Dia terbangun dari istirahat pendeknya semalam. Terbangun karena mimpi yang tak sanggup ditahankan sebagai mimpi melainkan tayangan kenyataan yang menyakitkan. Ya, dia sedang sakit bathin, terluka dan merana berkepanjangan. Mimpi itupun entah sudah yang keberapa ratus mengganggu istirahatnya. Dia hanya pasrah tak mampu mengelak dan tak berhak menolaknya. Ketika malam hanya berisi suara kipas angin yang menderu, diapandanginya tubuh tubuh anggota keluarganya yang terlelap tak berdaya. Hanya dia yang terjaga dirumah itu. Keterjagaanya membangunkan kesadaranya, betapa dia adalah yang terperkasa diantara semua yang tertidur saat itu. Kemudian bisikan ditelinga bathinya yang menderu oleh mimpi yang membangunkan tadi;
“ Aku tidaklah penting bagi diriku sendiri. Maafkan pengalaman jika aku keliru menganggap diriku penting bagi hidupku sendiri. Selama ini ego – lah yang justru menyiksaku sendirian, karena ego itu milikku sendiri”
Bisikan itu dibawanya keruang tamu, kedalam perenunganya sendiri yang menggumpal seiring asap rokok kretek yang dihisapnya. Dalam perenunganya, slide slide pengalaman menyakitkan yang dihadiahkan orang lain menjadi tayangan memalukan bahwa dia telah mendramatisir kesakitan itu sedemikian rupa, bahkan menawarkanya kepada udara berharap ada simpati bagi si ego, si karakter diri. Kesakitan hati terasa hanya membandul menjadi liontin hiasan nasib, sedangkan tak ada sesuatupun yang sanggup menggubahnya menjadi sandaran pengharapan. Kekecewaan dilumurkan pada setiap permukaan bumi, dan dijilatinya sebagai santapan tiga kali sehari, bahkan egonya yang sombong telah memprogandakan kader kader iblis ciptaanya sendiri yang di klaim sebagai iblis ciptaan orang lain yang diternakkan dijiwanya.
Ditemukan dirinya menjadi pribadi pincang yang mendekati lumpuh, dengan plakat tulisan dengan huruf besar besar didadanya; “AKU MENDERITA”. Ditemukan dirinya malam itu menjadi seorang pribadi yang pathetic mengobral iba bagi siapa saja demi simpati. Memalukan, sebab dia telah berjalan sendirian ratusan ribu kilometer untuk memunguti pengalaman, sedangkan dia tidak pernah mengeluh melainkan bangga selama ini. Kehancuran dan kehilangan atas apa yang dibangun dan dianggap menjadi miliknya pribadi yang selama ini menjadi batu penindih gerak kakinya dilihatnya mengakibatkan kakinya mengecil dan tak bertenaga, sedangkan dia sendiri yang meletakkan batu itu disana, dan menganggap orang lain yang melakukan itu dengan kejinya.
Keletihanya bathinya mengembalikan kesadarannya akan kesombonganya keapada karakter, kepada diri sendiri. Kesombongan yang lahir dari keinginan keinginan duniawi dan ketidak terpenuhinya harapan harapanya terhadap pribadi lain yang bersinggungan dengan dirinya, pribadi yang dengan sadar dia jadikan tumpangan hati berharap untuk berdamai dengan semua ketidak nyamanan dunia. Maka dia memilih berkompromi dengan konflik kesombongan individunya sendiri, memilih mencari format menyublimkan egonya sendiri agar menjadi kempis, kecil tak berbobot, tak berotot. Dinihari itu ditanyakanya kepad Tuhanya tentang sebuah formasi bagi pribadi yang mampu menumpas egonya sendiri dan bertekad mempersembahkan hidup bagi siapapun juga yang menganggapnya berguna bahkan kepada mereka yang tidak menganggapnya berguna. Dia hanya ingin berbuat baik, tanap pamrih apapun bahkan berharap pahala karena dia tak ikut mengontrol hasil akhir, seperti dia juga tidak ikut mengontrol kehidupan yang akan dijalaninya. Dia hanya tahu, terlalu lelah untuk melawan ego sendiri, memilih tidak menampakkan diri dan menjadi ada bagi siapapun yang melihatnya.
