Thursday, October 27, 2005

Bunda


Saat merenungkan cinta bunda, yang muncul adalah cinta yang begitu indah. Saat memikirkan bunda, maka terpikirkan cinta, cinta yang manis, lembut dan harum. Harum adalah bau yang sangat menyenangkan, ia tetap segar tidak pernah pergi. Tanpa cinta bunda aku pasti telah jatuh dari kebajikan, keletihan, kehilangan kekuatan dan layu, tanpa cintanya semua pergi dan lenyap.

Cinta bunda adalah cinta pertama yang aku rasakan. Ia adalah akar dari semua cinta yang ada dimuka bumi. Bunda adalah guru pertama yang mengajarkan cinta, dan cinta dalah pelajaran yang terpenting di dalam kehidupan. Tanpa bunda, aku tidak akan pernah mengenal cinta. Terimakasihku kepada bunda karena aku telah mampu mencintai semua mahluk hidup. Melalui bunda, aku belajar konsep tentang pengertian dan kasih sayang untuk pertama kalinya. Bunda adalah dasar bagi semua cinta. Kehilangan cinta bunda adalah kehilangan cinta dunia, kemalangan besar dalam kehidupan menurutku.

Melalui kemuliaan perilaku bunda aku belajar konsep awal tentang cinta dan kasih sayang. Dengan demikian bunda adalah dasar dari semua cinta. Karena bunda mencintai anak anaknya, mengajarkan telaah cinta yang sempurna, tanpa cacat, dan toleran. Aku sungguh beruntung memiliki bunda yang terlatih menahan diri. Beliau jarang membicarakan ha hal yang sedih walaupun bapak entah apa kabarnya sejak aku masih sangat muda. Bunda menyimpanya untuk dirinya sendiri dan selalu berfikir tentang hal hal yang baik, tidak pernah mengeluh. Dengan demikian aku belajar untuk tidak mencurigai orang lain sejak kecil, tidak iri hati, kami menganggap semua hal adalah sesuatu yang memang harus terjadi dan dijalani, dan ini sangat membantuku dikemudian hari. Bunda menunjukkan cintanya yang terbesar dan memiliki kebaikan yang terbesar buatku.

Bunda adalah sumber cinta yang tiada akhir, harta yang tak pernah habis. Bunda juga pemberian terbaik dari kehidupan. Di dunia ini, karena bunda aku merasakan cinta, hidup bahagia, hidup dengan rasa aman. Itulah yang memuaskanku melebihi kepuasan seandainya aku adalah penguasa alam semesta. Ajaran kasih sayangnya membekas, mengandung pengertian bahwa kekuatan cinta dari kasih sayang bisa membuat bunga berkembang, membuat semua orang di dunia bahagia. Aku tidak ingin sedikitpun menitipkan rasa khawatir atau menderita karena keadaanku. Membuat bunda merasa tenang dan senang bagiku adalah kebajikan yang besar yang layak sebagai persembahan.

Sekarang aku mengerti, sikap sikap bunda sebenarnya mengajarkan bahwa kami memiliki hubungan sebab akibat dengan semua mahluk dan semua kondisi, bahwa aku tidak bisa hidup sendiri. Barangkali inilah perenungan yang benar, mengambil semua yang aku mengerti sebagai fakta dan memelihara gagasan yang timbul oleh pandangan yang benar pula, menjadi satu kesimpulan bahwa ibu adalah guru dan sumber dari cinta sejati. Cinta sejati yang tercipta dari satu pemahaman atas perpaduan antara ketulusan hati dan teladan.

Bunda, tahukah engkau bahwa aku sangat mencintaimu…

Simatupang, 27 Oktober 2005


Monday, October 24, 2005

Romantisme hujan



Because the rain is so pure, it makes me cry…

Senja luruh menikam sisa gerimis, rumah rumah batu membeku diliput remang lampu lampu, menyembunyikan entah kehangatan entah kehampaan hati para penghuninya. Jendela kamar buram oleh angin yang berhenti diam. Hujan yang turun diluar kaca jendela menghadirkan lagi lagi romantisme yang kosong, memaksa hati melolong lolong mencari alamat kerinduan. Rintik hujan memenjara hati dalam kamar dan menghadirkan fikiran fikiran mengembara kesetiap hati yang pernah singgah.
Malam begitu romantis penuh kenangan dalam penjara ruang…hampa.

Kesempurnaan terkadang begitu menakutkan, mencekam, karena hati sebetulnya tidak rela dengan kehilangannya. Alam adalah karya seni Tuhan yang tidak ada bandingan indahnya. Menghayati setiap tetes air yang turun dari langit, negeri para dewa, menghadirkan rasa syukur dan kekaguman luar biasa atas kekuasaan Tuhan. Diri menjadi mengerdil begitu kecil didepan kuasa alam, kuasa Tuhan; betapa tidak berdayanya manusia atas kehendakNya!

Keindahan hujan selalu mengusung romantisme hidup, dramatisasi atas nisan nisan kenangan dipekuburan pengalaman. Pada hati hati dan jiwa jiwa yang pernah singgah, rindu itu mengembara. Aroma tanah basah dan gemuruh suara hujan menjadi bingkai atas manisnya beribu pengalaman, pahit getir, manis, jadi satu dalam keindahan kenangan. Sejuk hawa yang hadir bersamanya seolah olah memaksa hati untuk mencari kehangatan rumah jiwa, tempat hati berlindung dari sepi.

