Sunday, August 13, 2006

The Pain

(An ultimate human drama)

Menjabarkan perih, seperti halnya menguraikan bibit keindahan dalam pembungkus seni yang sesuai. Keindahan yang lahir dari tetes demi tetes darah dari lukanya jiwa, membaur dengan partikel bebas lainya dari angkasa, lalu bersinergi kompak menyuguhkan bangun bangun keperihan yang indah nikmat. Sebagian luka kerasan tinggal lama lama, membentuk kampung dan peradabanya sendiri, menjadi penguasa lalim bagi labilnya bathin di kadang kala. Mereka tinggal dari generasi ke generasi, menempelkan label dendam di setiap jendela kepengapan dimana diri bisa sedikit mengntip dunia diluar dari keruh dan gemuruhnya tempurung kepala. Dramatisasi dari kekecutan hati sebagai bumbu atas luka yang menganga, adalah cara mengekspresikan nilai estetik dari penderitaan. Dan seni sebagai pembungkusnya, memelihara agar luka tetap ada, menjadi sumber keindahan bagi seisi dunia.

Keindahan dari penderitaan menjadi lebih mantap terasa beralaskan pengertian bahwa segalanya terjadi di dalam lingkaran kaca kehidupan individual. Penderitaan setimpal dengan keindahanya tak tersentuh oleh jangkauan realitas, menjadi kepemilikan yang ekslusif sebagai satu elemen psikis yang memberi dampak kepada kualitas seorang manusia, yang mencerminkan independensi sebuah pribadi. Dunia pribadi tak ubahnya partikel bebas yang bisa membentuk debu, bisa berkelana sendirian dan bisa menjadi apapun dimana alam mendamparkan. Tak ada sesiapapun dimuka bumi ini yang bisa merasakan indah maupun perih yang sama dengan satu orang lainya. Yang bisa dilakukan adalah mengira ira, kemudian sebisa mungkin menimbang rasa diri untuk mencoba mengukur tekanan serta mencoba menemukan faktor faktor penentunya, kemudian menyimpulkanya dengan sebuah kata sederhana “ I can feel you easily” .

Bahkan diri kita sendiripun belum tentu bisa mengenal dengan baik nilai si diri dalam perspektif kualitas kemanusiaannya. Sifat inkonsisten dengan dalih mengikuti irama zaman tidak memberikan jaminan apapun terhadap sebuah kepastian dimasa depan. Bumi terus berputar, segala isinya pun turut terubah dengan siklus yang tidak teratur. Yang kita kenal pada diri kita sendiri adalah kembali lagi, penderitaan yang melahirkan seni, kemudian seni yang bisa menganak pinakkan rasa perih disekujur organ pikir. Kepincangan pikiran semestinya tidak terlihat sebagai sebuah keanehan atau bahkan dianggap sebagai sebuah cara mendramatisir keadaan. Akan tetapi kepincangan mental fikiran selayaknya lebih dipandang sebagai satu dari ribuan faktor yang membuat si individu eksis. Segala kecompang campingan perasaan itupun adalah satu elemen kecil dari sebuah keseluruhan utuh sebuah pribadi.

Bagi si cripple minded pun, bukan hal yang diingini terjadi kecacatan mental seperti itu. Jikapun perlahan maupun sekonyong konyong ia menyadari ada elemen elemen yang hilang atau tertimbun pekatnya kepedihan yang mengerak, dipandangnya apa yang tampak sebagai hidup normal apa adanya, bahwa memang harus demikian terjadi dan persis seperti itu kejadianya, menyadari bahwa semua hanyalah catatan biografi paling original, paling asli milik sebuah pribadi, sebuah individu, dunia dengan lingkaran kaca. Dunia yang rapuh terbungkus dalam gambar gambar pantulan dua warna hitam putih, sebagai perlambang dari hukum relativitas, aturan kodrati untuk soal keseimbangan. Semua pantulan dari dua kubu berseteru; logika dan hati. Meskipun kerap kali antara logika dan hatipun berjabat tangan dan saling memberi kompromi atas kepentingan masing masing. Ketika penderitaan hadir sebagai hasil hubungan gelap antara iblis dan akal, maka hati dan logikapun disibukkan dengan rapat rapat yang melulu mempertentangkan keraguan demi keraguan, prediksi demi prediksi, dan evaluasi demi evaluasi atas semua yang telah terjadi.

Lalu tidak ada segala sesuatu yang berdiri sendiri. Satu sama lain unsur dan elemen, saling berhubungan hanya dengan isyarat sensor. Semua mengangkat kepentingan yang sama dan satu saja, yakni manusia, kita diluar dari kehidupan diluar kita, dan sekaligus melingkupi segala riwayat dan kisah yang menyebabkan diri kita menjadi ada hingga tulisan ini terbaca. Penderitaan sekali lagi adalah baginda yang memerintah pribadi setiap manusia hidup dan berakal waras. Banyak orang bernasib tragis, runtuh dinding kaca yang melingkari kepribadianya, pecah oleh peperangan dahsyat antara hati dan logika dan kehilangan tempat untuk melihat diri. Mereka bahkan tidak menyadari kemalanganya sendiri, bebas dalam dunia ikatan sederet tatanan kepantasan dan aturan peradaban umum. Orang orang malang itukah yang beruntung karena mereka dibebaskan dari himpitan penderitaan mental? Ataukan mereka dari golongan dari orang yang justru gagal mengartikulasikan penderitaan dengan sebagai keindahan seni kejiwaan?

Ah, tidak saudara. Orang orang malang yang karena miskinnya hati nurani penguasa negara mereka harus menjadi manusia tak berguna diperempatan jalan ataupun sepanjang trotoar itupun adalah manusia juga, tetap memiliki jatidiri meskipun terlempar dari kumpulan peradaban. Di dunia mereka, penderitaan menjadi lembah terindah dan terluas yang mereka tinggali. Mereka yang kita pandang malang, telah menyempurnakan ultimate human drama. Pikiran mereka terbebas dari kewajiban berpura pura, serta kewajiban kewajiban lain sebagai simbol kewarasan seorang manusia. Kemalangan mereka hanya terletak di masa lalu, memfosil dan menjadi batu pijakan dalam kehidupan alam fikiran yang mereka bawa bawa tanpa beban kamanapun juga. Jiwa mereka terperangkap dalam kungkungan kodrat mahluk hidup, terbungkus dalam rangkaian kulit, daging, tulang, syaraf dan darah. Sebenarnya mereka adalah siluet bagi kehidupan fana. Terlalu terbiasa dengan penderitaan membuat mereka tak mengerti lagi apa itu penderitaan dan seperti apa itu rasanya perih hati. Tak ada seorangpun yang waras bisa mencicipi citarasa penderitaanya maupun nikmatnya dia berselancar dalam gelombang jiwanya. Demikian juga mereka, tak mengerti makna kewarasan dengan mengorbankan sederet nilai kemanusiaan hanya demi pengekspresian rasa kecewa, yang diganti nama menjadi penderitaan bathin.

Penderitaan dari segala sisi tetaplah absurd. Ia adalah dramatisasi indah dari sebuah hidup individu, titik debu bagi komunitas kosmik. Yes, the pain is an ultimate human drama…

Gempol, 060813