Saturday, December 22, 2007

Pakta koloni manusia

Membina hubungan atau membentuk sebuah relationship dari ketiadaan sesungguhnya adalah bentuk perjuangan tersendiri. Prinsipnya sederhana, bahwa sikap menjaga dan sama sama menghendaki adalah pemupuk paling mujarab yang tidak terbantahkan. Hubungan antar manusia dengan manusia, sesama jenis kelamin maupun berbeda jenis kelamin, sama saja.

Rasa hormat dan menghargai, terbuka dan berusaha menempatkan partner lebih kedepan, tenggang rasa harus menjadi azas yang tidak boleh dimodifikasi dengan cerita bohong demi pembentukan image bahwa dia adalah orang baik, orang hebat, orang ini itu dan sebagainya. Unsur pemalsuan identitas seperti itu akan sangat mudah terbaca oleh mereka yang peka perasaanya, terkadang hanya dari pandangan matapun bisa ditebak. Orang yang bicara dengan kita tanpa memandang mata kita misalnya, adalah orang yang ingin mengenal kita kerena sesuatu yang bukan dari kepribadian kita.

Makna ‘sukarela’ menjadi sangat jelas dalam sebuah hubungan. Suka menimbulkan rasa senang, menyenangkan dan disenangkan, rela adalah keikhlasan untuk terlibat dan masuk kedalam kehidupan orang lain, mengambil saripati pelajaran hidup dan juga membuka diri demi memberi kesempatan kepada partner kita untuk membaca diri kita dan kemudian memberi kebebasan untuk menyimpulkan sesuai dengan standar kepahamannya.

Soal kesimpulan, selamanya menjadi milik pikiran, milik kebebasan semesta. Orang bisa saja menyimpulkan bahwa yang berpenampilan alim dan halus, bahkan religius itu adalah orang yang menjunjung martabatnya tinggi tinggi, mulai dari cara berbicara sampai dengan cara berinteraksi dengan mahluk lain. Idealnya memang begitu, maka kemudian banyak orang mencitrakan hal demikian. Tetapi bagi yang mengenal secara pribadi, tentu kesimpulannya lain lagi.

Pendidikan yang tinggi semestinya identik dengan ketaatan moral yang tinggi juga. Tetapi sering terjadi, pendidikan tinggi, kedudukan tinggi justru merendahkan martabat sendiri dengan perilaku yang merugi. Merasa tinggi dan tidak menghargai orang orang yang dalam pandanganya lebih rendah, lebih membutuhkan dia membuat si tinggi menjadi hanya obyek cibiran di balik kegelapan semata.

Intinya saudara, jika ingin dihargai orang lain mestinya kita lebih menghargai orang lain. Jika ingin dimanusiakan orang maka kita juga wajib memanusiakan siapapun yang masuk dalam kategori manusia. Jika menjawab sapaan saja berat entah karena sebab apa, maka jangan berharap kita akan mendapat tempat baik dihati orang lain. Bisa bisa tidak akan menerima sapaan samasekali lagi sebab sebagian orang belajar dengan sangat cepat dari pengalaman empirisnya sendiri. Sikap pura pura juga sering mendatangkan malapetaka dalam sebuah hubungan, pura pura tidak mendengar, pura pura tidak melihat, pura pura tidak merasa, bahkan pura pura tidak tahu!

Apabila sebuah hubungan sudah bergeser dan kehilangan makna kesejatiannya, maka tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan dan menganggapnya sebagai sebuah hubungan timbal balik yang masih mengandung nilai luhur dan manfaat silaturahmi. Memutuskan untuk tidak lagi meneruskan hubungan akan lebih bijaksana daripada memelihara nilai nilai negative yang perlahan bisa membusukkan jiwa.

Maka jika sebuah hubungan sudah tiba pada titik pengingkaran, mengakhirinya akan lebih baik dan aman bagi semua orang. Kecuali dalam soal rumah tangga, sebuah hubungan yang rusak bisa bisa terhempas jadi remuk dijajah oleh selembar kertas bernama akta nikah. Sebab maknanya berganti menjadi ikatan hukum dan tanggung jawab, bukan lagi sukarela dan tenggang rasa!


Kuburan Cina – Radar AURI 071222

Wednesday, December 19, 2007

Sampul

Standar fisik sebagai ukuran penampilan bawaan lahir yang ideal bagi seorang manusia baik lelaki maupun perempuan adalah komposisi yang proporsional antara tulang, daging, dan kulit yang membentuk paras menjadi berbeda antara satu dan lainya. Keadaan ideal atau sedap dipandang itu kerap dinamakan cantik bagi perempuan atau tampan bagi lelaki. Sebutan cakep mungkin lebih afdol, karena bersifat lintas gender, tidak peduli wanita maupun lelaki. Jika sudah begini, maka yang menjadi tolok pembeda adalah bentuk, ukuran dan keselarasan pandangan semata.

