Thursday, December 22, 2005

Mimpi Buruk


(Seperti terbagi kepada seorang teman hati)
Pagi ini, angkasa hati berisi Batara Kala (dalam legenda jawa dikenal sebagai visualisasi dari angkara murka, berbentuk raksasa dan bisa melakukan segalanya). Dia datang dari mimpi buruk berderet panjang semalam tadi, ketika kenangan yang menempel dipunggung menampilkan lagi slide kelukaan tanpa bisa mempengaruhinya dengan keinginan.
Pagi ini api menyambar dada, menghanguskan semua harapan dan kemapanan yang selama ini menjadi senjata.

Mimpi tadi malam, terasa seperti ratusan malam sebelumnya yang melulu berisi perkelahian, darah dan tangis. Entah oleh apa, entah dari sudut mana merasakanya, tapi ia ada didalam sana, rapi tersembunyi menjadi mutan penguasa satu ruang hati yang amat tersembunyi, dipagari oleh kepurapuraan logika.Semalam aku melihat tubuhku yang digoda olah batara kala, dipecundangi dengan semena mena. Hidup kesayangan dirusakkan tanpa hati, dan ditertawakan dengan bengis. Aku harus melawan sampai pada titik ketika senyum menghilang dari peredaran. Aku melawan sekuat kuatnya melawan, mengejar sekuat kuatnya berlari, sekedar untuk menyampaikan pesan bahwa dia tidak punya hak untuk menghancurkan apa yang aku cintai; hidup ini. Melewati lembah dan gunung, menuruni jurang jurang yang curam, perkelahian itu melelahkan hati, melemahkan syaraf. Dan aku terus berkelahi sampai akhirnya dia terkapar tak berdaya kecuali menunggu belas kasihan.Aku bisa lihat, punggungku yang terluka, menganga lebar oleh perkelahian itu. Darah merah muda masih bergelimang disana, perihnya tak terasa tertindih oleh letih yang panjang. Aku harus berhenti disana, membawanya kerumah sakit untuk si batara kala dan merawatnya dengan sebaik baiknya perawatan. Luka dipunggung aku lupakan, letih dibadan aku abaikan, semua hambar terasa.Lalu datang seorang bernama Simun itu, yang entah dari belahan bumi mana aku kenal, datang hanya untuk berkoar koar untuk berteriak teriak bahwa aku keji seperti iblis, bahwa aku bengis melebihi setan. Dia mabuk, bau alcohol menyembur dari mulutnya yang jarang dibersihkan. Kata katanya kotor menjijikkan, menyemburkan sumpah serapah dan kesombongan. Semua menghujatku. Tak ada lainya.
Lalu semua orang pergi, tinggal aku sendirian saja diruangan itu. Si sakit sudah membaik, sudah bisa tertawa dan buang air sendiri, menyantap makanannya sendiri. Aku temukan kehidupan yang aku cintai ambrol, kehilangan warna dan rasa. Aku begitu sendiri memunguti serpihan kebaanggan yang aku bangun selama bertahun, dengan darah menggenang dan mata berkunang kunang. Kepedihan memenjara hati, kekecewaan menindih perasaan dalam mimpi itu. Luka itu menjadi kentara dari sudut pemandanganku karena terletak diatas bekas luka yang tertutup dengan kulit baru. Antara marah, kesal, kecewa dan sedih, aku menangis mengasihani diri.

Mata masih basah dan nafas terengah engah. Matahari mencemooh dari sudut jendela. Mengumpulkan nyawa yang tercecer berantakan, bergegas kekamar mandi dan menyiram seluruh tubuh berharap sekam dalam dada yang disusupi bara perlahan memadam, lalu lenyap. Tetapi asapnya tetap saja menyesakkan dada, menyisakan amarah meletup letup tanpa alamat. Dan hari berjalan seperti biasanya….lalulang manusia semakin menyumbat kepala.Sungguh aku mencari pemahaman, dimana menyesali mimpi adalah kemewahan yang sia sia belaka…
Kantor, menjelang makan siang 21 Desember 2005