahasia terbesar dalam hidup kita hanya kita jua yang menyimpan catatanya. Jika hidup menenggelamkan kita dalam dukalara, maupun melambungkan kita dalam sukacita, maka memang terjadilah itu seperti kehendak sang alam yang rahasia. Kita tidak bisa menolak kemalangan seperti tidak sanggup menggapai kemujuran. Berbuat yang terbaik atas apa yang harus kita lakukan dan menyerahkan hasilnya kepada sang penentu adalah cara bijaksana menyikapi hidup, sebab kita tidak bisa mengontrol semua yang bakal terjadi atas hidup kita, juga tidak bisa mengontrol bagaimana orang harus bersikap kepada kita. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita memperlakukan orang dan memulai dari diri kita sendiri apapun yang namanya perbaikan.

Setiap bangkai waktu akan meninggalkan jejak dan catatan, yang semestinya menjadi landasan bagi sikap kita untuk lebih bijak, lebih baik dan lebih menghargai kehidupan, lebih menghargai sesama…

Nutricia, 070103

Tuesday, January 02, 2007

Hujan Tahun Baru

Hujan turun mengurung diri, fikiran mengembara jauh ke luar ruangan kaca, menukik dan melayang diantara serpihan air, melanglang mencari pemiliknya, mengembara kehilangan pemiliknya. Diantara geraknya senandung mengalun menyelubungi jejak yang tersisa di hempasan tanah basah, nyenyanyian cinta dari negeri orang orang sempurna. Lalu rintik hujan di dinding kaca melukiskan betapa merananya rindu yang tak terjemahkan alamatnya. Hanya lautan rasa tawar sebagai ujung jawabanya.

Batu batu kenangan berbaur dengan mimpi mimpi masa depan, berebut kuasa untuk menjadi penghias angan yang sia sia. Segala rupa pengandaian berjibaku dengan kehidupan seolah olah, berlagak kukuh didera iblis yang datang setiap detiknya menikam dan mencabik jantung.

Rasa tertipu menjadi raja ketika tak ada sesal tampak dari sorot mata. Sesal atas kebodohan diri menerima perlakuan sedemikian rupa sekaligus mengandalkan ketaatan nurani sebagai pembimbing setiap sikap manusia; terkadang berakhir dengan sia sia. Sesal yang menjamurpun perlahan menjadi lumut pembungkus kesemestian, menghilangakan kesejatian dan menampilkan kehidupan seolah olah. Palsu belaka segalanya yang semestinya nyata.

Hujan meniupkan angin menghempas di kaca jendela, perlahan meleleh menafikan segala pemikiran, bahwa segala sesuatu adalah kuasa waktu. Perlahan bercak air akan mengering, perlahan lumpur di tanah merahpun akan menjadi butiran pasir. Begitulah pengalaman, yang mengemudikan alam fikiran manusia; merubah pandangan dan terkadang mengaburkanya. Pengalaman dan kuasa waktu membentuk jiwa yang immaterial dalam kungkungan peradaban dunia, menjadi bagian dari adat kebiasaan orang per orang dalam warna interaksi bumi.

Dibawah langit, segalanya bergerak dan berubah searah kehendak alam. Matahari yang terbit setiap pagi terkadang menghadirkan apa yang disebut hari baru, minggu baru, tahun baru dan harapan baru. Betapa mengada adanya optimisme manusia sedangkan segalanya tidak ada yang baru, semua adalah produk masa lalu belaka. Kegirangan sering dianggap sebagai semangat sedangkan kecemasan dibenamkan jauh seolah dimunafiki agar tak kentara betapa menghawatirkanya ketidak pastian mendatang yang bernama masa depan.

Dan hujanpun berhenti atas kuasa waktu. Tiba saatnya nanti tanah akan mengering menyisakan debu, dan matahari menggantung di ubun ubun membakar kulit ari. Metamorfosis hidup sungguh tidak pernah berhenti, berputar pada poros yang itu itu saja setiap waktunya.

Ah, hujan kali ini, begitu dalam menyisakan kenangan dan begitu buram menayangkan optimisme masadepan…

Nutricia, 070102