Dalam lingkupan nuansa hujan dan kehampaan hati maha luas, kehangatan hadir justru lewat harapan, lewat masa depan yang misterius. Hidup terus berjalan dalam kehendaknya, dan masa lalu tinggal menjadi buah pengalaman yang berhamburan menumbuhkan benih benih keyakinan baru mengeja teka teki masa depan. Hujan yang menaburi bumiku malam ini, menghadirkan rindu yang begitu syahdu menggebu, keindahan yang begitu sempurna oleh sebab rindu tanpa tuju.

Hujan, fenomena indah penegas romantisme hidup…

Kost Simatupang, 23 Oktober 2005

Friday, October 14, 2005

Perjalanan Ragu

Berabad terapung disamudera kebencian dan cinta, menunggu badai reda, menunggu matahari tiba. Usia terus merambati kecemasan dan melapukkan semangat yang porak poranda. Hati meletih dalam penantian akan datang malaikat dari kegelapan yang menuntun arah ketanjung pengharapan. Kesunyian dalam gemuruh ini begitu sempurrna menggigilkan jiwa. Bimbang hati menyeret langkah menyusuri cakrawala berbingkai keniscayaan. Dalam ketelanjangan ribuan petimbangan mendorong dorong logika untuk percaya, tetap mengayuh menuju keraguan lain lagi.

Maafkan aku wahai pelangi karena mencabut pedang berkarat bernama kewajiban yang menancap dipunggung tembus kedada. Tak ada kehidupan didalam perihnya kecuali ratapan panjang atas batu batu nisan yang berjajar tak bernama, di pekuburan ingatan. Jiwa jiwa telah lama mati menyisakan beku membatu sedangkan diladang ketiadaan tetumbuhan kebahagiaan tampak menyembul dari balik tanah sisa peperangan. Hanya jika perkelahian ini usai, kita akan bertemu daratan yang menjadi tuan, entah karena tujuan entah karena terdamparkan nanti.

Dijagat manusia perkawinan hanya tinggal selembar kertas dan segudang kepurapuraan. Tamu tamu hati datang membawa ceritanya sendiri sendiri, dari keculasan demi keculasan dunia. Betapa peradaban telah terbeli hanya oleh egoisme. Tamu tamu yang membawa cerita perjalanannya masing masing melengkapi cerita perjalananku menoreh sejarah tentang keragu raguan yang menjadi tujuan, sampai satu lagi nisan tercipta dengan sempurna.


Simatupang, 14 Oktober 2005

Wednesday, October 12, 2005

Kastanisasi Diri

Bahkan dikehidupan maya cyberspace-pun, watak watak dasar yang mencerminkan landasan sikap kepribadian tidak sulit untuk dijumpai. Di cyberspace orang dengan mudah mengaburkan atau menyesatkan nama, alamat, umur, dan detail detail lainya. Penyediaan informasi yang manipulatif seperti itu aku nilai sebagai itikad untuk mengaburkan identitas, dimana bagi sebagian peculas adalah satu langkah kemenangan untuk menentukan golongan mana yang akan dan ingin digauli. Pengkaburan identitas (baca profile) juga didentifikasi sebagai langkah menutup diri dan melihat lebih jelas kepada orang lain atau profil lain yang dijumpai di cyber.

Pernah pada sebuah perkenalan di chatroom, sapaan sopan seperti “ hello selamat sore…” atau semacamnya mendapat jawaban “ mau apa?” atau yang lebih sering adalah “ siapa?”. Dan itu terterjemahkan dengan ekspresi ketus. Bahkan sorang yang pernah mengobrol di chatroom sehari sebelumnya pernah menjawab sapaan itu dengan “I will appreciate if you don’t talk to me again”. Puih! Rasanya ingin menonjok layar monitor, tapi akhirnya hanya senyuman yang tertempel dibibir. Orang orang ini memiliki karakter arogan, aku yakin mereka memiliki pemahaman yang kaku terhadap pergaulan, apriori terhadap keberadaan dunia gender. Orang orang seperti ini yang menderita kemiskinan humanisme, krisis kepekaan terhadap sopan santun dan budaya tenggang rasa. Memprihatinkan! Padahal, sudah pada sepantasnya orang orang yang bermain dengan perangkat tehnologi seperti itu dan menyediakan diri untuk “mengendarainya” adalah orang orang yang notabene berpendidikan cukup dan berpergaulan cukup, minimal bisa baca tulisan dan membuat tulisan; sedikit tahu tentang adat kesopanan.

Hakekatnya, pergaulan di cyberspace adalah pergaulan yang tak dibatasi oleh pematang pematang peradaban seperti umur, pekerjaan, profesi, jumlah kekayaan dan sebagainya. Cyber adalah tempat bertemunya jiwa jiwa yang lepas dari keterkungkungan hukum kebudayaan. Masing masing jiwa selayaknya terbekali dengan ajaran nurani dan yang lebih baku adalah ajaran tentang sopan santun dan menghargai sesama. Dalam dunia cyber, individu user diwakili oleh cara berfikir dan tatakrama kesopanan, ditunjukkan dengan sikap tahu diri dan tentu keterbukaan komunikasi. Jiwa jiwa itu ibarat gelembung udara dan cyber adalah angkasa sebagai media kebebasan gelembung gelembung itu mengembara. Akan tetapi sudah menjadi perwatakan umum bahwa dunia cyber diibaratkan sama dengan alam sesungguhnya, dimana segala bentuk antonim kebendaan menjadi hukum pengkastaan diri.

