Rabu Pahing yang dibalut gerimis mengawali langkah mengikuti arah
khayali, dari kampungku di Boyolali menjelajahi tanah Jawa bagian utara. Rute
Pantai Utara, jadi jika dari kampungku kearah timur sekitar 7 km, bertemu
dengan kota kecil bernama Gemolong. Dari Gemolong ketemu jalur kereta api yang
menandai jalur jalan utama Solo – Purwodadi. Pada perempatan Gemolong membelok
ke kiri menuju kota Purwodadi yang masuk di Kabupaten Grobogan. Seratusan meter
dari perempatan itu, terdapat stasiun kereta api kecil, peninggalan masa
Belanda dulu. Stasiun Salem namanya. Konon Gemolong dulu namanya Salem, dan
lebih konon lagi sebelum Salem namanya adalah Ngeseng. Mungkin dahulu kota
persimpangan ini pernah berdiri pabrik seng, hal itu sama sekali tidak
diketahui oleh pengetahuanku yang dangkal. Jalur kereta api itu yang
menghubungkan pesisir utara Jawa menuju ke tengah (Solo) dan lalu bisa melebar
ke seluruh pulau, menghubungkan dengan kota kota besar dengan stasiun stasiun
besarnya seperti Jogyakarta dan Semarang.
Belanda membangun jalur kereta api untuk mengangkuti kayu kayu
Jati dari peisir utara Jawa, Tanah Lor simbah menyebutkannya. Terkadang juga
disebut Ngare. Kalau direnung renung, Tanah Lor artinya adalah tanah pesisir
utara Jawa, sedangkan Ngare kemungkinan seseorang pernah menyebut daerah hutan
yang luas itu dengan Ngarai. Selain kayu jati, produk produk laut juga mengalir
ke jantung Jawa melalui jalur yang sama. Kudus, Jepara, Pati, Blora, Rembang,
dan sekitarnya adalah gudang produk maritim yang sangat besar. Simbah adalah
pedagang di masa produktifnya. Namanya Wakiyem, orang memanggilnya Mbah Jo
(karena pernah bersuami bernama Harjo – yang dulu aku selalu memanggilnya
dengan panggilan Mbah Moe). Masa kecilku dulu sering mainan di besek
raksasa tempat simbah membawa tembakau dagangannya ke Tanah Lor, tembakau yang
didapat dari daerah Temanggung. Simbah sering menyebut stasiun Kutoarjo masa
itu. Terkadang simbah membawa ke selatan ikan asin berkarung karung untuk
dijual di Solo. Jari manis sebelah kiri punya simbah memang tampak beda, dan
beliau berkisah bahwa kecacatan itu diakibatkan oleh duri ikan asin dalam
karung dagangannya yang ia tepuk di atas kereta api suatu ketika, dan
menyebabkan luka infeksi, menjadikannya cacat permanen. Jejak jejak simbah
sebagai bekas peniaga ulung hanya aku temui ujungnya, dari beberapa benda saja
seperti sekaleng uang koin yang kata simbah sudah tidak laku lagi, menjadi
barang mainan bagi aku sesaudara. Besek raksasa bekas wadah tembakau yang
terbuat dari anyaman bambu itu, tempat favorit bermain bersama kami. Kami
sering masuk ke besek itu, kemudian menutup diri kami dengan penutupnya yang
juga dari anyaman bambu. Kami betah berlama lama berdua dialam besek itu,
sambil sesekali mengintip keluar melalui lubang lubang anyaman. Benda
selanjutnya adalah Grobok (mungkin benda ini asalnya dari kata drop box). Peti raksasa yang berfungsi
sebagai meja itu berada ditengah ruangan, karena memang difungsikan sebagai
meja. Terbuat dari kayu jati tebal, dan didalamnya simbah menyimpan untingan untingan padi dan terkadang
beras dalam wadah dari anyaman bambu lagi, anamanya bojok.
