Langit Bali biru bersih seolah lahir kembar dengan biru laut dari kejauhan pantai, disinari penuh oleh matahari yang panas mengangas terang benderang. Derai tawa bercumbu debur ombak menyatu dalam otak dari kejauhan jarak pandangan; lantai tiga hotel bintang lima.
Musim telah menenggelamkan pengetahuan di kedalaman lumpur waktu, meninggalkan kejadian masa lalu sebagai cerita bisu. Dan catatan seribu tahun yang telah tanggal terkoyak oleh datangnya kisah yang menggebu. Jalan batin setapak dimana dulu kita bertemu, telah bercabang seribu lalu menyisakan jaring jaring kenyataan, pagar pelarang bagi asmara yang membuncah bagai bunga Rafflesia Arnoldi (Patma Raksasa) yang tumbuh di belantara tak bertuan. Kehidupan yang tiba tiba menyeruak dari ketiadaan panjang. Membuat seolah olah kita terputuskan oleh kisah yang tak sempat kita selesaikan, ketika semuanya bermula dari dialog bisu di dalam diary berwarna biru.
Pertemuan seolah menuntun langkah menyusuri pantai, mengeja jejak masa lalu yang sebagian besar telah lenyap tersapu ombak peradaban. Dan jejak itu kita temukan hanya dalam angan angan sebab kaki kita tak menapak di lembutnya pasir pantai kehidupan, tempat segala batas dan kisah kisah perantauan terhempas lunas. Semuanya mati, semuanya baru. Dunia bisa menjadi sangat aneh, dimana sikap malu malu membungkus perasaan senang bukan kepalang. Kisah kehidupan yang sepakat kita jalani ini memang penuh keajaiban, misalnya kita yang dipertemukan setelah menjadi bukan gadis dan bujang lagi.
Mungkin kita selayaknya menghormat tunduk kepada masa lalu sebab ia adalah kesaksian atas utas jatah hidup yang terurai panjang dan bersimpul ketika kita dipertemukan lagi. Tetapi masalalu dan kekinian yang kia jalanipun mengandung anomali yang tak terbantahkan; perbedaan atas kenyataan yang ada. Menggambarkannya mungkin seperti hamparan keajaiban di jarak pandang dari lantai tiga ke arah lautan, menembus pantai Kuta dimana biru langit berkawin dengan biru lautan. Mereka berdua tak bersentuhan di keagungan semesta ini, tetapi mereka berdua ada dan memiliki arah asal kedatangannya masing masing.
Jika perasaan adalah sesuatu yang hidup dan menciptakan kehidupan, mungkin kita biarkan menjadi seperti Rafflesia Arnoldi yang menyeruak tiba tiba dari perut bumi tanpa bentuk pohon tertentu, lalu hidup untuk 5 – 7 hari, setelah itu layu dan mati dan sirna kembali ditelan bumi. Ia tak berbatang, tak berdaun dan hanya tumbuh dari menghisap unsur organik dan anorganik dari tanaman inang. Seluruh jaringan yang membentuk kelopak bunga Patma Raksasa tak memiliki bentuk konstruksi batang tubuhnya, apalagi masa lalunya. Tetapi Rafflesia tetap akan hidup dan ada ditimbunan bumi, untuk suatu hari nanti menggemparkan isi dunia dengan kemunculan kelopanya yang raksasa secara tiba tiba; laksana nostalgia cinta yang sekonyong konyong membuncah seolah nyata di hati manusia.
Musim telah menenggelamkan pengetahuan di kedalaman lumpur waktu, meninggalkan kejadian masa lalu sebagai cerita bisu. Dan catatan seribu tahun yang telah tanggal terkoyak oleh datangnya kisah yang menggebu. Jalan batin setapak dimana dulu kita bertemu, telah bercabang seribu lalu menyisakan jaring jaring kenyataan, pagar pelarang bagi asmara yang membuncah bagai bunga Rafflesia Arnoldi (Patma Raksasa) yang tumbuh di belantara tak bertuan. Kehidupan yang tiba tiba menyeruak dari ketiadaan panjang. Membuat seolah olah kita terputuskan oleh kisah yang tak sempat kita selesaikan, ketika semuanya bermula dari dialog bisu di dalam diary berwarna biru.
Pertemuan seolah menuntun langkah menyusuri pantai, mengeja jejak masa lalu yang sebagian besar telah lenyap tersapu ombak peradaban. Dan jejak itu kita temukan hanya dalam angan angan sebab kaki kita tak menapak di lembutnya pasir pantai kehidupan, tempat segala batas dan kisah kisah perantauan terhempas lunas. Semuanya mati, semuanya baru. Dunia bisa menjadi sangat aneh, dimana sikap malu malu membungkus perasaan senang bukan kepalang. Kisah kehidupan yang sepakat kita jalani ini memang penuh keajaiban, misalnya kita yang dipertemukan setelah menjadi bukan gadis dan bujang lagi.
Mungkin kita selayaknya menghormat tunduk kepada masa lalu sebab ia adalah kesaksian atas utas jatah hidup yang terurai panjang dan bersimpul ketika kita dipertemukan lagi. Tetapi masalalu dan kekinian yang kia jalanipun mengandung anomali yang tak terbantahkan; perbedaan atas kenyataan yang ada. Menggambarkannya mungkin seperti hamparan keajaiban di jarak pandang dari lantai tiga ke arah lautan, menembus pantai Kuta dimana biru langit berkawin dengan biru lautan. Mereka berdua tak bersentuhan di keagungan semesta ini, tetapi mereka berdua ada dan memiliki arah asal kedatangannya masing masing.
Jika perasaan adalah sesuatu yang hidup dan menciptakan kehidupan, mungkin kita biarkan menjadi seperti Rafflesia Arnoldi yang menyeruak tiba tiba dari perut bumi tanpa bentuk pohon tertentu, lalu hidup untuk 5 – 7 hari, setelah itu layu dan mati dan sirna kembali ditelan bumi. Ia tak berbatang, tak berdaun dan hanya tumbuh dari menghisap unsur organik dan anorganik dari tanaman inang. Seluruh jaringan yang membentuk kelopak bunga Patma Raksasa tak memiliki bentuk konstruksi batang tubuhnya, apalagi masa lalunya. Tetapi Rafflesia tetap akan hidup dan ada ditimbunan bumi, untuk suatu hari nanti menggemparkan isi dunia dengan kemunculan kelopanya yang raksasa secara tiba tiba; laksana nostalgia cinta yang sekonyong konyong membuncah seolah nyata di hati manusia.
Ah, dunia memang dipenuhi dengan keajaiban....
Legian, 091119
Legian, 091119