Friday, September 29, 2006

Lelaki yang menunggu mati

Menempuh sisa perjalanan dengan langkah mundur ke belakang, dimatanya meneracap serpihan luka dari hatinya yang dihancurkan suatu ketika. Dan puing masa lalu menghampar di pandangan merengek kehilangan estetika warna, kehilangan estetika suara. Hidupnya jadi hambar, beku dan kaku. Tak ada rambu maupun tanda, seisi bumi jadi telanjang kehilangan warna. Belakangan ajaran nilaipun tak lagi sanggup memanggil nuraninya untuk kembali kepada kesejatian. Ia bangkrut tersesat dan luka, menampak pagi laksana senja dan bulan malam kehilangan pembeda dengan matahari di siang terik.

Jantungnya koyak tercabik masa, darahnya tercemar iblis yang rajin berak di kepala tiap detik, tiap menit, tiap jam dan setiap harinya. Di udara, di angkasa raya dia menggambar sisa sisa angan yang menyesatkan keyakinan. Ia mati dengan nyawa yang masih melekat di badang wadagnya. Sesal, amarah, dendam serta asa membayang bagai gumpalan udara yang berterbangan dipermainkan rusuh. Ia terperangkap di lubang pekat berisi lumpur api yang meleburkan sedih dan gembiranya.

Lihatlah kini, bahkan ia tak lagi melawan ribuan ibilis yang mencincang setiap tunas fikiran bayinya, dari fajar ke senja dan dari senja ke tepi fajar lagi. Kepada ajaran nilai yang kehilangan makna ia paksakan batin untuk meyakini bahwa usia akan mengangkuti sang jahanam ke liang kubur yang digalinya sendiri beberapa waktu silam. Menyembur ludah dari otak yang mendidih marah ketika sunyi hanya mengajarkan kata demi kata makian terbaik yang tak pernah terperdengarkan sepanjang abad. Ajari lelaki itu wahai Tuhan yang bersemayam di setiap kalbu manusia waras maupun gila. Tentang satu kata makian yang bisa mewakili ratusan tahun gundah agar ia sanggup menterjemahkan makna kenapa malam malam melulu berisi siksa.

Bahkan sampai tulang meremuk dan jantungya membusukpun telah ditinggalkan sang rasa. Tertabur oleh kelana bathin yang tersesat kian kemari dari sisi tembok ke tebing jurang ketidak mengertiannya. Lelaki itu hanya ingin sekali saja, malam datangkan damai, suguhkan tidur tanpa mimpi agar esok bisa busungkan dada bangga pada embun pagi hari dan juga pada hangat sinar matahari dan berseru gagah “ Aku laki laki…!”

Lelaki yang menunggu mati, terjajar letih di permainkan nasib. Ia abdikan perihnya bagi hidup yang bukan lagi menjadi miliknya…apapun rasanya, seperti dzat hidup lainya, ia hanya menunggu mati datang membungkus riwayatnya. Nanti, biar sejarah menceritakan bagaiman dia menjalani hidupnya…

Persembahan kepada iblis yang menjebol tempurung kepala, Gempol 060929

3 comments:

Anonymous said...

duh...ngeri gw bacanya :-S

Anonymous said...

Wah...sedih lagi...sedih lagi. Arrgghhh..sedih teruuusss. :(

Anonymous said...

Lelaki yang telah melakukan segala daya upaya menerobos ruang waktu bahkan yang bernama ketidakmungkinan bukan cuma menunggu mati..Biar saja aku yang berharap agar datang sang terang untuk hidupnya nanti..Semoga...