Wednesday, January 04, 2006

Tentang hati, suatu ketika


Hanya pada menit terakhir pertemuan, menitipkan kepiluan yang bakalan panjang bahkan terlalu pekat untuk diarungi. Nurani berteriak memanggil atas hati yang selama ini mengumbar haknya yang mutlak. Enough is enough, katanya! Berada diujung persimpangan jalan, memilih perih sebagai jawaban. Pemberontakan logis itu justru ketika si hati sedang pingsan terkena bius tahun baruan.

Pagi tadi ketika dunia terbangun, sang hati perlahan siuman lalu mengumpulkan syaraf yang terkunci dan segala kekuatan yang selama ini menjadi pengemudinya. Dia meraba raba kesekelilingnya, yang dijumpainya hanya hampa. Hujan, suaranya, baunya, nuansanya, memaksa hati untuk terus mencari sesuatu yang berarti. Si hati diam diam terus mencari rumah teduhanya yang telah dibongkar satpol pp, rumah teduhan semu yang memberikan keteduhan sesungguhnya selama ini, yang disangkanya tetap menjadi miliknya. Lalu disesalinya kepingsananya dan seluruh penyebabnya, disesalinya diri yang tak kuat berdiri diatas lantai kesabaran, bahkan dengan sokongan pengertian nurani. Dia terus mencari cari dalam diam. Malam tadi, diantara igauannya dia memanggil nama. Lalu dia pingsan lagi karena yang dijumpai hanya sepi.

Dan, yang pertama ditanyakanya, dicarinya adalah puteri Nawangwulan yang hanya ada dinegeri dongeng. Sampai dengan bijak harus menikam lagi dia dengan pisau logika;
Hey…look now!
See the truth!
Face it! You don’t belong there anymore!
You’re on your own now!
Dia terisak sedih, dia terpukul ragu, darah mengucur dari setiap permukaan kulitnya yang terluka. Dikenangnya segala hal sampai yang sesepele lalat sekalipun menjadi sesuatu yang istimewa, lalu diam diam dibingkainya setiap kenangan itu menjadi karya paling indah yang akan selalu menghiasi dinding sang hati.

Dan si hati tak berhenti merajuk, hujan membuatnya terkurung dalam kenangan, dan mendung pekat seperti meyakinkan bahwa harapanya tinggal menjadi angan angan semata. Tapi dia memang tidak menyerah, tidak percaya bahwa semua harus dialaminya justru setelah dia siuman. Diingatnya saat saat menjelang pingsan. Hhmm…si hati memang gigih, sosok yang perfeksionis dimana dia harus tahu semua yang harus dilaluinya supaya dia bisa mengayunkan langkah apabila memang harus berjalan lagi, jika kekuatanya pulih. Habisan akal membujuknya untuk berhenti bertanya dan merengek. Berbagai kecengengan disampaikan, sampai bingung bagaimana lagi memberi pengertian. Sampai pada penjejalan paksa propaganda alam nyata dengan atas restu logika. Membenturkan bacaan di blog ke jidat si hati, agar dia berhenti bermimpi, kembali mengijak bumi dan menerima keadaan tanpa banyak bacot lagi. Bahkan banyak filsafat tentang kebijaksanaan, tentang tanggung jawab nurani dan tentu saja hati nanti kalau saja dia harus ikutkan kemauan.

Lambat laun perlawananya melemah, jeritanyapun melemah. Yang datang kemudian adalah pertanyaan pertanyaan kekanak kanakan tentang apa yang hati lakukan nanti, dan tentang bagaimana kisah kelanjutan cerita, berusaha selembut mungkin memperlakukan hati, tidak kasar dan sebisa mungkin membujuknya bisa mengerti dan menerima itu semua dengan satu tiang menara: Menerima!

Dan sekarang si hati kembali bernafas seperti biasa, mencoba menggapai sekeliling dan memandang diri, berintrospeksi untuk kemudian berjalan lagi. Dikemasnya segala kenangan dan catatan, lalu disimpanya baik baik di ransel yang akan dibawanya mengelilingi bumi. Tidak, dia tidak berusaha menemukan apa apa, dia hanya berjalan dan terus berjalan, siapa tahu terkadang ketemu dengan sesuatu sebagai pengalamanya. Dipandanginya gambar rumah indah itu penuh keharuan, dikenangnya rasa sayang yang menggenangi hati hampir setiap waktu itu, serasa masih ada meskipun dia kehilangan alamat tujuan. Sisa sisanya masih berserakan menunggu untuk dirapikan. Tapi dia bisa terima keadaan, dia akan perlahan berdiri dan melangkah diam diam. Ya, dia akan diam, seperti sejuta peristiwa yang harus dilalui sebelumnya. Diterimanya doktrin tentang kebijaksanaan dari sang logika, tentang sesuatu demi kebaikan bersama.

No comments: