Sejak semula dia memang seekor
ayam, yang ditetaskan oleh induk ayam hasil persetubuhan dari ayam jantan dan
betina. Ia bermula dari bukan apa apa pun, berubah jadi telur dan menetas
jadilah ia memiliki hidup individu sebagai seekor anak ayam. Ia menetas dalam
komunitas ayam. Hidup memberinya kaki yang mampu berjalan dan menjelajah bumi
mencari makan, tetapi juga memberikan pengetahuan pengetahuan baru tentang
segala sesuatu yang berbeda dan maha luas seperti tak berbatas.
Syahdan, si ayam kecil beranjak
dewasa jua setelah masa kanak kanak dan remajanya dihabiskan dengan
kesederhanaan kandang ayam. Si ayam muda
mengelana, melintasi sungai sungai serta bebukitan, bahkan gurun dan lelautan.
Langkah kecilnya tiba dikeramaian baru, sekerumunan itik dengan susunan
masyarakat itiknya. Si ayam kini berada di dunia itik. Itik itik lain menerima
kehadiran si ayam sebagai saudara jauh dalam silsilah unggas. Sang ayam muda
bergaul dengan itik segala usia, dari yang kekanak kanakan hingga itik dewasa.
Di dunia itik, sang ayam disambut baik, yang lalu berbagi cari makan di bumi
itik. Ia belajar tumbuh bersama sekawanan itik, hatinya semakin menjauh dari
asal muasalnya sebagai ayam dengan keturunan ayamnya. Ia kini berbahasa itik
dan berkehidupan sesuai gaya
itik. Segala perbedaan tentang asal usul dikamuflasekan meskipun hasilnya wagu
semata. Ia berbicara dan bergaya layaknya itik sungguhan. Ia kemudian tersesat
dalam kesadaran, merasa dirinya adalah itik, bukan ayam. Bahkan ia merasa
dirinya lebih baik daripada itik itik lainya. Padahal dimata itik itik dalam
lingkungannya, ia tak lebih hanya ayam yang medapatkan kebaikan hati dari para
itik di dunia itik.
Maka iapun tidak sadar bahwa ia
hanya punya durasi waktu tertentu untuk menikmati dunia itiknya. Sebab segala
sesuatu yang berawal pasti akan ada akhirannya. Segala sesuatu yang hidup akan
mati, dan segala sesuatunya akan kembali kepada ketiadaan. Prosesnya evolusi
usia akan membawanya naik turun, meluncur berselancar dan kadang ibarat kaki
tertancap di lumpur yang mengering. Pahit manis, sedih senang, jaya dan sengasara. Segalanya berporos pada
cinta, pada hubungan sosial dalam budaya itik. Kejayaan membuat sang ayam
durhaka terhadap asal dan leluhur ayamnya, ibarat kacang yang lupa akan
kulitnya. Ia telah merasa berbeda denagan teman teman kecilnya, ayam ayam lain
yang tetap bangga dengan identitas ayam meskipun ada di dunia asing di alam perburungan.
Memelihara nilai nilai pergaulan yang
terbangun semasa kecil sama halnya menghormati kesebermulaan. Sejarah asal usul
diri semestinya tetap terpelihara meskipun badan sekeping terbawa arus ke bumi
asing yang jauh dari kampung halaman. Mengingkari asal usul sungguh tak ubahnya
menghancurkan jalan setapak yang seharusnya dipelihara sebagai jalar yang sama
untuk kembali diretas kelak. Tetapi sebagian orang memang masih meyakini slogan
rukun agawe santosa, bahwa kekuatan hanya dapat terwujud dengan kerukunan dan
persatuan. Perbedaan serharusnya disisihkan, kepentingan kepentingan pribadi
mestinaya semestinya dikorbankan demi terpelihara kebersamaan. Materi, dan
kehormatan yang didapat di perantauan semestinya bukan menjadi hal yang
dipersombongkan. Kesederhanaan dan kerendahan hati justru mengajarkan kepada
kebesaran sebuah pribadi. Sayangnya materi dan gila hormat kerap merubah orang
kampung menjadi raja kecil yang harus selalu disembah dan dianggap penting oleh
orang lain.
Menaruh hormat pada kehidupan sosial
sebenarnya memberikan satu peringkat lebih tinggi martabat kita. Kehidupan sosial
melalui organisasi sederhana yang bertekad kuat untuk menjaga hubungan sesama
teman sekampung di perantauan. Sesuatu yang tidak menghasilkan keuntungan
materi. Sesungguhnya keuntungan yang bisa didapat dari menjaga silaturahmi,
merasa menjadi bagian dari niat baik paguyuban memperoleh keuntungannya sendiri
yang jauh lebih bernilai dibanding materi.
Sungguh, orang yang bisa mementingkan sesuatu yang lain sesudah diri
sendiri akan menemukan kebahagiaan yang tidak dapat dinilai dengan angka.
Sebuah kebahagiaan tulus yang dapat meruntuhkan kesombongan, melahirkan
perasaan syukur atas hidup yang penuh karunia.
Kehidupan kampung halaman yang selalu
menyenangkan dan selalu ada dalam ingatan dikarenakan oleh kesederhanaan para
warganya. Kehidupan kota besar yang pragmatis dan materialistis diyakini dapat
menggerus bekal kesederhanaan yang menjadi watak asli orang kampung. Peradaban
orang kota yang cenderung berlomba untuk kemegahan imitasi dan rasa hormat
imitasi sering menjadi budaya baru yang diadopt oleh orang kampung. Tidak
jarang orang kampung menjadi (pura pura) lupa asalnya. Dari gaya berbicara,
berpenampilan dan bertingkah laku sudah menjadi orang kota; meskipun tetap
wagu. Kepura puraan menjadi orang kota yang diperbanggakan menggambarkan betapa
rendahnya pemahaman terhadap pengetahuan etika. Tetapi ada yang tidak bisa
berubah dan tidak bisa menipu; ialah dari wajahnya! Dia tetap orang kampung
dimata siapapun.
Tabik hormat untuk kawan kawan yang tetap
berkeras menjaga dan memelihara kerukunan sesama warga kampung di bumi
perantauan. Tetaplah bersatu, untuk keteguhan dan kejayaan nama kampung kita;
Indonesia.
Gempol, 120609
No comments:
Post a Comment