Wednesday, July 21, 2010

Keajaiban Barang Baru

Benda itu selalu terbayang di mata dan menggubal di pikirannya hampir di setiap saat. Rasanya benda itu adalah benda paling penting yang ada di dunia ini. Maka dengan setengah merengek dan dengan kekuatan sepenuh hati, suatu hari di tepi sungai dia beranikan kepada emaknya untuk meminta “ Mak, belikan Agus kaos hitam gambar sepatu, mak!”

Agus kecil tak mengerti betapa susah emaknya mengumpulkan uang barang duapuluh ribu hanya untuk membeli kaos oblong impiannya itu. Emaknya harus rela menjadi buruh panen bawang ketika bawang usai di jemur dan siap untuk dijual. Bawang bawang itu bukanlah punya emaknya, melainkan punya tetangga yang kebetulan mempekerjakan emaknya dan beberapa orang lagi untuk mengurus hasil panen bawang Brebes yang terkenal itu. Agus kecil tidak pernah tahu dan tidak mau tahu bagaimana emaknya mendapatkan uang untuk membeli kaos idaman itu, yang ia tahu adalah kaos itu adalah kaos terbaik yang ada di planet bumi; berwarna hitam, bergambar sepatu dengan tali menjuntai. Gambar sepatu itu sendiri berwarna putih, kontras dengan warna hitam si kaos oblong. Sungguh indah dan gagahnya dan kerennya jika kaos itu ia kenakan. Hanip sudah punya kaos seperti itu, dan dia tampak ganteng seperti orang kota jika mengenakan kaos itu.

Dimintai barang yang tidak penting seperti itu, emaknya jelas menjawab dengan nada tinggi. Dianggapnya Agus anak tak tahu diri dan tidak bisa berpikir soal realita keluarganya. Uang sebanyak itu mendingan dibelikan beras buat makan ketimbang dipakai buat beli kaos yang tidak enak dimakan. Jika mau yang bermanfaat lagi, mendingan dibelikan baju seragam sekolah untuk menggantikan seragamnya yang sejak kelas tiga hingga kelas lima sekarang belum pernah berganti baru itu. Emaknya jelas jelas keberatan membelanjakan uang yang didapatkanya susah payah hanya untuk menuruti kepinginan si bocah gemblung. Agus gigit jari, mimpinya tidak terbeli!

Barang baru memang memiliki keajaibannya sendiri. Apalagi jika barang baru itu sudah disimpan dalam kepala untuk waktu yang lumayan lama, tersembunyi diantara deru hidup sehari hari. Jika barang baru tiba, maka yang lain akan menjadi loak semata, barang usang yang tidak pantas lagi mendapat penghargaan setinggi barang baru. Hukum kebendaan seperti itu berlaku juga terhadap manusia, rupanya. Ketika orang baru yang disimpan dalam pikiran kemudian menjulang didepan mata dengan tangan terbuka siap memberikan pelukan terhangat, maka ia menjadi barang baru yang memesona. Orang baru yang memesona maksudnya. Sementara nasib si orang lama tentu tidak ubahnya menjadi rombeng, butut dan tidak berharga. Untuk hal demikian, segala cara diupayakan agar orang lama dapat tersingkir dengan halus. Sekedar menjaga perasaan selagi bisa. Cara yang dipakai tidak perlu elegan, toh sekali disingkirkan juga tidak akan berdampak apa apa lagi terhadap kehidupan. Dia sudah tidak punya daya pesona, kehilangan chemistry dan tinggal ampas tak berguna.

Orang baru jauh lebih menjanjikan dan memenuhi segala kriteria ideal, persis sama dengan Agus dan kaos oblong warna hitam dengan gambar sepatu bertali menjuntai yang berwarna putih tepat di tengah dada.

(Sepasang ibu anak di tepi jalan, mengantar kaki pikiran untuk menapak di bumi melihat kenyataan diri)

Antara Songgom - Prupuk 100720

Tuesday, July 20, 2010

Uban

Hendak dilawan bagaimana ketika sang waktu menjalankan tugasnya; mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati, menetapkan yang bergerak dan menggerakkan yang tetap. Merubah, itulah tugas sang waktu yang sebenarnya. Segala hal yang terkandung dalam hidup dan kehidupan dilindasnya tanpa kenal ampun dan benar benar tidak pandang bulu. Sang wktu juga yang menentukan segala sesuatu menjadi tua, demikianlah kita menghitung kerja alam dalam dimensi waktu.

Menjadi tua sungguh tidak ada buku panduannya. Setiap orang secara otodidak harus mengalami keadaan menjadi tua, atau sebuah kemerosotan setelah melampaui titik tertinggi fase produktif dalam hidup. Dimulai dari lipatan lipatan di kulit tubuh yang disertai dengan kemunduran daya ingat serta kemunduran ketahanan otot badan, perlahan lahan proses pelapukan terjadi. Uban yang tumbuh di kepala seperti mengingatkan betapa tinggal sedikitnya usia, dan sudah waktunya lebih teliti lagi memandang diri di kaca benggala.

Usia yang menipis membawa juga banyak dampak psikis. Magnet yang dahulu bekerja normal terhadap manusia lain perlahan memudar dan menjadi hambar. Yang lebih nestapa lagi, usia yang menua bisa menyebabkan seseorang didepak keluar dari lingkaran sosial, bahkan lingkaran kehidupan pribadi. Padahal sungguh waktu tidak bisa dilawan; menuakan yang muda dan mematikan yang tua. Tidak etis memang mengemukakan alasan usia sebagai penyebab kemuakan, tetapi secara eksplisit pesan tersebut dapat diterjemahkan dalam sikap yang cenderung mencari cari alasan. Bergaul dan berkehidupan dengan yang muda muda tentunya lebih energik, lebih dinamis dan tentu memiliki banyak fantasi kebebasan yang bisa diekspresikan dalam perbuatan secara bersama sama. Sedangkan semakin menua usia, maka sudah sepantasnya disertai juga dengan sikap bijaksana. Kebijaksanaan sikap merupakan bukti kematangan emosional seseorang.

Sehelai uban yang tercabut dari kepala memberi jawaban atas pertanyaan dan ketidak mengertian akan makna kejadian. Sehelai uban dari kepala memberi kesaksian tanpa bantahan bahwa hidup tidak ubahnya satu eksemplar surat kabar sore, teronggok sunyi ketika hari berganti pagi. Sehelai uban tercabut dari kepala bersama dengan segerombol kesombongan diri. Sehelai uban dari kepala menjadi angka pertama hitungan mundur hingga ajal kan tiba. Sehelai uban yang tercabut dari kepala, membawa hamba bersatu dengan bumi, memasrahkan diri pada grafitasi.

Purwokerto 100720

Sunday, July 18, 2010

Legowo

:Crawfy

Lepas artinya menerima, ketika kata lepas berada dalam konteks perhubungan antara manusia, bisa beda jenis atau sama jenis kelaminnya. Namanya berhubungan, tentunya diikuti oleh muatan emosi. Ketika seseorang yang selama ini begitu dekat dan ada dalam kehidupan sehari hari kita secara tiba tiba menunjukkan ekspresi negatif bahwa hubungan itu sudah tidak produktif lagi dan layak untuk dipangkas tuntas seperti mencabut batang talas, maka sama artinya kita kehilangan penghargaan atas hubungan yang diawali dan diniati dengan penuh kebaikan itu. Segala hal yang berhubungan dengan proses kejadian itu patutlah disayangkan, sebab mestinya rusaknya hubungan selalu saja bisa direkonstruksi kembali, dengan cara mawas diri dan sedikit intospeksi.

Tetapi namanya hidup, terkadang terjadi juga peristiwa diluar kondisi normal ideal. Misalnya, ketika seseorang mengatakan untuk menjauh dari orang lainnya, kondisi yang terjadi adalah sudah tidak diinginkanya lagi apapun bentuk hubungan itu. Hal seperti itu terkesan subyektif, karena hanya satu pihak yang memutuskan berdasarkan kepentingan emosi pribadinya. Bukankah idealnya sebuah keputusan untuk mengakhiri sebuah hubungan dilakukan oleh dua pihak yang sama sama membangunnya? Jika keputusan sepihak itu terjadi pada sepasang penganut hati, maka alasannya bisa berupa rupa antara lain; salah satu menemukan partner baru, salah satu mengalami kebosanan akut, salah satu berbuat hal tercela yang menciderai kepercayaan (karena kepercayaan adalah modal tunggal dalam segala bentuk hubungan positif) sehingga ia takut dan malu apabila hal tercela yang disembunyikan itu terbongkar, dan ribuan motif lainnya. Mengekspresikan sikap seperti itupun bisa berbagai cara, tapi yang paling mudah dan murah tentunya adalah menempatkan kejadian di masa lalu (bahkan kejadian sebelum masa dimulainya perhubungan) sebagai kapak usang pemutus tali hubungan. Modus seperti itu sudah sangat jamak, sesuatu yang dicari cari supaya bisa ada justifikasi penyebab putusnya tali hubungan. Yang penting putus, untuk mendapatkan kebebasan dalam pengertian yang sangat pribadi. That’s a cheap talk!

Ketika seseorang melakukan itu kepada orang lain, maka akan ada pihak yang merasa divonis meskipun vonis itu lebih pantas terdengar sebagai sebuah pamitan untuk mati. Pikiran negatif bisa saja memprovokasi jiwa untuk membela haknya, melakukan hal hal agresif untuk sekedar mengekspresikan emosi dan menunjukkan kepada dunia bahwa seseorang baru saja menjadikannya sebagai korban. Jika itu dipilih untuk dijalani, maka yang akan terjadi kemudian adalah perang panjang secara diam yang akan membawa dampak kerusakan untuk waktu yang mungkin lama. Kondisi seperti itu akan menyuburkan kepentingan kepentingan negatif, imajinasi negatif, dan tanpa sadar seseorang akan terseret pada sikap negatif dan berubah menjadi asosial. Sebuah keadaan berbahaya yang besar kemungkinan akan melahirkan sikap negatif baru bernama dendam. Dan, segala yang berbentuk dan berupa peperangan hanya akan memproduksi kerugian, memproduksi korban. Untuk konteks peperangan dengan hati sendiri, tentu yang akan kita dapatkan hanyalah merana dan sakit hati. Urusan hati sungguh hanya penderita sendiri yang mampu merasakannya itupun tanpa bisa menjabarkan dengan kata kata.

Mungkin akan lebih bijakasana jika memandangnya dengan pikiran positif saja. Umpamakan kita berada di pihak tervonis itu, kita gunakan cara pandang manusia madani yang beradab dengan mengangapnya sebagai hal yang memang sudah semestinya terjadi. Bukankah kepastian yang dijanjikan oleh hidup adalah kematian, dan kepastian yang dijanjikan oleh sebuah pertemuan adalah sebuah perpisahan? Aturan baku kehidupan itu bersanding dengan aturan aturan baku lainnya, seperti adanya siang dan malam, hitam dan putih, positif dan negatif. Serta segala hal yang berkontradiksi lainnya sebagai perwakilan dua kutup yang menggerakkan dinamika kehidupan di planet bumi.

Ketika kita sudah tidak diinginkan lagi oleh orang lain, sesungguhnya akan sia sia jika kita memprotesnya. Sebuah hubungan terbentuk selain karena azas kepercayaan tentunya juga adalah azas sukarela. Rasa suka dan rasa rela untuk membentuk dunia kecil pribadi diatas lahan subur bernama hati dan perasaan! Proses sebuah hubungan dapat dianalogikan sebagai sebatang pohon yang tertanam di ladang subur itu, dimana atas kuasa maksud kemudian menjadi tumbuh besar dan kekar, akarnya menancap dan kokoh menghidupi, akar yang menjalar sampai jauh ke sumsum jiwa dan mungkin ke setiap sendi pikiran.

Melepaskan sama halnya dengan menerima. Sebuah sikap yang tidak mudah untuk dilakukan di dunia yang kacau ini. Ketika seseorang menjatuhkan kapak usang ke tali hati yang mengikat jiwa dan menyebabkan rantas seketika, kita menerima rasa sakitnya. Melepaskan berarti menerima kejadian itu sebagai hal yang memang sudah saatnya harus terjadi. Sumeleh legowo kata Bu’e suatu ketika, bahwa sikap merendah dan menerima adalah sikapnya seorang ksatria. Meletakkan semua keinginan dan patron patron ego ideal tanpa beban grafitasi, serta melepaskan diri dari keinginan serta ketidak inginan, dari harapan maupun prasangka buruk. Samasekali tidak ada hubungannya dengan profesi penulis lepas atau fotografer lepas atau profesi profesi lepas lainnya tentunya!

