Ketika liburan Idhul Adha tiba di
hari terakhir, jalanan sepanjang Surabaya Jember melalui Pasuruan, Probolinggo,
Randuagung bumi seiolah dipanggang oleh perkasa matahari. Panasnya memaksa
orang waras untuk mencari teduhan atau sekedar menghindari sengatannya secara
langsung. Deru kendaraan orang pulang liburan, dan orang merangkai riwayat
kehidupan masing masing menjejali jalanan dengan berbagai cerita perjalanan
yang mereka simpan diam diam. Rasanya semua orang tidak ingin diabaikan, justru
pengen didahulukan atau setidaknya dianggap lebih penting dari orang lain.
Konsep meras berhak diatas hak orang lain itulah yang menggerogoti tata krama
adat nusantara di jalanan. Maka setuju jika Bang Ali menyimpulkan bahwa
kehidupan sosial di jalanan adalah cermin dari isi keadaan sosial di seluruh
negeri.
Setiap hari ada saja berita
tentang pejabat yang ditangkap, atau dianggap turut bertanggung jawab dalam
tindak pidana korupsi alias mencuri uang yang adalah hak negara. Dan kesemuanya
meraka adalah orang orang yang memiliki status sosial tinggi, entah dari
jabatannya atau entah dari jumlah harta yang dititipkan Tuhan kepadanya.
Maklum, respect sosial bisa datang kepada orang yang berkuasa. Dan kekuasaan
bisa datang karena adanya harta benda yang melimpah, kekuatan uang bisa
menempatkan seseorang dalam status sosial tinggi di lingkungannya. Orang kaya
akan lebih disegani ketimbang orang tidak kaya. Sialnya, orang yang merasa kaya
justru merasa memiliki hak lebih banyak dari pada hak orang lain yang tidak
kaya.
Sesungguhnya sikap arogan karena
kekuasaan itu sudah menjadi gaya hidup kaum penguasa sejak zaman dulu. Ketika
sikap yang kemudian diterjemahkan sebagai sikap hedonis itu menjadi gaya hidup,
maka etika moral otomatis akan terabaikan. Mencuri uang negara kemudian
dianggap sebagai dosa kolektif, atau bahkan kesalahan kolosal. Bukankah
kejahatan yang dilakukan oleh banyak orang menimbulkan aspek beban moral yang
semakin sedikit bagi pelakunya? Korupsi oleh pejabat setingkat bupati atau
walikota, atau Dirjen, atau kepala ini itu dan bahkan di level level
kepangkatan dibawahnya sekalipun semestinya tidak patut dilakukan. Persepsi
‘tidak patut’ tersebut boleh jadi keluar dari ukuran rakyat jelata yang tidak
memiliki akses kekuasaan setingkat pejabat negeri. Bukan lantaran hak
pribadinya yang terzolimi, tetapi ukuran ketidak patutan itu memantul dari
kesadaran bahwa uang yang dimaling adalah uang milik negara. Uang milik negara
adalah iuran setiap warga negara yang dikelola oleh management negara dan
diperuntukkan bagi kesejahteraan yang merata. Patriotisme yang melahirkan
definisi ketidak patutan itu. Patriotism atas rasa ikut memiliki uang negara
sebagai asset property bersama warga bangsa. Tidak untuk memperkaya diri
pribadi.
Jadi sebenarnya gaya hidup-lah
yang patut diduga sebagai akar dari mental korup para pejabat. Dan sekali lagi
perbuatkan meng korup uang rakyat semestinya tidak patut dilakukan oleh pejabat
sebab pelaku sendiri sudah tentu dari golongan orang yang memiliki jabatan,
kekuasaan dan kekayaan. Kaum elit di lingkungan rakyat kebanyakan! Segala
kebutuhan hidup sudah disediakan oleh negara yang juga alokasi dari uang
rakyat, bahkan jabatan memberikan akses kepada hak hak istimewa bahkan
terkadang kemewahan. Berada terlalu lama di awan terkadang membuat orang
canggung rasanya memijak bumi. Terlalu lama diistemewakan oleh kekuasaan
terkadang membuat orang mengabaikan kesadaran bahwa ia adalah manusia biasa,
yang lemah tanpa daya. Menjadi koruptor tentu saja sepaket dengan sikap sombong
dan imitative.
Barangkali jarang terpikirkan
bahwa mental pencuri uang negara bisa juga lahir dari kondisi birokrasi yang
ada di lingkungan ‘pengabdian’nya. Seorang pejabat yang berkuasa atas suatu
mandat negara diharuskan menjadi penerus pesan dari atasannya, para pengambil kebijakan.
Persoalan persoalan kritis di kemasyarakatan dijawab secara politis, berlindung
dibalik tameng birokrat dengan jawaban jawaban yang di plot sebagai blunder.
Pokoknya blunder. Ketidak terus terangan lingkungan pengabdian itu bisa juga
menjadi virus yang mengembang biakkan keberanian seorang pejabat untuk berbuat
koruptif, atas jasanya menjadi penyampai pesan blunder terhadap sesuatu yang
mestinya saklek.