Jika pada jaman purba orang menciptakan kasta, tinggi rendah golongan yang terbedakan dari garis keturunan maupun jabatan kedudukan, bahkan kadang jumlah kepemilikan hartabenda, hal itu jelas jelas telah menjadi kesepakatan baku yang dimahfumi dan diterima sebagai sebuah tradisi luhur. Pada perkembanganya, pengkotakan golongan tingkat derajat manusia itu luntur dalam literatur literatur sejarah, berganti menjadi sebuah istilah membingungkan seperti liberal, demokrat, sosial dan sebagainya. Otomatis pengkastaan secara harfiah tidak lagi memiliki makna penentu satu golongan. Menurut Pramoedya Ananta Toer, dunia selalu berubah sedangkan manusia tidak. Selamnya seperti itu itu juga. demikian halnya dengan feodalisme, dengan penggolongan ukuran derajat manusia yang umurnya sepadan dengan pelacuran dan perjudian. Sejak manusia diciptakan!

Penggolongan jenis manusia pada zaman serba elektronik dan mobile ini, secara ekstrim ditunjukkan dengan kastanisasi pribadi, sebuah pengingkaran terhadap kesetaraan dan ruh humanisme secara universal. Kastanisasi itu dimulai dengan pembatasan komunitas pergaulan berdasarkan kesetaraan eksistensi diri dalam masyarakat umum. Sangat mengenaskan bahwa kastanisasi itu dimunafiki dengan slogan slogan humanisme, kepedulian dan sebagainya sedangkan pada prakteknya jelas jelas menyimpang dari teori teori yang didengungkan. Komunitas komunitas berdasarkan pengkastaan pribadi yang disamarkan menjamur lengkap dengan tradisi dan budaya modern dalam konteks yang dangkal yang kerap dinamakan trend. Komunitas itu berada diruang ruang labirin dengan dinding tebal dari kaca, memiliki batas batas nilai tersendiri, seperti ceceran minyak dalam air.

Komunitas itu lahir dari pendalaman akal dan pengetahuan setiap pribadi yang tanpa sadar menciptakan ruang khusus bagi dunia yang diartikan ideal. Perbedaan perbedaan lahiriah menjadi bible yang malu malu disembunyikan. Kepedulian akan kesetaraan dan kesamaan dengan impulsif diterjemahkan dengan laku charity; memberi amal materi. Pengkastaan diri pun menjalari dunia cyber, virtual community dimana idealnya adalah dunia tanpa hukum materi, dunia jiwa jiwa, nurani nurani tanpa dimensi lahiriah, sebuah utopia dimana setiap orang saling menilai dan mengukur berdasarkan jalan fikiran dan kepribadian.

Kastanisasi dalam formatnya yang baru adalah penciptaan kelas berdasarkan perhitungan lahiriah pergaulan; pemimpin dengan pemimpin, pengikut dengan pengikut, penonton dengan penonton, pemain dengan pemain, penggembira dengan penggembira, dan interaksi diantara kelaspun dibatasi pada garis garis baku yang tak tampak mata; hanya hati. Sebuah kemunduran peradaban berjubah kemajuan akal!

Simatupang, 11 Oktober 2005



Monday, October 10, 2005

Utopia


Tuhan mencipatakan tangan melengkapi fikiran, dan Tuhan menciptakan hati sebagai ukuran kepintaran produk fikiran. Kesederhanaan menjadi barang langka ketika zaman berganti jahiliyah, merampas masa dimana manusia menjadi mahluk paling buas dengan taring panjang bernama logika. Tajam mencabik apa saja, siapa saja. Lelah hati berharap nurani menjadi raja atas umat manusia maka mimpilah menjadi pengingkaran yang maha sempurna.

Di satu sudut bumi dalam naungan langit utopia subur menggoda. Pada lereng gunung berhawa sejuk sebuah rumah kayu dengan pendapa dan buritan pada arsitekturnya, berdinding tinggi dengan jendela jendela. Mungil kokoh tanpa warna. Berpagar budi pekerti rumah itu hangat oleh cinta yang damai penghuninya.

Sebidang tanah menghiasi belakang pekarangan, tangan karunia Tuhan mengadakan dari ketiadaan, membuat untuk dipergunakan, menyemai untuk memetik panenan, memakan apa yang ditanam. Tak ada yang patut dirisaukan.

Tetangga adalah sahabat, dimana rasa hormat menjadi aturan kepatutan dan nurani adalah penimang sikap dengan privacy sebagai hak yang terhormati. Wangi bunga rumput melahirkan inspirasi atas karya cipta dari hati juga pada nyenyanyian sepi tercipta filsafat filsafat yang tak pernah terajarkan tentang alam.

Kekerasan bukan budaya, tabu dilakukan, juga prasangka mati oleh ketulusan yang sebenarnya. Kebencian dan keculasanpun tak punya ruang tumbuh pada jiwa jiwa yang hanya tahu bersyukur dan merendah hati, menempatkan Tuhan sebagai pengawal nurani; ajaran paling hakiki bagi setiapi insan.

Rumah, dimana segala bermuara, dimana cinta beristana. Hanya mencintai dan dicintai sepenuh hati sepenuh hidup denga ekspresi tertinggi, tanpa pura pura. Eksotisme alam telah mematri cinta dua hati dalam rumah kayu berpagar budi pekerti. Sampai raga rebah disejuk tanah berdebu sisa lumpur musim hujan dulu, tenang melepas ruh ke perjalanan yang sesungguhnya. Tak ada tangis kecuali senyuman, sebab kematian hanya siklus kehidupan mahluk Tuhan…




Kost Simatupang, menjelang sahur 10 Oktober 2005

Dimana Langitku berada?


:Langit Senja

Ngit,
Aku merindukan gelisahmu yang tanpa malu malu. Aku merindukan birumu yang mengundang hati untuk bernyanyi, aku rindukan lembayungmu yang membawa cinta mengharubiru. Engkau telah sempurna berlari dan bersembunyi dari hidupku, ataukah aku yang terkurung ruang sempit peradaban?

