Wednesday, December 28, 2005

Episode Kepasrahan


Ada rasa tiba-tiba tergantung hampa di dasar hati saat hentakan kisah terbaik datang dari sebuah jiwa yang terabaikan. Senyuman manis dan doa gembira yang di paksakan di persembahkan untuk meramaikan suasana jiwa pengharapan. Sebuah kecupan sinis mendarat lembut dan belati kenyataan menikam sopan di relung lubuk yg terdalam. Kesadaran yang terlambat datangnya (atau sengaja di tahan lajunya) bahwa ini semua metamorfosa dimana kenyataan sebenarnya disembunyikan untuk menghidupkan logika.

Ah..logika , sudah lama dia pingsan berkepanjangan(sebetulnya paling pantas kalau dibilang mati tapi sebuah jiwa yang lain meyakinkan bahwa logikaku hanya pingsan dan menunggu 'waktu' untuk sadar) sejak beberapa waktu yang lalu, ketika lembaran berharga menjadi penentu pergaulan nista. Begitu besar keinginan untuk terus bermimpi dan bermain dengan kealpaan jiwa yang terlonjak-lonjak mengharapkan perhatian. Jiwa yang pongah dan selalu menengadah ke atas mempermanis dosa yang di abadikan sebagai kejadian hidup yang patut di pecundangi . Belum ada sengatan lebah pengingat yang bisa mencubit hati yang melamun.

Ah...lagi-lagi soal hati, lagi-lagi soal jiwa, beruntun soal nurani. Kapan bisa tulisan ini dialihkan menjadi sebuah berita universal ? Berita tentang hidup orang lain,tentang hajat orang banyak, terbitan empati yang tulus kepada sesama dan bukan merumpikan tentang hati yang sudah hilang warna merahnya.

Ya..ini bukan tulisan , ini percakapan batin yang rusak, penuh dengan kuasa atas kebohongan yang tertanam rapi, harum bangkai dan terlaknatkan yang terbaca oleh manusia pemikir. Lebih dari seribu kali dicoba untuk menghalalkan pikiran kalau kebohongan hanyalah kejujuran yang tertunda tapi tetap terharamkan oleh olengan simpati dan rasa kesenasiban. Dan yang terpenting, karena saat kebohongan bermain peran, justru kejujuran dengan setia menontonnya berakting bahkan terkadang sebagai pemeran pembantu di layar hidup.

....
Dan lara masih bergemuruh nyaring di lubuk kosong merompong, tidak ada sedikit pun keinginan untuk pemenuhan hati yg stabil. hal yang paling salut adalah dia bisa menempatkan diri sebagai sebuah tiang sanggahan kepedihan,sebagai wadah penampung...dan sebagai terompet kematian rasa bersalah...

Mungkin ini saatnya untuk bercermin, memoles diri dengan kepasrahan dan tawakkal, memuluskan kulit wajah dari cacian duniawi, membungkus erat kekecewaan dengan keikhlasan batiniah. Tutup episode kuasa atas kebohongan dengan pembinasaan karakter surgawi dunia.

No comments: