Friday, March 30, 2007

Moksa

(mantra jingga embun dan matahari)
kepada: Liu Huang Fei


Langit biru muda. Luas tak bertemu batas hampa membahana. Ketenangan yang suwung tanpa kejadian tanpa catatan dan menghilangkan kemungkinan masadepan. Kita menjadi gumpal awan itu, putih mengambang perlahan, berjalan tanpa kaki, tanpa mata dan tanpa rasa. Langit ini begitu bebas menjadi tempat kita berenang dalam gelembung perbedaan yang saling bersentuhan. Damai yang membuncah menyaru antara perih yang mencacah, diantara kecemasan yang mengikuti dibawah permukaan arus udara. Kehilangan perbedaan nuansa.

Hening tenang lindap segala suara dan gerak, hanya sayap fikiran mengepak lembut menjelajahi kedalaman sonyaruri. Ah, bahkan dimensi waktupun tak lagi punya jeda dilautan langit tanpa kesunyian maupun kegaduhan ini. Kesejukan menjelajahi pori pori menterjemahkannya menjadi lukisan bunga dipelupuk mata. Medan ini terlalu luas, kokoh dan indah untuk bisa ditembus iblis. Terlalu tinggi hingga hanya berisi dewa dewi yang menyingkir menyilakan kita ada.

Rintik gerimis hangat menyaput wajah, senyummu mengembang dengan tangan erat di gandengan. Di matamu yang bening pelangi membayang menampakkan tetarian Gambyong para bidadari. Hidup begitu luas hingga tak tersisa tempat bagi kekhawatiran masa depan, juga tak punya ruang bagi kekecutan masalalu. Kita hanyut dalam irama syahdunya dan rembulan layu tersipu ditengah hari melumuri batang tubuh kita dengan ketenangannya.

Mengalirlah hanyut berarak wahai hati yang hidup, mengikuti arah angin kan membawa mengembara. Tak ada masa lalu juga masa depan, hanya keluasan sebagai tawaran rute perjalanan. Tak ada rambu maupun penghalang hanya rasa yang menghambur memenuhi seluruh isi jagad.

Disini, hanya ada kita, langit dan udara….serta cinta yang tak tertembus materi…


Glassbox, 070330

Wednesday, March 28, 2007

Datang Pergi di Gerbang Perkawinan

Memasuki megahnya ‘dunia’ perkawinan, orang bisa saja terbius dengan segala rupa macam persiapan dan euphoria psikologis, hal besar dan baru sekali dalam seumur hidup. Tatapan mata optimistic serta bertumpuk tumpuk bibit harapan serta menunggu lahan persemaian untuk diuraikan menjadi hasil panen kehidupan kelak. Perfect, sempurna rasanya lelaki dan perempuan asing dipertemukan dan dipersatukan dalam lembaga perkawinan yang mengikatkan cinta dua orang pribadi berbeda. Segala ritual pernikahan akan menjadi symbol dari pitutur dan nasehat bijak tentang bagaimana idealnya menjadi istri, bagaimana menjadi suami dan bagaimana menjadi suami istri. Dimulailah maka investasi sosial itu, dalam bentuk anggota masyarakat baru dengan identitas baru. Rasanya semua tamu yang datang ke pesta mandoakan, menyetujui dan ikut berbahagia atas berlangsungnya upacara. Jadi memang tidak ada samasekali hal yang patut untuk dirisaukan tentang hakekat perkawinan itu sendiri, semua berjalan sempurna sejak awal mula, dan tidak ada apapun yang bisa merusak itu kecuali kematian.

Gemerlap dunia perkawinan ternyata hanya pagar pemoles kulit luar belaka. Didalamnya berisi rimba belantara yang memerlukan ketekuanan serta keteladanan untuk bisa ditaklukkan agar nyaman menjadi hunian jiwa dua manusisa yang berhimpitan tinggal didalamanya. Sejatinya memasuki dunia perkawinan adalah mengikatkan diri kepada dunia yang menyempit, dengan tebalnya rimba yang mudah menyesatkan orang. Tempat sempit itu juga menjadi penjara bagi kebebasan penghuninya, yang mau tidak mau harus meleburkan diri dalam segala beda, suka maupun tidak suka. Tak jarang setelah umur kesekian dari sang lembaga, penghuninya baru menyadari dan menemukan bahwa pasangan yang digandengnya adalah orang yang salah, orang yang seharusnya tidak berada didalam penjara kebebasan bersamanya.

