Sunday, July 18, 2010

Legowo

:Crawfy

Lepas artinya menerima, ketika kata lepas berada dalam konteks perhubungan antara manusia, bisa beda jenis atau sama jenis kelaminnya. Namanya berhubungan, tentunya diikuti oleh muatan emosi. Ketika seseorang yang selama ini begitu dekat dan ada dalam kehidupan sehari hari kita secara tiba tiba menunjukkan ekspresi negatif bahwa hubungan itu sudah tidak produktif lagi dan layak untuk dipangkas tuntas seperti mencabut batang talas, maka sama artinya kita kehilangan penghargaan atas hubungan yang diawali dan diniati dengan penuh kebaikan itu. Segala hal yang berhubungan dengan proses kejadian itu patutlah disayangkan, sebab mestinya rusaknya hubungan selalu saja bisa direkonstruksi kembali, dengan cara mawas diri dan sedikit intospeksi.

Tetapi namanya hidup, terkadang terjadi juga peristiwa diluar kondisi normal ideal. Misalnya, ketika seseorang mengatakan untuk menjauh dari orang lainnya, kondisi yang terjadi adalah sudah tidak diinginkanya lagi apapun bentuk hubungan itu. Hal seperti itu terkesan subyektif, karena hanya satu pihak yang memutuskan berdasarkan kepentingan emosi pribadinya. Bukankah idealnya sebuah keputusan untuk mengakhiri sebuah hubungan dilakukan oleh dua pihak yang sama sama membangunnya? Jika keputusan sepihak itu terjadi pada sepasang penganut hati, maka alasannya bisa berupa rupa antara lain; salah satu menemukan partner baru, salah satu mengalami kebosanan akut, salah satu berbuat hal tercela yang menciderai kepercayaan (karena kepercayaan adalah modal tunggal dalam segala bentuk hubungan positif) sehingga ia takut dan malu apabila hal tercela yang disembunyikan itu terbongkar, dan ribuan motif lainnya. Mengekspresikan sikap seperti itupun bisa berbagai cara, tapi yang paling mudah dan murah tentunya adalah menempatkan kejadian di masa lalu (bahkan kejadian sebelum masa dimulainya perhubungan) sebagai kapak usang pemutus tali hubungan. Modus seperti itu sudah sangat jamak, sesuatu yang dicari cari supaya bisa ada justifikasi penyebab putusnya tali hubungan. Yang penting putus, untuk mendapatkan kebebasan dalam pengertian yang sangat pribadi. That’s a cheap talk!

Ketika seseorang melakukan itu kepada orang lain, maka akan ada pihak yang merasa divonis meskipun vonis itu lebih pantas terdengar sebagai sebuah pamitan untuk mati. Pikiran negatif bisa saja memprovokasi jiwa untuk membela haknya, melakukan hal hal agresif untuk sekedar mengekspresikan emosi dan menunjukkan kepada dunia bahwa seseorang baru saja menjadikannya sebagai korban. Jika itu dipilih untuk dijalani, maka yang akan terjadi kemudian adalah perang panjang secara diam yang akan membawa dampak kerusakan untuk waktu yang mungkin lama. Kondisi seperti itu akan menyuburkan kepentingan kepentingan negatif, imajinasi negatif, dan tanpa sadar seseorang akan terseret pada sikap negatif dan berubah menjadi asosial. Sebuah keadaan berbahaya yang besar kemungkinan akan melahirkan sikap negatif baru bernama dendam. Dan, segala yang berbentuk dan berupa peperangan hanya akan memproduksi kerugian, memproduksi korban. Untuk konteks peperangan dengan hati sendiri, tentu yang akan kita dapatkan hanyalah merana dan sakit hati. Urusan hati sungguh hanya penderita sendiri yang mampu merasakannya itupun tanpa bisa menjabarkan dengan kata kata.

