Thursday, January 04, 2007

Lelaki Perempuan Suatu Masa

“ Tolong jangan tebaskan pedang yang kau genggam itu ke hatiku suatu saat jika kita berselisih faham, sayang”

Pinta perempuan itu setengah menghiba. Tulang belulangnya serasa dicabuti dan diangkut pergi dari susunan raganya setiap kali lelaki gagah itu menjulang di hadapanya atau setiap kali suara lelaki pujaan hatinya itu menggeletar seperti meruntuhkan seluruh dinding kepercayaan dirinya yang ia bangun diatas reruntuhan masa lalunya, diatas pondasi yang labil dan bagaikan kastil pasir.

“ Makanya, jangan pernah bikin aku marah !”
Lelaki itu mengurai luka di setiap inci tubuhnya yang dipelihara agar abadi sebagai senjata yang siap mencabik hati sang wanita kapan saja iblis menggelitik kepalanya. Selalu dibawa bawanya bangkai masa lalu yang telah teringgalkan waktu, sekedar menunjukkan betapa perihnya seorang lelaki menanggungkan luka hati. Segala aspek menjadi delik pemberat untuk mengkerdilkan hati dan jiwa si perempuan, menjadikanya seonggok daging tumbuh yang dikerumuni kekurangan dan jauh dari kesempurnaan bentuk fisik. Kesalahan si perempuan di ungkit setiap kali iblis menghendaki, dan berubah bentuk menjadi pisau tajam yang menyisakan perih tak tertahankan bagi si perempuan. Perbandingan demi perbandingan tentang nilai penampilan fisik dihempaskan ke muka si perempuan untuk menguji kekuatan hati, sampai dimana akan bertahan sampai ikatan beban tanggung jawab boleh dilepaskan tanpa beban rasa bersalah.

Lelaki itu begitu perkasanya membangun singgasana bagi hati si perempuan. Ia ada di setiap kerdipan dan helaan nafas, bahkan mimpi mimpi tentang sebuah rumah di tepi danau mulai menggelitik, tinggal selangkah untuk jadi nyata. Ganjalan nyata berbumbu keraguan melanggengkan ketidak berdayaan, pasrah terhadap apapun yang dikehendaki sang hidup. Berharap sang lelaki tidak akan pernah mengayunkan pedang dendamnya ke hati lembek sang perempuan meratap merutuki masa lalunya sendiri. Apa yang bisa dipercayakan kepada sikap manis ataupun bengis seseorang di masa datang? Sungguh hidup tak memiliki pertanggungan, bahkan tidak ada satupun jaminan yang bisa membuat segalanya berjalan seperti kemauan diri.

Sebuah hubungan dibangun diatas ringkih tanah pekuburan masa lalu, dengan harap sebagai penguatnya agar tak datang badai maupun angin yang mengalir menyisiri butir demi butir mimpi yang tersusun dalam dinding rumah tangga. Filsafat indah kebersamaan dalam sumpah diatas nama Tuhan menjadi sandaran rapuh dari hati yang merindukan ketenteraman, dimana investasi sosial pertama kali benihnya disemaikan. Semestinya menjadi satu satunya alasan kenapa dua manusia berbeda jenis saling menautkan hidup, dengan satu gerak sama, satu arah yang sama dan satu tujuan yang sama; membangun sesuatu dari ketiadaan. Cinta menjadi landasan klisenya, berharap cinta sanggup mendestilasikan udara menjadi satu zat baru yang mempengaruhi arah dan rasa setiap inci jarak fikir logika manusia dalam mengawal hati yang terlalu rapuh untuk berjalan sendirian melintasi padang kehidupan.


Nutricia, 070104