Sungguh tidaklah akan mudah untuk dapat mengelola emosi untuk bisa sampai kepada kondisi melepaskan dan menerima itu. Kesabaran, usaha keras, tekad dan kekuatan hati untuk menahankan segala efek buruk dari peristiwa yang menyakitkanlah yang menjadi penentunya. Kekuatan hati untuk dapat menerima rasa sakit, rasa perih dan mentransformasikannya menjadi energi baru dalam memperbaiki diri untuk persiapan penjemputan goncangan yang lebih dahsyat lagi di kemudian hari. Tuhan memberi kita air mata, Tuhan menganugerahi kita dengan perasaan dukacita. Maka, jika hatimu sedang terluka, mengangispun akan lebih baik untuk mengadukan kesengsaraan hati kepada sang pemilik hidup. Luka yang menganga di dalam dada akan sembuh meskipun tidak kembali pulih, getir dan rasa benci akan perlahan terkubur oleh waktu. Tidak ada yang bisa memperkirakan berapa banyak persediaan usia yang harus dipakai untuk menyembuhkan hati yang sakit. Memilih menghayati rasa sakit itu, memilih untuk mengasihani diri hanya akan membawa kita ke sebuah dimensi khayali, sebuah theater megah di atas langit dimana kita menjadi penonton tunggal yang juga sutradara penggerak segala bentuk karakter pertunjukan muram di awang awang.

Lepaskan saja dendam biar membias ke udara menjadi awan yang akan menaungi jalan terjal kedepan. Hayati saja sakit hati sebagai bunga bunga bermekaran di kebun harapan. Simpan saja pembelaan untuk pupuk semangat diri. Nikmati saja dukacita laksana merdu gendhing tlutur sinden keraton. Jalani saja semua dengan diam, biarkan jejak jejak peristiwa menjadi batu mustika masa depan. Percayakan semuanya kepadaNya segala urusan dunia. Legowo, tak menarik juga tak mendorong, tak mengangkat juga tak menahan, serahkan semua kepada grafitasi nasib, ikhlas menerima, seberat dan sesakit apapun efeknya akan menguatkan jiwa.

Padang 100717

Friday, July 16, 2010

Rindu

: embun


Semalam aku ditikam siksa oleh merindukanmu. Ketika hati galau oleh pikiran sendiri dan ketika kepercayaan dipermainkan laksana layang layang. Ya, aku merindukan sejukmu yang tak pernah menyakiti dan tak pernah memberiku cemas. Aku sungguh sungguh merindukanmu, ketika awan gemawan dan kabut menghadang pandangan, cahaya memburam dan aku terkurung oleh lengkung langit langit pikiran. Terkadang engkau tetap menjadi cahanyaku, meskipun tak kujumpai lagi adamu.

Sepuluh tahun lagi dari waktu itu - engkau masih ingat kata kata itu bukan? - akan seperti apa kita di kehidupan fana ini? Sekarang kita telah menjadi, dua lembaga yang terpisahkan oleh aturan peradaban. Sedangkan kenangan mengakar tumbuh laksana batang raflesia didalam kuburan. Jejak jejak kakimu menjadi nisan, yang kujilati penuh dendam ketika rindu kembali menikam. Aku rindu caramu mengurai dungkul dungkul duka yang menghimpit dadaku.

Aku rindu tangan halusmu, yang memperlakukanku serapuh telur. Menjagaku dari keliaran yang mungkin menghancurkan. Memelihara luka lukaku dengan penuh ketabahan.

Engkau ingat pohon teduhan itu? Telah kugali sampai ke akarnya, lalu kuboyong pulang jadikan paru paru jiwa. Hidup kokoh di jambangan kaca, kurawat dan kujaga dalam kamar rahasia. Ia pohon yang berjasa, memberi keteduhan ketika kita hampir mati dianiaya kenyataan masa silam. Pada lapis demi lapis kulit batangya tercatat sejarah tentang perjalanan dua manusia beda segala. Dan sebuah kisah indah tentang pertemuan kita.

Ketika musim menghempaskan cahayaku, sejukmu menjadi pemandu. Meskipun kaki kaki terterlikung oleh jarak dan waktu, dibelah belah oleh dimensi ruang yang sama seperti jutaan tahun silam sebelum kita bertemu. Namun langit kita tetap sama, udarapun tetap yang itu itu juga. Demikian juga kodrat alam, yang mengharuskan kita legowo menerima setiap goncangan dan hempasannya.

Masihkah engkau kini, menjadi pengikut setia arus hati? Ah, aku rindu tatapanmu yang menyejukkan kalbu...


OPP 100716