Wadah dari anyaman bambuseperti itu tiap tiap ukuran dan bentuk
memiliki nama sendiri sendiri. Yang terkecil itu namanya centhak, tompo,
kemudian lebih besar lagi tumbu, bojok, tomblok, lalu senik. Itu
urutan berdasarkan kapasitas daya angkutnya. Biasanya cara membawanya di
gendong dengan menggunakan utas kain jarik atau selendang. Sedangkan benda
serupa yang dikhususkan untuk dipikul bernama thopling. Seperti halnya
barang diatas, thopling juga dibuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat
setinggi kira kira 50cm Di keempat sudutnya ditautkan tali keatas, tempat
nantinya melilit di pikulan. Container gendongan itu dibuat dengan anyaman bambu
yang halus, sedangkan thopling dibuat lebih kasar dan kekar. Peralatan
peralatan itu sekarang sudah mulai punah, berubah menjadi plastic dan yang
bermesin. Aku masih mengalami paling senang kalau dipikul oleh pakde Bejo, aku
sebelah dan anak lain di thopling sebelah, terkadang juga menggunakan benda
hasil bumi sebagai penyeimbang sebelah. Itu sensasional bagi masa kecil.
Melewati Gemolong, jalanan lengang diguyur gerimis Januari. Tetapi
sungguh hari hari pertama tahun barupun tak juga membedakan aktifitas di pasar
pasar tradisional yang terlewati. Jika melintas ke arah utara, maka nanti akan
ketemu dengan papan tulisan besar besar berbunyi “Lokasi Pariwisata makam
Pangeran Samudro”. Itulah yang orang orang sebut sebagai Gunung Kemukus. Konon
itu dalah sebuah bukit dimana terdapat makam yang dikeramatkan. Orang percaya
bahwa memohon dan bertirakat di makam itu dapat mendatangkan kekayaan, dengan
syarat bahwa si pemohon harus berhubungan badan dengan lawan jenis sesama
pemohon di tempat itu. Sejak beberapa tahun silam mitos itu sudah berubah,
Gunung Kemukus sudah menjadi lokasi pelacuran dan salah satu sumber pendapatan
kabupaten Sragen. Konon pangeran Samudro adalah seorang pangeran yang jatuh
cinta kepada ibunya sendiri. Kisah itu sangat mirip dengan kisah Tangkuban
Perahu di Jawa Barat. Jika dinalar secara logika, maka memang perkawinan
sedarah tidak boleh karena sangat riskan terhadap keturunannya kelak. Aku
sendiri belum pernah datang ke tempat itu, tempat yang langsung berkonotasi
mesum.
Sampai dengan Gunung Kemukus terlewati, sepanjang perjalanan kita
beriringan dengan rel kereta api di kiri jalan, kemudian kita akan bertemu kota
kecil bernama Sumberlawang. Kota kecil dengan stasiun kereta api kecil yang
masih terawat baik sehingga sekarang. Aku tidak punya cerita banyak soal
Sumberlawang ini, kecuali dulu waktu SMP sempat bersepeda bersama teman teman
ke kota kecil ini. Melewati Sumberlawang, maka kemudian perjalanan lebih banyak
melintasi hutan dan oro oro. Seingatku dulu ini adalah hutan jati yang rimbun
dan terkesan wingit, jalannya berbelok belok di beberapa tempat. Sekarang
pepohonan didominasi oleh pohon pohon mahoni raksasa, dan beberapa rumah sudah
dibangun diantara sela selanya. Jalanan yang sebentar aspal sebentar beton
menandakan bahwa tekstur tanah ditempat ini labil, mudah bergerak dan
menyebabkan kerusakan konstruksi jalan.
Kita skip perjalanan melewati hutan dan pedesaan, untuk kemudian
memasuki kabupaten Grobongan. Sawah dan beberapa bangunan tua menyambut beku,
meskipun hari sudah beranjak makin siang. Waktunya sarapan telah terlewatkan,
dan gerimis masih saja turun perlahan lahan. Kuda penarik delman mengangkut
penumpang yang baru pulang dari pasar, diantaranya membawa seekor kambing
betina yang dipegangi erat oleh pemiliknya, tepat di kekang lehernya. Aku membayangkan
percakapan antara kuda penarik delman dan kambing penumpangnya; mereka tentu
saling mencurahkan isi hati tentang betapa nesatpanya hidup menjadi binatang.
Yang satu diperbudak oleh tuannya untuk mencari nafkah dengan tenaganya, dan
sang penumpang hanya menunggu waktu sampai sang jagal menutup biografinysa
sebagai kambing untuk terhidang di meja makan. Sang kuda lebih nestapa lagi,
setelah tenaganya habis diperas sepanjang usia, iapun akan menghadapi golok
tajam penjagal di warung sate kuda. Sayang sekali, mereka tak terdengar
menghiba hiba oleh telinga manusia.
