Tuesday, February 27, 2007

Beling Segitiga

Sebuah hubungan saudara, ketika pecah maka tak ubahnya ia menjadi beling yang menyelip diantara fikiran. Setiap sisinya mengandung ketajaman yang menjanjikan keperihan jika terjadi gesekan maupun tersentuh dengan sengaja maupun tidak. Tidak jarang kemudian menimbulkan luka yang melama, meradang dan terasa perih setiap kali terjadi gerakan. Padahal saudara, selama hayat masih dikandung badan, manusia akan terus bergerak, paling tidak ada detak darah mengalir. Dan selama fikiran belum mati, selama itu pula sang beling yang menyelip akan terus menggesek gesekkan ketajamanya, menebarkan keperihanya ke seluruh sendi kehidupan.

Konon sebuah perhubungan (relationship) yang sehat adalah ketika fihak fihak yang terlibat didalamnya menemukan kemerdekaanya, kebebasanya untuk mengekspresikan individu sendiri, menjadi diri sendiri. Disaat itulah kemudian disimpulkan bahwa interaksi yang dibuat menimbulkan dampak bahagia, nilai positif bagi berlakunya kehidupan sosial. Hubungan yang sehat pada giliranya akan memberikan inspirasi tentang tenggang rasa, tentang cara kita menilai orang lain dan memperlakukanya sesuai kaidah baku. Pada saat seperti itu tentu sang beling berada jauh di tempat yang tidak teraba, sebab si perhubungan tengah menjadi selembar kaca indah yang menyembunyikan kerapuhanya dibalik bentuk yang terasa.

Sebuah perbedaan maupun sebuah persamaan bisa saja menjadi awal muasal terbentuknya hubungan. Interaksi awal ini mengumpulkan data data tentang individu lain yang diinventarisir dalam penilaian pribadi masing masing. Waktu akan memeramnya menjadi sesuatu yang berbeda bentuk nantinya jika memang masing masing individu menemukan slot masing masing untuk saling membaur. Orang yang samasekali tidak kita kenal terkadang tanpa sadar suatu saat terasa sangat dekat melebihi saudara dalam silsilah. Sebuah hubungan yang berlandaskan ketulusan dan kesahajaan tentu akan jauh lebih bermutu dan bertahan lama daripada hubungan yang memiliki maksud sesuatu, atas nama kepentingan sesuatu.

Saudara, terkadang banyak dari kita tertipu dengan penampilan luar saja dan terburu buru membuat simpul mati dari apa yang terlihat di mata. Padahal saudara, nilai seorang manusia justru diukur dari apa yang tidak terlihat mata, dari caranya memperlakukan orang lain, caranya memandang segala sesuatunya orang lain terhadap diri sendiri, dan yang tidak kalah penting adalah dari kesanggupanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Penampilan fisik terkadang menjadi racun bagi kemungkinan kita melihat yang tidak terlihat tersebut.

Perhubungan sekali lagi adalah jalinan kokoh yang berbahan rapuh, yang hanya dalam hitungan detik saja bisa pecah berkeping keping, ambyar jadi beling dan tak bisa lagi utuh seperti sedia kala. Ataupun jika tersambung kembali meninggalkan kecacatan yang tidak bisa lagi diingkari. Jika sebuah hubungan berakhir dengan perpecahan, maka yang terluka adalah hati, dan si beling akan tetap tinggal didalamnya menjadi penggerogot bagi kesejatian hidup. Akibatnya cacat mental maupun luka fikiran yang menagbadi. Meninggalkan jejak tak sedap sesisa hayat dikandungan badan…

Orang ketiga, adalah bentuk paling perkasa untuk menciptakan kehancuran itu, dan jika kehancuran itu tiba maka tak ubahnya sebuah beling berbentuk segitiga dengan ketajaman seribu kali dari tajamnya mata pedang samurai buatan Hattori Hanzo…

Nutricia, sebuah perenungan tentang relationship 070227

Monday, February 26, 2007

Lelaki di Goa Batu

Di dalam gelap goa batu lelaki itu menyembunyikan tubuhnya. Luka lukanya perlahan mengering, tetapi tidak hatinya. Pikirannya berputar putar bagaikan puting beliung yang liar mencari apapun yang ditemukan untuk diterbangkan lalu di hempaskan. Kemarahan menjadi sesutu yang terasa dalam gelap dan dingin goa batunya.

Satu kala ia pijak hatinya sendiri yang memberontak atas ketidak seharusan yang diterimanya. Memaksakan berkwintal kwintal pasir beling tertelan sebagai perlambang sebuah nilai kelaki lakianya. Perih yang meradang dikeluhkan hanya kepada angin dan sisa embun, dada yang terbakar dibaluri dengan telapak tangannya yang gemetaran, menunggu waktu menjadi tua, menunggu arloji kehilangan pegasnya. Menunggu kesadaran akan datangkan kekuatan baru setelah ribuan tahun dalam belenggu lara.

Tetapi betapa sia sianya segala daya upaya yang melelahkan. Ia berjuang melawan malam yang mengurung bersama jutaan iblis yang menginjak injaknya. Kelelahan, kesakitan dan terluka, ia bertahan hanya dengan nafas yang tersisa. Kezaliman memang ada dan menjadi praktek di kehidupan nyata, si lelaki tak mau jua kehilangan nama. Maka ia putuskan untuk berhenti, lalu dengan kekuatan labil yang dimilikinya, diamputasinya lorong hati yang berisi beling beling masa lalu, dengan tanganya sendiri dan dengan rasa yang ditanggungkanya sendiri.

Sirnalah sebongkah hati miliknya, sirna juga ribuan rasa yang terkandung didalamnya. Pintu goa yang terbuka seperti pintu hatinya yang bebas dilalui siapa saja, bagi orang orang yang sekedar menengok, meludahi bahkan sebagian mengambil manfaat atas keterkaparanya. Orang boleh datang, menganiayanya berulang ulang, dan ia hanya terkapar menunggu kesadaran. Sampai sutu subuh angin mengabarkan kematian bagi harapan yang ia sangkakan sebagai ruh dari nafasnya sendiri. Perlahan ia bangkit dari gelapnya, meraba batu lumutan dinding goa, dingin semata. Kakinya yang rapuh diseret ke pintu goa, pembatas nyata dari dua keadaan yang berbeda. Alam raya terang benderang diluar sana ditatapnya untuk barangkali yang terakhir kali. Sepi. Tidak ada yang datang berlari menghampiri.

Lalu ia putuskan untuk membuang kunci pintu goanya sendiri, ke dasar tebing dimana lautan luas menganga. Lalu ditutupnya pintu batu itu, dikunci dan tak diharapkan akan terbuka lagi. Sejak itu ia jalani hidupnya dalam beku goa batu, bersama hati yang perlahan mati dan membeku menjadi batu dan kelak tinggal sebagai fosil masa lalu. Dalam gelap goa ia hidup dalam alam fikiranya sendiri, antara kenangan dan penyesalan yang datang silih berganti. Dalam gelap goa batu ia temukan terang jalanya menuju pulang kepada diri sendiri. Tak ada musuh tak jua kawan disamping badan dan ia hanya menjalani hari harinya tanpa beban berlebihan lagi. Dunia jahiliyah tak lagi terjadi di dunia goanya, di alam fikiranya kini.

Lelaki itu, menjadi pertapa dengan nuraninya sendiri sebagai muridnya…ia menutup hatinya sendiri dari janji janji…
(Dan di luar goa batunya, ia tinggal nama sebagai lelaki kejam tak punya hati...)


Nutricia, 070226

Saturday, February 24, 2007

Matahari

Matahari adalah mata sang hari, indra penglihatan bagi berjalannya sebuah hari yang dimulai dari pagi, siang lalu sore dan berakhir ketika senja membayang. Sinar lembayung di tepi barat mengisyaratkan selesainya tugas sang mata hari satu pada satu siklus waktu. Dua belas jam kira kira.

Maka kerja sang mata hari bukan sekedar menyinari, tatap juga menaburkan kehidupan kepada yang termasuk sebagai mahluk hidup di muka bumi. Ia juga menguak kegelapan dan hal hal tersembunyi, memberikan sinar kepada fikiran setiap mahluk yang dikarunii otak dan akal budi untuk berencana dalam terangnya, menyambung hidup demi sejarah masing masing.