Alternatif untuk keluar, quit dari rumah megah perkawinan itu selalu terbuka lebar selama dunia masih dikendalikan umat manusia. Selalu tersedia undang undang, peraturan maupun tatacara untuk membatalkan kepemilikan investasi sosial dengan meminta pernyataan pailit dari pengadilan agama. Krisis cinta, modal awal yang terlalu banyak dihambur hamburkan pada saat baru memasuki gerbang perkawinan sudah tiris, dan persediaan bibit harapan yang dulu begitu kokoh menerangi jalan keyakinan ternyata berisi ulat, busuk dan tak mau tumbuh yang akhirnya ngamprah menjadi sampah di belantara kekacauan hubungan dua manusia pemrakarsanya.

Usaha untuk keluar dari belenggu rumah tanggapun memerlukan kekuatan dan usaha yang berkali lipat jumlahnya daripada sewaktu membentuknya. Butuh keberanian, keteguhan dan ketenangan luar biasa, sebab keputusan seperti itu biasanya terjadi setelah badai panjang, gelap dan menyesatkan fikiran. Ketenangan dan kekuatan logika diperlukan untuk menangkis protes dari hati yang tentu tidak mau menyebabkan kelukaan bagi mahluk apapaun dimuka bumi. Hidup yang telah di bond sedemikian lekat kemudian harus di amputasi, dan masing masing nyawa yang tinggal di dalamnya harus mau menerima perihnya. Akan lebih baik barangkali, daripada lembaga seperti itu kehilangan esensinya samasekali, kehilangan makna hakiki sebagai payung pergaulan di masyarakat, dan sekali lagi sebagai investasi sosial sekali seumur hidup.

Dan hidup bukanlah melulu hanya perkawinan, pergaulan juga bukan melulu rumah tangga. Namun acap kali aspek aspek negatif dari perkawinan yang berjalan timpang mempengaruhi segala sendi yang mengikutinya. Meneruskan sesuatu yang tak berguna adalah sama saja dengan menangguhkan ketidak bergunaan untuk berakhir kepada kesia siaan, tanpa memabawa manfaat apa apa dimuka bumi.

Antara yang masuk dan keluar pintu gerbang itu, terkadang terbawa dua warna, dua cerita kontras tentang pergaulan dunia. Memasukinya perlu perencanaan, keluar darinya memerlukan perjuangan sama sama untuk satu lingkaran dunia yang aneh..


Glass box 070328

Tuesday, March 27, 2007

Tulisan bebas penulis bebas

(Berpikir adalah merupakan aktifitas kognitif yang hasilnya dikatakan sebagai pikiran (mind). Pikiran adalah merupakan perangkat lunak (shoftware) yang dioperasikan di dalam otak (brain). Hasil olahan dari kognitif adalah logika dan afeksi - kutipan dari blog seorang teman - red)

Mengingat segala dinamika kehidupan berawal dari pikiran yang berkembang menjadi wacana atau pemikiran kemudian tumbuh menjadi rencana serta ke pelaksanaan, maka menulispun melalui proses metamorfosa yang sama. Menulis adalah menterjemahkan pengendapan fikiran atas kejadian, peristiwa atau kesan yang tertangkup dalam ruang bernama renungan. Penulis yang baik adalah yang bisa mengekspresikan sifat individualitas si penulis. Tulisan bebas tentu tidak mengandung unsur menggurui maupun menghakimi, tapi lebih cenderung sebagai pendapat pribadi bebas terhadap apa yang dirasa dan dilalui lewat kepekaan syaraf seni.

Menulis adalah seni mengalirkan fikiran melalui rangkaian huruf huruf yang tersambung dalam kata dan mengalir dalam satu kalimat, membentuk sebuah kesan dalam paragraph yang akhir akhirnya meninggalkan jejak bagi fikiran siapapun yang membacanya. Jadi sebetulnya tulisan adalah dari fikiran untuk fikiran, dari pendapat untuk pendapat. Dari tulisan bebas kita hanya bisa paling tidak meraba kepribadian si penulis, karena tulisan adalah anak rohani dari penulis itu sendiri selama itu tulisan bukanlah merupakan tulisan pesanan maupun tulisan dengan tendensi tertentu yang bisa menghasut fikiran orang lain.

Tulisan yang baik juga bisa mempengaruhi si pembaca, mempengaruhi untuk berpendapat tentang pendapat yang dikemukakan di tulisan atau bahkan yang lebih parahnya lagi bisa menyebabkan ketersinggungan karena tersindir. Hanya tulisan yang dibuat dengan proses befikir yang dalam yang bisa menggerakkan fikiran orang lain, dan memberikan wawasan baru dari pendapat yang dikemukakan secara bebas didalam tulisan. Sebuah karya sastra mengandung keindahan dari penyusunan kalimat kalimat serta pemilihan kata kata (diksi), untuk menyampaikan suatu pesan secara simbolis ataupun terang terangan. Semestinyalah sebuah karya sastra dilihat sebagai sebuah karya sastra, sebuah hasil kerja berfikir dan berkreatif terlepas dari mencoba menganalisa sifat luar si penulisnya.

Jika tulisan bisa dengan tidak sengaja menyinggung pembaca, reaksi umum pertama yang muncul adalah penghujatan kepada si penulis karena tidak mungkin memboikot atau membredel tulisan yang menyinggung si pribadi terhormat berintelektual setinggi langit dan setara dengan kahayangan dimana para dewa dewi bercengkerama itu, maupun atas pertimbangan etika tidak pantas dilakukan. Pembaca yang merasa kehormatanya yang tinggi (atau mungkin seseorang yang menjadi layanan empatynya) tergesek bisa bereaksi aneh, bisa lucu, tapi bisa juga konyol. Jarang malahan yang bisa bereaksi dengan akal sehat yang mencerminkan kedewasaan emosional sebagai wakil dari warga beradab. Kekonyolan itu bisa berupa pembubuhan cap semena mena terhadap si penulis dengan tidak mempertimbangkan adat sopan santun maupun tata krama pergaulan di masyarakat umum. Sebuah warisan zaman jahiliyah yang dilestarikan hingga hari ini!

Kritik terhadap esensi tulisan maupun terhadap gaya penulisan mungkin akan dipandang sebagai cara yang lebih elegan ketimbang lontaran kata vulgar yang menggabrul kepada interpersonal penulisnya. Sebuah tulisan bertema cengeng bisa jadi adalah hasil dari penyulingan rasa mengharu biru yang tidak sembarang orang bisa melakukanya, dan kalaupun semua orang memiliki rasa mengharubiru, belum tentu juga bisa mengekspresikanya dalam sebuah tulisan. Beberapa karya tulis bahkan bisa membawa pembacanya menangis, dan tentu tulisan itu tidak dibuat dengan cara menangis pada masanya. Semata adalah kepiawaian si penulis menjabarkan detail dari matrix rasa dalam susunan kata kata.

Jadi ketika kekonyolan itu ditampilkan dalam bentuk tulisan yang hambar tanpa cita rasa seni, maka yang muncul semata mata adalah cap dangkal atas sebuah karya berfikir kognitif. Sungguh memprihatinkan. Sedangkan bagi si penulis, melahirkan anak rohani dalam tulisan adalah memandang dunia di telapak tangan, memberikan rasa pelepasan yang tak terbagikan dengan orang lain. Menulis adalah hal menyampaikan, mengeluarkan, soal itu menjadi madu ataupun racun bagi pembaca, terserah kepada apa isi tembolok masing masing pembacanya. Akan lebih menghibakan lagi apabila si pembaca sendiri merasa entah sungkan entah malu menampakkan diri sebagai pembaca, seperti melempar tahi sapi dari gelapnya malam. Kasihan...!


Glass box 070327

Thursday, March 22, 2007

Bunga Kertas untuk Ibunda

Apalah arti bhakti seorang anak kepada ibundanya jika dibandingkan dengan seberapa mulianya seorang ibu membesarkan dan memelihara anak anaknya. Tanpa campur tangan ibu, mustahillah seorang bayi terlahir di atas bumi, memecah hening dengan tangis pertama dan lalu menjelma menjadi manusia yang lambat laun berakal budi dan berpribadi. Tidak ada jasa manusia yang melebihi kemuliaan jasa seorang ibu bagi anak anaknya menurutku.

Ketika si bayi kemudian menjadi kanak kanak dan perlahan tumbuh remaja kemudian dewasa, peran sang ibu tidak bisa lepas, sebagai pembimbing moral maupun permandu akal. Ibu selalu ada dengan kebijaksanaan kata katanya, dengan contoh contoh perilakunya dan tentu dengan kecemasan juga kekhawatiran yang disembunyikanya. Cintanya tak ada yang bisa melebihi kedalamannya, kasih sayangnya tak ada yang melebihi tingginya. Maka selayaknyalah penghargaan tertinggipun ditujukan kepadanya.