Wajah yang elok, paras yang membuat rasa selalu ingin memandang terkadang menjadi topeng yang sempurna bagi kebusukan jiwa maupun keganasan siksa yang disembunyikan dibalik tampangnya. Katanya kecantikan seseorang terpancar dari kepribadiannya, yang meskipun tidak tampak tetapi lebih berkuasa. Tetapi toh korban ketertipuan atas penampilan fisik ini juga berjatuhan setiap hari.

Bagi sebagian kita yang pernah secara empiric mengalaminya sendiri betapa si rupawan sebenarnya mengandung racun yang lebih mematikan ketimbang si biasa yang tidak begitu rupawan. Pembedaan penampilan adalah hal vulgar yang kerap memerangkap seseorang dalam pikiran impulsive yang menyesatkan, bahwa penampilan yang tidak menarik tidak menimbulkan daya magnet perhatian. Ho ho ho…jangan salah, sebagai pelengkap cerita dunia, pada sebuah kejadian justru si rupawan menemukan kerupawanan yang lebih dalam dari kepribadian dan jalan pikiran si penampilan kurang tadi.

Kita tidak bisa mengukur apapun dari hanya penampilan saja. Coba kita umpamakan, penampilan air yang setiap melintas dalam pikiran kita terbayang kesejukan, kesegaran dan kehidupan induk dari segala keindahan, dibalik itu ia juga berfungsi ganda sebagai alap alap pencabut nyawa. “Don’t judge the book by its cover” bisa fatal! Tetapi tetap saja air tidak bisa berubah menjadi hal yang patut untuk dipersalahkan, apalagi hanya karena penampilanya sebagai air. Iapun diterima dalam kehidupan sebagai air. Demikianlah pula si non-rupawan, ia akan diterima sebagaimana adanya sebab dibalik penampilannya ia memelihara kehidupan.

Sesungguhnya, semakin usang hidup kita, maka semakin arif kita melihat bahwa kecantikan budi pekerti jauh lebih bermakna daripada kecantikan fisik. Para malang yang pernah menjadi korban si rupawan tentu akan cepat menyetujui teori ini. Meskipun, penampilan fisik tentulah juga masuk dalam salah satu criteria yang tidak diutamakan. Tidak ada hal apapun yang bisa menandingi kesempurnaa hasil karya Tuhan; kehidupan. Bersyukurlah diri yang merasa tidak memiliki cukup karakteristik untuk disebut sebagai si rupawan, paling tidak atas dasar penilaian subyektif yang diproduksi dari pantulan kaca cermin.

… lalu kenapa semakin rupawan seseorang, maka semakin beresiko akan mendatangkan malapetaka kesakitan hati?

Renungan super kilat ini mungkin bisa sedikit mengurai, karena; semakin rupawan seseorang, maka semakin tajam duri duri yang menyelimuti tubuhnya. Susah dipegang! Kita mengakui kerupawananya yang juga berarti mengakui ketidak rupawanan kita sendiri. Sebuah proses monolog yang melibatkan fihak ketiga sebagai biang keladinya. Karena kerupawanannya pula maka kita tahu kalau persaingannya akan menjadi semakin ketat. Keunggulan rupa itu membuat kita sebenarnya tidak rela ditinggalkan, bahkan hanya diacuhkan saja. Tetapi jika ternyata kelakuannyapun lebih bangis dari iblis, maka keelokan rupa itu akan menjadi bias, kecantikan yang menjijikkan dan tidak mengundang semangat untuk memandang. Hina dina dalam pandangan diam.

Beruntunglah sebagian dari kita, yang menemukan pribadi pribadi cantik dan terbungkus oleh penampilan yang rupawan. Lelakinya tampan dan baik hati, dan jika perempuan tentu cantik dan baik hati juga. Kebaikan hati diukur dari kemampuan memberikan penghargaan yang wajar atas kehidupan orang lain, pemikiran orang lain dan taat kepada azas azas tenggang rasa. Menghormati orang dengan memperlakukannya dengan sebaik mungkin dan sebagainya. Siapa tertantang untuk menjadi seperti itu? Mungkin sebagian dari nafsu kita mengatakan “aku orangnya seperti itu”, tetapi juga akan ada counter opini dari nurani yang mengatakan “ oh, ideal sekali, aku belum bisa seperti itu tapi aku ingin seperti itu” . Terkembali kepada cara kita menjalani hidup, taat pada nurani atau manja dibuai nafsu. Tinggal pilih, hidup itu bebas memilih, dan boleh memilih apa saja tanpa takut salah.

Sebab saudara, orang yang berpenampilan menarik tetapi berkelakuan tengik, tidak ubahnya tubuh tanpa ruh yang tinggal menunggu keriput, lalu ketika mati tidak meninggalkan kebanggaan apa apa. Sedangkan orang yang berpenampilan kurang menarik dan berhati tengik, ialah yang selalu menjadi pemenang didunia. Orang yang berpenampilan kurang menarik tetapi berhati baik, biasanya mengenakan jubah pahlawan. Kalau penampilanya cantik serta hatinya baik…Belum ada!


