Monday, November 20, 2006

Hujan Pertama

Menyambut kesaksian hujan pertama dari kemarau panjang terakhir, fikiran menembus jauh ke bawah permukaan tanah hampir gundul dimana rumput tinggal menyisakan batang batang yang memutih tak bernyawa, tunduk takluk pada selera musim yang mengangkanginya. Hanya debu dan bangkai dedaunan yang seolah tak memberi harap apa apa.

Nun jauh di bawah permukaan tanah merekah tanapa kelembaban dan cahaya, kebebasan tak bisa dipenjara. Ia hidup dalam penantianya dalam, dimensi waktu yang tak punya simpul mati. Bau harum tanah kering yang tertusuk butiran air mengabarkan padanya tentang kehidupan yang bakal terjadi dan segera dimulai. Seperti halnya pagi yang datang mengantar cerita hari dengan setia; yang selalu berujud sebongkah misteri. Di bawah permukaan segala kehidupan mesti tak mencerminkan wajah bumi di diatasnya, dalam tatanan yang memabukkan keyakinan diri.

Wangi tanah basah seperti melantunkan syair para pujangga leluhur bumi, membujuk fikiran untuk mengembara menyambangi nisan nisan waktu yang berderet di sepanjang lorong nasib, lalu mengecupi sisa sisa manisnya yang berserak usang bagai pajangan di dinding ingatan. Sungguh hati berkehendak angin akan mengangkutinya pergi saja, jauh ke kota kota yang berisi kenangan untuk kemudian tunduk hening dalam upacara penguburan bangkai sang waktu ke makamnya yang abadi. Tetapi hendak dengan apa sang gunung api ini diselimuti? Keberadaannya terlalu nyata bahkan terkandung dalam oksigen dan di udara yang terhirup ke paru paru dan juga pada gas yang terlontar membaur jadi udara kembali setelah masa tugasnya selesai di labirin pencernaan.

O, betapa mengerikanya kerja sang fikiran jika ia hanya berlari pada kubangan yang sama tiap waktunya. Gelap dibawah permukaan alam kenyataan yang benderang dalam lingkupan cahaya matahari. Betapa malangnya manusia biasa dengan beban yang luar biasa, ketika kebohongan melahirkan bayi kebohongan baru dan menjadi koloni dalan kehidupanya. Maka temannya tinggalah mimpi buruk yang meniadakan jeda antara alam fikiran dan kefanaan dunia.

Hujan pertama pada kemarau terakhir, telah meyisakan kemurungan yang terkurung dalam gelap yang diam, jauh dibawah permukaan yang menyembunyikan suara nafas…

Nutricia, 061120

5 comments:

iteung said...

hujan pertama bawa kesedihan ya?
kalo gitu kita tunggu aja hujan kedua, sapa tau bawa pelangi tu buddy :D

pokonya jangan pernah putus harapan ok?!

Ida Syafyan said...

Ceria dong buddy... udah hujan nih, ooohh senangnya...

Saya tunggu tulisan mu tentang indahnya hujanku ini yaa buddy... :)

Johanamay said...

huhuhuhu...hujan terkadang memang membawa kesedihan bagi kita.

Tapi yakin dan percaya, setelah hujan usai kan muncul pelangi :)

God Bless Bro :)

Anonymous said...

Ingin mandi hujan berdua...Pasti seru!

Anonymous said...

hm,, puisi lo menarik2... panjang2 tapi maknanya dalam tanpa ada cita rasa gombalnya...

keren euy,,,

eh kapan2 sempetin kunjungi blog (baru pindahan) di http://www.toilet-kecil.tk

di situ ada puisi gw juga (gw juga pecinta puisi sih)...

salam kenal!