Memasuki kota Purwodadi, jalanan masih saja sepi. Barangkali
memang kota ini setiap hari sepi. Atau hanya kebetulan karena angka di almanak
berwarna merah, kemudian seolah olah kehidupan berhenti sejenak. Menara tandon
air di persimpangan jalan lima arah tengah kota menandakan kita berada di pusat
kota Purwodadi. Menara air yang menjadi penanda, pertemuan dari lima arah jalan
yang berbeda beda; Solo, Semarang, Blora, Pati dan Rembang.
Jam delapan malam. Pikiran kosong di ruang tamu.
Buku gendut berjudul “Pram Melawan” tinggal sekira seperempat lagi
selesai kubaca, tapi saat ini aku sedang tidak mood membaca. Aku pengen
mendengar sesuatu, tapi mendengar apa yang menarik saat ini? Seharian tadi
berulang ulang memutar lagu in the arms
of angel dari Sarah McCallahan itu.
Diluar rumah gerimis turun, suara butiran air lembut menyentuh atap beranda
berbahan plastik. Gerimis mengurung badan kita dalam ruang yang begitu aman dan
kering. Teralinya berupa perasaan syahdu merindu rindu. Semua kenangan
membanjir, semua ingatan mengalir menembusi rintik air. Sungguh hujan adalah
sesuatu yang ajaib.
Sejak kecil sampai setua ini aku masih menyukai hujan. Waktu
kecil aku senang sekali main hujan hujanan. Bue seringnya mengijinkan, dengan
catata bahwa sesudah hujan hujanan harus mengerjakan sesuatu atau jika sudah
tidak ada pekerjaan yang menjadi tugas lagi. Telanjang bulat hujan hujanan,
berlarian dan memburu genangan genangan kecil. Seperti biasa, berdua dengan
Sony. Aku masih ingat kekecewaan jika sedang asyik asyiknya bermain, hujan
berhenti. Biasanya kami teruskan bermain hujan hujanan tanpa hujan di parit
perti kecil atau ke sawah yang lebih basah…..
Purwodadi. Memasuki kota kecil itu sama saja memasuki labirin
persimpangan lima jalan yang membingungkan. Aku mencari arah menuju Blora.
Purwodadi menyeret ingatan kepada masa kecil, cerita simbah tentang Tanah Lor,
tentang Wong Ngare. Dulu di kampungku ada beberapa warga baru pindahan dari
Tanah Lor. Orang orangnya cenderung lebih religious, dan logat bahasa jawanya
aneh di telinga kecilku. Bahkan semasa SMA, aku punya teman Ngare yang tinggal
dikampungku, teman sekelsku. Dia menumpang dirumah saudaranya, karena jarak
sekolahan yang relative lebih dekat dibanding di kampungnya Tanah Lor sana.
Namanya Kuswandi. Meskipun polos dan lugu, tetapi dia baik hati, dan selalu
punya uang jajan kalau sekolah. Sedangkan aku hampir selalu tanpa uang jajan.
Di sekolahan terkadang aku ‘memeras’ teman teman dengan mengerjakan PR mereka
atau ‘menyendera’ surat buat mereka. Kuswandi ikut pakdenya, namanya Dakelan (aku
yakin sebenarnya adalah Dahlan). Dia orang yang lumayan misterius. Orang orang
Ngare yang tinggal di Andong antaranya ada Siran, Ngadenan (Adnan?), Ropingi
(Rofii?) dll.
Dan aku menyelam kepada kenangan itu sambil mengirup udara
Purwodadi yang basah oleh gerimis tak berhenti. Sepanjang jalan slide demi
slide khayal bertamu ke ruang ingatan. Inilah Tanah Lor yang pernah dijelajahi
oleh simbah di masa silam. Tanah Lor yang yang pernah hidup di pikiran masa
kecilku sebagai sebuah lanskap subur lohjinawi dengan penduduknya yang masih
agak terbelakang dari segi peradaban modern. Tapi ini baru batas selatan dari
Tanah Lor, tanah pesisir Jawa bagian utara.