Semua orang kemudian belajar tua dari dirinya sendiri, pengalamanya sendiri sendiri. Tidak ada pelajaran menjadi tua, atau untuk menjadi tua kita juga tidak bisa belajar dari orang lain. Pundi pundi waktu yang pecah dan tak akan utuh lagi menjadi catatan bagi perjalanan hidup, kadang menyisakan bekas bekas luka, terkadang juga membentuk otot diri menjadi lebih sedap dilihat mata. Kulit yang robek, tulang yang patah, fungsi organ tubuh yang melemah atau bahkan rusak, sel sel mati yang tak mau hidup lagi, semua larut dalam perjalanan pundi waktu; menjadi tua.

Begitulah niatan alam, manusia bermetamorfosa, beranak pinak dan menciptakan manusia manusia baru. Tetapi cinta ibu tetap tak tergantikan dan tersimpan abadi jauh didalam lubuk sanubari. Seburuk apapun ibu, maka ia adalah manusia terbaik dimuka bumi. Pabrikasi keturunanpun menggeser pemahaman kita terhadap ibu, sumbangsihnya kepada kehidupan dan pekembangan akal kita, anak anaknya. Sekarang baru tersadar, bahwa ketika anak hasil produksi kita dengan orang yang samasekali asing sebelumnya sakit maupun terganggu kelancaran hidupnya, maka kita orang tualah yang pertama dihinggapi sakit kepala, berasa ingin menggantikan peran buruk yang harus dilakoni si anak. Maka demikianlah juga dulu ibu kepda kita ketika kita belumlah seberdaya sekarang, sesombong sekarang.

Manakala ibu yang kemudian masa berlaku hidupnya perlahan menyusut dan rapuh, maka sudah sepantasnyalah kewajiban kita anak anaknya untuk menggelontorkan segenap cinta kasih sayang, perhatian dan sumbangsih kepada beliau, seperti halnya dulu ketika kita masih kecil kecil, nakal, bodoh dan bau asem. Kepada anak anaknya seorang ibu tidak pernah ingin bergantung apalagi menjadi beban, maka kepada anaknya pula sang ibu terus berharap dan berdoa, agar memiliki perilaku mulia sebagai manusia dan agar berlaku selayaknya manusia terhormat. Agar anaknya tidak terbius oleh kesombongan dunia dan lantas menjadi durhaka.

Pengabdian ibu tidak pernah berhenti sampai maut datang menjemput, dan sudah selayaknya demikian pulalah bhakti sang anak kepada ibu sebagai wali utama penyebab keberadaan diatas bumi. Keterbatasan kemampuan dan terkotaknya tanggung jawab sebagai manusia dewasa tidak seharusnya menyurutkan niat dalam hati untuk mengabdikan hidup kepada orang tercinta, ibunda kita. Entah dengan perlambang apapun, bahasa cinta musti disampaikan tanpa pura pura sedikitpun jua. Betapa masih beruntungnya kita, yang tetap menyimpan ibu sebagai sang pemrakarsa kehidupan , sebagai guru dan juga sekaligus pembimbing jalan fikiran akal.
Tiba saatnya jika kita memohon, Tuhan akan mengirimkan malaikatNya, menjadi penolong yang memanjangkan tangan kita untuk memapah ibunda, berjalan menyusuri hari tuanya yang lengang dan rapuh, seperti masa kanak kanak kita dulu.
Lewat malaikatNya, terkirim kembang kertas untukmu, ibu… perlambang cinta yang tak kenal layu...


Nutricia, 070322

Wednesday, March 21, 2007

Hikmah Prasangka

:kepada syak wasangka yang menyudutkan pikiran

Ketika sesuatu terjadi tanpa sengaja, terkadang terasai bagaikan puting beliung yang membokong dari belakang, mendorong dan membuat diri terjerembab ke tanah kering membatu. Maka atas nama dosa, kesalahan itu ditutupi dengan kebohongan lagi, dengan kesalahan lagi. Jadilah beranak pinak si kesalahan hingga merontokkan kualitas kemanusiaan. Sesuatu yang terjadi dan dengan mudah bisa dicerna nalar, dibelitkan pada cerita cerita rekaan baru yang sangat jauh dari logika, dari pemikiran orang dewasa.

