Friday, January 06, 2006

Bagimu yang sedang menjelma sakit

Engkau bimbang diantara setengah keberanian dan setengah ketakutan; sama sama nisbi. Penyesalan hanyalah batu beban ditas punggung, dan kau memilih menjelempah mengharap malaikat datang bawa ambulans.

Lihat sekelilingmu, semak semak akan semakin mengurungmu jika kau hanya menunggu dibawah pohon, bahkan sang akar pohonpun lambat lambat akan melilit dan mencekikmu...sementara harapmu tak pernah terjawab, tak ada malaikat bawa ambulans...

Tangan yang dilurkan semestinya dijadikan tiang penyangga ketika kakimu lemah, kepedulian yang disodorkakan mestinya menjadi pelampung ketika engkau mulai tenggelam; bukan untuk dicampakkan. Nyatanya ribuan kata kata bijak lewat bagai angin disisi telinga, mustahil menembus kokoh dinding ego yang membentengi fikiran.

Ya, engkau mengharap cinta dari cinta yang telah kau hancurkan dan memandangnya sebagai bukan apa apa. Membangun kebohongan diatas kebohongan atas azas cinta, atau sekedar petualanganmu mencari pengakuan. Nurani tentu berontak dan menuntut pembebasan dari penindasan, sebab engkau hanya sang naga yang mempermainkan luka luka pada jiwa orang orang yang menjelajahimu. Tapi engkau tak merasa, sebab yang ada hanya lukamu, hanya keberadaamu semata. Jikapun engkau merasakan perihnya, itupun hanya engkau dengan mudah berpaling dan memutar globe duniamu yang kecil.

Teruslah bermimpi, hingga kau sadar bahwa engkau telah jauh tertinggal hanya untuk mencoba mencari dimana ketertinggalanmu. Sekarang engaku menjelma sebagai si sakit yang lemah, terus berharap cinta yang kau hancurkan akan datang memberi hiba. Bukankah engkau adalah naga yang memiliki kekuatan melebihi rata rata? Kebesaranmulah yang memberatkanmu, kekebalanmu pulalah yang menyakitimu.

Sungguh, hidup ini absurd, sangalang….apalagi ketika diri bermahkota ego. Ketika semut diseberang lautan terang benderang dalam pandangan. Sungguh kepintaran absolut yang jusru menghilangkan cermin atas diri. Bahkan mengaburkan pandangan tentang orang orang yang sebenarnya peduli, menjadi sosok sosok tak berarti. Kepintaran dan egomu memagari, menghalangi malaikat manapun untuk sekedar menepuk pundakmu, memelihara kekuatan agar dagu tetap terangkat dan tatapan lurus kedepan.Tapi engkau memilih menjadi budak atas ego hatimu yang tak pernah terkalahkan…memajang keterpurukan disepanjang perlintasan perasaan.

Dan sepotong kabut yang mestinya menyejukkan menjadi tak berarti dalam kehidupan megahmu…

Graha Simatupang, 060105 – 1620

1 comment:

Anonymous said...

Tulisan yang indah ....
TX for visiting my blog. May i link this blog ?