Ngit,
Aku tetap kupu kupu itu, murid atas ajaran absurditas hidup dan engkau selalu jadi guru nuraniku. Aku yang pernah jadi sweet june-mu yang menari dengan ekspresi tertinggi antara batas nyata dan khayal, batas hati dan rasionalitas. Engkau yang mengajarkan aku untuk mencintai dengan kesempurnaan dan mengesampingkan segala bentuk labirin tradisi. Akulah kupu kupu yang pernah jadi ephitapmu, yang tetap mengembara diantara bunga rumput dan ilalang liar di sabana kosmos maya. Masih ingatkah setelah musim demi musim lewat tanpa kata kata?

Ngit,
Aku masih kabut putih yang menjadi bukan apa apa atas kemegahan anggunanmu. Barangkali sekejap lenyap dalam hempasan keperkasaan kuasamu, mati tertebas pedang rasionalitas yang erat engkau genggam ditangan kanan? Tetapi, bathinku teguh meyakini, engku tetaplah langit yang mengetahui segala yang tersembunyi, juga kupu kupu dan kabut putih milikmu dulu.

Ngit,
Aku tinggal punya rindu yang membenalu….padamu….


Kost Simatupang, 10 Oktober 2005

Percakapan Yang Menenteramkan

: nonon

Di sabana maya sebutir debu jiwa mengelana meratapi penghuninya, pada suatu ketika saat prasangka lenyap diserap bumi yang terpijak kaki. Berpendaran dari sisi ke sisi ruh, mengetuk nurani demi nurani dengan kehendak yang polos mengharap harap. Dia mengelana laksana kupu kupu, senyap dalam pengembaraanya yang sendirian kehilangan rantai metamorfosa kodrati.

Langkah terhenti pada teduh berwarna ragu pada sisi sisinya, gemetar memasuki alam hayali dengan pedang bernama rasionalitas terhunus lemah. Mengetuk kaca jendelanya ketika embun bersiap memburamkannya. Pada rongga jiwa yang teduh itu ia pasrahkan catatan pengembaraan tertulis dengan darah sisa peperangan panjang melawan fikiran; kepintaran yang menjajah hati atas ribuan kekecewaan.

“Nafas dan darah yang mengaliri setiap millimeter jalinan tubuh, yang memompakan segenap energi kesetiap penjuru dalam rangkaian rumit urat dan syaraf adalah anugerah tertinggi bagi hidup, otak yang menglirkan warna dalam dimensi bentuk adalah keajaiban yang hanya patut untuk disyukuri, teman baru…” ucapmu membunuh semua gelisah penyesalan, menghentikan letih upaya memunguti serpihan kenangan yang hancur berantakan. Kesombongan menghambur kelantai, belum siap dengan pujian!

Dari letih yang menelikung asa, mimpi tentang utopia mengalir bagai banjir. Satu tempat yang hanya berisi cinta, satu tempat dimana kematian mutlak milik sang alam. Katakan, tunjukkan dimana secuil tanah impian itu berada, dari semilyar tempat yang pernah engkau singgahi meski ia takkan sanggup mencari, setidaknya menyemayamkanya dalam mimpi jadi penghiburan mujarab ketika kegilaan siap dengan kemenangan.

Percakapan sebutir debu jiwa pada teduh berwarna ragu dalam kubus ruang maya menghamburkan ketenteraman tiba tiba. Betapa, utopia itu hadir dalam hati dan jiwa tanpa hukum materi yang angkuh membentengi. Tali temali aturan budaya bumi manusia yang terperangkap ruang bentuk dan gengsi menjadi lumpuh dan mati, ketika hanya nurani dan jalan setapak fikiran menjadi bahasa percakapan. Pada realita, sebutir debu jiwa bukanlah apa apa selain pengembara tanpa harga dan bentuk hakiki…

Terimakasih teman baru, untuk percakapanmu yang menenteramkan hati…

Kost Simatupang, 09 Oktober 2005, 2355hrs.


Sunday, October 09, 2005

Refleksi dari kamar mandi



Jika jiwa adalah samudera maka raga hanyalah biduk kecil tanpa layar ditengahnya. Jika jiwa adalah langit, raga hanyalah sebuah bintang diantara keleluasaanya. Refleksi dari kamar mandi bercerita tentang ketelanjangan diri atas keberadaan jiwa yang sunyi senyap maha luas.

Senyap dan lengang yang menyerbu menghadirkan badai bisu yang mencekam, menggelisahkan. Keyakinan bahwa diri tetap hidup dalam hati orang orang terkasih lelah terombang ambing dalam keraguan sendiri. Angan tertancap dibeton masa, tanpa harapan dan hanya masa lalu yang memilukan. Bahkan musim berjalan tanpa suara dan tanpa rasa. Kekosongan menjadi begitu sempurna dikamar mandi, mengharap sesuatu terjadi, datang dari langit.

Khayal dan pemikiran pun membentur pada langit langit tempurung pengetahuan, dimana hanya ketelanjangan semata yang tertayang. Pertanyaan ragu menikam nikam; benarkah bumi telah kehilangan gravitasi dan kedap segala? Ruang ini, sudahkan hampa udara? Atau barangkali nyawa ini masihkan punya harga?

Semestinya, selama jarum jam tetap berdetak memutar dan siklus perjalanan matahari belum rusak, tentu harapan tetaplah ada, meski buram tak kentara. Membawa diri mengikuti arus takdir tidaklah akan sampai kemana mana kecuali mati. Mati? Betapa indah dan menyedihakan sebuah kematian dalam kehampaan ini. Akankah dibalik kematian ada para bidadari telanjang dan orang orang baik hati penuh ketulusan? Ataukah itu hanya dongeng yang menjadi bingkai nurani?