Sebagian orang dikaruniai dengan kedewasaan intelektual yang diperoleh setelah bertahun tahun berkutat dengan buku dan bangku, ruang kelas dan diktat. Sebagian lagi diberkahi dengan kemampuanya memungut setiap serpihan pengalaman sepanjang hidupnya, kemudian menjadikannya cermin pembanding, galah pengukur atas segala hal yang terjadi kepadanya di kemudian hari. Kesimpulan sederhana yang mengandung kebenaranpun terkadang dianggap sebagai sebuah sangkaan belaka, sebuah kesalahan cara berfikir dan sebuah penghakiman yang tidak benar.

Terkadang kita begitu cepat bisa menilai dan menyimpulkan sesuatu hal lumrah yang dirahasiakan. Maka kemudian, munculnya kesimpulan adalah dari pengendapan logika, berdasarkan hal hal lumrah pula. Tidak susah saudara, menyimpulkan segala sesuatu yang sudah terjadi menjadi intisari maksud, yang lalu bisa dituangkan ke cawan kenyataan untuk dicicip rasanya; kadang pahit, kadang manis mempesona, kadang meruntuhkan air mata.

Sedangkan prasangka adalah rabaan atas kejadian semata, yang lebih berkonotasi negatif terhadap perilaku seseorang. Perilaku negatif ini yang sering disebutkan sebagai kesalahan yang ditutupi dengan kesalahan yang jika tidak dikontrol dengan baik akan menggelinding menjadi bola salju bernama – tetap – kesalahan. Frustrasi akhir akhirnya karena kesalahan yang ditutupi dengan kesalahan hanya akan memperjelas inti kesalahan itu sendiri. Tidak selamanya prasangka muncul sebagai reaksi kesalahan. Terkadang sikap atau apaun yang dilakukan orang lain yang barangkali tidak ada sangkutanya dengan kitapun bisa menimbulkan prasangka. Itulah cara batin melindungi pikiran, cara ego membentengi diri dari penganiayaan fikiran yang sudah nyata rasanya jauh lebih perih dari nyeri fisik semata.

Perasaan tersindir sebenarnya membenarkan sebuah fakta atas diri, kemudian mengayunkanya dalam reaksi adalah soal lain. Sikap berlebihan memperlakukan rasa tersindir juga hanya akan menyoroti kebenaran yang diingkarkan, memperjelas bahwa kenyataan memang sulit untuk diterima secara mentah. Sebuah salah akan tinggal sebagai sebuah salah bila diakui sebagai salah, bukan dipoles bermacam rupa supaya menjadi kebenaran. Sebab, membelokkan kebenaran yang gampang dicerna akal manusia anak anak maupun dewasa, hanya akan menyebabkan luka di hati; luka yang bisa abadi.


Gempol, lewat tengah malam 070321

Saturday, March 10, 2007

Namaku Karla

Namaku Karla.
Aku lahir dari perkawinan antara luka dan dendam, lewat celah batu pualam. Lalu kutawarkan kepada sesiapa saja pejalan diriku bak barang dagangan. Silahkan mencicipi tubuhku yang berlumur nanah, silahkan menjamah auratku yang berbau darah. Murah saja, hanya dengan secangkir iba dan sejumput simpati (meskipun imitasi) orang sudah boleh memiliki keseluruhanku, mentransformasikan diri mereka menjadi pahlawan yang kemudian boleh mencemooh pahlawan pahlawan terdahulu lainya. Merendahkan orang orang mulia sekaligus membenamkan kualitas diri sendiri.

Namaku Karla,
Maka kepada seorang lelaki pahlawan, hidup pernah kutitipkan suatu ketika. Celaka, bahkan lelaki pahlawanpun mengandung unsur setan di dalam dirinya. Maka jadilah ia setan, dan aku menjadi pengemis atas belas kasihan, lalu ia menjelma jadi udara. Sejak itu aku jadi pengemis kepada setiap lelaki yang kujumpai, berharap mereka adalah salah satu reinkarnasi dari sang Superman. Sedangkan yang aku temui adalah lelaki lelaki yang menyembunyikan kelamin mereka sendiri dikepala, sekedar singgah untuk menunjukkan kemampuan birahi semata. Tidak apa, toh tetap lelaki juga. Ah, tanpa sadar aku telah menjadi pelacur buat mereka, telah melacurkan diriku kepada setiap lelaki yang singgah dan kemudian berak di hatiku. Aku mengobral martabatku sendiri untuk kepuasan nafsu besarku yang tak terkendali.