Gempol 071219
* tertulis sebagai saksi betapa kecantikan memiliki racun yang menghancurkan, tidak mematikan.

Tuesday, December 18, 2007

Gerungan di persimpangan

Api berkobar dimatanya sore itu, ketika matahari mengendap endap meninggalkan bumi. Sorot mata yang liar mengandung ribuan beling dan racun bagi pikiran, milik singa yang terluka, memberontak atas penganiayaan sia sia. Kemarahan menjauhkannya dari cinta. Dan murka telah menjelmakan musuh musuh baru disepanjang perjalanan nafas. Jangan tatap matanya atau engkau kan terluka oleh karena tajamnya. Mata yang sanggup merobek dan mengoyak apapun dan siapapun yang tak sanggup melampaui titik didih sebuah dendam. Betapa ia telah terciptakan sebagai visualisasi dari mahluk bengis tak mengenal belas kasihan bahkan terhadap bayi orok sekalipun. Permaafaan dan ampun menjadi retorika yang hanya dikumandangkan sebagai penghibur rasa perih belaka.

Iblis tak cuma menggeliat di setiap sel otak yang berulat. Tingkahnya mempereteli setiap mili keyakinan yang dibangun susah payah; pencitraan diri. Arus kebencian begitu perkasa memporak porandakan keteguhan yang dibangun diatas nisan nisan kenangan. Angin sore Binamarga yang biasanya membawa harum bunga mahonipun berubah berisi uap api neraka, melahirkan gerungan penyebab muka sepucat warna mayat. Seribu penjuru angin menyiksanya, mengusirnya pergi dari dunia ramai tempat tawa dan cinta dipamerkan di setiap etalase jalan raya dan jalan sepi.

Hujan air mata dari mendung simpati tak mampu meredam amuk panas sang murka, bahkan ketika hati yang melepuh bersimpuh memohon agar kekasih lekaslah sembuh. Telinga dan hati disediakan bagi penggerutu dan pemaki kehidupan pilihannya sendiri. Manusia dan manusia, selamanya menciptakan konflik batin berjajar memanjang dari ujung bumi ke ujung satunya. Penjajahan baru atas jiwa yang merdeka telah mengakibatkan kerdilnya nilai luhur sebuah investasi sosial. Menerbangkan si jiwa lemah jauh ke angkasa dimana ia lepas kepemilikan, menjadi butiran debu yang tersesat dan kepayahan.

Sore yang tenang telah berganti jadi desingan dendam dan makian sepanjang jalan, mematikan percintaan. Ia telah begitu tidak bijaksana diperdaya oleh aniaya yang tanpa sadar telah menjadi bagian dari ruh dan daging tubuhnya. Betapa perkasanya ia yang berjuang sendirian melawan penyesalan yang membatu, membandul bagai tumor di mata kaki, menyertai setiap langkah yang tak boleh berhenti. Kematian dibicarakan seperti harapan yang tak bertemu kenyataan, layaknya mimpi yang hanya menyisakan busuk air liur di pembaringan. Ia telah mati sebagian dan bermimpi tentang penguburan yang tenang dimana tak akan dijumpai kehidupan manusia setelah ia terlempar dari satu permainan ke permainan lainya. Kekagumannya pada pesona telah membuahkan luka yang menganga, mengundang apapun untuk dikeluhkan sebagai bentuk pemberontakannya yang diam.

Lalu ia menyusuri malam mengemudikan angin di kegelapan, berharap bertemu titik embun yang dulu setia menyapa wajahnya yang menyembunyikan tangis sangat diam diam. Ia terus melolong tanpa seorangpun patut mendengarkan hingga ia terdampar linglung di persimpangan moral.

Binamarga 071217

Thursday, December 13, 2007

JB* = jalan raya, terminal atau pasar?

Cerita dari Jakarta 8

Menyusuri jalan TB Simatupang dari arah Pondok Indah selepas senja, dengan nyanyian ringan dalam ingatan dan mata jelalatan menjilati sesama pemakai jalan, tua muda, laki perempuan, pejalan kaki dan yang berkendaraan. Manusia manusia Jakarta mewakili individu masing masing dalam kepentingan masing masing, tertutup rapat dalam misteri masing masing, misteri yang amat rapat dirahasiakan, hampir tanpa tebakan. Ke arah terminal Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) Kampung Rambutan, melintasi perlintasan dengan jeda lampu lalulintas di beberapa perempatan yang selalu saja sibuk oleh pemakainya di sepanjang sisi kiri kanan tol lingkar luar Jakarta.

