Wednesday, May 17, 2006

Senja di simpang Pasar Rebo

Sepenggal ceritera dari Jakarta – 1

Mendung tipis menggantung diatas jembatan layang simpang Pasar Rebo, menafikan kebisingan. Di barat matahari melembayung bersiap luruh ke pusar bumi. Wajah wajah layu dengan mulut terkatup diam, memancarkan kecemasan dan fikiran yang berlarian kian kemari. Ke segala arah mereka membawa langkah, dalam kerangka rapuh kehidupan pribadi yang terkurung tembok tinggi individualisme. Tak seorangpun mengenal siapapun disini, dikebisingan lalu lalang manusia ini. Mereka menyimpan dunianya sendiri sendiri dan membawanya kesana kemari sebagai cangkang pelindung diri.

Rambu rambu jalan dipasang untuk menangisi kebangkrutan disiplin sebagian yang bangga atasnya. Sedangkan dibawahnya berdiri gagah selusin penegak berseragam memahfumi ketidak berdayaan sang rambu jalan. Merekapun hanya robot yang berdiri dibawah rambu berdasarkan hitungan waktu, maka dikepalanya yang cemas melulu berisi arloji, kalendar dan angka angka. Selebihnya adalah percakapan pribadi keluarga, mantra keramat bagi kekacauan nurani.

Ribuan pejalan kaki kehilangan trotoar oleh sebab telah menjelma jadi pasar. Diantara desingan peluru baja, pejalan kaki menyabung nyawa, bermimpi akan keselamatan diri menjadi domain bagi kesadaran pengguna jalan, sedangkan hanya hak pribadi yang tampak bagi setiap kepala. Kehidupan sedang bertransformasi, melompat dari satu ruang ke ruang lainya dalam masing masing koloni asingnya dan rembulan pucat malas muncul disisi timur, berbalut debu; samar samar.

Pengemis cilik dan pengemis renta, seperti mencoba menjajakan nyali; prototype generasi masa depan dan pendahulu, menggadaikan harga manusia dengan belas kasihan dan dengan jubah palsu. Di simpang ini Jakarta ditawarkan dengan harga pinggir jalanan. Pasar besar atas segala komoditi kehidupan, bagi siapapun yang sekedar lewat dan tak cukup punya ruang waktu untuk sekedar melirik kepentingan sesama.

Simpang Pasar Rebo ketika senja, mempertemukan jutaan kekesalan dan kecemasan Jakarta sehari penuh. Diantara riuh dan keruhnya, rencana rencana atas fase kehidupan lain lagi menjombak disetiap kepala yang melintasinya. Sebagian akan menjadi hiasan di halaman depan koran pagi esok hari, teman menikmati segelas kopi, yang kemudian hinggap sejenak di otak untuk menghambur hilang tak berbekas dihati pembacanya. Bagi yang tak beruntung masuk menjadi berita, tinggal zombie zombie penunai keharusan hidup ciptaan budaya baru metropolitan.

Disini panca indera jadi mati rasa. Mata tak saling melihat, telinga tak menerima getar suara, hidung menjadi kebal atas tajam asap knalpot dan anyir genangan got celaka, lidah mati kehilangan selera dan fungsi ragawi terwakili oleh fikiran materi. Keterasingan mendatangkan bimbang, menoleh kekiri ke kanan hanya berisi rabaan perasaan. Apakah diri telah terdampar di planet asing?

Bocah balita berdandan kumal, menyinggung lengan sodorkan tangan. Tajam mata memohon kasihan menutupi sorot bengis yang mengerikan. Senja di simpang Pasar Rebo menjadi saksi, uang recehan telah membunuh kemuliaan masa depan sang bocah, dia telah jadi bagian dari aspal jalanan…


Pasar Rebo suatu senja 060517