Namaku Karla
Akulah kesedihan atas ribuan tahun terluka sendirian, berjalan kesepian dengan beban ribuan ton penyesalan (?). Mari setubuhi aku dimana saja sesuka kita. Aku tidak pernah berhenti orgasme setiap kali kulit tubuhku menyentuh sembarang lelaki. Jangan risaukan soal dosa atau nilai, tentang moral maupun tatakrama. Setangkai kembang, sebentuk cincin, segudang pemberian hanya basa basi belaka, selebihnya nafsu binatang yang berbungkus kepura puraan; pura pura jadi manusia.

Namaku Karla
Bagiku hidup berjalan mengikuti kemauanku, memenuhi semua harapan liarku. Aku tak punya batas untuk belas kasihan dan telah kumatikan sejak lama saraf tenggang rasa. Kalimat kalimat nasehat terdengar seperti kentut yang lewat. Duniaku adalah duniaku, berbatas langit dan bumi yang melulu berisi kebenaran tentangku. Aku berbeda dari pelacur kebanyakan juga lain daripada iblis umumnya. Aku adalah keindahan yang disia siakan, si malang yang perlu timbunan belas kasihan, yang lalu dengan itu kumanfaatkan untuk mengendalikan dunia; dunia katak dalam tempurung.

Namaku Karla,
Tak ingat lagi berapa banyak lelaki pernah menitipkan birahi dengan caranya, dengan jumlah imbalanya sendiri sendiri. Tak tersisa buatku sesal maupun rasa salah, sebab aku adalah ibu dari kebenaran mutlak. Maka aku marah jika lelaki yang seharusnya menciumi jari kakiku, justru memilih jalannya sendiri yang diam. Murka jika lelaki yang kuharap bisa kupecundangi berpaling dan melangkah pergi tanpa kata kata. Lelaki seperti itu adalah lelaki munafik menurutku, dan aku marah sebenar benarnya marah karena mereka menolak mencium pantatku.

Aku perlu pahlawan baru untuk marahku, untuk lukaku, untuk dendamku, dan untuk birahiku yang menggebu…

Gempol lewat tengah malam, 070310

Friday, March 09, 2007

Berencana terbang


Ditanggalkan sayapnya dua tahun belakangan, lalu membungkus diri dalam kegelapan, dalam dendam dan jutaan perasaan yang menyakitkan. Dibiarkanya iblis memangsa jeroan, dia hanya bisa merasakan pelan pelan. Mendung menjadi payung bagi langit hatinya, sebisa mungkin menghindari matahari yang mengajarkan kebenaran. Di pojok dunia yang sepi ia mencoba menemukan kompromi atas kejadian yang tak diharapkan dan benar benar terjadi.

Dibalik mendung pertir berhamburan mencari pasangan. Tanah pijakan beku menggigilkan nyali, kenangan perlahan menjadi prasasti yang larut dalam sentuhan. Dua tahun ia diam ditempatnya yang seolah abadi, menjadi ribuan abad dilaluinya sendiri. Sesekali setiap hari iblis berkelebat membabatkan pedang karatan namun tajamnya tak terkirakan. Perihnya tak terkatakan dan ia terima dengan sepenuh rasa. Bahkan ketika iblis iblis baru terciptakan dari sekelompok manusia bertopeng budi mulia mengeroyoknya dengan penghakiman yang bengisnya tidak ketulungan. Iapun tak hendak membela diri. Diamnya menyimpan miliaran kata kata yang hanya dia sendiri mampu menterjemahkan.

Dirindukannya langit biru, tempat udara bersinggasana. Dulu tempatnya memuja bintang dan menggandeng bulan, atau sesekali bercengkerama dengan matahari. Disana juga ia setubuhi embun dengan segenap jiwa yang merana sepanjang perjalanan. Ya, ia telah berjalan sendirian dan menempuh lebih jauh dari kebanyakan. Sayap yang ia tanggalkan dulu telah karatan dianiaya waktu dan takdir imitasi, berdebu seumpama barang loakan. Penjelajahan masalalu membekas dibalik sayap sayap itu, mencatat setiap kejadian yang begitu mengagumkan; selamanya tentang penjelajahan di langit lepas. Maka ia berencana terbang….

