Monday, December 10, 2012

Menara Bisu



Bagi kenangan, malam adalah menara tanpa cahaya, tanpa suara. Pada bastion bastioan sepi ziarah pikiran berpendar liar memunguti serpihan kesan. Ternyata, kuota usia yang semakin menipis menggiring langkah langkah kaki menyusuri pematang lengang yang menyempit. Makin lama makin sunyi, hanya ada langit dan bumi. Pikiran menjadi satu satunya teman, tempat kenangan terangkut dalam ingatan yang patah patah. Separti halnya sejarah yang hanya mampu terbaca dengan cara draba.

Mozaik bisu susul menyusul mengerjap seperti bunga langit yang menggeletar lalu lenyap. Sungguh, masalalu telah menjadi benda mati yang kehilangan warna hidupnya, tinggal sinema berwarna pucat sebagai penghiburan rasa. Berharap menjadi kebanggaan pribadi sebab pernah menjadi elemen debu di ranah bumi. Barangkali memang inilah penjelmaan dari relief ingatan yang membentuk museum sangat pribadi; sebaris catatan di dinding langit.

Pada pandangan yang enggan terlepaskan, terpaksa pedang menebas simpul pengikatnya, agar lepas mengembara sesuka udara. Ada kalanya, sesuatu yang terlalu menggila tak mewakili rasa. Euphoria penuh keniscayaan tak ubahnya induk dari déjà vu yang rajin datang hampir disetiap waktu. Déjà vu yang sekarang sudah berubah bentuk menjadi runcing menusuk di setiapa mata sisinya. Sebenarnya, yang melahirkan sakit dari kenangan buruk bukanlah kejadiannya, melainkan penyesalan yang tumbuh setelah saling berpamitan.

Maka kepingan demi kepingan ingatan kemudian bermetamorfosis di dalam palung hati, menjadi monumen bisu yang sangat diam. Menara tanpa suara menyimpan relief relief keindahan ketika tawa terbagi dalam cerah hari hari. Lalu mendung menghalang matahari, membuat bumi muram. Ah, apa bedanya juga jika toh pada akhirnya pematang yang menyempit menumbuhkan bunga bunga rumput disepanjang sisinya. Hidup tetap berjalan meskipuan lengang seolah tak bertuan. Dan semua yang sepatutunya terjadi akan menjadi kejadian dalam kehidupan. Yang tua ditinggalkan, dan yang muda muda kemudian berlagak seolah juragan. Juragan yang berhak atas kehidupan lahir batin orang lain, manusia lain; atas hakekat hidup mahluk lain. Sudah menjadi jamak memang, bahwa usia muda berbanding lurus dengan kesombongan, sebagai implementasi dari pencarian jatidiri yang tidak ada.

Jendela jendela keinginan menganga tanpa daun, membiarkan lumut dan debu bersetubuh disetiap lekuk dan bentuknya. Biar menjadi usang, bekas peradaban masa silam yang tadinya disangka sebagai masa depan. Lalu hujan yang kebingungan mengundang jasad  renik dari benturan pertemuan  yang berhamburan di lantai granit kala itu. Tempat ini menjadi hidup dalam matinya yang tenang. Ada jejak jejak purba yang muram membatu ditingkahi masa. Ada rindu yang jatuh barsama rintik hujan di daun kamboja tepi balkon.

Inilah kisah ziarah sepanjang lorong sepi sisa pertikaian pemahaman. Menara tanpa suara bagi hati yang diam diam kehilangan. Detak arloji memaparkan sesal demi sesal atas kesempatan yang terisa siakan begitu saja tanpa disadari. Sedangkan pikiran atasnya masih menjulang laksana monumen senyap yang menggapai gapai langit, mencari seserpih saja kenyataan. Rupaya waktu telah mengalahkan semua kejadian, seperti sebutir debu yang hanyut terbawa air hujan; melintas hampa dibawah jembatan Ampera menuju lautan.

Seperti halnya air mata yang luruh tanpa tangisan…

Palembang 121210   



1 comment:

Anonymous said...

Je veux commencer un blog d'examen. Mon ami et moi examinerait etc livres, jeux, jouets.