Diantara hutan hutan jati dan jalan aspal sunyi itulah aku bersama
Ampung pernah menjelajah desa desa hingga ke Demak, bersepeda motor memburu
benda antik dan kuno simpanan warga. Bahkan sempat juga mendapatkan senjata api
pistol Smith and Wesson di sekitar Pati, senjata api simpanan warga bekas
polisi hutan dulu. Desa desa itu juga menyimpan bermacam pusaka dan senjata di
rumah mereka, yang tidak akan bermafaat jika tinggal menjadi simpenan dan
dikeramatkan. aku ingat, ada stasiun besar dan tua bernama Gundih diantara
lebatnya hutan jati itu. Di depan stasiun itu ada sate yang lezat sekali, jawa
sekali, tidak seperti sate sate yang dijual di kota kota. Tidak jauh dari
stasiun itu ada pemandangan yang mencengangkan; selusinan rumah rumah gedong
peninggalan zaman Belanda berdiri megah dengan arsitektur Eropa yang menawan.
Bisa dikatakan lokasinya sebenarnya ditengah hutan. Kondisinya sangat terawat
dan menjadi milik dari Perhutani.
Dari cerita cerita orang orangg, aku tahu bahwa daerah Gundih,
Godong, Juwana sampai Blora adalah daerah penghasil kayu jati Jawa kualitas
nomor satu di dunia pada masanya. Tidak heran jika Belanda mendatangkan pegawai
pegawai yang cakap membabat pohon pohon raksasa itu, untuk kemudian dimuat ke
atas gerbong gerbong kereta meuju entah kemana. Aku masih ingat waktu kecil
masih sering berpapasan dengan truk raksasa dengan bentuk aneh, hitam, kotor
dan kekar dengan muatan log kayu jati berukuran raksasa. Kami menyebutkan truk
itu adalah truk Gorga (bisa jadi berasal dari kata Gurkha, pasukan bayaran dari
dataran Nepal atau India), asapanya hitap pekat, suaranya selalu meraung parau,
dan belum tentu seminggu sekali melewati jalan raya di kampungku. Truk Gorga
adalah kendaraan yang menakutkan. Suranya bisa kedengaran dari berkilo kilo
meter sebelum truk itu melintas. Bahkan dimasa kecil aku masih ingat, masih
bisa terdengar suara kereta apai yang melintas di Gemolong, yang jaraknya
sekitar 7km an. Masuk akal karena zaman itu memang praktis tidak ada polusi
suara kecuali ada orang hajatan. Listrik belum ada, dan tivi masih satu dua
dirumah orang orang kaya dengan sumber tenaga menggunakan accu. Sepi pedesaan
seperti itu sekarang sudah sulit untuk ditemukan, kesunyian telah didistorsi
oleh gaduhnya teknologi. Hanya pada waktu terang bulan saja sekali sekali aku
ikut simbah dan bue, menggelar tikar dihalaman rumah yang berlantai tatanan
batu dan ditumbuhi rumput teki di sela selanya. Terkadang dengan beberapa
tetangga, dan seringnya ada mbah Mustaram mampir untuk ikut ngobrol sampai jauh
larut malam. Jika hari sedang baik, teh tubruk pahit, gula jawa dan ikan asin
bisa menjadi peneman yang istimewa bagi orang orang tua menggiring malam. Suara
obrolannya hanya terdengar seperti menggumam dari dalam rumah.
Mbah Mustaram adalah orang yang istimewa dimata ingatanku. Istrinya
namanya mbah Ranti, anak anak kecil takut sama mbah Ranti karena kalau ada anak
kecil ditangkap maka dia akan diuyel uyel dengan payudaranya yang sudah molor
dan berukuran sebesar kepala anak anak. Ukuran sebesar itu hanya satu sisi
saja! Mbah Ranti itu nggilani! Mbah Mustaram, seperti halnya laki laki malam.
