Hiruk pikuk lebaran berlalu, hilir mudik pembelanja berangsur sepi. Jalanan Jakarta kembali berdenyut oleh klakson dan deru mesin kendaraan, ditimpahi cacian dan makian; ungkapan kemarahan yang meledak oleh sesaknya beban persoalan. Dan hari hari Jakarta akan kembali ‘normal’; macet, pengap, mahal dan angkuh. Jutaan penghuninya kemudian mencatat kenangan tentang lebaran tahun ini di dalam kepala masing masing, menghitung beban biaya yang telah dihabiskan selama perayaan , yang lalu dibawa kemana mana dan dirindukan kapan kapan saja khayalan tentang kegembiraan lebaran sebagai hiburan bagi kegetiran hari hari berat Jakarta.
Kampung kampung akan perlahan sepi oleh pendatang, sepi karena ditinggalkan para lelaki kembali ke dunia baru ciptaan mereka dalam bertahun tahun diperintah oleh semangat perantauan. Setahun sekali mereka, anak anak kampung itu pulang dengan bergunung kebanggaan atas ukuran pencapaian materi; bahwa tanah rantau sungguh melahirkan manusia baru yang kini menjadi asing di tanah tempat lahirnya sendiri. Tapak kaki telanjang tak lagi dapat dijumpai, berganti jejak jejak roda kendaraan yang meliuk dan melilit jalanan tanah merah bagaikan ribuan ular yang sedang berbirahi. Itulah jejak jejak kaki baru manusia baru yang datang setahun sekali untuk ritual tilik deso, merayakan hari raya dengan memelihara filsafat pohon yang tidak pernah menceraikan akarnya.
Para pendatang itu pergi meninggalkan dongeng kehebatan diri maupun kisahnya masing masing yang diteruskan oleh para orang tua dan keluarga sebagai cerita wajib pengisi obrolan setiap ada perjumpaan dengan tetangga maupun kenalan. Kisah kisah tentang keberhasilan, tentang kehebatan di tanah perantauan diceritakan dengan lantang penuh kebanggaan sebagai bukti bahwa buah tak akan jauh dari pohon. Masing masing mengadu hebat atas apa yang sanak keluarga mereka dapat. Kisah kisah kegetiran dan kegagalan diceritakan dengan bisikan, bergulung gulung bagai kentut yang menyebar sesuka arah dan lalu berubah menjadi topik dalam rahasia umum. Setiap tahun para orang tua memiliki kisah tentang anak anak mereka yang dikonfirmasi oleh penampilan dan nilai kebendaan dapat ditunjukkan pada waktu lebaran. Setiap tahun setiap keluarga memiliki kisah hidup sanak famili mereka yang juga berbeda beda dan selalu berubah ubah. Bukankah demikian hakikat kehidupan; berubah. (?!)
Waktu juga yang menciptakan pemahaman pemahaman baru yang membentuk arah lajunya kehidupan. Ibu ibu yang melahirkan para perantau menjadi semakin keriput dijajah usia. Ibu ibu yang menyusui para perantau perkasa yang sanggup menggenggam dunia, mendamaikan jagad raya, atau menjadi bangsat atas sesamanya. Dari air susu yang mengalir dari dada mereka yang kini mengeriputlah keperkasaan dan kehebatan itu lahir oleh sebab dari sanalah hidup seorang manusia bermula. Dan ketika bau kota anak anak mereka pergi meninggalkan bilik rumah, doa doa mengalir sepanjang nafas yang tersisa agar Tuhan menjaga dan membimbing anak anaknya untuk menjadi berguna bagi sesamanya, doa agar kelak tak lama lagi anak anaknya akan kembali menemuinya untuk memetik buah dadanya, untuk mengunduh buah dari doanya.
Di kampung halaman, setahun sekali ritual mudik kolosal mengawali kontes perantauan di kampung halaman. Slogan mangan orang mangan sing penting kumpul dijadikan justifikasi agar sekali dalam setahun, setidaknya pada hari raya lebaran anak anak kampung pada kembali pulang, membagi kisah dengan teman sepermainan diatas tanah penuh kenangan indah masa kecil. Setahun sekali di kampung halaman, kebahagiaan masa kecil semua orang kembali membuncah sepanjang hari...
Selamat lebaran kepada saudara saudara pemudik.
Bambuapus 100911
No comments:
Post a Comment