Bagi kenangan, malam adalah menara tanpa cahaya, tanpa suara. Pada
bastion bastioan sepi ziarah pikiran berpendar liar memunguti serpihan kesan. Ternyata,
kuota usia yang semakin menipis menggiring langkah langkah kaki menyusuri
pematang lengang yang menyempit. Makin lama makin sunyi, hanya ada langit dan
bumi. Pikiran menjadi satu satunya teman, tempat kenangan terangkut dalam
ingatan yang patah patah. Separti halnya sejarah yang hanya mampu terbaca
dengan cara draba.
Mozaik bisu susul menyusul mengerjap seperti bunga langit yang
menggeletar lalu lenyap. Sungguh, masalalu telah menjadi benda mati yang
kehilangan warna hidupnya, tinggal sinema berwarna pucat sebagai penghiburan
rasa. Berharap menjadi kebanggaan pribadi sebab pernah menjadi elemen debu di
ranah bumi. Barangkali memang inilah penjelmaan dari relief ingatan yang
membentuk museum sangat pribadi; sebaris catatan di dinding langit.
Pada pandangan yang enggan terlepaskan, terpaksa pedang menebas simpul
pengikatnya, agar lepas mengembara sesuka udara. Ada kalanya,
sesuatu yang terlalu menggila tak mewakili rasa. Euphoria penuh keniscayaan tak
ubahnya induk dari déjà vu yang rajin
datang hampir disetiap waktu. Déjà vu yang sekarang sudah berubah bentuk
menjadi runcing menusuk di setiapa mata sisinya. Sebenarnya, yang melahirkan
sakit dari kenangan buruk bukanlah kejadiannya, melainkan penyesalan yang
tumbuh setelah saling berpamitan.
Maka kepingan demi kepingan ingatan kemudian bermetamorfosis di dalam
palung hati, menjadi monumen bisu yang sangat diam. Menara tanpa suara
menyimpan relief relief keindahan ketika tawa terbagi dalam cerah hari hari.
Lalu mendung menghalang matahari, membuat bumi muram. Ah, apa bedanya juga jika
toh pada akhirnya pematang yang menyempit menumbuhkan bunga bunga rumput
disepanjang sisinya. Hidup tetap berjalan meskipuan lengang seolah tak bertuan.
Dan semua yang sepatutunya terjadi akan menjadi kejadian dalam kehidupan. Yang
tua ditinggalkan, dan yang muda muda kemudian berlagak seolah juragan. Juragan
yang berhak atas kehidupan lahir batin orang lain, manusia lain; atas hakekat
hidup mahluk lain. Sudah menjadi jamak memang, bahwa usia muda berbanding lurus
dengan kesombongan, sebagai implementasi dari pencarian jatidiri yang tidak
ada.
Jendela jendela keinginan menganga tanpa daun, membiarkan lumut dan debu
bersetubuh disetiap lekuk dan bentuknya. Biar menjadi usang, bekas peradaban
masa silam yang tadinya disangka sebagai masa depan. Lalu hujan yang kebingungan
mengundang jasad renik dari benturan pertemuan
yang berhamburan di lantai granit kala
itu. Tempat ini menjadi hidup dalam matinya yang tenang. Ada jejak jejak purba yang muram membatu
ditingkahi masa. Ada
rindu yang jatuh barsama rintik hujan di daun kamboja tepi balkon.
Inilah kisah ziarah sepanjang lorong sepi sisa pertikaian pemahaman. Menara
tanpa suara bagi hati yang diam diam kehilangan. Detak arloji memaparkan sesal
demi sesal atas kesempatan yang terisa siakan begitu saja tanpa disadari. Sedangkan
pikiran atasnya masih menjulang laksana monumen senyap yang menggapai gapai
langit, mencari seserpih saja kenyataan. Rupaya waktu telah mengalahkan semua
kejadian, seperti sebutir debu yang hanyut terbawa air hujan; melintas hampa
dibawah jembatan Ampera menuju lautan.
Seperti halnya air mata yang luruh tanpa tangisan…
1 comment:
Je veux commencer un blog d'examen. Mon ami et moi examinerait etc livres, jeux, jouets.
Post a Comment