Dia berjalan kaki bertemu orang dan ngobrol, jalan lagi dan seterusnya. Padahal
mbah Mustaram mukanya mengerikan. Wajahnya terkelupas hampir separoh, bagian
hidung hingga bibir atasnya sudah hilang, sehingga susunan tulang tulang
mukannya kelihatan. Konon mbah Mustaram ganteng waktu mudanya. Karena ganteng
itu, maka dia disukai oleh istri lurah. Zaman feodal dulu tidak ada yang berani
macam macam dengan mbah Lurah. Suatu malam ketika mbah Mustaram muda menjaga
jagung di ladang, dia tidur di gubugnya dan merasakan seperti mukanya tersiram
pasir panas. Dia tidak sempat mengetahui apa yang terjadi. Dan sejak itu
mukanya mengalami pembusukan luar biasa sehingga bagian depannya menjorok
kedalam dalam susunan tulang tengkorak. Mbah Mus Grumpung kami dulu
memanggilnya karena kondisi fisiknya.
Konon mbah Mustaram ini juga berasal dari Tanah Lor, jauh sebelum aku
dilahirkan. Beranak pinak di kampungku, dan anak pertamanya adalah mbah
Wagiyem, bersuamikan mbah Atmo. Mbah Atmo orangnya kekar, tinggi besar
(tadinya) kepalanya selalu gundul dan jalannya ekar. Dia seperti kebanyakan
lelaki di desa waktu itu, juga jarang menenakan pakaian penutup badan.
Telanjang dada senantiasa! Kaki kirinya seolah berjalan menyamping ketika ia
melangkah kedepan. Konon kecacatan itu ia dapatkan di pasar Kemusu. Dia terkena
serpihan peluru mortir ketika Belanda menggempur pasar Kemusu pada waktu mbah
Atmo muda. Pekerjaannya adalah kuli pikul,memikul barang barang dagangan
serupa toko kelontong ke pasar pasar sekitar kampung. Zaman dulu tenaga manusia
dihargai sebagai alat transportasi. Dia kulinya mbah Suwondo, pedagan kelontong
pasar dari kampungku juga. Jika ke pasar Kemusu yang jauh itu, mbah Wondo naik
sepeda dengan ban mati, dan mbah Atmo memikul barang dagangannya kepasar dan
kembali kerumah. Lokasi dan jarak pasarnya tergantung hari pasaran. Legi itu ke
Karanggede sekitar 12 kilometer, Pahing itu ke Kacangan , sekitar tiga
kilometer, Pon itu ke Klego sekitar 5 kilometer, Wage itu ke Kemusu seitar 18 kilometer
dan Kliwon itu ke Ngegot yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer saja. Mbah
Atmo jalannya ekar, serpihan logam masih tertanam di paha kirinya yang cecel
bonyel. Aku suka sekali nanggap cerita dari orang orang tua, kisah kisah zaman
wali, zaman Belanda, zaman Jepang, zaman perang kemerdekaan, zaman PKI,
dan zaman zaman sebelum masa itu semua yang mereka cerita. Bahkan dari salah
satu orang tua aku mendapat cerita, legenda tentang asal usul nama desaku,
Andong. Mbah Atmo menantu mbah Mustaram, mahir menyanyikan lagu lagu patriotik
Jepang, berhitung Jepang dan menirukan gerakan gerakan militer Jepang yang ia
dapat ketika dia dilatih menjadi anggota Heiho yang kemudian menjadi PETA. Mbah
Atmo lancar bercerita tentang Remusa (Romusha), tentang Kimigayo, dan baris
berbaris a la Jepang.
Sayang sekali mbah Atmo merana di hari tuanya. Bersama istrinya
dia terpukul oleh peristiwa tragis, anak keduanya bernama Juyati, melahirkan
orok tanpa pernikahan, yang lantas dibunuhnya si orok dan membuangnya di barongan
oren (rumpun bambu ori, jenis bambu yang berduri tajam) belakang
rumahnya. Itu terjadi sekitar tahun 1983, dan begitu menggemparkan sampai
kampungku penuh manusia; sekedar ingin tahu kejadiannya. Juyati kemudian dibawa
oleh polisi, dan kabarnya dipenjara di Boyolali (kota kabupaten). Sejak itu tak
terdengar sangat lama kisah Juyati yang berparas cantik dan berkulit bersih
itu. Sejak peristiwa itu mbah Atmo dan istrinya seperti menarik diri dari pergaulan.
Tidak lama kemudian mbah Wagiyem meninggal, mati ngenes menanggungkan wiring
(malu), dan mbah Atmo sudah sangat jarang keluar rumah, apalagi berkisah
tentang masa masa perang. Kalau aku kerumahnya, dia melayani seperti biasa,
tetapi lebih pendiam dan tidak beranjak dari tempatnya. Berbulan bulan akhirnya
dia tidak beranjak dari tempatnya duduk, diujung dipan dengan setengah badaya
menghadap jendela, memandang orang di jalanan yang hanya berjarak 5 meteran
dari jendela rumahnya. Oya, dia selalu mengaji tidak lama sesudah kejadian itu.