Maka pagi itu, setelah berpuluh batang rokok kandas di paru paru, didengarnya embun bercakap cakap dengan hangat sinar matahari, tentang diri yang memang tak berarti apa apa bagi diri sendiri, tak penting bagi diri sendiri, dan tak harus penting bagi orang lain….dan dia tersenyum menyambut datangnya hari, berjalan meretas usia menuju mati. Disepanjang jalan banyak dijumpai iblis yang diternakkanya di kandang kenangan, tak diberinya makan, biar mati kelaparan pelan pelan…
Gempol, 060306
“ Aku tidaklah penting bagi diriku sendiri. Maafkan pengalaman jika aku keliru menganggap diriku penting bagi hidupku sendiri. Selama ini ego – lah yang justru menyiksaku sendirian, karena ego itu milikku sendiri”
Bisikan itu dibawanya keruang tamu, kedalam perenunganya sendiri yang menggumpal seiring asap rokok kretek yang dihisapnya. Dalam perenunganya, slide slide pengalaman menyakitkan yang dihadiahkan orang lain menjadi tayangan memalukan bahwa dia telah mendramatisir kesakitan itu sedemikian rupa, bahkan menawarkanya kepada udara berharap ada simpati bagi si ego, si karakter diri. Kesakitan hati terasa hanya membandul menjadi liontin hiasan nasib, sedangkan tak ada sesuatupun yang sanggup menggubahnya menjadi sandaran pengharapan. Kekecewaan dilumurkan pada setiap permukaan bumi, dan dijilatinya sebagai santapan tiga kali sehari, bahkan egonya yang sombong telah memprogandakan kader kader iblis ciptaanya sendiri yang di klaim sebagai iblis ciptaan orang lain yang diternakkan dijiwanya.
Ditemukan dirinya menjadi pribadi pincang yang mendekati lumpuh, dengan plakat tulisan dengan huruf besar besar didadanya; “AKU MENDERITA”. Ditemukan dirinya malam itu menjadi seorang pribadi yang pathetic mengobral iba bagi siapa saja demi simpati. Memalukan, sebab dia telah berjalan sendirian ratusan ribu kilometer untuk memunguti pengalaman, sedangkan dia tidak pernah mengeluh melainkan bangga selama ini. Kehancuran dan kehilangan atas apa yang dibangun dan dianggap menjadi miliknya pribadi yang selama ini menjadi batu penindih gerak kakinya dilihatnya mengakibatkan kakinya mengecil dan tak bertenaga, sedangkan dia sendiri yang meletakkan batu itu disana, dan menganggap orang lain yang melakukan itu dengan kejinya.
Keletihanya bathinya mengembalikan kesadarannya akan kesombonganya keapada karakter, kepada diri sendiri. Kesombongan yang lahir dari keinginan keinginan duniawi dan ketidak terpenuhinya harapan harapanya terhadap pribadi lain yang bersinggungan dengan dirinya, pribadi yang dengan sadar dia jadikan tumpangan hati berharap untuk berdamai dengan semua ketidak nyamanan dunia. Maka dia memilih berkompromi dengan konflik kesombongan individunya sendiri, memilih mencari format menyublimkan egonya sendiri agar menjadi kempis, kecil tak berbobot, tak berotot. Dinihari itu ditanyakanya kepad Tuhanya tentang sebuah formasi bagi pribadi yang mampu menumpas egonya sendiri dan bertekad mempersembahkan hidup bagi siapapun juga yang menganggapnya berguna bahkan kepada mereka yang tidak menganggapnya berguna. Dia hanya ingin berbuat baik, tanap pamrih apapun bahkan berharap pahala karena dia tak ikut mengontrol hasil akhir, seperti dia juga tidak ikut mengontrol kehidupan yang akan dijalaninya. Dia hanya tahu, terlalu lelah untuk melawan ego sendiri, memilih tidak menampakkan diri dan menjadi ada bagi siapapun yang melihatnya.
Maka pagi itu, setelah berpuluh batang rokok kandas di paru paru, didengarnya embun bercakap cakap dengan hangat sinar matahari, tentang diri yang memang tak berarti apa apa bagi diri sendiri, tak penting bagi diri sendiri, dan tak harus penting bagi orang lain….dan dia tersenyum menyambut datangnya hari, berjalan meretas usia menuju mati. Disepanjang jalan banyak dijumpai iblis yang diternakkanya di kandang kenangan, tak diberinya makan, biar mati kelaparan pelan pelan…
Gempol, 060306
4 comments:
sekitar 14 abad yg lalu Nabi Muhammad SAW pernah bilang, perang yang terbesar adalah perang melawan diri.... (nafsu, ego etc...). means kemenangan atas peperangan itu jadi kemenangan terbesar. maaf kalo salah ingat atau interpretasi. Allah knows best
NOTES:
Jangan banyak banyak siy ngerokoknya..ya?? :)
Sesungguhnya bukan soal menang atau kalah, tetapi bagaimana hati bisa menjalani dengan ringan tanpa beban saja cukup.
Hmm...pen berenti merokok lagi, tapi ada yang goda godain, malah ngajak ngrokok bareng! Haih!
Keep up the good work »
Post a Comment