Perlahan digerakkan kepalanya, memandang ke atas dimana mendung menjadi payungnya, menjadi langit langit tempurung pengetahuanya. Ia menyadari selama ini telah memenjarakan dirinya sendiri dalam kesia siaan – dua tahun yang berat dalam bui virtual ciptaanya sendiri -. Dua tahun ia bunuh diri dalam mati suri, dan menceraikan langit yang selama ini menjadi warna hidupnya. Dikuatkanya nyali untuk berencana terbang lagi, menyapa bintang, menggandeng bulan dan bercengkerama dengan matahari seperti dulu lagi. Ia rindu hidupnya yang hakiki, rindu pada sosoknya yang asli.

Maka kepada mendung selepas subuh, ia tersenyum menyapa ramah. Menanyakan kabar tentang satwa malam yang berlarian mencari tempat sembunyi. Dipesankan kepada angin timur yang membawa hawa hangat dari ujung bumi, agar dibawakanya aroma bunga kanabis untuknya memuja para dewa, untuk dibawanya serta terbang ke batas tertinggi dari langit tak bertuan, dimana ia kembali ke singgasananya dan menjadi raja bukan atas apa apa, bukan atas siapa siapa…

Maka nanti jika fajar telah pergi, ia akan terbang jauh tinggi…seperti biasa, sendirian…

Nutricia, 070309

* Terimakasih untuk para iblis yang menguatkanku. Maaf jika aku mengecewakan kalian karena aku tidak hancur dan larut menjadi kotoran seperti kehendak kalian…

Monday, March 05, 2007

Senin

Senin selepas fajar, serasa jutaan sepasukan iblis ikut melepas bersama bendungan yang pecah penahan segala gundah yang tertipui pada dua hari bernama akhir pekan. Segalanya ikut membuncah menyerbu meja kerja, mengacak acak isi kepala bahkan mencabik cabik ingatan lama. Mereka semena mena membangkitkan lagi kawah angkara murka yang dengan berat dan melelahkan tertimbuni oleh detik demi detik yang berlalu, meniti jalan menuju ketuaan.

Langit hati tidaklah secerah penampilan, dan menunggu hanya menyia nyiakan waktu. Hujan badai tak menghentikan gerak sedangkan menunggu adalah satu satunya jalan melempang di hadapan. Apa yang harus ditunggu untuk berubah? Dan apa yang bisa diperbuat selama ini kecuali menunggu? Iblis iblis telah menganiaya otak hingga tak mampu lagi menghitung hitung hambatan untuk dilalui. Jiwa yang cacat berjalan timpang, melukai siapapun yang dijumpai di jalanan. Memperhitungkan setiap kemungkinan, tebing jalan buntu menjulang menjadi jawaban.

Penyesalan telah mematikan rencana langkah, tutup buku sudah untuk rencana cuci darah. Menjadi pahlawan kesiangan sungguh sia sia saja, berbangga bahwa hidup cukup bararti untuk menutup aib penghianatan. Inilah hidup normal manusia bumi yang hanya menjalani segala sesuatu yang besar dalam dunia tersembunyi, dunia kalbu. Arah sudah berubah, dan langkah tak lagi gagah saudara. Malaikat hati hanya mencatati setiap kejadian yang melelehkan rasa. Berdamai dengan diri sendiri adalah jawaban filosofis, sedangkan upaya membuatnya berdamai sungguh telah mencacatkan jiwa yang semata wayang, yang berdiri diatas kebanggaan semata. Sepanjang hidup diri telah berjuang melawan dendam, mencekokinya dengan penawar sakit hanya biar sekedar bedamai dengan perang diam diam yang meluluh lantakkan.

Mestinya ia bisa tinggal menjadi harta, benda mati dalam rumah tangga. Tapi apakah pantas sesuatu disebut harta bila tak lagi bernilai apa lagi bermakna? Ribuan nasehat menjadi hilang guna, sebab segala bentuk bimbingan hanya dianggap selingan, bahkan segala bentuk pengorbanan hanyalah bahan guyonan bagi pengertianya yang sedangkal mata kaki. Ketidak sempurnaan memang menjadi sifat umat manusia, tetapi tidak tahu diri tentu berbeda lagi definisinya. Idealisme tentang hidup bersama telah berbuah kepahitan yang tak terlihat ujungnya, menawarkan kenangan kecut di setiap incinya. Hingga usia melumpuhkan sekalipun tak akan mampu energi terkumpul untuk membangun kembali istana pasir yang telah hancur diamuk ombak. Barangkali hidup telah kehilangan manfaatnya…

Bagi seorang laki laki, ada sesuatu yang lebih buruk dari kematian dalam kehidupan…Dan benar, bagi seorang laki laki, seharusnya dirasakan sendiri lalu disembunyikannya dalam diam segala yang menggejolak meremukkan hati, menunggu sampai Senin berlalu pergi… Menunggu sampai kan mati...