Secara geografis JB menempati posisi yang sangat strategis, pertigaan kecil, jalur putar balik kendaraan komersial dari terminal Kampung Rambutan yang bersiap siap untuk mengantar penumpangnya ke Bogor, Bandung dan kota kota di Jawa lainya melalui tol Bekasi nantinya. JB juga tempat transit banyak penumpang dalam kota sendiri, angkot ke Jakarta bagian timur maupun ke arah Bekasi dan kota kota penyangga Jakarta lainya. Di JB juga sudah dibangun megah sebuah halte busway bernama halte Tanah Merdeka. Busway yang ini melayani rute Kampung Rambutan sampai ke Kota bahkan Ancol di tepi utara Jakarta. Tidak heran jika kemudian JB berkembang dari sekedar tempat persinggahan atau transit, tetapi juga tempat dimana banyak manusia akan memanfaatkan kondisi itu untuk mengais rezeki.

Limapuluh meter dari titik singgung persimpangan dimana bus bus AKAP memutar balik setelah lepas dari labirin terminal Kampung Rambutan, telah tampak betul kesemrawutan dari kejauhan. Jalanan bercabang kecil itu penuh dengan kamuflase khas Jakarta; Pedagang Kaki Lima yang menawarkan bermacam komoditi dari busana, hiburan hingga ke boga, alias barang barang yang punya alamat akhir lubang kakus, atau makanan, dari buah buahan sampai ke minuman ringan. JB telah lama kehilangan trotoarnya, berganti menjadi etalase pasar tradisional dengan musik kencang penjual CD bajakan, kaos kaki sepuluh ribu tiga pasang hingga ke counter pulsa portable! Dalam pajangan jangan ditanyakan soal kedai makanan, mulai dari warteg, warung padang, baso, mie ayam atau apapun yang mungkin orang akan butuhkan. Semua pasti ada, seperti halnya mudah dijumpai di sudut kota yang lain. Pasar buah di JB sebenarnya mengadopsi dari perempatan besar Pasar Rebo, yang berjarak hanya sekitar satu kilometer saja. Disana PKL buah buahan telah memperoleh legitimasinya denga menempati kios permanent selain yang berjubalan di sepanjang trotoar.

Sekali lagi, dari jarak limapuluh meter sebelum memasuki titik pusat ‘kehidupan’ JB, pengguna jalan yang budiman akan disuguhi dengan pemandangan yang menakjubkan; sebuah jalan raya yang seolah tidak ada celah sedikitpun yang bisa ditembus dengan kendaraan roda dua maupun roda berapapun. Penuh sesak oleh berbagai jenis kendaraan, seperti etalase hidup bagi para dealer. Disini mission impossible dimulai dengan mereka reka celah mana yang hendak dilalui untuk menembus kesemrawutan JB sambil menikmati dentuman musik dari CD bajakan, atau menikmati wajah wajah gelisah para penunggu jemputan maupun angkutan umum yang membawa mereka pergi dari situ. Angkutan umum menaikkan dan menurunkan penumpang di tengah jalan, penumpang naik dan turunpun di tengah jalan, tentu saja lengkap dengan teriakan dan suara bising klakson. Kombinasi yang harmonis untuk sebuah kondisi lalulintas!

Lepas dari kesimpulan awal bahwa JB merupakan pasar tradisional, kesimpulan baru tiba tiba terbentuk bahwa JB merupakan terminal bayangan atau tak resmi. Penumpang, kendaraan besar kecil pencari sewa, para calo yang memaksakan jasa kepada awak bus dan mikrolet dengan dalih mencarikan sewa atawa penumpang, sampai ke petugas berseragam dengan lampu gatur kedip kedip minta perhatian dari tempat persembunyiannya, warung kopi dan rokok ditepi jalan, mereka petugas yang mengabdi untuk negara demi lancarnya tertibnya lalulintas. Lampu pengendali arus lalulintas berkedap kedip dalam interval waktu yang sama, demikian juga rambu rambu lalulintas ditepi jalan bisu mandul terbalut debu polutan dari semua jenis knalpot, mesin dan manusia. Kehilangan makna dan fungsinya. Konon di tempat ini hukum bisa digadaikan oleh penegaknya dengan harga terjangkau rakyat jelata.

Melintasi JB selepas senja adalah ujian emosi tersendiri sebelum menyadari bahwa JB tidak ubahnya adalah jalan raya biasa yang punya fungsi menghubungkan satu tempat ke tempat lainya. Persinggahan dan pemberhentian kehidupan individual dari kampung kampung dan kota kota, yang masing masing berhak atas kepentingannya sendiri sendiri. Maka pemahaman soal hak itulah yang telah menciptakan kesemrawutan yang mendekati sempurna di JB. Di Jakarta, tiap jengkal tanah baik itu jalan raya maupun bukan jalan raya adalah lahan rezeki, sedangkan mengupayakan hal itu adalah hak azasi. Masing masing berebut kepentingan sendiri sendiri di tempat ini, sehingga kepentingan umum menjadi hal yang tidak mendapatkan prioritas. Kepatuhan atas ajaran budi pekerti berupa tenggang rasa dan mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi seperti dulu diajarkan sewaktu kita SD menjadi bias disini. Fungsi dasar sebagai fasilitas umum di JB boleh saja kabur demi kepentingan pribadi yang kemudian di artikulasikan sebagai kepentingan umum.