Dia mengaji seolah tidak pernah berhenti. Beberapa bulan itu terus terjadi,
sampai kemudian suara mengajinya mendengung dengung, bergumam gumam saja.
Selang sekitar satu setengah tahun dari istrinya, kemudan mbah Atmo meninggal.
Atmo Ngatemin, berbadan kekar, berkepala plontos dan kalau jalan ekar. Adik
adik Juyati sepertinya tidak terlalu terpukul. Parno, Jarwono, Parjo, Kirman,
Tukimin. Kirman dan Tukimin adalah teman bermainku. Mbah Atmo Gundala Putera
Petir kami anak anak remaja yang nakal dulu memanggilnya diam diam.
Aku punya kisah dengan Kirman dan Tukimin. Dulu sewaktu lepas
lulus dari SD, aku tidak langsung meneruskan sekolah ke SMP. Aku sempat
berjualan es keliling, gerobak kecil dengan pengeras suara kecil memainkan
musik dangdut, atau apa saja yang penting bunyi dari pita kaset. Eskimo
namanya, semacam es mambo kalau zaman sekarang. Juragannya orang dari
Kacangan, pak Ilyas namanya. Rumah pak Ilyas sekitar jarak 6 rumah dari rumah Ampung
teman lamaku yang sekarang. Kami punya cara sendiri untuk berbuat curang ketika
berjualan es itu. Kang Kirman yang mengajari; kalau haus dan kepingin mencicipi
seperti apa es yang dijajakan, maka cukup kenyot saja es di dalam termos itu,
jangan sampai habis, lalu kembalikan lagi. Selama bungkus dan tusuknya masih
ada, maka Pak Ilyas tidak akan menghitungnya sebagai dagangan nyang sudah laku.
Suhu udara dan kulaitas termos siap menjadi kambing hitam yang tak punya
perlawanan. Trik itu sukses berjalan lancar. Meskipun berjualan, bukan serta
merta kami tahu seperti apa rasanya eskimo itu. Bahkan kalau berjualan sampai
ke Andong dan mampir kerumah, biasanya mbah Kun mentraktir eskimo untuk anak
anak yang berkerumun. Aku sang penjual termasuk salah satu anak yang menjadi
obyek kebaikan mbah Kun. Berdagang es keliling itu terhenti karena suatu hari
adiknya bapak, Om Prapto pulang dari Jakarta dan waktu ke Andong melihatku mendorong
gerobak es itu, dia marah besar. Katanya hal itu mempermalukan keluarga besar
bapak. Sedangkan, masa kecilku sendiri hampir tidak pernah ada figur bapak.
Padahal kami sangat miskin waktu itu, dan bue tidak berdaya untuk menyekolahkan
anak kembarnya ke SMP.
Ketika tahun ajaran baru sudah berjalan sekitar tiga bulan, aku
baru masuk SMP. Namanya SMP Pemda, yang kelak menjadi SMP Bhineka Karya. Kepala
sekolahnya sudah uzur, betul betul berjiwa pendidik. Namanya pak Wignyo
Suharsono. Orang tua yang bijaksana meskipun terkadang galak luar biasa. Kakakku
yang pertama sudah di sekolah yang sama, tetapi di SMEA. Lokasinya sama. Untuk
keluarga kami, pak Wignyo memaklumi jika bayaran SPP menunggak beberapa bulan
karena tidak ada kiriman uang dari bapak. Terkadang kami malu jika pengumuman
tentang tenggat akhir bayaran bulanan atau bayaran lainnya tiba. Kakakku akan
menghadap pak Wignyo untuk meminta penangguhan pembayaran bagi keluarga kami.
Biasanya beliau mengabulkan. Aku sekolah sampai selesai di SMP Pemda itu, dan
kemudian melanjutkan ke SMEA Pemda di lokasi yang sama.
Pada waktu SMP kelas 2, aku pernah diminta oleh Om Waluyo, pegawai
Pos di Jakarta famili jauh, untuk tinggal bersama ibunya yang waktu itu umurnya
sekitar 70 tahun. Mbah Harjo namanya, tinggal di kampung bernama Kliwonan.
