#25
Lalu kenapa kamu
korek korek lukamu lagi? Koreng memang gatal, seperti mengharuskan kita untuk
selalu menggaruknya, memberikan rasa nyaman sejenak karena seakan luka itu
diperhatikan. Tetapi sesudahnya akan meninggalkan lobang menganga berupa koreng
baru dengan kedalaman yang lebih dalam lagi. Terutama ketika tidak ada hal lain
didunia ini yang harus dihadapi kecuali serangan demons yang membabi buta,
meniadakan hari malam dan membakar ketika siang. Mereka begitu lihai menghasut
hati untuk tetap tunduk merunduk pada ego yang menjulang. Apa daya, semua
peristiwa memang hanya ada didalam dunia hati, dunia angan angan dan perasaan
belaka. Mencernanyapun dengan hati karena memang keadaan sampai separah inipun
sebenarnya inti masalahnya adalah perasaan; urusan hati. Bahkan tidak ada satu
orangpun yang akan sanggup memahami betul apa yang menyebabkan begitu kuat
tekad untuk memilih jalan perih.
Memang hampir
mustahil dapat menyelami perasaan seseorang secara persis. Yang ada paling
adalah empati dalam bentuk melibatkan diri ke dalam perasaan orang tersebut,
setidaknya membagikan kepedihan yang sama. Selebihnya dikendalikan oleh logika
biasa, logika umum yang juga banyak disetujui orang karena memang sesuai dengan
atuaran kepantasan dan norma sosial. Berpikir logis, atau bersikap dengan
menggunakan alasan logika, tentu saja akan mengabaikan kepentingan hati. Logika
menunjukkan jalan terang menuju depan dengan rambu rambu yang sudah jelas bisa
menuntun sampai ke ujung tujuan hidup kelak. Bahwa norma sosial dan etika kemanusiaan yang berlaku di
masyarakat umum juga berlaku bagi siapapun. Tidak peduli dia adalah perayu
ulung, pemikat hebat, atau penyinta yang luar biasa. Logika juga samasekali
tidak fleksibel tidak seperti hati yang kadang seperti karet, melar sana melar
sini, mekar, mengkerut lagi. Seperti selayaknya benda hidup, bergerak dan
berkembang mengikuti arus suasana yang mudah berubah dan berganti haluan.
Apalagi jika datang saatnya bosan! Logika bersifat kaku, memaksa dan rajatega.
Jika hati
menghendaki sesuatu yang diyakini sebagai sumber kebahagiaan abadi, maka kekuatanyapun akan
mengalahkan sang logika. Peperangan batin atau perang fiksi tentu masih akan
terus terjadi sampai lama lagi karena logika tidak akan menyerah begitu saja
dan terus menghasut akal supaya tahu menempatakan diri. Sayangnya hati adalah
tempat egosentris berpusat dimana fungsinya untuk kepentingan mempengharuhi
laju jalannya cerita kehidupan umat manusia dan peradaban. Masalahnya kondisi hati yang seperti dikisahkan diatas tidaklah
sehat, sedang sakit tuna grahita untuk urusan duniawi. Setiap orang memiliki
cara pandang dan cara pikir sendiri yang kesemuanya dikendalikan oleh hati. Kekuatan
inti dari semua kejadian di atas muka bumi adalah karena kemauan hati, karena
ketidak mauan hati. Itu saja!
Sang logika
menggandeng akal akan terus memamerkan norma norma, aturan kepantasan, etika moral,
kecerdasan emosional, kepekaan sosial dan lain lainnya dan kesemuanya pasti
masuk akal sehat, aman dan nyaman dunia akhirat. Terkadang niat baik dari sang
logika diartikan sebagai demons oleh sang hati, iblis yang berpesta tepat
ditengah luka. Seperti belatung menggerogoti bagian tubuh hidup yang membusuk. Segala
hal yang merugikan dan tidak mengenakkan dipropagandakan, segala macam dalih
tentang tenggang rasa dan iba dikampanyekan. Intinya hanya satu, meminta hati
untuk menghentikan aksinya yang sudah menyalahi aturan sosial yang ada dan
sudah seharusnya ditaati bersama; norma sosial.
Hati bermahkota
batu, meyakini jalan perih adalah jalur rintisan setapak menuju bahagia. Berbekal
kisah perjalanan perjalanan ajaib dan transformasi perasaan yang gaib,
keyakinan terbangun seiring berkembangnya perasaan. Segala sesal, rasa
bersalah, kecewa, marah dan sedih berbaur silih berganti bagai badai yang tidak
kunjung berhenti. Dan sang hati hanya menganggapnya sebagai dinamika yang akan
membentuk sebuah kaldera baru nanti jika badai sudah mereda. Kaldera yang belum
tersentuh oleh kehidupan apapun sehingga nanti cukup untuk menempatkan segala
sesuatu dari masa lalu sesuai dengan kriteria dan tempatnya yang terjaga.
Sementara itu
gatal pada koreng tak akan berhenti menyiksa. Tindakan gegabah dengan mengorek pada
koreng itu justru dinilai sebagai cara menikmati luka. Padahal, siapatah yang
menghendaki luka, kecuali mereka yang sedang sakit jiwa. Sehingga orang lain,
sesuai dengan standard logika umum, dengan enteng akan menganggap bahwa ia tidak
lebih dari seorang pemelihara luka dan pecandu koreng. Play victim!
happy birthday,
buderfly!
Pabrik 190920
1 comment:
happy birthday, buderfly
Post a Comment