Jika langit dipenuhi mendung kelam sekalipun, jika tak terpancar hangat sinarnya sekalipun bukanlah berarti sang mata hari tidak menjalankan tugasnya. Dia berjalan sesuai kodratnya, tidak lebih dan tidak juga kurang. Tugasnya adalah menumbuhkan dan menerangi, menghidupkan dan jika diperlukan kadang mematikan sembarang yang hidup dihadapanya.

Cerita kedatanganya selalu bermula dari sejuknya fajar, dengan sinar hingar bingar yang menguak kepekatan sang malam. Seisi bumi diserah terimakan antara embun sebagai sisa pesta alam malam dan matahari sang penguasa baru sekira dua belas jam kedepan. Di tepi bumi bagian timur sang embun di pucuk daun dan sang matahari yang menggantung diantara langit dan awan gemawan berkecupan, berpapasan unguk kemudian saling pergi menjauhkan diri, lalu tenggelam dalam tugas dan perjalananya masing masing. Sang embun menjelma menjadi setetes air yang lesap dihisap sang matahari, diterbangkan diantara miliaran molekul di angkasa untuk dikembalikan ke pucuk daun lagi dalam daur waktu yang berbeda. Sedangkan sang matahari gagah melangkahi bumi, memancar memberi arah dan sekaligus nyawa bagi mahluk mati.

Maka saudara, kita mengira jarak terdekat ubun ubun kepala kita dengan mata sang hari adalah ketika kita berdiri diatas bayangan kita sendiri. Disaat seperti itu maka diri merasa ditelanjangi sebab tak ada yang patut untuk disembunyikan. Mata hari meminta peluh dan uap tubuh kita sebagai bukti keberadaan dan sebagai imbalanya diberikan kita kebijakan untuk melanjuti hari tidak dalam kegelapan. Sumpah serapah dan caci maki tak lagi menjadi istimewa sebab dia hanya menjalankan tugasnya yang sahaja; tidak untuk memanggang hanya menghangatkan.

Merangkak mengikuti jarum arloji, sang mata hari perlahan menepi ke barat daya, dimana diujung pandangan ia akan terbang dan lalu terbenam tenang. Kita diberikan kesempatan untuk menata diri sebelum gelap datang, dengan sinarnya yang perlahan berkurang sengangarnya, agar kita tak salah jalan menentukan arah pulang. Lalu sempurnalah tugas seharian, ditinggalkan bumi menjadi mangsa sang malam, berbalut gelap dan dikerubuti kehidupan rahasia. Jutaan bola lampu (bolam bukan bohlam –red) mencoba mengingkari gelap yang mengurung, dan bumi menjadi terkotak kotak dalam cahaya tak sempurna. Dan kehiduapan malam berjalan dalam bisunya, dalam rahasianya, dimana iblis mengadakan pesta dimana mana. Lembab jejak matahari mengundang embun turun dari langit yang terkurung, lalu luruh di atap atap rumah batu dimana segala plakethik disembunyikan dan direncanakan. Sebagian terdampar di dahan pohon dan bermesraan dengan ulat ulat kayu yang sebentar lagi akan bermetamorfosa menjadi kupu kupu, mencoba menggapai tempat dimana sang mata hari bersinggasana di langit tak bertuan.

…lalu saudara, kehidupan akan terus bergulir siang dan malam berganti gantian. Seperti halnya matahari dan embun yang akan bersetubuh di fajar hari suatu saat nanti, entah kapan yang pasti akan terjadi lagi….

(untuk embun yang memanggilku matahari…I am not that good, mbun…)

Nutricia, 070224

Wednesday, February 21, 2007

Melukis langit

Suatu pagi yang tidak begitu cerah, langkah yang goyah membawa fikiran gundah menjauh dari satu titik keberadaan, melewati tikungan dan belokan, tanjakan dan turunan bersama ratusan orang lainya yang entah mau kemana atau dari mana. Sebagian berpasang pasangan, diatas kendaraan mereka masing masing. Sepeda motor, mobil dan sedikit lagi berjalan kaki. Keramaian dunia dimulai lagi pagi ini.