Mungkin akan lebih bijakasana jika memandangnya dengan pikiran positif saja. Umpamakan kita berada di pihak tervonis itu, kita gunakan cara pandang manusia madani yang beradab dengan mengangapnya sebagai hal yang memang sudah semestinya terjadi. Bukankah kepastian yang dijanjikan oleh hidup adalah kematian, dan kepastian yang dijanjikan oleh sebuah pertemuan adalah sebuah perpisahan? Aturan baku kehidupan itu bersanding dengan aturan aturan baku lainnya, seperti adanya siang dan malam, hitam dan putih, positif dan negatif. Serta segala hal yang berkontradiksi lainnya sebagai perwakilan dua kutup yang menggerakkan dinamika kehidupan di planet bumi.

Ketika kita sudah tidak diinginkan lagi oleh orang lain, sesungguhnya akan sia sia jika kita memprotesnya. Sebuah hubungan terbentuk selain karena azas kepercayaan tentunya juga adalah azas sukarela. Rasa suka dan rasa rela untuk membentuk dunia kecil pribadi diatas lahan subur bernama hati dan perasaan! Proses sebuah hubungan dapat dianalogikan sebagai sebatang pohon yang tertanam di ladang subur itu, dimana atas kuasa maksud kemudian menjadi tumbuh besar dan kekar, akarnya menancap dan kokoh menghidupi, akar yang menjalar sampai jauh ke sumsum jiwa dan mungkin ke setiap sendi pikiran.

Melepaskan sama halnya dengan menerima. Sebuah sikap yang tidak mudah untuk dilakukan di dunia yang kacau ini. Ketika seseorang menjatuhkan kapak usang ke tali hati yang mengikat jiwa dan menyebabkan rantas seketika, kita menerima rasa sakitnya. Melepaskan berarti menerima kejadian itu sebagai hal yang memang sudah saatnya harus terjadi. Sumeleh legowo kata Bu’e suatu ketika, bahwa sikap merendah dan menerima adalah sikapnya seorang ksatria. Meletakkan semua keinginan dan patron patron ego ideal tanpa beban grafitasi, serta melepaskan diri dari keinginan serta ketidak inginan, dari harapan maupun prasangka buruk. Samasekali tidak ada hubungannya dengan profesi penulis lepas atau fotografer lepas atau profesi profesi lepas lainnya tentunya!

Sungguh tidaklah akan mudah untuk dapat mengelola emosi untuk bisa sampai kepada kondisi melepaskan dan menerima itu. Kesabaran, usaha keras, tekad dan kekuatan hati untuk menahankan segala efek buruk dari peristiwa yang menyakitkanlah yang menjadi penentunya. Kekuatan hati untuk dapat menerima rasa sakit, rasa perih dan mentransformasikannya menjadi energi baru dalam memperbaiki diri untuk persiapan penjemputan goncangan yang lebih dahsyat lagi di kemudian hari. Tuhan memberi kita air mata, Tuhan menganugerahi kita dengan perasaan dukacita. Maka, jika hatimu sedang terluka, mengangispun akan lebih baik untuk mengadukan kesengsaraan hati kepada sang pemilik hidup. Luka yang menganga di dalam dada akan sembuh meskipun tidak kembali pulih, getir dan rasa benci akan perlahan terkubur oleh waktu. Tidak ada yang bisa memperkirakan berapa banyak persediaan usia yang harus dipakai untuk menyembuhkan hati yang sakit. Memilih menghayati rasa sakit itu, memilih untuk mengasihani diri hanya akan membawa kita ke sebuah dimensi khayali, sebuah theater megah di atas langit dimana kita menjadi penonton tunggal yang juga sutradara penggerak segala bentuk karakter pertunjukan muram di awang awang.

Lepaskan saja dendam biar membias ke udara menjadi awan yang akan menaungi jalan terjal kedepan. Hayati saja sakit hati sebagai bunga bunga bermekaran di kebun harapan. Simpan saja pembelaan untuk pupuk semangat diri. Nikmati saja dukacita laksana merdu gendhing tlutur sinden keraton. Jalani saja semua dengan diam, biarkan jejak jejak peristiwa menjadi batu mustika masa depan. Percayakan semuanya kepadaNya segala urusan dunia. Legowo, tak menarik juga tak mendorong, tak mengangkat juga tak menahan, serahkan semua kepada grafitasi nasib, ikhlas menerima, seberat dan sesakit apapun efeknya akan menguatkan jiwa.

Padang 100717