Melintasi JB selepas senja di ujung minggu, serasa menyaksikan keseluruhan Jakarta dalam sepotong jalan raya. Kehidupan, peruntungan, keculasan. Diantara udara bercampur karbon dioksida yang kental terbaca pikiran pikiran gelisah tentang hidup yang berkejaran dengan waktu, mencoba berpacu dengan Jakarta yang tumbuh bongsor dalam usia yang makin tua, dalam peradaban yang makin langka; jauh dari kesunyian alam maupun gaung waspada dari sudut pedesaan dimana angin dan udara bersetubuh mesra setiap waktu.

Jalan Baru, 071209
*JB = Jalan Baru

Monday, December 10, 2007

Pondok Yang Indah

(Cerita Dari Jakarta VII )

+ Nak, inilah jalan busway yang sering diributkan di tivi itu.
- Ooo..ini rupanya ya? Lihat, jalanan beton telah dibangun untuk jalan busway.
+ Ini kampungnya orang orang kaya, mereka tidak mau kampung mereka dilewati busway. Bagaimana pendapatmu, nak?
- Mungkin karena mereka orang kaya, mereka merasa menjadi orang penting yang bisa mengatur. Ini kan jalan umum, jalannya pemerintah, lagian yang lewat sini juga bukan orang Pondok Indah saja.

+ Bhahahahaah….!!!


Setuju!
Dengan pemikiran yang sederhana sekalipuan, sebuah ruas jalan umum tentunya diutamakan untuk kepentingan umum, mulai dari komunitas tertentu, daerah tertentu sampai kepada negara tertentu. Umum berarti secara universal, sebuah hukum relativitas yang mengukuhkan akan mutlaknya bekerja sama sebagai perlambang dari rakyat yang berperadaban serta hukum baku sebagai mahluk sosial. Kepentingan yang lebih luas memiliki pula kuasa soal, kuasa waktu dan kuasa tempat atas fasilitas umum.

Pondok Indah, kawasan elite orang orang gedongan, orang orang kaya yang tentu lebih tahu soal peradaban justru menunjukkan sikap bertolak belakang dari moral sosiologis dasar dari tenggang rasa. Atas nama lingkungan, atas nama kelayakan, atas nama peraturan bahkan atas nama pohon pun dikemukakan demi didengar keberatannya pembangunan jalur busway koridor 8 yang membelah Pondok Indah, mulai dari Lebak Bulus sampai ke Kebayoran Lama. Salah satu jalur yang menjadi urat nadi transportasi Jakarta. Maklum saja, Jakarta ini sudah seperti orang mantu setiap hari. Sibuknya luar biasa, urusannya ribet luar biasa dan masalahnya juga banyak luar biasa. Jakarta memang kota yang luar biasa!

Yang terbayang dengan Pondok Indah adalah tempat tinggal para selebritis, pejabat, pengusaha bahkan pelacur kelas kakap, atau warga biasa tinggal, menempati gedung gedung bak istana yang tidak saling mengenal antara tetangganya. Egois, dan individualistic sesuai dengan karakter normal masyarakat cosmopolitan, metropolitan atau jumpalitan mungkin. Orang orang top, hebat dengan sumber daya manusia yang mendatangkan rezeki begitu mudah dan dalam jumlah yang besar pula. Orang dengan kelas demikian tentu saja memiliki komunitas yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Jauh lebih ‘maju’ dalam pola pemikiran maupun pemahaman tentang di zaman apa dan sikap bagaimana semestinya diterapkan untuk mempresentasikan diri sebagai manusia smart, unggul diantara yang lainnya dalam bidangnya. Mereka tahu banyak soal perkembangan dari seluruh permukaan bumi satu detik setelah satu detik lainya terbunuh mati.

Seperti biasa, sebagian kecil orang bisa keblinger dengan keadaan yang terlalu maju tersebut dan membuatnya perlahan kembali menjadi mahluk yang sebenarnya; binatang yang paling sempurna. Pemahamannya dipaksa sama dengan suku Apache atau puluhan suku Indian yang harus menyingkir ketika rel kereta api dibangun di lembah lembah perawan milik leluhur mereka di pedalaman Amerika ratusan tahun silam. Si sebagian kecil ini juga hinggap di sebagian yang lebih kecil lagi dari komunitas pondok indah. Kegelisahannya persis layaknya kegelisahan sang singa ketika territorial yang sudah ditandainya dilanggar oleh binatang lain, entah pemangsa entah mangsa. Pondok Indah dan seluruh pohon, jalan, tanah, batu, bangunan serta udaranya adalah hanya milik si sebagian lebih kecil dari warga Pondok Indah itu. Takutnya, orang orang semacam ini justru tersesat oleh pikirannya sendiri yang terlanjur tidak bisa sederhana. Apapun lantas dilakukan untuk menggagalkan proyek pembangunan jalur angkutan umum yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umum, mulai dari argumentasi dan teori soal amdal sampai memasang portal! Dan itu disebut sebgai perlawanan! Gigih bukan?!