Ketika korupsi semakin hari
semakin menjadi jadi, maka dapat di simpulkan bahwa penindakan terhadap
perilaku tidak patut tersebut ada yang kurang pas. Korupsi menghasilkan
kekayaan diatas rata rata pejabat biasa, dan kekayaan diatas rata rata
meimbulkan kuasa. Resiko hukuman badan atas pelanggaran pidana yang ambigu
tentu dapat dianggap sepadan dengan kekayaan dan kekuasaan yang diapatkan. Jika
sudah terlanjur kaya, maka menjadi pesakitanpun akan tetaplah pesakitan kaya.
Dan pesakitan kaya tentu memiliki kuasa atas lingkungan tempatnya berada. Maka
korupsi menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi. Orang tidak lagi menganggap bahwa
kemartabatan adalah ukuran sosial politik yang tak dapat dipungkiri. Zaman
sudah berubah menjadi semakin menjauh dari konsep kemartabatan. Kapitalisme
tanpa sadar sudah menjadi adat kebiasaan dan tradisi sosial kita. Dan kapitalisme
mengabaikan prinsip prinsip etika kemanusiaan, atau konsep konsep keseharusan.
Tanpa bermaksud menebarkan syak
wasangka, berita berita terpercaya menyuguhkan fakta bahwa pelaku korupsi dan
atau antek anteknya berasal dari berbagai lini birokrasi. Mulai dari pemegang
kuasa yudikatif maupun legislative. Dari sector hukum dan peradilan yang
semestinya menjadi pribadi pilar pilar penegak keadilan layaknya adegium fiat
justicia ruat caelum (adegium ini mengandung perasaan anggun, gagah sekaligus
bangga sebagai abdi law enforcement), dari sector kerohaniawian yang semestinya
lebih mengerti dan mengamalkan apa itu perilaku amanah dan akhlak yang baik,
dan sector sector lainnya yang memiliki fungsi begitu ideal sebagai alat atau
aparatur membina negara yang gemah ripah loh jinawi. Kenyataaanya keleluasaan
akses kepada kekuasaan itu yang diselewengkan dan disalah gunakan sebagai
kesempatan untuk mencuri uang negara. Tentu mereka itu hanya oknum.
Jika golongan elit boleh
menjustifikasi perbuatan malingnya sebagai bukan ketidak patutan sosial, maka
tidak heran kemudian jika perilaku masyarakat kebanyakan menjadi seolah olah
urakan, mementingkan diri sendiri dan mangabaikan kepentingan orang. Dan yang
lebih mengenaskan lagi mengedepankan car acara kekerasan serta intimidasi atas
nama kekuasaan. Setiap orang memang memiliki kekuasaan masing masing setidaknya
kekuasaan atas kebebasan dirinya sendiri. Kondisi anarkis ini menjadi bukti
bahwa menghormati orang lain berarti menurunkan ego pribadi. Dan orang enggan
untuk menurunkan ego pribadi. Seorang koruptor yang sudah dikenal public sejak
semula akan tampil dengan senyum imitasi dibalik seragam berwana dan
bertuliskan “pesakitan yang terkonfirmasi”.
Mereka akan menjalani kehidupan penjara yang tidak sebegitu lama, dan
mendapatkan hak hak istimewa sebagai narapidana kaya. Biaya untuk itu tidak
perlu mengahabiskan hasil malingnya sampai sepertiga.
Budaya permisif terhadap
pelanggaran nilai nilai luhur kemartabatan para oknum pejabat negara, dan
anggota elit masyarakat jelata melahirkan hukum rimba yang mengerikan dan tidak
menjadi perhatian. Hanya lantaran sebuah amplifier rusak orang sudah dengan
mudah membunuh sesamanya, menukar nyawa orang lain yang jelas jelas tidak
sebanding dengan nilai ekonomi dari sebuah ampli bekas. Orang makin dijauhkan
dari kemartabatan, oleh sebab harta sudah menjadi ukuran baru pengganti
kemartabatan. Penjahat penjahat kelas teri yang bernasib nahas ketika perbuatan
mereka gagal harus siap menjadi pelampiasan atas kebuasan sesama manusia.
Sepertinya ngeri membayangkan bahwa nyawa tidak lebih berarti dari sesuatu yang
memiliki nilai ekonomi. Tidak banyak yang menyadari bahwa kebuasan kaum bawah
adalah manifestasi dari busuknya perilaku para oknum pejabat yang semstinya
menjadi panutan dalam membangun karakter bangsa. Penjahat kelas teri adalah
yang paling tepat untuk menjadi pelampiasan atas frustrasi sosial rakyat
jelata. Bukan lagi soal kemiskinan, tetapi lebih kepada soal hak pribadi yang
merasa dianiaya. Mereka yang bernasib sial akan mati hangus di selokan atau
diperlakukan bagaikan bukan manusia hingga tinggal menjadi pengisi berita
criminal. Lalu lesap tak ada cerita lanjutnya. Padahal mereka yang mati hangus
dibakar massa atau mati dengan badan cerai berai diamuk warga juga adalah
pejuang bagi orang orang yang disayanginya. Para korban pembunuhan massa
direnggutkan begitu saja dengan cara sadis dari orang orang yang disayanginya
dan menyayanginya.
·
Jarang
orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini:
suatu karunia alam. Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah
keberaniannya. Kesederhaan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan.
Sumber: Mereka Yang Dilumpuhkan (1951)
Jember, 170903