Dari kamar mandi, ketiadaan hanya melahirkan pertanyaan pertanyaan tanpa jawaban semata…

Kost Simatupang, 08 Oktober 2005

Friday, October 07, 2005

Keadilan Bagi Ketidakadilan

Maka kantor kecil dengan ide besar itupun resah. Empat pendiri dan pemilik perusahaan sebagai direktur divisi masing masing, Operasi, Keuangan, Utama dan Pemasaran. Masing masing berjalan dalam proporsinya selama dua setengah tahun, dan masing masing saling mengandalkan dan mempercayai. Tetapi mereka tampak tegang seminggu belakangan ini. Desas desus beredar bak asap kebakaran hutan setiap musim kemarau di Sumatra dan Kalimantan. Desas desus bahwa direktur operasi kesandung kasus korupsi. Seminggu belakangan memang ruanganya lengang tanpa penghuni. Biasanya dia ada duduk didalamnya, menutup pintu entah apa yang dikerjakanya didalam sana, mungkin chatting di inernet.

Sore tadi pengumuman resmi datang. Semua yang bersangkutan dengan harkat hidup yang berasal dari kantor itu dikumpulkan untuk mendengarkan maklumat penting: He is no longer with us. We respect you and value you personally as the big family of this company. However, we will not tolerate corruption, theft and office politics. We understand that many of you are the good friends of him, and once again we will not tolerate office politics. Tiga perempat orang diruangan setengah tercengang. Sebagian duduk di lajur bangku paling depan, tenang mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir sang pembicara. Hatinya tenang dan senang jauh hari sebelum maklumat dikumandangkan, dia tahu apa sebenarnya kejadian.

Sang direktur operasi menggelapkan uang perusahaan, hasil patungan bersama ketiga teman. Seorang kaya yang bergaya hidup jetset, seorang terpandang dalam status komunitas yang berwatak preman. Bicaranya kasar dan dangkal, tak membersitkan cermin pimpinan. Sisa produk orde baru dengan predikat OBB (Orde Baru Banget) dalam setiap statement yang diucapkan. Kosong melompong tak meyakinkan bagi orang orang yang mengerti tentang hidup dan kehidupan, apalagi peradaban. Sebentar lagi desas desus susulan akan segera berhembus; sang direktur dizalimi oleh teman teman sepermainanya sendiri! Pasti!

Maka keadilan bagi ketidak adilan terjadi hari ini. “Becik ketitik olo ketoro, temen tinemu. Sopo salah bakal seleh” terbukti benar. Protes bisu dari nurani nurani sederhana sudah terjawab oleh alam. Protes dari sebagian yang tahu makna kebusukan hati dan kebobrokan moral yang terukurung dalam langit tempurung birokrasi kapitalisme. Maka feodalisme di dunia kantor itupun tumbang, mati bersama runtuhnya kerajaan kebohongan yang sistematis terbangun selama ini. Para pengkultus sang direktur menggelar rapat rapat dibelakang forum, mengarang kesimpulan tentang kudeta dari hati yang bolong, mempersiapkan sederet nama sebagai kambing hitam legam.

Wajar, bila orang memetik buah karma dari pohon perbuatan yang ditanamnya sendiri, tak peduli siapapun dia. Begitulah Tuhan menciptakan keadilan bagi ketidak adilan dimuka bumi yang makin tua ini…

Kost Simatupang, 6 Oktober 2005

Dunia Kanan dan Dunia Kiri

:crawford

Pada suatu kesempatan di toko buku Gramedia sekitar dua bulan yang lalu, sekilas saya membaca judul buku yang menggoda” Selingkuh; seni bercinta atas kuasa bohong” Whew! Dan saya tidak tertarik samasekali untuk mendekatinya. Dikarenakan teori teori yang terkandung didalamnya pastilah rumusan rumusan basi atas telaah perilaku sosial, dan sedikit saja mengupas tentang bagaimana pokok permasalahanya tenggelam dalam kedalaman kolam emosi. Barangkali begitu. Dan karena saya tidak punya minat untuk mengetahuinya, maka saya biarkan pikiran apriori menguasai, toh gratis malahan!

Seratus persen saya setuju bahwa selingkuh adalah seni bercinta atas kuasa bohong. Bagi siapapun, kata kata ‘bohong’ pastilah mengandung energi pukulan yang lumayan keras di nurani, atau minimal ke hati-lah. Tulisan ini tidak akan mengkritisi buku diatas yang ditulis entah oleh siapa, apalagi menjadi resensi buku itu. Seorang teman laki laki sempat bertualang didunia tersebut dengan dan bagi saya lebih mudah untuk menganalisa dan menyimpulkannya. Begini pandangan pandanganya;

Dibalik setiap jiwa manusia terpenjara sifat kebinatangan, bahkan manusialah sebenarnya binatang yang paling sempurna dimuka bumi. Kemudian jiwa itu sendiri terkurung oleh jasad duniawi secara fisik dan itupun masih dilapisi dengan tatanan peradaban kehidupan sosial sebagai zon politicon. Tatanan itu lebih ampuh yang tidak tertulis bagi bangsa kita, seperti agama, norma, dan tentu adat tradisi. Itulah parameter terakhirnya. Tatanan kehidupan sosial, aturan peradaban. Jelas itu produk budaya hasil dari revolusi jutaan tahun kehidupan umat manusia.

Definisi dunia kanan dan dunia kiri adalah sebenarnya penjabaran dari apa yang disebut perselingkuhan, sebuah seni bercinta atas kuasa bohong seperti judul buku di Gramedia itu. Dunia kanan adalah dunia dimana peradaban dan semua aturan kepantasan diberlakukan. Dunia ini biasanya berisi anak, istri atau suami, keluarga dan investasi social lainya berupa rumah tangga dan tetek bengek yang menyertainya.