Rumahnya kecil, ditengah pekarangan yang luas dengan banyak pohon jambu,
belimbing, dan tentu saja singkong dan papaya. Berdua saja kami tinggal disitu,
aku dijanjikan akan diurus soal uang kebutuhan sekolah. Aku senang, karena
jarak ke sekolah menjadi dekat. Sedangkan kalau dari Andong, sekitar lima kilo
ke sekolahan, seringnya jalan kaki. Jika kebetulan bertemu teman yang
bersepeda, terkadang aku dibonceng. Pernah suatu ketika adikku dibonceng teman
sekolahnya, dan kakinya masuk ke jari jari sepeda. Sepatu baru warna coklat
kiriman dari Jakarta menjadi robek dibagian belakangnya.
Di Kliwonan aku sepenuhnya mengurus mbah Harjo. Ini kegiatan
rutinnya: Pagi hari, bangun tidur sekitar jam 5, ke pasar Kacangan membawa
sekarung daun singkong yang sudah diikat ikat sedemikian rupa. Terkadang bukan
hanya sekarung, dan terkadang juga bukan hanya daun singkong yang dijual
melainkan juga nangka, pisang dan lainnya. Mbah Harjo akan kepasar untuk
menjualnya nanti. Kembali dari pasar, aku ke kebun untuk ramban (memetik daun pucuk
pucuk daun singkong) untuk dijual esok harinya. Kegiatan ramban itu berlangsung
hingga menjelang siang, karena sekolah masuk siang. Daun daun singkong yang
sudah dipetik dikumpulkan dalam wadah besar didalam rumah. Siang sampai sore aku
sekolah. Pulang sekolah masing mengikat daun daun singkong itu dengan ukuran
yang kira kira sama. Oya, aku juga kebagian untuk masak nasi, itu sering
terjadi. Dan mbah Harjo itu pelitnya luar biasa. Pernah suatu kali dia mendapat
kiriman ikan bandeng dari salah satu kerabatnya, disimpan entah dimana tau
taunya dicuri kucing. Hm, kalau malam aku sering keluar lompat jendela untuk
bermain dengan mas Sugi tetangga depan rumah. Orangnya ganteng. Sedangkan
tetangga terdekat adalah Bude Kerti namanya, anaknya ada tiga, dua laki laki
dan satu perempuan. Yang perempuan sudah berkeluarga dan tinggal dirumah itu
juga bersama suaminya. Bude Kerti termasuk orang berada, termasuk diantaranya
keluarga ini sudah memiliki sumur, tempat aku mengambil air untuk isi gentong
dan kolah mandi mbah Harjo, tempat aku mencuci dan juga numpang mandi di kamar
mandi samping sumurnya. Keluarga yang baik. Sayangnya aku lupa nama anak anak
bude Kerti, karena yang satu lebih tua dari aku, dan satunya lebih muda. Mas
Meri yang lebih muda itu, aku masih ingat namanya. Tipikal orang kaya. Halus
dan terawatt.
Terkadang kalau pas sekolah libur aku pulang ke Andong. Jalan kaki
tentu. Jauh dari bue dan saudara lainnya sungguh tidak mengenakkan. Berjalan
sekitar 6 bulan saja aku tinggal sama mbah Harjo. Selama itu pula aku belum
pernah bertemu dengan yang namanya Om Waluyo. Alasan aku pergi dari rumah itu
karena mbah Harjo ke Jakarta diantar oleh menantunya, pak Bardan namanya.
Keluarga pak Bardan tinggal di belakang pasar Kacangan, dan memiliki tiga orang
anak Handoko, Yoyok, dan Anna. Pak Bardan lurah pasar yang sangat dibenci
karena sikap kasarnya, arogan dan sewenang wenang. Perawakannya tinggi besar,
brewok dan jika berbicara lantang. Sepeda motornya BSA besar itu. Bu Bardan
punya usaha warung makan. Ramai juga karena letaknya dibelakang pasar. Rumahnya
luas, aku sering main kesana dan bersahabat dengan Handoko. Sayangya, keluarga
pak Bardan mengalami akhir yang tragis, dan itu panjang ceritanya…
To be continued…