Tuesday, July 11, 2006

Tentang Hikmah

Benarkah hidup hanyalah permainan dimensi ruang dan juga waktu? Bahwa setiap kejadian dan peristiwa memiliki medianya sendiri sendiri supaya bisa dengan mudah terbawa dalam ingatan, dalam kehidupan sehari hari. Sebagian terpelihara sebagai sebuah dunia yang hidup terus menerus bagaikan nikotin yang menjadi enzim resmi bagi darah dalam tubuh. Sebagian lagi membandul menjadi batu kenangan yang harus dibawa bawa kesana kemari di punggung sebagai beban resmi sepanjang perjalanan.

Idealnya tujuan hidup adalah untuk melayani orang lain, mengabdikan diri bagi kehidupan orang lain dengan ataupun tanpa imbalan. Bahwa untuk menjadi seperti itu orang tidaklah perlu menjadi sempurna sebab memang tidak ada manusia yang sempurna dimuka bumi. Kesempatan kadang datang tanpa sengaja, datang pada ruang dan waktu yang tepat meskipun tak terencanakan dengan matang sebelumnya. Tetapi titik pangkal dari semua kejadian, peristiwa, sejarah masa lalu bahkan kejadian yang akan datang di masa depan adalah konskwensi dari keputusan yang kita ambil pada saat ini. Kadang kita memutuskan untuk diam jadi penonton dengan bermacam pertimbangan, sedangkan pada situasi lain kita terpanggil untuk menjadi pelakon, menciptakan sejarah dan mengukir peristiwa yang barangkali akan menjadi catatan bagi bathin beberapa orang, terutama diri sendiri.

Setiap keping sejarah diri adalah pantas untuk direnungkan untuk kemudian di definisikan ulang barangkali hikmah yang digembar gemborkan oleh sang bijak datang pada saat perenungan itu. Hikmah selamanya memiliki standar ganda, sebagai pengobat perih dari kejadian yang pernah terlewati, apalagi jika itu adalah kejadian buruk. Hmmh…hikmah, tak lebih dari pengobat kekecewaan hati ketika diri merasa terpojok kemudian harus terseok meneruskan langkah kisah. Hikmah memaksa hati untuk menerima apapun yang telah diterima, berkompromi dengan keadaan apapun yang terjadi di pendalaman dunia angan angan. Hikmah menjadi obat mujarab pembasmi gulma kebahagiaan bernama protes atas sakit hati. Dengan hikmah, maka semua pantas untuk diterima dan diberi ganjaran yang seimbang dalam ukuran yang sangat abstrak.

Mengharap setiap hal berjalan baik dan menyandarkan tiang kebahagiaan pada rapuh jawaban atas harap sama dengan membangun pondasi untuk kekecewaan atas harap itu sendiri. Semakin tinggi benteng keyakinan dibangun untuk menggapai harapan, semakin tinggi pula jarak jatuh ketika harapan hanya menampar ruang hampa. Bergedebam menyisakan lebam dan memar memar bagi jiwa, bahkan terkadang bisa mematahkan arang hati. Kejadian buruk bisa timbul dari orang lain berakhlak buruk, bisa juga berasal dari penetapan standar atas keinginan pribadi. Kita terkadang agak lalai bahwa semakin kita ingin mengontrol dunia di luar kita, maka semakin jauh kemampuan kontrol kita terhadap hati dan logika sendiri. Semua dihamburkan begitu saja kepada ketidak pastian masa depan.

Walhasil, hikmah adalah jawaban baku atas apapun yang terjadi. Pasti ada hikmah dibalik anu, ini dan itu. Perwujudan hikmah itu sendiri dicari cari sedemikian rupa, dihubung hubungkan kesana kemari bahkan terkadang dipaksakan ketika proses pencernaan hikmah kurang pas mengena. Hikmah adalah benteng kukuh supaya apapun tak perlu dicari jawabanya kenapa bisa terjadi dan sebagainya. Sebuah kehidupan (apapun bentuknya) dari sebuah kehancuran atau bencana dianggap sebagai hidup baru, sebagai hikmah dari bencana yang baru berlalu. Bahkan keinginan untuk hidup sederhana, hidup dengan kehidupan wajar dianggap sebagai suatu yang istimewa ketika kaki kiri telah berada separuh di tubir jurang; padahal selamanya hidup tidaklah ada yang disebut hidup wajar sebab kewajaran hidup adalah misteri kehidupan itu sendiri, yang tak terpecahkan hanya dengan perkiraan maupun harapan. Hanya waktu yang menyimpan kunci atas gudang jawaban. Yang ada hanyalah hidup. Titik!

Gempol, 060708