Friday, September 29, 2006

Tiang goyang sandaran nasib

Adalah hati jua yang merestui, tiang sandaran tetap berdiri diatas fondasi labil ketidak pastian yakin. Justru ketika kaki tercerabut dari akar tanah kering hasil bangunan ribuan tahun yang lengang dan melelehakan. Fondasi di udara akarnya menggantung mencari cari pegangan atas asa yang melapuk pelan pelan.

Durjana telah meremasnya jadi cerita, santapan minum bir di rumah bordil sepanjang jalan, memperlakukanya bagai barang mainan yang tak punya hak merasakan apa apa. Dijejalkanya neraka ke dalam syaraf sang tiang hanya agar dia tetap berdiri jadi sandaran nasib meski goyang dihempas bimbang berkepanjangan.

Sepenggal demi sepenggal kepalsuan yang menyakitkan bahkan menghancurkan ternyata rapi jadi pajangan sejarah baru bagi si tiang goyang. Bahkan tangis dari kesedihan dan darah dari luka yang menyatu jadi amarah atas akar yang dihentakkan serta merta tak punya nilai apa apa bagi kebahagiaan moral.

Tiang goyang sandaran nasib, menanggungkan cerita panjang tentang kisah kepahlawanan basi yang perlahanpun jadi palsu jua. Jubah kemanusaiaan dikenakan jadi penghiburan yang sia sia, luluh lantak di lumat sesal dari panen yang gagal. Beraja pincang dalam pelukan beku, kematian palsu dalam kehidupan yang palsu. Ia hanya menunggu entah matahari entah bulan yang akan mengantarnya kembali, menemukan jiwanyua yang telah sekian lama hilang ditebas tajamnya belati zaman.

Ketika musim mengantar cerita tentang kampung halaman dimana bunda setia menanti dengan dekapan tangan terbuka menyambut kehadiran, didendangkanya nyanyian sunyi di tanah kering tempatnya memenuhi kewajiban sebagai tiang tumpuan dengan ketidak relaan yang dipaksakan. Bahkan mimpi mimpi buruk yang hadir rutin setiap haripun tak mampu lagi ia pungkiri sebagi pijakan baru lagi setiap pagi datang menghamparkan pertanyaan tentang apa yang mesti terjadi dan apa yang mesti dibangun, sebab ketiadaan telah menjadi nafas dan ruh bagi tubuhnya yang terus digerus usia, dan mengapung di udara tanpa warna dan tanpa rasa…

Gempol, subuh 060929

3 comments:

shanin's mom said...

ayo mudik.... :)

Anonymous said...

kampung halaman bunda, itu tmpt yg paling nyaman bud

Anonymous said...

Bertarung sendiri, lewati mimpi buruk setiap hari.

Pun hanya sakit yang di dapat, sang tiang tetap kokoh, walau tetap digoyang angin kiriman sang iblis.