Nutricia, 070305

Friday, March 02, 2007

Gajian yang menyakitkan

(Sepenggal cerita dari jakarta 3)

Dari jauh mukanya berseri seri, tergopoh gopoh menemui mandornya. Hari ini gajian setelah bulan pertama bekerja. Di kepalanya bergumul segala keinginan dan angka angka juga rencana rencana. Ia akan menjadi lelaki dengan uang dikantong sebentar lagi, tak perlu lagi mengutang makan di warung Emak untuk beberapa hari. Ia berencana membelikan anak kesayanganya baju kaus bergambar Sponge Bob yang dikagumi sibocah; sebagai kejutan!

Duduk di depan kursi sang mandor, ia gelisah tak sabar menerima amplop khusus bagi dirinya. Inilah hasil dari satu bulan bekerja, mengumpulkan hari demi hari, menunggu akhir bulan dan gajian. Namanya tertera di amplop putih bersih secerah fikiranya itu, dan tertera di bawahnya deretan angka: Rp. 693.600…!

Tiba tiba dunia terasa gelap, lehernya seperti tercekik, panas dan kering seperti tidak pernah ada cairan melewati selang tenggorokanya. Ia kecewa pada kenyataan, bahwa jumlah yang diterima jauh dari yang diharapkan. Sang mandor menjelaskan dengan bahasa birokrat kecil, formulasi penggajian, aturan pemerintah dan segala macam yang hanya mengiang ditelinga si buruh. Semua harapanya musnah seketika. Baju kaus Sponge Bob untuk anaknya melayang hilang tak ditemukan. Jumlah itu jauh dari cukup untuk biaya hidup, bayar kontrakan, sekolah anak, uang jajan, ongkos kerja setiap hari, uang belanja istri dll. Untuk makan tiga orang nyawa manusia mungkin msih kurang jumlah itu. Bukan itu yang membuatnya terpukul, tetapi kenyataan bahwa ia telah menghabiskan waktu sebulan penuh dengan mengabaikan waktu siang, malam, pagi hari libur. Ia tidak bisa menerima.

Ia tinggalkan meja si mandor dengan perasaan yang seratus delapan puluh derajat kondiisinya dengan ketika dia berangkat beberapa menit yang lalu. Satu detik saja ternyata bisa merubah segala pandangan dan fikiran dalam hidupnya. Tiba tiba ia marah. Marah kepada dirinya sendiri, marah kepada perusahaan yang mempekerjakannya, marah kepada pemerintah negaranya yang tidak becus mengurus kepentingan rakyat jelata, marah kepada Tuhan yang membiarkan orang zalim berkuasa memberinya gaji. Ia diam dalam marahnya, tetapi marah dalam diamnya. Mengutuki apapun yang dijumpai, mengutuki nasib yang diterima di muka bumi.

Di tepi jalan ia menunggu angkot yang ia harap tak pernah akan datang menjemputnya, untuk membawanya ke gang kecil dimana ia dan anak istrinya tinggal mengontrak di rumah orang. Ia tidak punya kata kata untuk disampaikan kepada anak dan istrinya yang menunggu penuh harap. Ia tidak berani menjelaskan nanti jika ia membatalkan ajakan anak kesayanganya untuk makan ayam goreng di mol. Lelaki itu berdiri lesu di bawah pohon Mahoni dengan kepala kosong, dan pandangan yang bolong. Uang di kantong celananya serasa berat ia bawa. sebentar lagi habis terbagi untuk hal hal yang harus dipenuhinya. Sesudah itu entah bagaimana.

Ia tahu ia telah menjadi korban dari ekploitasi manusia, perbudakan gaya baru di zaman modern. Pengetahuanya tidak cukup memberinya kekuatan untuk memberontak dari rasa ketidak adilan yang diarasakannya. Ia sadar bahwa ada orang ada bebearpa orang yang lebih tahu ketimbang dirinya memanfaatkan ketidak tahuanya. Orang yang lebih tahu dari dirinya telah dengan sengaja mengeksploitir kesulitan hidupnya. Dan ia, laki laki itu tak punya pilihan lain selain menghidupi anak istrinya dengan bekerja…

(ungkapan keprihatinan untuk Joni F, Nawi, Suaib, Rukma dkk…)

Nutricia, 070302