Dunia kiri lebih bersifat inklusif, berisikan tentang khayalan khayalan, ilusi bahkan fantasi yang diwujudkan bersama seseorang dalam satu buah hubungan tahu sama tahu yang lebih sering dinamakan Selingkuh (Selingkuh sering diistilahkan dengan SLI – Selingkuh Itu Indah- adalah sebuah perhubungan khusus dengan seseorang lain jenis yang disembunyikan rapi dibalik tembok dunia kiri. Batasanya seperti apa, tidak ada literatur manapun yang bisa dijadikan acuan lantaran dunia kiri mengikuti kebebesan alam fikiran ibaratkan sebutir debu dilangit biru, bebas mengembara, bebas menentukan rasa, bebas menentukan pembatas bagi dunianya sendiri. Pada umumnya, dunia bathin yang bebas tidak mengenal batasan, apakah itu hanya sekerar bed relationship atau lebih dalam lagi dengan melibatkan perasaan. Teman saya itu pernah juga mengalami dimana pasangan dunia kiranya terlalu tenggelam dengan perasaan melangkolis; jatuh cinta dan berencana meng'kanan'kan dunia kiri itu no matter what it takes!! Yang didapatkan si istri orang ini jelas: ketahuan suaminya, diceraikan dan ditinggalkan sama pasangan dunia kirinya karena tidak bisa konsisten dengan komitmen dunia kiri dan kanan. Akhirnya si eks istri orang itu hidup dalam ketidak menentuan, melacur di kafe kafe menggabungkan dunia kiri dan kanan tanpa batasan. Itu mengenaskan menurut saya.

Dunia kanan dan dunia kiri dibatasi oleh tembok kokoh bernama nurani. Dunia kiri hidup dalam kebun rahasia tiap tiap manusia, sedangkan dunia kanan mengemban segala macam batasan kewajiban hukum, peradaban, ikatan komunitas. Antara dunia kanan dan dunia kira sebenarnya adalah kutub kontradiktif, dimana masing masing dunia itu memiliki perwatakan dan sifat yang saling me-latenkan, saling mewaspadai, saling menakuti, dan saling mengiri.

Pecahnya tembok pembatas antara dua dinia itu bisa menyebabkan banjir bandang segala macam, mulai dari rasa malu, rasa tidak terhoramti, rasa tidak terbutuhkan, rasa terhina, rasa terkhianati, rasa terdzalimi, atau ribuan rasa negatif lainya yang bisa menghancurkan. Dunia kiri adalah laten bagi dunia kanan, dan yang paling parah dari akibat kemenangan dunia kiri adalah; perceraian.

Dunia kiri jauh lebih menarik karena faktor kerahasiaanya, petualangan bathin atas mengalami sesuatu yang baru bersama lawan jenis yang bukan pasangan hidup, sebuah tantangan yang berbahaya dan gairah yang membuncah karena magnit lawan jenis. Dunia kiri yang sempurna mengenal batasan batasan yang sangat ekstrim, serperti dilarang bersms atau menelpon ketika berada dilain dunia, dsb. Sekaligus memiliki ketidak terbatasan dalam pelaksanaanya, fikiran dan kemampuan berfantasilah ukuranya.

Apapun definisi dan kedahsyatan petualangan yang terjadi, tetap saja disimpulakan bahwa dunia kiri adalah produk seni bercinta atas kuasa bohong…nista namun nikmat! Penyakit umat manusia sejak zaman Adam dan Hawa...


TB Simatupang, 6 Oktober 2005

Thursday, October 06, 2005

Revolusi Cinta

Ketika seseorang memutuskan untuk menikahi lawan jenisnya, alasan universalnya adalah karena cinta. Lalu membentuk sebuah lembaga pribadi bernama rumah tangga, sebagai investasi sosial. Ketika rumah tangga mengikat cinta, maka terminologi cinta berubah pula menjadi ikatan kewajiban, ikatan tanggung jawab dan ikatan hukum yang melekat kepada negara, masyarakat dan pasangan. Ikatan ikatan itu terkadang menjadi kabur dan menjelma menjadi sebuah ikatan yang tak telindungi hukum materi; ikatan emosional. Keruwetan konstruksi rumah tangga itu bisa saja disederhanakan dengan begini; menikah adalah memilih seseorang untuk saling mengikat dalam setiap aspek sosial maupun personal, dengan landasan kerelaan terlibat secara emosional berdasarkan cinta kasih.

Dan ketika dua individu itu disatukan atas dasar keinginan maka terbangunlah mimpi dan harapan. Dunia memang selamanya tidak berubah, tetapi manusialah sesungguhnya yang berubah. Waktu terkadang memberi ajaran tentang betapa tidak ada apapun yang akan abadi dikolong langit ini. Cinta, sang modal investasi sosialpun kadang tergerus dan berubah bentuk seiring perjalanan zaman. Degradasi cinta membuat segala ikatan itu menjadi sumir, tak bermaka apa apa kecuali sederet kewajiban. Karena cinta adalah energi jiwa mencari pelepasan dan penampungan, maka bentuk cinta yang telah melorot maknanya itupun kelayapan mencari ‘rumah’nya yang ideal. Pengembaraan energi cinta ini melawan arus moralitas nurani dan memberikan kuasa bohong kepada hati untuk terus mencari dan menari wahana ekspresi; satu individu baru.