Coba saja kita berhenti memanjakan ego sejenak, kembali ke masa kecil kita yang entah indah entah getir, kemudian kita definisikan kembali soal ‘jalan umum’. Jalan umum adalah misteri yang tidak terkuakkan dalam hayalan kecil kita. Tidak pernah seorangpun atau satu kelompokpun kita dengar menjadi pemilik dari salah satu jalan umum. Kita hanya bisa bersyukur bahwa telah ada jalan itu jauh hari sebelum kita lahir. Siapa yang membuatnya, itu adalah cerita turun temurun yang selalu memiliki segudang hal yang mengundang ketertarikan untuk mengetahuinya lebih jauh. Ribuan orang pernah kita lihat menggunakan jalan yang juga kita gunakan setiap harinya, bahkan orang yang tidak ada kepentingan dengan tempat kita atau orang yang dilintasi jalan itu. Jalan dibuat semata untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain. Kita membersihkannya supaya orang yang lewat lebih selesa, kita merawat dan memperbaikinya karena kita sendiri juga menggunakan jasanya.

Lalu kita ke Pondok Indah, dimana jalur busway koridor 8 sedang getol dibangun dan juga getol ditentang pembangunannya. Kisruh intelektual yang bisa kita jadikan cermin bersama, betapa memprihatinkannya kerusakan moral sebagian warga bangsa karena teracuni oleh peradaban yang dianggap layak sebagai dewa baru, semudah kemunculan nabi baru; palsu!


Antara Pondok Indah – Pondok Aren, 071209

Friday, December 07, 2007

Gerutu Hujan

Marah yang membuncah merobek pagi lewat mimpi. Damai terbunuh oleh gemuruh dendam yang tiba tiba hidup dari kematian suri panjang. Gigi gemeletak menahan letupan benci, hati teraniaya sedangkan segala rumus kebaikan telah disuguhkan sebagai upeti. Tawa penghinaan dan senyum ejekan mencabik cabik segala percaya diri, menempatkan sebagai korban kesekian dalam palung luka yang sama, lumpur pekat yang sama; ketidak berdayaan itu.

Pagi datang tanpa matahari, Kamis dan setiap hari tak sama lagi. Semua berubah menjadi gerang dan gersang, pembosanan atas kehidupan. Bertemu dengan manusia manusia dengan parang terhunus ditangan ketika terjaga, bertemu iblis yang berpesta pora ketika lelap membekap, sakit dan sedih semata. Lantas kemana tempat tanpa tipu daya dan ganggu jiwa? Mendung menghias langit, menutup warna keperakan pada setiap tepi mega yang katanya mengandung harapan akan kecerahan. Gerimis yang biasanya membawa syahdupun berubah menjadi gerutu oleh sebab hampanya rasa sesiang ini.

Rencana. Beribu rencana teronggok bagai bangkai kuda nil dalam angan angan. Rencana rencana yang mati pada saat kelahirannya sendiri, terlilit oleh pesimisme yang menggelayuti hati. Dengan siapa hari ini akan terbagi, sesungguhnya telah terpasrahkan diri untuk segala bentuk kehidupan manusia dan benda mati, menyerahkan diri pada keperkasaan mereka mereka yang mengendalikan dunia. Perintah diterima, perintah diteruskan semuanya melulul berisi dikte dikte otomatis dari mulut ke mulut dan lupakan tenggang rasa.

Rintik hujan disiang hari mewakili tangis yang tertahan sejak pagi. Tangis meratapi kemalangan bagi si beruntung dan keberuntungan bagi si malang; diri semata wayang. Jika nanti saatnya hujan berhenti, rasanya kaki ingin pergi meninggalkan bumi, terbang menjelajah negeri negeri sampai ke Timbuktu. Sejauh mungkin mengendarai angin, menembusi genangan demi genangan kenangan masalalu yang tak mau juga mengering meski waktu telah membakarnya jadi abu. Kenangan ternyata tak mau mati, meski perih meradang sebagai ekspresi.

Bahwa penderitaan memang melahirkan jiwa jiwa perkasa yang lahir kembali dari keterpurukan. Memahami betapa kebahagiaan tidak akan bisa terasa tanpa ketidak bahagiaan yang pernah dialami dan kesenangan sesungguhnya tidak bisa dinikmati tanpa merasakan ketidak senangan terlebih dahulu. Tersisihkan dan diacuhkan menciptakan keberanian untuk mengatakan ‘cukup’ dan lalu melambaikan tangan tanda perpisahan. Cukup adalah cukup, setelah mengemis pengertian sekian ribu tahun dan hanya membentur dalam cibiran yang menyakitkan, atau malah penghakiman yang mengerikan. “ kamu selalu negative…!”

