Kehidupan kosmos maya dalam rekam jejaknya banyak menampilkan kepameran dan unjuk keluhan. Kedua duanya adalah modal utama untuk mengumpulkan simpati sebanyak banyaknya. Dan jika simpati sudah terkumpul, seseorang bisa berubah menjadi selebriti dunia maya, dengan ribuan penggemar, ribuan orang yang mengaku dan dianggap sebagai teman; bahkan terhadap mereka yang sebenarnya tidak dikenal sekalipun. Di dunia nyata, hanya orang yang kita kenallah yang disebut sebagai teman, bukan? Banyaknya teman dunia gaib dimana mana itu juga memberi peluang untuk menanam bibit bibit rasa yang buahnya bisa dipetik dimana saja dan kapan saja sesuai selara. Jika keberadaannya dikonfimasikan di dunia nyata, maka jawabannya akan sama "bukan siapa siapa". Ah, sungguh aneh mainan hati yang satu ini.
Pada masa yang lebih modern dan canggih lagi, dunia maya yang tadinya bermaksud sebagai wahana pertemanana virtual, bisa pula berubah fungsi sebagai pengemban tujuan materi. Media sosial bisa menjadi etalase yang sangat efektif di masa ekonomi global hari ini. Dan tentu saja, fungsi utama sebagai media sosial, pengikat pikiran antar manusia yang berjauhan atau berdekatan lokasinya ini tidak akan pernah terlepaskan. Etalase berbasis laba bisa menjadi penyamar dari ribuan maksud pribadi yang tersembunyi rapi dibalik gemerlap barang dagangan, dan juga dibalik riuh rendah komentar maupun pujian. Pada saat yang bersamaan, korban korban penipuan berjatuhan, berbanding sejajar dengan para pelakunya yang melenggang sambil tertawa.
Memang sudah sifat manusia untuk haus akan sanjungan, terutama bagi mereka yang merasa terlalu modern dan maju untuk sejenak kembali memahami makna kehidupan akar rumput. Padahal, pujian di dunia maya dengan sangat mudah dapat diartikan sebagai ajakan untuk mengejawantahkan rasa saling mengagumi dan saling memuji itu untuk tujuan yang lebih pribadi lagi; urusan yang berkaitan dengan syahwat dan kepuasan individual. Buktinya, media sosial itu memproduksi korban perkosaan, korban pencabulan, penculikan bahkan human trafficking tanpa henti. Setiap hari selalu ada berita baru mengenai itu di koran dan tivi. Itu jika kita masih mau membaca dan mennyimak berita berita humaniora. Tentu di dunia maya tidak banyak tertampilkan, sebab dunia maya adalah dunia ideal bagi para pemuja asmara berbasis kebohongan. Dan lebih konyol lagi, pujian dan penghargaan di dunia maya tidak lebih hanya symbol lisan, bukan lahir dari ketulusan.
Eksistensi seseorang di dunia maya sebenarnya adalah kelahiran kehidupan yang serba instant. Tanpa melewati fase kanak kanak dan pembelajaran, tetapi tiba tiba dewasa dengan berbagai kepentingan pribadi. Dengan kepentingan pribadi itu pula pada akhirnya justru jejaring sosial dimanfaatkan untuk kepentingan kepentingan tersembunyi, penuh kamuflase dan intrik dimana program kepura puraan dapat diaplikasikan semaksimal mungkin. Di dunia maya orang yang gemar menampilkan kehidupan seolan olah bisa hidup subur makmur. Seseorang tidak perlu mengenal orang lain untuk menjadi teman, dan kita bebas “mematikan”orang yang tidak sesuai dengan selera kita kapan saja kita mau tanpa beban. Sungguh suatu kehidupan yang ideal bagi para pendusta.
Maka, ketika seseorang sembarangan membuat pernyataan bahwa dia akan menutup diri dari jenis pertemanan apapun bentuk media sosial , hal itu sesungguhnya omong kosong. Ah, memang dunia virtual ini sudah meracuni akal sehat orang, membuat orang tak mampu mengelola janji, mengelola kata katanya sendiri. Padahal sesungguhnya kata yang kita ucapkan sendiri adalah ukuran dari kualitas seseorang. Setahu saya, di dunia nyata, yang namanya janji adalah hutang, dan yang namanya hutang harus dilunasi. Sebab tidak dilunasi maka akan ditagih nanti di akherat sana . Meskipun berpendidikan sederhana, tetapi sebagai orang yang beragama - meskipun tidak terlihat religius amat - tentu kita paham maknanya. Maka sudah selayaknya kita patut untuk berhati hati dalam mengelola janji.
Akan tetapi, jika dipandang dari bumi dengan kaki menapak tanah dan dicerna dengan pikiran yang bersahaja, sebenarnya dunia kehidupan virtual tidak lebih dari sekedar jendela tempat ilmu berada. Secara positif kita bisa belajar dari sana mengenai banyak pengetahuan. Dari situ saja kita bisa mengambil intisari kesimpulan bahwa motif dan modus untuk eksis di dunia maya sebenarnya dikendilkan oleh akhlak masing masing individu pemilik akun. Kita tidak bisa menyalahkan media sosial sebagai zat memabukkan dan menggemboskan akhlak, tetapi manusia dengan sadar dan sengaja terlibat dan memandangnya sebagai sarana dan arena yang cocok, aman dan canggih untuk berlaku durjana. Keputusan untuk memilih dan mematikan teman dan keputusan untuk menggunakan kebijaksanaan dalam mengelola akun jejaring sosial sungguh sangat menentukan citra dari pemilik akunnya. Hanya saja memang, sebagian besar dari orang modern dengan sukarela menyediakan diri untuk terjebak dalam gemerlap hura hura dunia maya, mengumbar segala yang tabu menjadi hal biasa. Salah asuh atas kondisi ini bisa menyebabkan orang berpikiran serba negatif, dan menciptakan kerangka pikiran yang sarkastik. Mungkin karena biasa ber "seolah olah" itu.
Sekali lagi, kemampuan untuk mencerna kebijaksanaan hidup memberi kita peluang untuk menentukan pilihan dalam bergaul di dunia modern dan instant ini. Hanya orang orang yang kurang peka terhadap kehidupan nyata di sekeliling kita saja yang mudah termabukkan oleh pesona dunia maya. Mereka yang akan menjadi mangsa empuk bagi para predator yang telah bercokol dan melanglang buana di dunia seolah tanpa batas itu untuk satu tujuan; mencari mangsa. Internet memang adiktif, dan itu nyata nyata dimanfaatkan orang untuk mengambil keuntungan pribadi. Sebagai media yang diciptakan menyerupai labirin pikiran manusia bertata krama, jejaring sosial bisa menjadi tempat yang sangat berbahaya jika kita salah menafsirkannya. Homo homini lupus, inilah modernisasi dari kejahiliyah-an dalam kemasan menawan sesuai selera zaman.
Jejaring sosial di dunia virtual, tidak ubahnya sabana kosmos maya tempat pendusta memuja rasa.
No comments:
Post a Comment