Maka investasi sosial itu menjadi bangkrut kehilangan esensinya. Hanya sebatas status suami istri belaka, itupun telah berada diujung tebing menunggu hari baik datang dimana angin mendorong masuk kejurang kehancuran. Masing masing pemegang saham dalam lembaga cinta itu sekian lamanya mengubur hak pribadi mereka, selamannya mematikan fantasi fantasi pribadi mereka dan berpura pura menjadi suami dan istri agar sang lembaga cinta tetap bernafas. Tali tali yang mengikatnyapun telah lapuk oleh penghianatan atas nurani maupun harga diri individu dan perlahan menyebabkan simpul simpul ikatan itu mengendur dan siap untuk luruh menjadi debu.

Ketika itu terjadi, maka jelaslah bahwa kehancuran sudah lengkap menjulang didepan mata, maka yang dibutuhkan tinggal revolusi cinta. Dengan rela meski berat melepaskan semua ikatan membawa semua bekal pengalaman untuk perjalanan lain lagi. Perceraian adalah revolsi cinta yang paling ekstrim, hingga yang tersisa hanya rasa bahwa kita tidak pernah merasa memiliki apapun sampai kita kehilangan sesuatu. Runtuhnya sebuah lembaga cinta adalah kehilangan investasi sosial karena cinta yang bangkrut. Ikatan emosi telah meredupkan nyala terang sang rasionalitas yang seharusnya menjadi panel sentral sebuah revolusi. Pada giliranya rasionalitas akan menjadi tembok kokoh pelindung diri dari kesedihan yang berkepanjangan, dari derita yang berkelanjutan. Ketika rasionalitas menjadi raja atas intuisi, maka cinta hanya sekedar dua hati yang berdiri tertanam dikutub berlawanan, kehilangan energi magnetik yang mengikat dalam eksistensi lembaga cinta dalam percturan peradaban.

Dimana mana revolusi membutuhkan darah sebagai tumbalnya, meninggalkan perih sebagai catatanya, maka bijaklah mereka yang memilih pasangan hidup dari golongan orang dimana merka tidak bisa hidup tanpanya.

Kost Simatupang, 5 Oktober 2005

Wednesday, October 05, 2005

Setelah Bali Meledak Lagi


Senja lepas dari mayapada. Dari tepi pantai Kuta, matahari baru saja lindap dibalik garis horizontal yang menyisakan bias merah menggelap diangkuti ombak yang lantas mendamparkanya ditepian, amblas dihisap pasir putih sepanjang bibir samudera. Diatas pasir, ditepi pantai dan dibawah langit meja meja kayu telah rapi ditata, orang orang enggan melepas matahari keperaduan, menatapi ujung barat yang tinggal pekat. Lazuardi bening. Sabtu malam baru mulai, eksotisme Bali membuncah pada atmosphere yang tecipta disetiap sudut kota. Lalulintas jalan seminyak begitu bersemarak menyambut datangnya malam minggu pada tanggal muda 1 Oktober 2005. Tak ada duka yang tersembunyi dari ribuan kepala dan hati yang berkelana disetiap ruang sepanjang jangkauan sinar lampu. Kemesuman membisik malu malu pada malam yang belia. Dewata sedang bercengkerama dengan semua penghuni kehidupan disana, diberkati setiap tawa yang meledak dari mana mananya.

1942WITA, sebuah gelegar dahsyat terdengar dari Raja’s café. Menit berikutnya dua ledakan serupa membahana dari pantai Jimbaran* ketika orang bercengkerama bersama kekasih hidup mereka dibawah langit, diatas pasir, ditepi samudera kafe Manage dan kafe Nyoman. Ledakan itu menjadi titik kulminasi yang membalikkan kisah dari hitam ke putih, memberangus romantisme kehidupan yang berlaku, mengubah ketenteraman menjadi malapetaka. Detik berikutnya kepanikan merajalela. Manusia, kendaraan dan segala jenis kekacauan bebas menghambur dijalan jalan dan dimanapun. Suara klakson mengiringi jeritan dan teriakan, disusul lengking berpuluh ambulans menambah resah. Hati hati yang ceria berubah menjadi gelap gulita. Dewata entah ada dimana, mengilang seketikan dari dalam hati dan kepala. Asap pekat membumbung, segala keteraturan berhamburan acak tak tentuan. Sebuah aksi terror baru saja sukses dilaksanakan!! Sebuah tindakan dengan tujuan untuk melahirkan efek takut dan terancam; terorisme.

27 orang berubah menjadi mayat; tewas dengan tubuh compang camping, sedangkan 129 lainya harus dirawat masuk IGD rumah sakit karena luka yang kebanyakan karena terbakar dan cedera tulang. Korban tidak dipilih berdasarkan kriteria dosa dan kebejatan ahlaknya, tetapi random berdasarkan peruntungan hari naas masing masing, dari bocah, manula, remaja, dewasa bahkan binatang sekalipun menjadi korban - meskipun tidak masuk dalam hitungan angka statistik ‘death toll’ resmi - . Polisi kita dengan detasemen 88 antiteror andalanya cekatan bertindak. Dua hari setelah kejadian polisi menyimpulkan; modus operandi: suicide bombing. Pelaku: tiga orang pria, tinggal kepala doang. Identitasnya, dalam proses penyidikan.