Maka pergilah kepada hingar bingar keinginanmu. Sunyi ini akan menjadi indah tanpamu, tanpa cemooh dan permainan hatimu. Tenggelamlah diantara jubah dan topeng peradaban, menjadi palsu oleh keinginan dan pengingkaran atas realita duniawi yang tak bisa kan lepas dari status. Menarilah terus bersama irama irama cabul, pesan pesan mesum yang membuatmu serasa menjalani hidup yang semestinya.

Tetes embun, rumah kayu, kali kecil, pematang sawah, ikan gobi, sejuk lereng gunung, kebun strawberry dan cita cita indah itu mati bersama prasangka yang kau hujam deras ke ulu hatiku. Aku mati sudah untukmu…


Ciracas dibawah hujan dendam, 071207

Wednesday, December 05, 2007

Pejalan sunyi

Dia yang kecil melangkah ringan, garis dibibirnya datar, menatap tak lurus tak juga menunduk, hanya berjalan saja menjauh dari kerumunan, pergi menjauh searah tenggelamnya matahari diujung bumi ketika senja mengurung padang belantara rerumputan. Malam sebentar lagi menyembunyikan ngarai dan lembah, jurang dan perbukitan bahkan pokok pokok pohon rindang yang biasanya menyajikan keteduhan akan segera lenyap dari pandangan. Sayup sayup masih terdengar di telinga mungilnya teriakan sang ibunda, berisi pesan kebaikan seperti layaknya seorang ibu kepada bayinya yang belajar mengenal kehidupan; “ jangan bicara dengan orang asing, jangan lupa bersihkan belakang telinga ketika mandi, jangan berenang sendirian, dan larangan larangan lainya yang mencerminkan betapa besar keinginan sang ibunda agar anak emasnya bebas dari segala sengkala dan celaka.

Pelukan terakhir, ciuman terakhir, dan doa yang menyamudera menyertai langkah mungilnya kini. Tekad sudah dibulatkan, niat sudah dikuatkan, dan berangkat adalah pilihan. Menejelajah belantara, menemukan kesejatian hidup diantara rahasia pepohonan dan lebatnya belantara. Ia terusir dari kelompoknya, terusir oleh perasaan ‘tahu diri’ yang ia artikulasikan sendiri dalam pikirannya. Betapa ia telah berusaha mengesankan siapa saja bahwa ia tidaklah berbeda dengan anggota komunitas lainya, tetapi tetap saja ia berpredikat beda. Orang orang yang dikenalnya telah serta merta menempelkan stigma rumit bagi dirinya sebagai orang negative, dengan pikiran dan sikap yang negative. Sungguh, ia hanya ingin menjadi yang sewajarnya. Ia terusir dari tempat dimana ia mengenal udara sebagai kehidupan dan cinta sebagai oksigen bagi jiwa.

Kaki kecil, langkah kecil bergerak zigzag menjelajah padang ilalang dan rumpun perdu, membawa rasa terbuang dalam angan angan. Mata mungil menembusi setiap lorong udara, mencari makna dari apa yang tak terlihat dari pandangannya. Bumi damai penuh cinta dimana semua tersedia melimpah, nun jauh dari bengis kelakuan para sebangsanya menjadi tujuan langkahnya. Sepanjang jalan sepi menelikung, menghadirkan sosok sosok raksasa yang lahir dari gumpalan masasilam yang berantakan.

Diperjalanannya ditemukan guru pemandu jiwanya, ialah yang mengajarkan etika dan tatakrama, tenggang rasa serta pentingnya mengalahkan diri sendiri untuk kehidupan disekelilingnya. Embun, angin, mendung, langit, pohon, daun, tanah, ranting, batu, satwa, rumput, dan segala yang hidup dan mati dari bagian bumi memberinya ajaran tentang kasih akan kehidupan, makna akan kesementaraan.

Kesendirian mengajarnya menjadi pribadi dewasa yang kuat dari terpaan puting beliung sekalipun. Kesunyian menjadi dunia miliknya, lengkap dengan monolog demi monolog panjang antara hati dan logika. Berinteraksi dengan sesama ternyata memberinya begitu banyak goresan luka, goresan luka yang diakibatkan oleh harapannya sendiri yang membentur karang terjal dan menghempaskannya dalam kekecewaan yang hanya layak dikonsumsinya sendirian. Mempertahankan diri dalam lingkaran matarantai sosial rekaan hanyalah membebani mereka yang merasa lebih penting dan baik bagi kehidupan. Dirinya hanya secuil dari mata rantai makanan terbawah yang tidak memiliki pilihan selain lari, sembunyi dan menunggu kebaikan para pemangsa kebahagiaan.

Ia menjadi raja atas bukan siapa siapa dan atas bukan apa apa. Savana maha luas menjadi istananya, dan berjuta anak pemikiran menjadi kawan dan musuhnya. Dunia dibawanya dalam pikiran, mengembara mengumpulkan helai demi helai pengalaman yang kelak akan dianyam menjadi sebuah mahakarya warisan bagi kehidupan selanjutnya. Ia tak punya tujuan, ia tak perlu tujuan. Ia berhenti ketika hati memintanya berhenti, ia berlari ketika pikiran memerintahkannya demikian.

