Monday, October 09, 2006

Penjahat

Trend kejahatan menjelang tiga minggu menjelang lebaran semakin gila gilaan! Membunuh bagi perampok adalah hal yang lumrah sebab bagi mereka merampok adalah menjalankan operasi dengan misi yang jelas dan sadar akan resiko yang amat tinggi. Merampok menjadi pilihan profesi ketika menjadi maling kelas teri justru resikonya tidak sebanding dengan kuantitas penghasilan yang ditargetkan. Jambret HP sampai maling ayam atau maling sandal jika ketahuan dan ketangkap massa akab bisa mengakibatkan muka memar, kepala benjol benjol, tulang patah patah, gigi rontok bahkan bisa bisa nyawa di badanpun raib dihakimi (dihukum) beramai ramai.

Ini negeri penjahat, dimana bagi yang mampu bisa melegitimasi aksi kejahatan dengan sistematis yang sering dinamakan korupsi. Artinya sama saja; maling!. Maka bagi penjahat jalanan yang berpikiran maju dengan nyali yang mencukupi, merampok menjadi alternative pilihan yang menggiurkan. 3 miliar bisa diarup dalam satu aksi, atau paling tidak uang tunai puluhan bahkan ratusan juta rupiah bisa berpindah hak kepemilikan dalam satu gebrakan yang direncanakan matang. Tak peduli siapa yang menjadi korban, sebab dalam terminology penjahat mereka adalah target yang sudah di peta dalam perencanaan matang dengan scenario yang detail, bukan asal asalan. Mungkin ibaratnya tebang pilih dalam menentukan siapa menjadi korban. Sungguh sebuah daya kuasa yang amat besar berada di tangan para penjahat terorganisir spt ini.

Tentu hati miris setiap kita mengetahui aksi biadab para penjahat yang dengan semena mena mencabut nyawa orang yang sedang mencari nafkah bagi keluarganya, dengan sefihak mengambil alih kepemilikan atas sejumlah materi dengan paksa. Sama saja, sang penjahat juga punya dalihnya tersendiri dalam menjalankan aksinya, yakni mencari penghidupan bagi keluarga yang menggantungkan harapan kepadanya. Inilah jalur ‘formal’ bagi mereka yang memiliki nafsu material besar denga kesempatan mendapatkan secara halal sangat terbatas. Kita masih ingat nama nama yang menyeramkan dari masa lalu seperti Kusni Kasdut dari Solo, Toyib dari Palembang, Johny Indo yang kabur dari Nusakambangan, Anton Medan yang kesohor mengusai dunia hitam dst dst. Tokoh tokoh itu begitu menyemarakkan dunia perpenjahatan kita dimasa lalu. Bedanya, mereka melakukan aksi mereka dengan elegan, dengan cara yang lebih sopan meskipun tetap saja penjahat, tapi penjahat elite di masanya.

Di masa reformasi, kenapa penjahat penjahat ini begitu brutal dan main dar der dor di jalanan bak film laga buatan Hollywood yang sering kita tonton di tivi tivi?

Pertama, karena memang mereka ‘pintar’ membaca peluang dari kelengahan sang korban. Si korban sering termakan dengan anggapanya sendiri bahwa siang bolong, keramaian adalah perisai anti penjahat yang mumpuni. Sungguh naïf pemikiran seperti itu. Ah, itu hanya berlaku bagi penjahat yang pemalu, saudara! Security awareness masyarakat kita masih sangat rendah dengan menyepelekan scenario terburuk yang mungkin terjadi dengan diri kita sendiri. Padahal, di siang bolong, di kerumunan maupun di kesunyian penjahat selalu ada, mereka beraksi tanpa membedakan dimensi waktu dan ruangan. Penjahat ada dimana mana dan tidak satupun dari mereka yang bisa kita kenali sebelam kita menjadi korbanya, bahkan sesudah kita celingukan gusar menjadi korban.

Kedua, karena gampangnya memeperoleh senjata api di negeri ini. Regulasi pemerintah tentang kepemilikan senjata api yang menetapkan pajak dan perijinan dengan harga tinggi itu jusru menjadi pupuk penyubur bagi keberadaan pasar gelap senpi illegal. Negeri kita menjadi pasar raksasa yang potensial bagi banyak benda ilegal, juga sebagai surga bagi kegiatan penyelundupan. Angka pengangguran yang mencapai 10,4% baik pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung menciptakan kondisi tingginya permintaan pasar akan ‘alat’ bekerja seperti senpi yang bisa mengahsilkan beratus kali lipat dari modal awal (jika bernasib mujur. Kebanyakan sih, mujur!). Di sisi lain ‘oknum’ aparat Negara yang memang dibekali dengan senjata pembunuh sebgai kelengkapan mengabdi kepada negeri ada juga yang kurang dilengkapi dengan bekal moral yang cukup dalam mengaktualisasikan diri sebgai pengemban kedaulatan tatanan Negara. Para oknum ini acap kali dengan ikhlas rela ‘meminjamkan’ atau menyewakan alat pembunuhnya kepada para penjahat atau bahkan terjun langsung mempraktekkan keahlian mereka memainkan senjata api dan juga membangun strategi serangan.

Ketiga, adalah abrasi budaya. Sifat ketimuran kita yang rahmah tamah sering dimanfaaatkan oleh orang berhati licik (kelak disebut sebgai sang penjahat) untuk justru mengambil keuntungan. Tatanan kehidupan yang ‘friendly’ menjadi tinggal semacam simbol, sementara dengan mudahnya kita temukan sample sample tentang kekerasan disekitar kita. Lihat saja di seinetron sinetron yang juga di tonton oleh anak anak usia ‘pencarian’ identitas diri, begitu akrab dengan kekerasan, konflik, intrik, bahkan senjata apipun telah menjadi benda yang bukan keramat lagi sebagai alat kekerasan dalam tontonan bertajuk hiburan tersebut. Abrasi budaya yang demikian parah telah mengambil jatah kendali terhadap pola pikir dan gaya hidup yang juga mengajarkan orang untuk mencintai harta apapun caranya. Kesenjangan sosial di eksploitir sedemikian rupa sehingga tanpa sadar semakin memperparah abrasi terhadap budaya kesopanan kita. Kondisi hidup yang serba kompetitif dan ketat tercipta dari abrasi budaya baru ini dan dengan alami mencari solusi pemenuhan. Akhirnya jalan pintas muncul sebagai alternatif meskipun itu dengan cara merampok, merampas menguasai hak orang lain dengan cara paksa atau kekerasan.

Nah, saudara! Buka mata, buka telinga untuk setiap inci dinamika disekitar kita. Satu hal kecil yang diluar kebiasaan bisa menjadi indikasi akan terjadinya sebuah kejahatan besar yang mungkin saja menimpa kita atau orang orang disekitar kita. Lindungi diri dan keluarga kita dari kejahatan dengan selalu mengedepankan logika pencegahan, sebab kita tidak pernah akan sadar bahwa kita telah kecolongan sebelum kita menjadi korban, dan para penjahat tidak dapat kita kenali sebelum bahkan sesudah kejadian menimpa kita. Tapi mereka ada disekeliling kita, diantara kita dan menunggu peluang untuk memilih kita menjadi target operasinya.

Ingat, kejahatan terjadi karena adanya niat, kesempatan dan kemampuan!
Waspadalah…Waspadalah…!!!!

PS. Ditulis sebagai batu pengingat atas maraknya perampokan brutal bersenjata api tiga minggu menjelang lebaran 2006.


Gempol, menjelang subuh 061009

1 comment:

Anonymous said...

"Kalo ke bank hati hati ya, pit...Lihat2 sekitar kalau ada orang2 yang mencurigakan. Aku selalu kuatir kalo kamu perginya ke bank..."

Iya, pak polisiiii...

:)