Dunia mengecam aksi kriminal sadis ini. Bahkan semua orang yang msih punya nurani menghujat tiga butir kepala si pelaku peledakan. Sikap kelompok pelaku yang banci membisu tak berani mengklaim sebagai fihak yang bertanggung jawab membuat banyak fihak dan banyak orang menyampaikan analisa, terkumpul menjadi teori berdasarkan penguasaan materi dibumbui dengan asumsi teknis. Dari banyak ‘narasumber’ sukarela itu ditarik garis garis besar sebagai berikut; pelakunya dicurigai adalah kelompok islam radikal Jamaah Islamiyah. Motifnya, bisa memang terror murni anti Amerika dan Australia yang memanfaatkan kealpaan popularitas Bali sebagai media atau serangan terhadap sistem demokrasi Indonesia yang menghisap Bali habis habisan atau “SMS” kepada dunia bahwa institusi keamanan di Indonesia loyo atau pukulan terhadap arogansi Bali yang notabene mayoritas Hindu karena issue tuntutan otonomi khusus bahkan ada yang dengan sinis menyimpulkan aksi itu adalah gaya mengalihkan perhatian orang terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang mencekik leher dan mengeksploitasi keberadaan keluarga miskin.

Teori teori diatas menjadi tidak penting ketika fakta menunjukkan bahwa tigaperempat lebih korban ledakan adalah orang Indonesia sendiri dan 100% adalah tidak mengerti seluk beluk misi terorisme (kecuali ketiga korban yang hanya tinggal kepala, tentu). Obyek yang diserangpun bukan lagi gedung, bangunan ataupun instalasi vital milik negara lain, tapi tempat umum yang biasa dipakai untuk rendezvous, kongkow kongkow.

Dalam pemahamanku, aksi brutal itu tetaplah perbuatan diluar batas ukuran orang bermental sehat, bodoh dan destruktif. Siapapun pelakunya adalah manusia yang sangat patut dikasihani karena kemelaratan nuraninya. Atau lebih patut diterapi karena kesesatan jiwanya. Ada pribadi invalid telah menebarkan virus budi pekerti kepada orang orang bodoh yang bisa didoktrin untuk menjadi monster dengan iming iming surga berlabel agama yaitu dengan melilitkan bahan peledak sejenis Trinitrotoluena (TNT) dengan imbalan perjalanan aman menuju surga. Menurutku sistem pengajaran akidah di negeri tercinta ini masih bersifat konservatif dimana agama dijejalkan diotak sebagai ideologi akal dan Tuhan diperkenalkan sebagai ‘algojo’. Seyogianya agama diperkenalkan sebagai sebuah ideologi nurani sebagai dasar dan patokan berperilaku sedangkan Tuhan adalah sang causa prima, pengawal nurani setiap jiwa. Dalam sejarahnya, agama timbul sebagai reaksi korektif dari kemerosotan budi pekerti pada suatu kaum. Ajaran dasarnya universal, yaitu cinta kasih kepada semua mahluk. Cinta kasih adalah sumber dan akar dari budi pekerti yang seyogianya menjadi dasar dari sikap hidup penuh harmoni. Perkembanganya, agama menjadi tunggangan bagi segelintir orang ambisius dengan pemahaman yang keliru untuk mengkampanyekan agenda individualistik terselubung dalam kamuflase agama.
Type orang seperti itu aku namai saja; Bajingan!


Kost Simatupang, 04 Oktober 2005



* Pantai Jimbaran: dimana pada sebuah sore November 1992 aku dengan ceria memunguti puluhan ikan layang layang yang terdampar, mabok oleh angin pancaroba dan perubahan suhu di samudera Hindia. Kubawa pulang ke gubukku dan berpesta bersama Blackie, anjing kecil hitamku yang mati tertabrak mobil dua bulan kemudian di depan Santa Fe bar and grill Jl, Dhyana Pura 11A, Seminyak – Kuta.


.





MARHABAN YA RAMADHAN



Besok Ramadhan datang lagi. Ritual puasa sebulan penuh dimulai. Hari ini demonstran menolak kenaikan harga bahan bakar minyak masih meramaikan jalan jalan protokol Jakarta. Dua ribuan massa bergerombol dan membuang engergi sekaligus mengganggu pengguna jalan di seputaran HI dan dekat RSCM. Dari mushola samping kostku suara orang bertadarus mendayu dayu lewat corong loudspeaker. Entah surah apa yang dibacanya, entah apa pula maknanya.

Dikantor, sore tadi menjelang pulang orang bersalam salaman, meminta maaf dan mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa. Harmonisasi komunitas ataukah bagian dari ritual Ramadhan, tak perlu dipertanyakan karena memang bagus demikian diadakan, meninggikan rasa kehormatan dan penghargaan terhadap satu kepercayaan bathin, tuntunan perilaku dan mungkin sebagian orang lagi adalah komunikasi vertikal antara mahluk dan sang Khalik.

Ramadhan tahun ini berangkat dengan bobot yang sedang sedang saja dalam ukuran pendalaman kebatinan pribadi. Puasa, yang pada hakekatnya adalah pengendalian diri lebih merupakan momentum rutin yang tercetak baku dalam konsepsi masa. Seperti tahun kemarin, seperti tahun yang akan datang, Ramadhan akan datang. Nilai “kesucian” seperti yang dikampanyekan ahli dakwah belum datang menyentuh kedasar sanubari yang bisa meluruhkan segala jenis kegersangan dalam jiwa. Aku menunggu hidayah, sebab hanya bisa menunggunya.

Selamat datang Ramadhan. Selamat datang bulan suci, aku menyambut dengan ucapan. Melewatinya dan menjadi catatan yang tak teramalkan. Tetap, duapuluh empat jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu berjalan, meski bulan suci Ramadhan datang, hingga tiba hari lebaran….bulan depan.
Setidaknya, abab kita bau wangi bunga kesturi kata Mami Sita…kejadian langka, bukan?!

MARHABAN YA RAMADHAN….SELAMAT DATANG BULAN PENUH BERKAH DAN KESEMPATAN….


Simatupang, 4 Oktober 2005.