Sisa embun terlupakan di dahan pohon mangga, seperti memang tidak pernah ada yang memperhatikan samasekali kehadiranya. Sebentar lagi matahari muncul, menyeruak diantara sekumpulan mendung kelabu yang menggantung di awang awang. Lalu apa? Harapan! Ya harapan bahwa hari ini sesuatu yang berwarna akan mengisi kalbu kita, akan mengisi fikiran kita dengan semangat dan kebanggaan atas eksistensi diri.

Ternyata gerimis yang datang menaburi dunia, membawa kesan muram yang membalut keindahanya. Ia datang membawa pesan tentang satu hari mendatang yang akan berjalan biasa biasa saja, seperti kemarin kemarin, seperti berabad abad silam. Sapa dari kejauhan dan ucapan selamat pagi dari seberang lauatanpun tak menggantikan kemurungan pagi, meraba raba apa yang hendak diperbuat dan apa yang akan terjadi sepanjang hari nanti.

Langkah yang tercetak di tanah berlumpur tempo hari perlahan pudar coraknya, berganti dengan genangan kenangan yang mengaburkan optimisme diri. Sederet angka dan setumpuk kewajiban siap berjibaku dalam diamnya, dalam penghayatan yang kekal. Kontradiksi demi kontradiksi terjadi dan orang orang terpelanting oleh kebingunganya sendiri menterjemahkan arti hidup yang tengah dijalani, sebagian lagi tertancap di tiang kebekuan tak hilang tak jua pergi.

Mimpi semalam terbawa ke ruang kerja, berbaur dalam rumit tanda tangan yang harus dibubuhkan bersama isi perut yang melilit, menyatu dalam syaraf di otak yang serasa terjepit perih. Kalendar di dinding membatu tak mengisyaratkan apa apa, demikian juga riuh para pekerja yang seolah tak memiliki dunia, kehilangan ruang privacynya. Batu batu dongkal kepribadian menghalangi pandangan, menggempurnya menjadikan kelelahan. Sebagian telah tercabut dari cadas tancapan, sebagian lagi masih mencoba coba mengukur kekuatan sang mental diri.

Melukis langit dikala pagi tak begitu cerah adalah meraba jawaban atas terkaan kabur, tentang apa yang mungkin akan terjadi seharian penuh nanti. Dilangit, tergambar kecemasan dan kebosanan, keinginan untuk pergi berlari jauh .…

Nutricia ketika gerimis menyapa 070221

Monday, February 19, 2007

Permaafan

Seorang biasa pernah dengan bijak menyampaikan kata ini :” Seberapapun kesalahan yang dia buat, tidak menghalangi saya untuk tetap mencintainya. Jika saya marah atas perbuatanya, saya takut nanti justru amarah itu akan menyeret saya ke arah sikap yang salah dalam menyikapi kesalahanya”. Padahal lelaki yang belum terlalu tua itu baru saja kehilangan 3 orang anak kandungnya yang tewas dibunuh oleh ibunya sendiri yang notabene adalah istri yang dinikaihnya dulu karena cinta. Demikianlah maka ia telah betul betul berkomitmen terhadap cintanya kepada istri. Ketika sang istri oleh pengadilan dibebaskan karean mengalami gangguan jiwa berat, sang suami dengan tabah hati harus menerima semuanya dengan ikhlas bahkan semasa persidangan sekalipun suami luar biasa ini tetap setia mendampingi istrinya, pembunuh tiga anak kandungnya.

Tidak banyak yang diharap dari sang suami, kecuali agar supaya istrinya kembali menjadi wanita normal dengan pemikiran yang normal. Ketidak normalan cara berfikir telah menyebabkan anak anak titipan Illahi harus berujung di liang lahat pada usia yang masih sangat muda.

Ketauladanan si suami ini menjadi godam pemukul hati ketika kita begitu sibuk menghitung dan mendokumentasikan kesalahan orang lain dan sakit hati yang ditimbulkan oleh orang lain terhadap kita. Kebesaran hati dan kekuatan jiwanya telah membawa pandangan jernih dalam situasi yang samasekali tidak terbayangkan dalam emosional yang normal. Air mata yang masih terus mengalir tak menghalangi niat maupun pandanganya bahwa maaf harus diberikan mutlak kepada siapapun yang bersalah dan harus dengan ikhlas diberikan agar tidak mengaburkan pandangan ke arah yang lebih salah dari kesalahan pertama.