Segerombolan orang mengaku teman tetap ada dalam angan angannya, mereka menyeringai dengan pedang bernama ego terhunus ditangan, siap mempersembahkan sobekan pada kulit dan dagingnya. Dalam kesendiriannya, ia menjadi seorang lemah yang perkasa, menempuh lebih jauh dari siapapun yang kini jauh ditinggalkannya, belajar lebih banyak dari siapapun yang dulu merendahkannya, dan bersyukur lebih banyak dari siapapun yang pernah menganggapnya permainan bagi kesenangan belaka. Ia kini punya dirinya sendiri seutuhnya, tempat kesalahan dan kebenaran ia muarakan dalam diam.

Pernah suatu ketika dikirimkannya pesan rindu lewat daun gugur kepada mereka yang pernah mengenalnya sebagai seorang pribadi, dan makian serta penghakiman didapat sebagai balasan. Dalam setiap nafasnya, ia titipkan doa kebaikan bagi sesiapa yang karena keadaannya pernah menjadi duri bagi hatinya…

Ciracas, 071205

Tuesday, December 04, 2007

Rencana Pembatalan


Sebuah rencana bisa jadi dibuat dalam kurun waktu yang sangat lama, bisa berhari hari, bisa juga berbulan bulan maupun bertahun tahun. Rencana sama saja dengan menyiapkan segala sesuatu untuk membuat sesuatu terjadi. Sedangkan untuk membatalkan sebuah rencana (baik besar maupun kecil) maka kita hanya perlu ukuran waktu dalam satuan detik untuk melakukannya.

Terkadang pembatalan terasa seperti matahari yang tiba tiba padam. Dalam kegelapan seseorang yang dipancung dengan pedang bernama pembatalan harus mencari cari pegangan, dan hanya menemukan diri sendiri yang pantas untuk disalahkan. Menyalahkan diri sendiri karena terlalu berharap. Kekecewaan memang lahir dari harapan yang dibangun sendiri. Menerima. Ya, menerima itulah reaksi bijaksana yang juga menciptakan rasa aman bagi semua orang kecuali si yang menerima. Bagaimanapun kita tidak bisa mengkontrol orang lain untuk membuat sebuah keputusan, termasuk ketika seseorang harus membatalkan sebuah rencana besar yang sudah demikian diyakini bakan menjadi sebuah kenyataan yang mendatangkan rasa sukaria.

Kekecewaan yang terasa bisa saja datang dari rasa malu karena dipermainkan harapan dan keinginan sendiri. Memberi peluang kesenangan terhadap diri sendiri terasa sebagai sebuah kemewahan egois yang berlebihan terkadang. Kecele oleh keinginan dan keyakinan sendiri kemudian merubah bentuk antusiasme menjadi kekecewaan yang harus diterima sebagai milik pribadi sekali. Soal rasa memang hak milik yang sangat pribadi bagi setiap manusia.

Idealnya setiap orang tidak boleh memiliki hak untuk marah kepada orang lain,sebab setiap orang seyogianya tidak diperuntukkan untuk mengendalikan keputusan orang lain. Tidak ada satupun pasal yang mewajibkan siapapun untuk mewujudkan sebuah rencana rahasia yang disusun atas dasar keinginan semata. Setiap individu adalah pribadi yang bebas. Dan semesetinya kita merasa sangat beruntung sebab dalam kebebasan itu kita dipilih untuk menjadi sesorang dalam kehidupan pribadi orang lain. Hanya saja, memang ada kenyataan dimana terkadang kehidupan yang bukan pribadi justru menempatkan seseorang dengan penghargaan dan apresiasi yang memadai ketimbang sebuah hubungan pribadi yang semestinya penuh makna tenggang rasa.

Pembatalan sefihak tetap saja melahirkan korban. Tanpa berharap dianggap sebagai pembelaan, tetapi menempatkan kepentingan orang lain sebagai “korban” tidak lebih baik dari tragedy terburuk dalam kehidupan. Anggap saja sebagai pengabaian atas diri dan segala yang terkandung dalam pemikiran maupun emosi justru ketika diri begitu yakin kalau punya cukup nilai yang pantas untuk dipertahankan sebagai seseorang yang eksis dalam kehidupan seseorang lainya. Merasa menjadi korban atau menempatkan diri sebagai korban memanglah bukan sesuatu yang menguatkan. Pilihannya tinggal membiarkan segala hal menimpa, sebagai konskwensi dari kehidupan. Sudah sepantasnya kita berdoa semoga hidup setiap manusia diberkati dengan banyak kebaikan, terhadap siapapun yang memperlakukan kita sesuai keinginan mereka.

Entah apa lagi, entah siapa lagi yang akan melukai nanti. Biar saja, tidak penting untuk dipikirkan. Toh sebenarnya hanya kita sendiri yang bisa menyakiti diri sendiri sebab tidak seorangpun yang bisa melakukanya lagi.

Cisarua 071201