Wednesday, January 04, 2006

Ali Bujel


Sewaktu kecil dulu, seorang teman sepermainan, Ali namanya pada suatu pagi aga siang dikebun ketika kami sedang mencari kayu bakar, entah bagaimana jari telunjuknya terpotong putus oleh arit besar bekalnya menebang ranting ranting kering dikebun. Ujung sampai pangkal kuku jari telunjuk kirinya terputus, dan darah ada dimana mana. Diantara rimbunan pohon pepaya muda kami kebingungan menanggung akibatnya nanti kalau bapak si Ali murka karena kami tidak bisa menjaganya. Kami kebingungan bagaimana menghentikan lukanya. Yang terjdi adalah telaah kejadian yang diceritakan berulang ulang oleh Ali. Ali gelisah, ketakutan tampak sekali dimatanya, bukan kesakitan. Diantara ketakutannya, dia coba atasi dengan jalan pintas, bahwa dia ingin menunjukkan bahwa dia tidak apa apa. Jari yang putus itupun tak dirasakanya, digosok gosokkanya detanah sambil kami duduk terpekur mencoba mencari jalan keluar. Jari tangan yang beradarah itupun terus digosok gosokkanya ketanah merah kering berdebu dikebun itu, sampai darahnya berhenti dan membuatnya lega sedikit. Ketika pulang, disembunyikanya luka itu dari orang tuanya, dia hidup seperti layaknya hidup yang sebelumnya, menunggu waktu magrib, pergi mengaji ke masjid, lalu pulang sesudah isya’ lalu belajar pelajaran sekolah.

Si Ali merasa aman sejauh itu, menyembunyikan luka dijari tanganya yang putung, dan hidup terus berjalan normal, tidak ada sesuatu yang ditakutkan terjadi. Hingga esok harinya baru setelah ibu yang mencintainya menemukan jari tangan anaknya putus dan tidak ada tindakan apa apa. Cinta ibunyalah yang kemudian membawanya ke mantri untuk minta perawatan. Beruntung saja jari tangan si Ali tidak terkena infeksi dan berakhir lebih parah. Tanganya dibungkus perban dari mantri untuk beberapa hari, sampai lukanya mengering dan lalu hilang total. Tak sakit lagi, tapi tak juga pulih lagi seperti sedia kala.

Kisah si Ali adalah kisah klasik sifat kejawaan yang cenderung menerima dan merasa ikut wajib melestarikan status qou. Bahwa dipermukaan harus aman toto titi tentrem, tidak ada gejolak maupun gangguan apapun. Sebuah kehidupan harus berjalan dengan tenang tanpa ledakan, meskipun itu harus dengan kebohongan. Ali mewakili kecenderungan karakteristik jawa, yang membohongi orang tuanya karena tidak ingin mereka mendapat kesulitan atas apa yang terjadi padanya.

John Pemberton yang menulis antropologi jawa dalam bukunya "JAVA" pernah juga menyimpulkan bahwa pada masa orde baru, Indonesia berjalan atas azas kejewen itu, yang tidak ada ledakan, yang berjalan toto titi tentrem itu. Air dipermukaan harus tetap datar dan tenang, meskipun dikedalaman sana ada arus dan pusaran yang ganas sekalipun. Bahkan sejak zaman kerajaan sekalipun, kondisi seperti itu haruslah dipertahankan dan dipatronkan. Kebudayaan, adat, kebiasaan klenik dan mistis dijadikan alat penciptaan kondisi seperti itu. Ali adalah type si air datar itu, yang menyembunyikan rasa sakit dan lukanya. Meskipun mungkin sekarang si Ali harusnya berterimakasih kepada ibu yang mencintainya sebab tanganya tidak perlu amputasi karena infeksi. Bekas itu masih ada, kuku yang tumbuh tidak semestinya karena kehilangan media dan kelainan jari jari seperti itu dalam bahasa jawa disebut bujel.

Maka namanya kini Ali Bujel.

Kost, 060104 – 0210hrs

3 comments:

Anonymous said...

met malamm bagus ceritanyaa

uTHe said...

thanks udah mampir... salam kenal and met tahun baru juga yaa... eniwey, cerita ini bagus bgt. sebagai anak keturunan jawa, saya merasa senasib dg si Ali yg hrs menyimpan luka dan cerita yg bila naik ke permukaan pasti akan menimbulkan gelombang.

Anonymous said...

Cool blog, interesting information... Keep it UP » » »