Tuesday, August 08, 2006

Sunyi hati di tengah riuh

: Urip

Inilah raga yang tak berjiwa, daging berdenyut disangga belulang kumuh dengan tempurung kepala kosong berisi udara busuk bekas bangkai penghuninya. Telah disembelih mimpi untuk ditukar dengan sekedar senyum dan nyaman bukan untuk dirinya. Tugas kewajibannya sebagai manusia untuk menjadi manusia. Pengikat hati telah lapuk kini, membiarkan cinta tumbuh subur meninggi di tempat yang tak semesetinya. Kesunyian mengiringi setiap langkah, mendenging menikam riuh tawa dan jerit bahagia. Orang orang ada di dunia ini dimaksudkan untuk menikmati isinya, demikian juga penduka. Merasakannya dengan cuka cita akan menjadi seni hidup yang tak tertandingi oleh karya seni masterpiece manapun. Ia memiliki nilai tertinggi bagi pribadi yang mengalami dan menjalaninya. Hidup jadi terbebas dari rasa, terbebas dari kehendak masa depan, mengalir pasrah tak mengapung juga tak tenggelam. Menggelinding lemah mengikuti tinggi rendah lereng lembah usia. Dia tak memiliki tempat dimanapun lagi.

Dunia dibelakang garis pelipis hanyalah gelap berisi dugaan semata. Tak tampak pohon pohon raksasa makin subur menjulang, menjajikan alternative hidup sandaran hati dengan bahasa bisu. Disana terbangun bunker perlindungan dari terik tikaman dendam, dimana teriakan kekesalan dan jerit kesakitan tak dipersalahkan. Semuanyapun berjalan sendirian tanpa beban target tujuan, hanya pencarian atas sesuatu hak pribadi yang masih bisa didapatkan dari puing puing bencana. Biarlah jiwa berjalan tanpa rasa selama ia sanggup berdiri melangkahkan kaki, sebab hanya itu, sesederhana itulah semestinya hidup dijalani. Angan adalah angkasa dimana batasnya adalah udara. Emosi memotivasi gerak dalam jangkauan dinding dinding kepantasan yang menempatkan kata ‘tidak boleh’ sebagai pagar pembatas dan sekaligus garis penegas. Dan dinding dinding udara itupun begitu rapuhnya untuk diterobosi dengan melangkahkan satu kaki.

Hukum relativitas kemudian berubah menjadi absurd bahkan rancu kehilangan formula. Keseimbangan jadi gonjang ganjing mengikuti irama angin membacai alam. Dunia ternyata hanya setipis tebal uang logam untuk membedakan hitam dan putih sebagai patokan baku berlakunya hukum relativitas; keseimbangan. Urusan sakit hati tak pernah ada seimbangnya karena kekuasaan hati berbatas udara di setiap sisinya; maha luas tanpa ukuran. Kemana bermuara segala emosi rasa? Sedangkan hidup terlanjur dipatok harus memiliki rasa, semua tentang rasa. Sama halnya urusan mencintapun demikian pula berlaku idem. Ia memiliki ekspresi seluas langit sampai tak ada kemustahilan yang pantas disebutkan. Hati tak bisa dibendungi, diarahkan bahkan dibaca sekalipun. Ia adalah raja bagi sebuah pribadi yang memiliki kekuasaan penuh dalam setiap gerak dan aksi. Logika sang penasehat bijakpun kerap luluh lantak dibawah kaki sang hati. Mengharapkan orang untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang kita harap, sama saja dengan memetik asap rokok dan menyimpanya dalam toples untuk pajangan. Nisbiah.

Oh, sunyinya hati justru ditengah riuh hiruk pikuk segala hiburan. Hiburan atas apa? Hidup yang menjenuhkan? Atau sekedar memanjakan diri tanpa juntrungan sebagai penegas status sebagai penghuni bumi berperadaban? Peradaban, bukankah semacam permainan kehidupan dengan segala macam corak aturannya dibuat sebegitu mutlak hingga setiap orang menempatkannya menjadi papan peringatan dalam angan masing masing?

Diantara riuh keramaian dia merasa asing dan sendiri, terombang ambing dalam kemidi yang berputar pada poros yang sama, dengan sesal dan mual menjejali dada, dengan kemuakan yang melobangi kepala, meloncat jadi ludah yang menyembur liar, pertanda hati yang panas terbakar. Di sudut jalan ia muntah, mabok oleh nanah dari luka luka tak kentara yang diemban dalam jiwanya. Ia telah menjadi alat masturbasi emosi bagi hidup manusia yang menganiayanya yang hidup langgeng dalam bumi khayali, tak terkoyak apalagi luka.

Dufan – Ancol 060808