Bagi kebanyakan orang memaafkan adalah hal sulit dalam hidup. Melihat apa yang kita kerjakan bertahun tahun hanya berakhir dengan penghinaan, atau melihat perbuatan kesengajaan terhadap sikap baik kita, tentu akan menimbulkan luka mengaanga di dalah hati. Jadi teringat tentang sebuah paku dan kayu, jika kesalahan itu diibaratkan paku, maka hati manusia ibaratnya adalah sang kayu. Bisa saja dipaku, kemudian dicabut, tapi tetap saja meninggalkan bekas luka. Demikian juga manusia, sekali berbuat salah, dan seberapapun permohonan maaf yang disampaikan, tetap saja didalam hati tersimpan bekas luka.

Tapi sang suami yang tertulis diatas tentu beda dari kebanyakan dari kita karena dia termasuk satu dari sedikit manusia luar biasa dimuka bumi ini…


Nutricia, 070217

Thursday, February 08, 2007

Sejarah


...
from the third floor, watching the busy street with you in mind.
Wondering how could I let this feeling go?
Whom will I tell if the rain pours down?
Whom will I send the picture of red sky?
What do we tell the hearts then?
….

Sebait kata kata cantik itu meruntuhkan bangunan dinding hati yang baru saja berdiri, menunggu proses kering agar kuat seperti karang.

Sebait kata itu seperti merebut simpul hati yang sudah terkendali dalam kekang.
Kembali hati mempertanyakan jawaban jawabanya, menggagapi masa masa depan yang tanpa bayangan.

(sebuah percakapan dengan malaikat hati ketika logika menggoda goda, Cubicle 060109)

Monday, February 05, 2007

Larva di kepompong jiwa

Sebuah sentuhan yang awalnya sederhana ternyata bisa menyuntikkan jutaan larva, menyelip diantara lipatan bangkai waktu dan terus tumbuh hidup diantara badai dan gelisah, antara sedih dan amarah. Larva larva iblis yang masih bayi dan lembek seolah benda mati yang tak akan memberikan dampak apa apa bagi masa depan. Kegagahan diri tampak sebagai tameng yang menghalangi apapun untuk datang menerjang, menyombongkan diri atas kekuatan hati yang dipaksakan, berharap diberi seutas medali penghargaan.

Dan saudara, catatan masa adalah proses metamorfosa yang sebenarnya. Menyimpan kekokohnya dalam bungkus keseharian yang sempurna, dan merasakan bayi bayi iblis perlahan lahan menggerogoti sampai ke setiap sudut yang tersembunyi sekalipun dalam nurani. Membusuk dan rapuh, hingga bolong bolong dinding pertahanan emosi, tertinggal sejuta lobang tempat iblis dewasa datang dan pergi sesuka hatinya. Tak ada lagi larva, tak ada lagi cita cita yang dikandungkan si kepompong, hanya tinggal bangkai tak bernyawa penghias ranting di belantara dunia.

Lantas kemana perginya jutaan larva iblis itu, saudara? Mereka telah menjadi iblis dewasa yang mentransformasikan kehidupan dalam warna amarah dan kesedihan. Mereka terbang berhamburang menempati setiap sudut pandang dunia fana, dan menjadi klilip bagi mata yang memandangnya, slilit bagi fikiran yang mengandungkannya. Iblis iblis menjadi algojo penyiksa yang datang sesuka hati, kapan saja dari subuh hingga subuh berikutnya. Hati yang semata wayang menjadi compang camping kehilangan bentuk, dicabik dan ditindasnya tanpa perikemusiaan. Seranganya tak mematikan hanya melumpuhkan segala syaraf rasa.

Tak ada lagi yang bisa diberontak sebab semua berjalan hanya mengikuti siklus waktu yang bermetamorfosa pelan pelan dan tanpa akses kesalahan, kecuali diri yang terus menyesali karena dibiarkan sebuah sentuhan sederhana terjadi dahulu kala di suatu hari. Menganggap kekuatan hati boleh menampung beban apapun yang bakalan datang, apalagi hanya segerombol belatung lembek di telapak kaki. Siapa menyangka jika akhirnya sang belatung berubah menjadi sekelompok monster yang meremukkan segenap kesejatian diri?

Nutricia, ketika hujan tak jua reda, ketika amarah tak jua sirna 0701201